Jumat, 09 November 2007

Sungai Kadang Tak Bisa Kompromi

KOMPAS - Jumat, 20 Jan 1995 Halaman: 1 Penulis: HARIJONO, TRY/GUNAWAN, TJAHJA/MULYADI, AGUS/WINARTO HS/BUDIDARMA Ukuran: 8781
Banjir akan Senantiasa Datang...(1)
SUNGAI KADANG TAK BISA KOMPROMI
Pengantar: Beberapa daerah di Pulau Jawa, sampai saat ini masih rawan
banjir. Walaupun berbagai upaya penanggulangan sudah dilakukan,
nyatanya belum membuahkan hasil yang maksimal. Untuk menggambarkan
karakteristik banjir, peta dan upaya penanggulangannya, wartawan
Kompas Try Harijono, Tjahja Gunawan, Agus Mulyadi, Winarto HS, AR
Budidarma, dan Suprapto, melaporkannya dalam dua tulisan yang mulai
disajikan hari ini.
WILAYAH tengah dan utara Pulau Jawa, sampai kini tetap
merupakan daerah yang rawan banjir. Datang dan besarnya banjir,
memang tidak bisa dipastikan. Tetapi banjir bisa saja datang setiap
saat, melanda kota serta menyergap penduduk yang bermukim di sekitar
sungai-sungai besar.
Beberapa sungai di Jawa memang berpotensi menimbulkan banjir.
Sebut saja misalnya Sungai Bengawan Solo yang melintasi Jawa Tengah
dan Jawa Timur, Sungai Citarum dan Sungai Cimanuk di Jawa Barat,
serta Sungai Jragung, Lusi dan Sungai Juwana di pesisir utara Jawa
Tengah.
Bengawan Solo selama ini merupakan sungai yang daerah genangan
banjirnya paling luas dibandingkan sungai-sungai lainnya, yakni
sekitar 158.000 hektar. Luas ini lebih dari 150 kali daerah genangan
banjir Sungai Citarum di Jabar yang "hanya" 900 hektar.
Bisa dimaklumi sedemikian luasnya daerah genangan banjir
Bengawan Solo karena sungai terbesar di Jawa yang panjang alurnya
600 kilometer ini, melintasi 15 kotamadya dan kabupaten di Propinsi
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jika terjadi banjir, sekitar 1,3 juta
penduduk terancam tergenang air Bengawan Solo, atau hampir sama
dengan jumlah penduduk sebuah kota besar. Tiga kota "terparah" yang
hampir setiap tahun diamuk Bengawan Solo adalah Bojonegoro, Lamongan
dan Tuban di Jawa Timur.
Tetapi tentu bukan hanya penduduk kota-kota itu saja yang
menderita akibat terjadinya banjir. Pada banjir Maret 1994 misalnya,
Bengawan Solo menggenangi areal seluas 30.000 hektar dan memutuskan
lalu lintas jalan-propinsi Babat-Tuban, Cepu-Bojonegoro dan jalan-
kabupaten Lamongan-Tuban. Kegiatan ekonomi kota-kota sekitarnya,
dengan sendirinya terputus. Tetapi yang lebih mengenaskan lagi,
sembilan orang tewas menjadi korban keganasan Bengawan Solo.
***
MENURUT Pemimpin Sub Proyek Wilayah III, Proyek Pengelolaan
Sumber Air dan Pengendalian Banjir Bengawan Solo, Ir Adang Syah
Ahmad CES, banjir yang terjadi di Bengawan Solo hilir disebabkan
kapasitas alur sungai relatif kecil dibandingkan debit air. Di
samping itu sepanjang alur Bengawan Solo terjadi erosi cukup tinggi,
kemiringan dasar sungai sangat landai, serta banyaknya anak-anak
sungai.
Sementara itu, kendati selama ini aliran Sungai Brantas di
Jatim relatif terkendali dan tidak sampai menimbulkan banjir,
ancaman banjir masih tetap ada. Diperkirakan banjir 50 tahunan akan
menggenangi daerah aliran sungai (DAS) Brantas tahun ini. Wilayah
DAS Brantas, terdiri atas Kabupaten/Kodya Malang, Mojokerto,
Surabaya, Tulungagung, Kediri, Nganjuk, dan Blitar.
Menyusuri ke arah barat Pulau Jawa, Kabupaten Demak, Grobogan,
Kudus dan Pati merupakan empat kabupaten di Jawa Tengah yang sampai
saat ini masih tercatat sebagai daerah potensial dilanda banjir
rutin. Selain letak kotanya yang rendah, sungai-sungai yang
melintasi kota itu belum seluruhnya dinormalisasi.
Memang PU (Pekerjaan Umum) Pengairan Jawa Tengah sudah
membentuk Proyek Jratunseluna, proyek yang mengambil nama sungai-
sungai yang harus dibenahi yakni Jragung, Tuntang, Serang, Lusi dan
Juwana. Namun normalisasi sungai belum seluruhnya selesai.
Karena itu jika melihat kondisi tanggul Kali Tuntang, Serang,
Lusi, Juwana dan sungai-sungai kecil lain seperti Kali Cabean, Setu,
Wulan, Glugu dan Kali Jajar, maka masih memungkinkan sekali wilayah
Demak, Grobogan, Kudus dan Pati tetap dilanda banjir tahunan.
Khususnya Demak yang paling potensial.
Sementara itu di pesisir utara perbatasan Jawa Tengah dan Jawa
Barat, Kabupaten Brebes sampai saat ini masih dikenal sebagai daerah
langganan banjir paling rutin untuk wilayah se-karesidenan
Pekalongan. Hampir 40 persen wilayah kabupaten seluas 166.063 hektar
ini, potensial terlanda banjir.
Seolah banjir menjadi ciri yang melekat di Kabupaten Brebes.
Nama Brebes saja, sudah memberikan arti legenda bahwa sebagian
wilayah kabupaten ini mengandung air (brebes artinya mengalir, walau
ada yang mengartikan brebes dari kata brebes mili, menangis, karena
mata tak tahan terhadap bawang merah yang banyak ditanam di situ).
Sumber bencana banjir yang rutin di Kabupaten Brebes itu masih
seputar tiga aliran kali yang membelah wilayah ini yakni Sungai
Pemali sepanjang 125 kilometer, Kali Babakan, Kali Kabuyutan, dan
limpahan Kali Cisanggarung di daerah perbatasan Kabupaten Brebes
dengan Kabupaten Cirebon Jawa Barat.
Banjir akibat meluapnya Kali Babakan dan Kali Kabuyutan, sering
mengancam rentangan jalan rel kereta api wilayah lintas utara Pulau
Jawa. Dua jembatan rel kereta api yang melintasi kedua kali ini
sering kali terendam saat arus air meninggi pada waktu-waktu
tertentu. Hal ini menyebabkan gangguan pada sejumlah perjalanan
kereta api, baik dari Jakarta ke Semarang - Surabaya maupun
sebaliknya.
Secara umum, kerugian akibat banjir yang terjadi setiap tahun
itu bagi penduduk setempat tidak begitu banyak. "Lebih lagi, hampir
seluruh daerah aliran Sungai Pemali bebas dari kawasan permukiman
penduduk sehingga korban jiwa manusia jarang sekali terjadi," kata
Suparno, staf Dinas Pengairan Pemali Hilir di Brebes.
Proyek penanggulangan banjir Sungai Pemali, dimulai tahun 1987.
Proyek ini memang cukup mengurangi banjir, tetapi belum membebaskan
seluruh daerah yang rawan banjir. Banjir yang terjadi saat ini masih
terus barlangsung tetapi sudah berkurang tingkat bahayanya. Yang
paling utama, bencana banjir tidak sampai menelan korban jiwa.
***
DAERAH perbatasan Jateng dan Jabar, juga tak lepas dari
kerawanan banjir diakibatkan meluapnya Kali Cisanggarung yang daerah
hulunya di Kabupaten Cirebon. Kali Cisanggarung sepanjang 13,5
kilometer ini dijuluki "Si Pendek yang Ganas" . Maknanya, sungai ini
sebenarnya tidak banyak melewati kawasan karena memang panjangnya
tidak seberapa. Namun sering menyebabkan banjir di bagian hilir.
Daerah yang sering tergenang banjir adalah delapan desa di Kecamatan
Losari, yakni Desa Dukuhwidara, Astana Langgar, Pesuruhan, Losari
Kidul, Losari Lor, Tawangsari, Kalirahayu, Mulyosari, dan Desa
Barisan. Sedikitnya 77.000 jiwa atau 12.000 kepala keluarga,
terancam banjir tahunan akibat mengamuknya Sungai Cisanggarung.
Sementara itu di Jawa Barat bagian timur, banjir sering terjadi
di sekitar Cirebon, terutama akibat mengamuknya Sungai Cimanuk.
Menurut Pimpro Pengembangan Wilayah Sungai (PWS) Cimanuk-
Cisanggarung, Ir Soeradji, di sepanjang Sungai Cimanuk, kini
terdapat 47 lokasi tanggul kritis yang mengancam 21 wilayah di
Kabupaten Majalengka dan Sumedang.
Daerah rawan banjir akibat tanggul kritis ini di Kabupaten
Sumedang antara lain di Blok Gunem, Cadasngampar serta Blok Benteng
dan Kokoncong di Tomo. Sedangkan di Kabupaten Majalengka meliputi di
Blok Cinanggak, Karanganyar dan Galonggong Dawuan, serta Kertajati.
Sedangkan di Cirebon serta Indramayu, terjadinya banjir sedikit
berbeda. Selain karena tanggul jebol di beberapa lokasi, di bagian
hilir sungai sebagian saluran air tertutup tambak. Akibatnya air
sungai menggenangi sebagian kota Indramayu dan Cirebon.
Di Bandung, banjir disebabkan karena meluapnya Sungai Citarum.
Daerah genangan banjir sungai ini sekitar 900 hektar yang semuanya
terletak di Bandung Selatan, terutama daerah-daerah yang berdekatan
dengan alur Sungai Citarum seperti Kecamatan Bojongsoang,
Dayeuhkolot, Majalaya dan Baleendah.
Banjir akibat meluapnya sungai yang berhulu di Gunung Wayang
(2.182 meter) ini Januari 1994 lalu menggenangi lahan seluas 7.200
hektar di 12 kecamatan. Tetapi seperti banjir-banjir sebelumnya,
banjir akibat meluapnya Sungai Citarum tidak pernah memutuskan
hubungan lalu lintas antarpropinsi. Banjir hanya menyebabkan lalu
lintas lokal terputus, namun tahun 1994 lalu sempat menewaskan tiga
orang penduduk.
Karena itu melihat banyaknya dampak yang ditimbulkan banjir,
sudah selayaknya kewaspadaan ditinggkatkan terutama pada musim
penghujan seperti sekarang ini. Bukankah peristiwa buruk yang
terjadi beberapa waktu lalu itu tidak ingin terulang kembali? **

Tidak ada komentar: