Jumat, 09 November 2007

Tari Topeng Cirebon, Gambaran Hidup Manusia

KOMPAS - Rabu, 19 Jun 1991 Halaman: 16 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 9702 Foto: 1

TARI TOPENG CIREBON, GAMBARAN HIDUP MANUSIA

PERAYAAN peringatan kemerdekaan Republik Indonesia, setiap
tanggal 17 Agustus, kadang memacu perorangan, instansi pemerintah
atau pihak swasta, dan sebagainya, dengan menampilkan berbagai
atraksi atau pameran, untuk ikut memeriahkannya. Maka tidak aneh
pula, agar partisipasi perayaan dianggap meriah dan memikat,
ditampilkan sesuatu yang dianggap ganjil. Sesuatu yang dianggap baru
dan benar-benar menarik perhatian.

Itu dilakukan pula oleh Kepala Desa Selangit, Kecamatan
Klangenan, Kabupaten Cirebon. Untuk memeriahkan dirgahayu Republik
ini, di desanya ditampilkan kesenian khas dari daerah itu, yakni
Tari Topeng. Tidak tanggung-tanggung, salah satu penarinya pun
seorang wanita bule. Agar diketahui dan dipuji penduduk
desa lain, kepala desa memerintahkan anak buahnya menyiarkan ke
desa-desa sekitar, menggunakan pengeras suara.

Ketika pertunjukkan berlangsung, penduduk Desa Selangit dan
desa-desa sekitarnya, terheran-heran melihat seorang wanita asing di
daerah mereka. Lebih membuat heran lagi, wanita asal Amerika Serikat
itu, mahir menarikan tari topeng babak demi babak.

PERISTIWA yang terjadi 1972 itu, menunjukkan betapa tarian salah
satu kekayaan budaya Indonesia ini, sebenarnya telah menggugah rasa
ingin tahu bangsa-bangsa lain. Sejak tahun itu, ke Desa Selangit
sering berdatangan calon penari atau penari betulan dari luar negeri,
terutama Amerika Serikat. Mereka datang baik sekadar menambah
pengetahuan, atau berguru dan berlatih langsung di desa itu.
Selesai mempelajarinya, pengetahuan luar dalam tarian tersebut,
dibawa jauh ke negara asal. Entah untuk dikembangkan ataupun lebih
diperdalam lagi. Atau mungkin juga diciptakan kreasi baru, dengan
segala improvisasi baru pula.

Penduduk Selangit, kini tidak lagi heran, jika kampung mereka
didatangi pria atau wanita kulit putih. Karena telah berkali-kali
desa yang terletak di pedalaman Kecamatan Klangenan, Kabupaten
Cirebon, didatangi "wong welanda-wong welanda" itu. Desa Selangit
memang salah satu pusat kesenian tradisional tersebut. Hingga tidak
aneh, apabila menarik para pemerhati Tari Topeng.

Desa ini memang dianggap sebagai tempat cikal bakal, pembawa
tarian tunggal tersebut ke daerah Cirebon. Diperkirakan, sejak jaman
para wali mengembangkan ajaran agama Islam dulu. Keturunannya masih
ada di Selangit, dan hingga kini tetap menekuni warisan budaya
leluhur ini.

Keturunan yang masih setia membawakan dan menekuni tari topeng
adalah sanak keluarga almarhum Ardja, yang tetap tinggal di desa
itu. Tiga orang anak kandungnya, sampai kini masih tetap setia
menggeluti, yakni Sudjaya, Sudjana, dan Keni. Bahkan keahlian menari
topeng, telah diwarisi sebagian dari anak-anak mereka.

KEAHLIAN membawakan tari topeng, telah membuat salah seorang di
antara tiga kakak beradik teresbut, yakni Sudjana Ardja
(55), mengunjungi manca negara. Sebagai salah seorang duta budaya
Indonesia ke negara Paman Sam, terakhir kali Sudjana berangkat 23
Februari 1991 lalu. Dia memperlihatkan keahlian yang dimiliki, di 11
kota yang dikunjungi, bersama adiknya Keni dan rombongan penabuh
gamelannya.

Ketika ditemui Kompas bulan puasa lalu, Sudjana Ardja sedang
termenung di kursi ruang tamu rumahnya. Alunan gamelan, terdengar
dari tape recorder di atas lemari kayu di bagian sudut ruang tamu
rumahnya,yang berukuran sekitar tiga kali empat meter. "Saya baru
saja mengajarkan salah satu babak tari topeng, kepada salah satu
anak saya yang masih duduk di kelas enam SD," ujar ayah 7 anak, 6
cucu, dari 4 istri tersebut.

Melatih anak sendiri agar mengerti dan menguasai tari topeng,
rupanya dianggap salah satu jalan yang dilakukan Pak Djana --
demikian panggilan akrabnya -- supaya kesenian khas itu tidak hilang
dan terus dilestarikan. Karena seperti penuturan dirinya, "Tari
Topeng Cirebon, merupakan salah satu dari sekian banyak jenis tari
yang mempunyai kekhasan tersendiri. Tari Topeng Cirebon terdiri dari
lima babak, yang berkaitan satu sama lain, dan melambangkan berbagai
karakter manusia."

Menurut Djana, lima babak dalam tarian ini terdiri atas, Tari
Panji, Samba, Rumyang, Patih/Tumenggung, dan Kelana. Jenis-jenis
tarian ini secara filsafati menggambarkan kehidupan manusia.
Tari Panji melambangkan penggambaran manusia yang dianggap
suci, dan seorang pemimpin yang adil, arif bijaksana dan menjalankan
perbuatan baik (amar maruf nahi munkar). Tari Samba menggambarkan
gemerlapnya keduniawian seperti harta kekayaan. Tari Rumyang,
melambangkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tari Patih
merupakan gambaran dari sikap kedisiplinan prajurit dan kepahlawanan
yang gagah berani. Tari Kelana, menggambarkan watak manusia serakah,
angkara murka, namun juga seorang pemimpin dengan memiliki
keduniawian sangat tangguh.

Waktu yang diperlukan untuk keseluruhan tarian ini, sekitar
lim jam. Dan agar tarian lebih hidup serta penarinya dapat menyatu,
diperlukan bermacam sesajian.

Namun kadangkala, pementasan seluruh babak yang komplit dengan
semua lakon tarian, terbentur masalah waktu. Hal itu dirasakannya,
ketika dia menjadi duta kesenian di Amerika Serikat tempo hari.
Karena sempitnya waktu, lima babak tarian itu dibawakannya dalam
waktu yang dipadatkan, sekitar satu jam.

Kesulitan lain membawakan tarian ini, murni lima babak dengan
komplit, dialami saat bersama kelompoknya mengisi pementasan di
tempat-tempat hajatan orang yang menggunakan kelompoknya. Atau pada
saat mengisi acara-acara resmi, baik di keraton-keraton di Cirebon
ataupun di instansi-instansi pemerintah.

Hanya sekadar untuk menarik perhatian, dan agar "tetap laku",
tarian babak-demi babak ini, diselingi dagelan dengan bodoran
Pertunjukan ini pun dilakukan kelompok-kelompok kesenian
yang sama lainnya. Alasannya sama, agar "tetap laku" dan ditonton.

ADA semacam "rasa gundah" dan "rasa menggugat", dalam diri
laki-laki berusia cukup lanjut ini. Perasaan yang timbul tentang
kelestarian kesenian tradisional khas Cirebon tersebut. Banyak
faktor memang, namun yang paling dirasakannya adalah perhatian dari
yang berkompeten, yang dirasakan masih kurang.

Salah satu di antaranya, ketiadaan sanggar seni yang cukup
representatif dalam upaya pembinaan. Khusus di tempat asalnya,
selama ini hany menggunakan sanggar darurat di teras rumahnya. Tidak
terlalu luas, hanya sekitar dua kali tiga meter, dengan penutup krei
bambu di salah satu sisinya. " Selain itu kami pun membutuhkan
seperangkat gamelan. Lho gimana mau lestari kesenian ini, jika
penunjangnya tidak memadai, "ujarnya balik bertanya.

Meski dengan peralatan dan tempat berlatih seadanya, namun karena
dorongan darah seni yang begitu lekat menyatu dalam dirinya, Sudjana
Ardja tetap tekun dan berupaya mendidik tunas-tunas muda penerusnya
kelak. Jiwa seni yang membuatnya tetap bertahan. Dan salah satu
upayanya, mendidik salah seorang anaknya yang berusia 12 tahun itu.

Sudjana sendiri, mulai menekuni kesenian ini sejak dia masih
seusia anaknya tersebut. Dia memulainya dengan ikut rombongan tari
topeng milik orang tuanya bersama salah seorang kakak dan adiknya,
Sudjaya dan Keni, yang keluar masuk kampung, memenuhi permintaan
orang-orang yang sedang punya hajat, baik khitanan atau pernikahan.
Kedua saudaranya itu, sampai saat ini masih pula aktif memenuhi
panggilan tarian topeng.

Dunia panggung tradisional tersebut, terus digeluti Djana
sampai sekarang. Tentu dengan pasang surutnya dunia pentas tarian
tradisional itu pula. Dunia yang juga membawa perjalanan laki-laki
berambut ikal, dengan sebagian gigi hitam kena asap rokok ini,
berkenalan dengan sekian banyak wanita. Empat orang di antaranya,
dijadikannya istri. "Saya rasa itu cukup. Istri saya terakhir yang
hidup serumah sekarang, akan saya jadikan pelabuhan terakhir rumah
tangga saya," tuturnya.

TARI Topeng sampai saat ini masih hidup dalam dunia seni
masyarakat Cirebon, dalam bentuk kelompok-kelompok kesenian yang
tumbuh di kampung-kampung. Terbanyak tetap di Desa Selangit, yang
dianggap sebagai tempat cikal bakal kesenian itu lahir.

Selebihnya kesenian ini menyebar pula ke Desa Gegesik, Kecamatan
Arjawinangun, Kabupaten Cirebon, yang dianggap masih punya pertalian
erat leluhur dengan Selangit. Dapat disebut pula kelompok-kelompok
kesenian itu di Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Kabupaten
Majalengka, Palimanan dan Jamblang, Kabupaten Cirebon. Dan ada satu
lagi di Losari, Kabupaten Cirebon. Namun di tempat terakhir ini,
tidak dikenal pementasan dalam babak demi babak, tetapi dalam bentuk
cerita.

Selain itu menurun Sudjana Ardja, Tari Topeng masih dilestarikan
lewat latihan di beberapa sanggar seni di kota Cirebon. Tidak
ketinggalan pula, Tari Topeng diajarkan di ASTI (Akademi Seni Tari
Bandung). Djana pun merupakan salah satu dosen panggil di akademi itu.

Meski diakuinya, kini hanya sebagai salah seorang penguji, yang
hanya datang sekali waktu bila diperlukan. Seperti halnya ketika dia
hanya diperlukan, sebagai salah seorang yang dianggap mampu
memperagakan serta menunjukkan bahwa Tari Topeng masih ada dan tetap
hidup. Menunjukkan bahwa tarian itu adalah salah satu peninggalan
kesenian tradisional di negara ini, yang perlu dilestarikan.
(agus mulyadi)

Foto:1
Kompas/mul
Sudjana Ardja

1 komentar:

Anonim mengatakan...

aku belum bisa bedakan antara topeng selangit dan dermayu mas, bisakah menunjukkan bedanya. ato mesti pake CD.