Jumat, 09 November 2007

Menjaring Jodoh di Pinggir Jalan Utara Jawa

KOMPAS - Jumat, 03 Feb 1995 Halaman: 9 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 8209
MENJARING JODOH DI PINGGIR
JALAN UTARA PULAU JAWA
ANDA boleh percaya boleh tidak. Kakek Caya yang berumur sekitar
65 tahun telah 12 kali mendapatkan jodoh (istri) dari pinggir jalan
raya. Jodohnya bukan wanita-wanita yang sedang menunggu kendaraan
umum. Mereka juga bukan wanita-wanita tersasar atau kebingungan di
pinggir jalan, yang begitu saja mau diajak menjadi istri Caya.
SEMUA itu berdasarkan kesengajaan semata-mata. Caya sengaja
mencari istri. Wanita-wanita itu pun sengaja berdiri di pinggir
jalan untuk mendapatkan suami. "Lamaran" pun diajukan di pinggir
jalan raya yang padat lalu lintas kendaraan.
Memang Caya tidak sekaligus melamar dan memperistri ke-12
wanita itu dalam waktu bersamaan. Setiap kali, setelah bercerai
dengan istri terdahulu, ia segera mencari jodoh baru di jaringan
Kandanghaur (sekitar 170 km timur Jakarta atau 40 km barat kota
Indramayu, Jawa Barat). Ini memang merupakan tradisi setempat yang
mirip dengan "pasar jodoh". Kandanghaur lantas menjadi arena mencari
pasangan hidup bagi bujangan, gadis, janda, atau duda setempat.
Memang tidak semua penduduk setempat mendapatkan jodoh di
jaringan. Kalau si jantung hati ditemukan di daerah lain, bukanlah
tidak mungkin mereka menikah. Demikian pula halnya dengan kakek
Caya, penduduk Desa Bulak, Kandanghaur ini, tak kurang dari lima
orang istri lainnya didapatkan ketika dia bertualang ke daerah lain.
"Dari 17 istri saya, sebanyak 12 orang di antaranya saya
dapatkan di jaringan," kata pria yang berputra lima orang anak dan
beberapa cucu ini.
***
PERBURUAN jodoh dan berganti-ganti pasangan hidup ini dilakukan
Caya ketika masih berusia muda. Paling tidak ia telah mengawali
perburuan sejak berusia belasan pada tahun 1950-an.
Tak heran kalau akibat kegemarannya gonta-ganti istri, beberapa
perkawinannya hanya berlangsung sekitar beberapa bulan. Bahkan ada
perkawinan yang cuma bertahan tiga bulan. Ada saja pembenaran yang
dimilikinya, "Saya sampai beristri beberapa kali, semata-mata hanya
untuk mencari pasangan hidup yang cocok." Karena jodoh yang cocok
itu berkali-kali gagal didapatkan, Caya pun terus berusaha sampai
dia menemukan jodoh terakhirnya.
Kasus Caya bukan yang terunik. Berganti-ganti pasangan hidup --
dengan mendapatkannya di jaringan -- dilakukan pula oleh sejumlah
pria lain. Mereka yang seusia Caya atau yang lebih muda pun menggaet
istri di tempat mejeng kawula muda tersebut.
Kasrim yang sebaya dengan Caya, misalnya, telah lima kali
beristri, yang semuanya diperolehnya dari jaringan. "Orang di sini
waktu kami muda dulu rata-rata mendapatkan jodoh dari jaringan,"
ujar Kasrim yang berputra lima orang ini.
Namun di Kandanghaur tidak semua orang lantas menjadi suka
kawin cerai. Kasiman (50), misalnya, hanya dua kali menikah dan
mendapatkan pasangan hidupnya di "pasar jodoh". Sedangkan Okim dan
Sakim (usianya sekitar 50-an tahun) masing-masing hanya punya istri
satu yang didapat dari jaringan. Karena cocok dengan wanita
pilihannya -- yang juga sama-sama ikut tradisi itu -- kelanggengan
perkawinan mereka bertahan sampai anak cucu muncul.
***
TRADISI jaringan sudah berusia entah berapa ratus tahun.
Sejumlah orang tua yang ditemui itu semua mengaku tidak tahu pasti
awal mula "pasar jodoh" itu. Demikian pula halnya Sakim, Kepala
Urusan Kesejahteraan Rakyat Desa Bulak, yang dianggap tahu ihwal
awal terjadinya perburuan jodoh. Para kakek ini hanya mendengar dari
cerita-cerita ayah atau kakek mereka.
Cerita turun-temurun yang dipercaya penduduk setempat adalah
sebagai berikut. Perburuan jodoh bermula dari acara kumpul-kumpul
kaum muda beberapa abad lalu -- bahkan diperkirakan sebelum masa
pendudukan Belanda -- yang berlanjut hingga sekarang ini.
Ketika itu musim kemarau sangat berat, sehingga penduduk
setempat kekurangan air bersih. Seluruh sumur, mata air, dan saluran
kering-kerontang. Beruntung, salah satu sumur di kawasan itu masih
mengeluarkan air, sehingga berbondong-bondonglah penduduk setempat
datang ke tempat itu sambil membawa buyung (semacam gentong kecil).
Namun karena banyaknya penduduk yang butuh air di sumur -- yang
terkenal dengan nama "sumur temenggung" -- itu, antrian bisa
berlangsung terus sampai malam. "Yang antri air termasuk pula pria
wanita yang masih bujang dan gadis. Sambil antri, mereka saling
berkenalan dan mengobrol," kata Sakim.
Tak heran kalau di antara yang mengantri lama-kelamaan timbul
keakraban. Bahkan, tak jarang di antara mereka yang menemukan jodoh.
Mungkin karena terbiasa antri dan bercengkrama pada malam hari,
kebiasaan itu kemudian sulit dihilangkan. Ketika kemarau telah
lewat, dan tidak ada lagi acara antri air, muda mudi itu pun
berkumpul mejeng, meski tidak tiap malam. Dalam sebulan, acara
jaringan biasa digelar saat bulan purnama.
Para orangtua melihat kegiatan itu sebagai sesuatu yang
positif. Paling tidak karena saling bertemu, kenal, dan ngobrol-
ngobrol, anak perjaka dan gadis mereka ketemu jodohnya. Janda dan
duda pun tidak ketinggalan turut serta, mencari jodohnya lagi.
Acara itu pun akhirnya menjadi tradisi, dan penduduk setempat
menyebutnya sebagai jaringan. Bagi penduduk sekitar Kandanghaur,
kata itu berkonotasi menjaring jodoh.
Padahal asal kata jaringan itu sendiri, menurut Sakim, tidak
berarti menjaring, seperti halnya menjaring ikan atau burung. Nama
jaringan menjadi dikenal, karena wanita yang hadir semuanya memakai
kemben (kain batik yang dililitkan sebatas dada).
Jika sang pria tertarik, dia juga akan melingkarkan kemben ke
tubuh wanita pemakainya. Itu semacam isyarat bahwa sang pria
tertarik, sehingga terjadilah perkenalan antara dua sejoli itu.
"Kalau pria dan wanita tadi sudah suka sama suka, si pria akan
mengantar wanita pulang. Sesampainya di rumah, si wanita kemudian
menyuguhi kendi berisi air dan sebuah gelas. Itu merupakan isyarat
bahwa dia menerima si pria, meski kemudian dia tidak lagi menemani
pria di rumahnya," kata Sakim.
Kalau sudah sampai ke tahap itu, si pria akan memberitahu
orangtuanya bahwa dia tertarik dengan wanita pilihannya. Urusan
selanjutnya -- seperti lamaran sampai penetapan hari pernikahan --
dilakukan oleh orangtua pria. Pernikahan pun terjadi beberapa waktu
berikutnya, sesuai kesepakatan dua keluarga. Begitu mudah dan
cepatnya.
***
NAMUN tidak semua pernikahan -- yang proses awalnya berlangsung
singkat itu -- itu terus berlangsung kekal. Sebagian kandas, meski
usia rumah tangga baru seumur jagung.
Seiring perjalanan waktu, tradisi jaringan itu sendiri sedikit
demi sedikit berubah bentuk. "Dahulu ketika saya masih muda dan
sering ikut jaringan, dapat dibedakan antara mana yang gadis dan
mana yang janda," kata Kasrim. Sehingga, tidak mungkin seorang
jejaka salah "menjatuhkan hati".
Perbedaan janda dan gadis antara lain ditandai dengan perbedaan
warna dan bentuk pakaian. Biasanya yang janda mengenakan kain
kebaya, sedangkan para gadis memakai baju kurung. Kalau gadis-gadis
menggunakan baju kurung merah, maka jandanya mengenakan kebaya
hijau.
Tapi itu kisah lama. Sejak beberapa tahun terakhir, setelah
aneka model baju dijajakan sampai ke kaki lima, pakaian peserta
jaringan iku beragam. Tidak ada lagi baju kebaya, baju kurung atau
warna seragam. Semuanya bebas. Mau pakai celana jins, rok mini, rok
panjang, atau kaos ketat sekali pun tak ada masalah. Baik janda,
gadis, duda, ataupun jejaka berhak tampil sesuka hati.
Jaringan pun tidak cuma berlangsung pada malam bulan purnama.
Ia menjadi kegiatan rutin di malam hari. Bahkan, tradisi itu
sekarang tak ubahnya acara ngeceng kaum muda. Meski fungsinya tetap
untuk mencari jodoh, tradisi itu mulai sedikit bergeser dari awalnya
dahulu. Suka sama suka dan memadu cinta tanpa dilanjutkan ke jenjang
pernikahan, sudah bukan sesuatu yang aneh lagi. Jaringan memang
telah mulai berubah. (Agus Mulyadi)

Tidak ada komentar: