Jumat, 09 November 2007

Sendraswatacana, Tandhange Sinatria Pamayung

KOMPAS - Rabu, 25 Sep 1991 Halaman: 12 Penulis: MUL Ukuran: 5167 Foto: 1

Sendraswatacana "Tandhane Sinatria Pamayung"
GAMBAR PENYEBARAN ISLAM di CIREBON

SEPASUKAN prajurit pilihan dari Kerajaan Pakuan Pajajaran
dipimpin Ki Bausasra, berserak tergeletak tak berdaya ketika
menyerang Dukuh Pekikiran di tanah Cerbon. Serangan usai adzan Subuh
untuk melumpuhkan para santri di pedukuhan itu, dilakukan untuk
memberi pelajaran terhadap masyarakat yang mulai memeluk agama
Islam, agama baru yang bukan agama wajib kerajaan.

Serangan itu ternyata tak mengusik ibadah para santri, bahkan
musuh tergeletak sendiri. Seusai sholat Subuh, mBah Kuwu Pangeran
Cakrabuwana yang memerintah Cerbon, dan Sunan Jati beserta Adipati
Keling datang bersamaan ke tempat prajurit berserakan. Dengan satu
isyarat gerakan tangan, mBah Kuwu membangkitkan mereka, atas izin
Allah. Ki Bausasra dan prajurit tersentuh, setelah mBah Kuwu
Cakrabuwana memberi wejangan. Tanpa paksaan, pasukan Pajajaran ini
membaca dua kalimat syahadat untuk memeluk Islam.

PENGGALAN cerita itu adalah salah satu bagian penting pagelaran
Sendraswatacana di panggung budaya Sunyaragi, Cirebon, Sabtu dan
Minggu malam. Pementasan sendratari kolosal yang melibatkan 300
orang aktor ini mengambil judul Tandhange Sinatria Pamayung, salah
satu cerita yang menggambarkan penyebaran agama Islam di Cirebon,
dengan latar panggung Goa Sunyaragi - goa obyek wisata peninggalan
sejarah yand dibangun 1703. Penggagas goa ini adalah seorang patih
Keraton Kasepuhan Cirebon, Pangeran Arya Cirebon.

Adegan Ki Bausasra beserta pasukannya tergeletak tiba-tiba,
seperti menggambarkan bagaimana proses pengislaman Cirebon itu
sendiri, sekaligus menjadi salah satu media dakwah untuk
membangkitkan kesadaran manusia akan datangnya agama baru guna
pemenuhan kebutuhan hidup.

Sendraswatacana disutradarai Handoyo MY, pemeran utama Ki
Bausasra, melibatkan pemain yang terdiri dari pelajar dan mahasiswa
yang tergabung dalam Sanggar Pringgadani, Plumbon (Cirebon).
Setelah pembukaan dua jenis tari topeng Cirebon, cerita dimulai
dengan visualisasi bala pasukan putera dan puteri Kerajaan Pakuan
Pajajaran. Disusul warga santri penyingkiran, dengan kaum wanitanya
berpakaian kerudung.

Setelah Prabu Siliwangi melihat "sinar terang" dari Pekikiran,
dengan masuknya Islam, Ki Bausasra diperintahkan menggempurnya
bersama prajurit pilihan. Ki Babadan yang diajak Ki Bausasra
membantunya menggempur Pekikiran, muncul sebagai mata-mata pada saat
prajurit takluk masuk Islam, lebih menghidupkan lakon.

Sesudah itu, alur cerita berubah. Muncul prajurit Islam wanita
Wira Pertiwi dipimpin Nyai Mas Gandasari, salah seorang tokoh wanita
yang berperan penting dalam penyebaran Islam di Cirebon. Kemudian
disusul munculnya Arya Kemuning yang bercakap dengan Gandasari.
Mulai adegan ini, peran Ki Bausasra yang menjadi inti cerita, kurang
terlihat. Sayang.

Adegan berikut, tampil pasukan wanita Pajajaran dipimpin
Cakrawati yang disusul perang tanding melawan pasukan Gandasari
diseling adu kemampuan antardua pimpinan. Perang tanding pun
berlanjut antara Arya Kemuning dengan Cakraningrat dari Pajajaran,
serta adu tanding antara Ki Gede Bungko dari Cerbon melawan Kibun.

Melihat adegan-adegan itu, sebenarnya mengaburkan peranan Ki
Bausasra sendiri, dan alur cerita pun terasa tidak nyambung. Padahal
judul sendraswatacana Tandhange punya arti harafiah penampilan.

Seperti dituturkan TD Sudjana, penulis skenario, pagelaran lebih
dipusatkan pada pemunculan peran Ki Bausasra dalam penyebaran Islam
di Cirebon. Akibatnya, peran Ki Bausasra yang karena kemampuannya,
membuat dia dianugerahi gelar Sang Pamayung; sekaligus memperoleh
kehormatan menerima payung pusaka, selempang kuning dan keris.

Keinginan menonjolkan satu tokoh ini, tergambar pula pada
judulnya. Pamayung menurut Sudjana, berarti sebagai seorang kesatria
terdekat, layaknya asisten pribadi. Hal ini memperjelas bagaimana
peran Ki Bausasra sebagai orang terdekat Sunan Jati, salah seorang
Wali Sanga dalam penyebaran Islam.

MESKI demikian, pagelaran kolosal sebagai tontonan, memang
cukup menghibur. Handoyo juga berani menampilkan Telik Sandi (mata-
mata) dari Kerajaan Cerbon dalam entuk empat orang banci. Penampilan
mereka, bak goro-goro dalam wayang, yang selalu menggugah penonton
dengan lelucon-leluconnya yang segar.

Meski dikaburkan pemunculan tokoh-tokoh lain, toh sosok Ki
Bausasra tidak lenyap begitu saja. Pada adegan-adegan terakhir,
kembali dimunculkan Ki Bausasra dengan Prajurit Panyutra, disusul
ketika dia mengalahkan pasukan puteri Cakrawati. Dan kemenangan Ki
Bausasra ini divisualisasikan dengan tari payung tiga tingkat.

Payung yang menurut Ketua Umum Yayasan Budaya Sunyaragi, Drs Subrata
kepada Kompas , mempunyai arti amayungi (melindungi), anauladani
(meneladani), dan amadangi (menerangi). (mul)

Foto: 1
Ign Haryanto
WEJANGAN - Ki Bausasra menerima wejangan mBah Kuwu Pangeran
Cakrabuwana, Sunan Jati dan Adipati Keling.

Tidak ada komentar: