Jumat, 09 November 2007

Wadasan dan Mega Mendung dalam Lukisan Wayang Rastika

KOMPAS - Senin, 17 Jun 1991 Halaman: 13 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 6532 Foto: 1

"WADASAN" DAN "MEGA MENDUNG"
DALAM LUKISAN WAYANG RASTIKA

Hidup adalah Wadasan dan Megamendung. Dua ungkapan yang sangat
sederhana. Namun, kalau saja ditarik lebih jauh, sesungguhnya
merupakan ungkapan filosofis yang sarat makna. Dan barangkali, hanya
dua ungkapan itulah prinsip kehidupan manusia di alam fana ini.
Kalau kemudian, Rastika pelukis kaca asal Cirebon menggunakan dua
ungkapan itu sebagai ciri lukisannya, dia memang ingin bicara hidup
dan kehidupan lewat lukisan.

Wadasan yang punya arti harfiah segala bebatuan, menurut konsep
Rastika diterjemahkan sebagai bumi dengan segala isinya: tanah
tumbuhan dan air. Sedang mega mendung adalah semesta langit yang
menaungi bumi dan segalanya isinya. "Sebagai simbol Ketuhanan,"
demikian Rastika meyakinkan.

Kalau mau diterjemahkan lebih dalam lagi, makna wadasan dan
mega mendung sebenarnya mengajarkan sebuah tembang kehidupan, sebuah
sinyal untuk umat manusia agar cinta terhadap sesama di bumi
wadasanini, dan memperkuat Ketuhanan sebagaimana bernaung di bawah
mega mendung. Ya, cinta Tuhan cinta nusa bangsa -kawula manunggal,
manunggal gusti.

Inilah sebabnya dua konsep yang tak harus terpisahkan dalam
hidup manusia itu, oleh Rastika dipilih untuk mengekspresikan gerak
lukisannya di atas kaca. Dan ini lantas bukan hanya makna yang
hendak disampaikan oleh Rastika, tetapi wadasan dan mega mendung
lantas menjadi ciri khas karya lukis Rastika. Lukisan apapun, dua
ungkapan itu tak ditinggalkan.

Dari segi tata artistik, wadasan dan mega mendung yang kini
menjadi model lukisan Rastikan, sebenarnya sangat dipenguruhi oleh
kebudayaan Cina. Menurut pelukis otodidak lulusan sekolah rakyat
yang tinggal di Desa Gegesik Kulon, Kecamatan Arjawinangun
ini, kedua ciri dasar tersebut melambangkan pertemuan kebudayaan Cina
dan Cirebon pada masa Sunan Gunung Jati. Karena pada waktu itu di
Cirebon banyak berdatangan saudagar Cina.

Dari daratan Cina, banyak dibawa keramik-keramik berhiaskan
gambar awan dan dedaunan. Sementara dari Cirebon sendiri, banyak
simbol atau lambang dari tanah dan bebatuan. Pada akhirnya keduanya
bertemu dan disatukan, sehingga membentuk karakteristik tersendiri.
Perpaduan yang kemudian menjadi ciri khas dalam budaya Cirebon.
Itulah sebabnya berbagai bentuk lukisan karya seniman Cirebon selalu
disertai lambang Wadasan dan mega mendung.

Ciri lain dari Lukisan Rastika adalah hampir semua lukisan yang
dituang ke dalam keca, merupakan gambar wayang. Dia berceritera
secara visual tentang lakon wayang yang diambil dari pakem baku.
Kebanyakan lakon yang diambil dalam lukisannya dari kisah Baratayudha
dan Ramayana. Goresan cat di atas kaca itu, begitu kelihatan hidup
dan bisa "bercerita".

Barangkali, bagi orang yang kurang paham tentang dunia
pewayangan kurang bisa membaca lengkap makna lukisan Rastika.
Misalnya dalam lukisan Rastika yang mengisahkan Gugurnya Prabu
Salya. Dengan mengendarai Kereta berkuda Prabu Salya seperti
bergegas memasuki padang Kurusetra. Sementara di kanan kiri kuda
melaju, ikut berlarian berbagai mackhluk berwajah buruk, diantaranya
digambar dengan warna merah menyala.

Dari lukisan itu Rastika sepertinya ingin menyibak
keangkaramurkaan yang dibawa oleh Prabu Salya, untuk segera digilas
oleh kaum berbudi satria Pandawa. Dalam ceritanya walau Prabu Salya
berpihak pada kaum angkara Kurawa, tetapi pemihakan itu merupakan
upaya agar secepatnya angkaramurka Kurawa cepat musnah dari dari
muka bumi.

Kekuatan dan keteguhannya memasuki dua ciri sebagai lambang
alam dan Tuhan, tetap ia pertahankan dalam lukisan desain lain.
Diantaranya adalah lukisan yang disebut sebagai Baginda Ngali.
Bentuk visual yang bercerita tentang salah seorang kalifah sahabat
Nabi Muhammad SAW, bernama Ali bin Abi Tholib yang sedang menunggang
kuda.

Lukisan yang lebih tepat disebut kaligrafi ini, tetap dihiasi
wadasan dan mega mendung pada latar belakangnya. Demikian juga
untuk karyanya yang lain yaitu ukiran wayang, walaupun memenuhi
pesanan ciri itu tak ditinggalkan.

Rastika tak tahu karyanya ini masuk dalam kategori lukisan atau
bukan, walau jelas dia menggunakan cat dan kuwas. "Yang jelas ia
lebih suka disebut sebagai penyungging. "gambar di atas kanvas
namanya lukisan, gambar wayang di atas kaca disebut sunggingan,"
tuturnya polos.

Lukisan kaca dengan dasain wayang, seolah identik dengan
Cirebon, khususnya rastika. Dia dianggap pioner dunia lukis wayang
di atas kaca di Cirebon, yang mencoba menembus di luar daerah untuk
mendapat pengakuan. Tentunya dengan tetap mempertahankan ciri
tradisionalitas itu.

Maka tak terhitung beberapa kali Rastika memamerkan karyanya.
Sejak pertama kali pameran di ITB tahun 1977 hingga menjelajah ke
kota lain, termasuk di daerahnya sendiri Cirebon.

Rastika mulai melukis tahun 1960-an dengan corat-coret gambar
wayang masih di atas kertas. Tahun-tahun berikutnya mulai ada satu-
dua tetangga desanya tertarik dan pesan. Menyadari bahwa dia punya
potensi, ayah lima anak dengan dua cucu ini kemudian berusaha serius
pada bidang yang digelutinya, dan mulai menggambar di atas kaca.
Pertimbangannya, agar lukisan awet dan lebih terjaga.

Kemahirannya itu kemudian tercium pihak Depdukbud Cirebon. Dari
sinilah awal ketenaran Rastika dengan berbagai pameran yang
dilakukan. Namanya makin melejit sampai dia bisa berkesempatan
pameran di Bentara Budaya Jakarta dan Denpasar. Satu hal yang tak
bisa ia lupakan saat pameran di salah satu tempat di Jakarta, 60
lukisannya habis terjual.

Tahun 1969 Rastika pernah mendapat borongan dari Taman Mini
Indonesia Indah dan mendapat imbalan Rp 6 juta. Dari hasil lukisan
pula akhirnya Rastika mampu membangun rumah dan sanggar lukisan di
Desanya seluas 6X 5 meter yang menghabiskan dana Rp 5 juta tahun
1987. Khusus pembuatan sanggar itu, ia mendapat bantuan dari Martha
Tilaar.

Rastika sampai kini tetap tekun melukis disanggar desanya. Namun
dia tetap berharap satu saat memiliki sanggar lukisan di kota. Satu
obsesi lain dalam dirinya, satu saat nanti dia ingin berpemeran di
luar negeri.(Agus Mulyadi).

Foto: 1
Kompas/mul
"BHARATAYUDHA" - Rastika di depan salah satu karyanya, Karno Tanding,
salah satu kisah dalam Baratayudha.

Tidak ada komentar: