Jumat, 09 November 2007

Upaya Mewujudkan Cirebon Berintan

KOMPAS - Jumat, 06 Dec 1991 Halaman: 13 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 6813

UPAYA MEWUJUDKAN CIREBON BERINTAN

ANGIN timur yang bertiup dari arah laut, terasa lembut mengusap
kulit. Cukup untuk mengurangi rasa gerah yang kerap dirasa warga
atau orang-orang yang sedang berada di Kotamadya Cirebon. Rasa gerah
ini akrab dirasa, akibat teriknya matahari menyiram permukaan bumi
Cirebon. Apalagi pada musium kemarau, udara panas dan kering makin
menjadi. Suhu udara berada berkisar antara 24 - 33 derajat Celsius.

Letak geografis yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa,
membuat kota pesisir di timur laut Jawa Barat ini, selalu berudara
panas. Air kemudian menjadi momok penduduk, sebagai satu kebutuhan
rutin yang harus selalu terpenuhi. Beruntung bagi penduduk Kotamadya
Cirebon, meski air tanah di wilayahnya tidak mungkin mencukupi
kebutuhan mereka, PDAM setempat mampu menyediakannya.

Meski untuk itu, kebaikan daerah tetangganya yaitu Kabupaten
Kuningan tidak boleh dilupakan. Karena sumber air dari Paniis di
Kecamatan Mandirancan (Kuningan), merupakan sumber air utama yang
diolah PDAM setempat, sebelum dialirkan ke keran-keran air di rumah-
rumah penduduk.

Dan seperti pada daerah-daerah atau perkotaan di dataran rendah,
udara panas atau kurangnya air akibat hujan yang tak kunjung turun,
keadaan itu akan berubah sebaliknya manakala musim hujan tiba.
Banjir menjadi langganan. Baik akibat mampetnya saluran air yang
tersumbat, maupun memang karena kapasitas saluran yang tidak mampu
menampung air hujan.

DENGAN kondisi alam yang kurang menguntungkan terutama pada
musim hujan, Kotamadya Cirebon mengupayakan agar keadaan itu tidak
mengganggu kehidupan penduduknya. Untuk mengatasinya, dilakukan
perbaikan-perbaikan drainasi di dalam kota. Pokoknya air di dalam
saluran itu harus mengalir cepat di tempat pembuangan. Disadari,
aliran air terhambat akan menimbulkan banjir di dalam kota. Tercatat
curah hujan di kota ini mencapai 2.560 milimeter per tahun.
Melalui program CUDP (Cirebon Urban Development Project)
pada 1977, Cirebon mengatasi genangan-genangan air akibat
kiriman hujan.

Berbeda dengan program CUDP I (1977-1982) yang merupakan program
peningkatan kapasitas pelayanan air minum, program CUDP II mencakup
bidang lebih luas yakni sektor drainase, air limbah, dan persampahan.
Selain pelaksanaan fisik, CUDP II juga melaksanakan Program
Pengembangan Kelambagaan, Program Pengembangan Masyarakat, serta
Studi Pemantauan dan Dampak (SPD). Dengan program-program itu,
diharapkan pada saatnya nanti lembaga yang akan menangani hasil CUDP
II, telah siap dan mampu melakukan pengelolaan.

Masyarakat pun diharapkan secara aktif ikut berperan dalam
memelihara dan membangun bidang penyehatan lingkungan pemukiman.
Sedangkan dengan SPD, akan dapat diketahui keberhasilan serta
kekurangan pelaksanaan CUDP II, sehingga dapat diperbaiki pada
program CUDP II. Upaya itu semua dimaksudkan demi terwujudnya
Cirebon Berintan (Indah, Bersih, Tertib dan Aman).

DENGAN kondisi seperti itu, upaya Pemda Kotamadya Cirebon untuk
menata Kotanya menjadi lebih tertantang. Suatu upaya untuk memberikan
kenyamanan bagi warga Cirebon, dan pendatang dari daerah lain yang
setiap hari membanjiri Cirebon.

Seperti juga pada program CUDP I, pelaksanaan Program CUDP II
yang dimulai pada 1987 pun tidak lepas dari bantuan Pemerintah Swiss.
Besarnya bantuan untuk CUDP II sebesar 8,63 juta Franc Swiss,
dimaksudkan untuk membiayai pelaksanaan pada sektor drainase, air
limbah, persampahan, PPM dan SPED. Semua itu tercakup dalam bidang
Penyehatan Lingkungan Permukiman.

Selain berasal dari bantuan Swiss, CUDP II menyerap pula dana
dari PDN pemerintah pusat kepada Pemda Kotamadya Cirebon untuk sektor
persampahan dan sektor air limbah sebesar Rp 380 juta dan Rp 1.343
juta. Lainnya berasal dari DIP Ditjen Cipta Karya DPU untuk sektor
drainase dalam tahun anggaran 1987/1988 - 1989/1990 sebesar Rp
1.352.880.000. Bantuan APBD Jabar tahun 1987/1988 - 1990/1991
sebesar Rp 1.287.987.479. Serta penyertaan APBD Kotamadya Cirebon
tahun anggaran 1987/1988 - 1990/1991 sebesar Rp 720.000.000.

PELAKSANAAN program CUDP II pada akhirnya, dapat menangani
banjir pusat kota dan daerah pengaruh Kali Cipadu, dengan pembuatan
dan rehabilitasi saluran drainase sekunder dan primer pada daerah
pengaruh Kali Cipadu. Saluran drainase baru dibangun pula di Jalan
Karanggetas, Jalan Pasuketan dan sekitarnya. Rumah pompa baru pun
dibangun, dengan dilengkapi pemasangan pompa drainase berkapasitas
3.500 liter per detik.

Di sektor persampahan, penanganan dilaksanakan dengan membangun
TPA (Tempat pembuangan akhir) Grenjeng di selatan kota. Sasarannya,
70 persen sampah dapat dibuang di tempat ini. Ditambah dengan
pengadaan dump truk, kontainer, gerobak sampah.

Untuk air limbah dilakukan dengan membangun Kolam Oksidasi Taman
Ade Irma Suryani, seluas sekitar tempat empat hektar. Kolam ini
mampu mengolah 50 persen (61 liter per detik) kepasitas air limbah
pusat kota secara biologis. Pompa air limbah berkapasitas total
2.101 liter per detik pun dibangun Bersamaan pembangunan kantor air
limbah, dan bangunan laboratorium air limbah.

Rehabilitas jaringan air limbah peninggalan Belanda tahun 1920-
an dilakukan pula. Meskipun rehabilitas ini sempat tertunda, akibat
terlambatnya pengadaan alat pembersih saluran air limbah, dan
dialihkan ke Bridging Phase.

Upaya Pemda Kotamadya Cirebon melalui program CUDP-nya memang
bermanfaat bagi warga kota. Kenyamanan warga dan pendatang pun,
menjadi jaminan betahnya berada di kota ini.
Dampak langsung dari keberhasilan di bidang kebersihan, adalah
dengan diraihnya Penghargaan Adipura sebagai salah satu kota
terbersih di Indonesia pada 1991. Walikotamadya Cirebon, Drs.H.
Kumaedhi Syafrudin, menerima anugerah itu dari Presiden Soeharto di
Jakarta.

Upaya mewujudkan Cirebon Berintan, cukup beralasan. Kota ini
merupakan pusat wilayah III Cirebon, yang meliputi Kabupaten
Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Kuningan, dan Kabupaten
Majalengka, dengan sendirinya penduduk dari sekitar Kotamadya
Cirebon itu tumplek ke kota ini. Baik untuk mencari nafkah,
maupun mencari keperluan lain, karena Cirebon adalah pusat
perdagangan wilayah itu.

Seperti yang dikatakan Kumaedhi Syafrudin, "Kota Cirebon pada
malam hari hanya dihuni sekitar 250.000 jiwa penduduknya. Namun pada
siang hari, sekitar 1,5 juta jiwa orang berada di kota ini."
Pernyataan yang beralasan, dikaitkan dengan kondisi kota sebagai
pusat keresidenan. (agus mulyadi)

Tidak ada komentar: