Senin, 12 November 2007

Sukareja Diemohi Warganya Sendiri

KOMPAS - Jumat, 05 Aug 1994 Halaman: 9 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 8148
SUKAREJA "DIEMOHI" WARGANYA SENDIRI
INI mungkin antitesa. Proyek pembangunan yang terpaksa
membebaskan areal tanah milik penduduk harus selalu berhadapan
dengan sikap keras yang menentang. Cerita yang umum di mana-mana,
penduduk cenderung berkeras menolak lahan miliknya dibebaskan, dan
biasanya menyangkut jumlah ganti rugi yang dianggap tak sepadan.
Tetapi tak demikian yang terjadi pada Sukareja, kawasan proyek
Exor I milik Pertamina, di daerah Kabupaten Indramayu (Jabar). Warga
setempat di Desa Sukareja, Kecamatan Balongan, justru terkesan
mengemohi (menolak) kampung halamannya sendiri. Sebagian penduduk
justru menginginkan agar desa mereka "dibebaskan" untuk kepentingan
megaproyek Kilang Minyak Exor I.
Pembebasan areal di Sukareja diputuskan, terutama karena
penduduk merasa terganggu akibat keberadaan kilang minyak Exor I
milik Pertamina. Pembangunan proyek kilang minyak itu telah
menyebabkan Desa Sukareja menjadi satu yang terpencil, dan seolah
terputus dari desa-desa sekitarnya.
Sekarang tak ada lagi jalan (besar) menuju ke Desa Sukareja,
karena itu tak ada kendaraan umum yang menuju ke sana. Akibatnya,
penduduk setempat terpaksa mencari jalan lain, bila harus menuju ke
Cirebon atau Indramayu, memutar sekitar satu km di sebelah barat.
Memaksa dibebaskan
Alasan gangguan dan keterpencilan, rupanya tidak cukup kuat
menggugah pihak Proyek Exor I agar membebaskan Desa Sukareja. Pihak
proyek terkesan tidak membutuhkan areal pemukiman penduduk yang
terletak persis berdampingan dengan kompleks kilang minyak itu.
Proyek Exor I memang masih mempunyai lahan luas di sisi selatan
lokasi kilang yang sudah dibangun. "Kami punya areal luas yang masih
kosong. Jadi untuk apa Exor I membebaskan lagi areal baru," kata
Kahumas Exor I, Adrin Umar.
Bagi penduduk Sukareja, dengan sejumlah alasan, merasa "punya
hak untuk dipindahkan". Menurut penduduk, desa mereka harus
dibebaskan dengan harga sesuai keinginan penduduk, Rp 200.000/m2.
Berbagai perundingan yang melibatkan Pemda Indramayu, Proyek Exor I
dan penduduk Sukareja telah dilakukan guna mencari titik temu
kesepakatan harga pembebasan tanah.
Kata Kahumas Exor I, pihak proyek siap dengan dana pembebasan
Sukareja, kalau memang itu yang dikehendaki warga setempat. Namun
harga ganti rugi yang ditawarkan kepada penduduk tak beranjak jauh
dari Rp 20.000/m2, setelah sebelumnya hanya Rp 17.500/m2.
Rasanya sulit dicari titik temu mengingat harga antara yang
ditawarkan pihak proyek (Rp 20.000) dengan tuntuan penduduk (Rp
200.000) terlalu jauh. Karena itu angan-angan penduduk agar areal
desanya dibebaskan dengan cara bedol desa, mustahil terlaksana.
Keinginan penduduk agar desanya dibebaskan seolah
mengisyaratkan sikap menolak terhadap kampung halamannya sendiri.
Mereka lebih suka meninggalkan desanya, dengan membawa segepok
rupiah, untuk mencari lahan baru serta mata pencaharian baru.
Kehilangan
Sebagian penduduk Sukareja terpaksa harus kehilangan mata
pencaharian mereka, terutama yang hidup sebagai petani dan nelayan.
Menyusul lahan pertanian mereka yang dibebaskan untuk lokasi proyek
kilang minyak Exor I. Sebagian nelayan juga terpaksa menghentikan
kegiatannya, karena perairan laut sekitar Exor I, seperti diharamkan
untuk dilalui perahu nelayan.
Penduduk yang kehilangan mata pencaharian ini sekarang seolah
tak punya peluang lagi untuk menjalani mata pencahariannya semula
setelah proyek hampir rampung. Di antara mereka dulu mungkin ada
yang pernah menjadi pekerja proyek saat pembangunan berlangsung,
namun kini kesempatan itu sudah tertutup.
Sejak beroperasi, kilang minyak Exor I kini lebih mengandalkan
tenaga terlatih untuk mengoperasikan kilang minyak. Tidak lagi
menggunakan buruh-buruh kasar seperti yang berasal dari penduduk
Sukareja atau daerah lain sekitarnya. Kini mereka hanya bisa menjadi
penonton, dan tak bisa ikut merasakan nikmatnya proyek.
Mungkin lantaran semua itu, mendorong sebagian besar penduduk
Sukareja memilih pindah ke daerah lain. Pikir mereka, ketimbang
sakit hati karena tidak dapat bekerja di proyek yang ada di depan
hidung mereka. Daripada kecemburuan semakin membengkak, dan mungkin
bakal menimbulkan dampak yang lebih buruk.
Keinginan untuk pindah ke lokasi pemukiman di desa lain,
menggumpal dalam lubuk hati sebagian besar warga. Itu tercermin dari
jawaban penduduk, ketika pihak Kecamatan Balongan mengedarkan
kuesioner kepada penduduk.
Pemda Indramayu sendiri merencanakan satu lokasi, untuk
permukiman baru penduduk Sukareja yang bedol desa di Desa Rawadalem,
Kecamatan Balongan. Alternatif lain, penduduk memilih sendiri tempat
tinggal baru yang mereka sukai.
Masih cinta
Betapapun sebenarnya warga masih memiliki rasa cinta terhadap
desa tumpah darah mereka. Seperti dilontarkan sejumlah penduduk yang
tinggal di sekitar Balai Desa Sukareja, mereka mau pindah asal
mendapat bayaran ganti rugi memadai. Mereka berharap ganti rugi
cukup tinggi, untuk bekal hidup baru di tempat lain.
Tentang usulan besarnya ganti rugi yang diajukan penduduk,
mereka anggap sebagai hal yang wajar. Salah satunya, karena harga
tanah di sekitar lokasi Exor I sudah melambung.
Sejumlah penduduk yang kini terpaksa bermatapencaharian mencari
nener dan benur di pantai menyebutkan, mereka tidak mengerti mengapa
harga yang diajukan Exor I hanya Rp 20.000/m2. "Kalau ganti ruginya
tidak besar, lebih baik kami tetap tinggal di sini," kata penduduk.
Bila pembebasan lahan di Sukareja terjadi, itu merupakan nasib
buruk bagi mereka. Dewasa ini sebagian penduduk telah kehilangan
mata pencahariannya. Desa mereka pun menjadi terpencil. Hidup mereka
niscaya tidka damai lagi sejak Exor I beroperasi, mengingat lokasi
Sukareja amat berdekatan dengan kilang minyak itu.
Penjualan bengkok
Kehidupan di Sukareja hari-hari ini tampak lesu. Sejumlah
penduduk kini kerjanya hanya duduk-duduk di depan rumah mereka.
Kesan serupa bisa disaksikan di kantor kelurahan setempat. Kepala
Desa dan perangkatnya seringkali tak ada di tempat. Kondisi seperti
itu terjadi sejak beberapa bulan setelah dimulainya pembangunan
proyek Exor I tahun 1991 lalu.
Dari kalangan penduduk, Kompas memperoleh keterangan, alasan
kemalasan aparat desa untuk ngantor karena menyangkut sumber
penghasilan, berupa tanah bengkok seluas 21 ha yang telah dibebaskan
untuk proyek. Selain tanah bengkok, dibebaskan pula tanah titisara
milik desa, tanah pangonan dan tanah timbul seluas 17 ha.
Seluruh areal tanah milik desa/negara yang dibebaskan 38 ha.
Beberapa aparat desa yang dihubungi Kompas menerangkan, kini sudah
ada tanah bengkok pengganti yang luasnya sama dengan tanah yang
dibebaskan, sedang lokasinya tersebar.
Tetapi penduduk belum percaya, karena sulit membuktikan lokasi
bengkok yang baru. Apalagi aparat desa tidak pernah menggarap
sendiri tanah bengkok mereka, karena sistemnya disewakan kepada
orang lain untuk dikerjakan, sedang dia hanya menerima sewa.
Selain kurang jelas soal tanah bengkok yang baru, penduduk juga
sama sekali tak paham tentang sisa hasil penjualan tanah milik desa.
Berdasar perhitungan hasil ganti rugi 38 ha tanah desa/negara saat
pembebasan yang mencapai sekitar Rp 1,7 milyar (dihargai Rp
4.750/m2), diduga ada kelebihan uang hasil ganti rugi cukup besar.
Kelebihan itu berasal dari sisa uang yang dibelikan untuk tanah
pengganti. Dengan perhitungan misalnya harga tanah pengganti Rp 20
juta/ha, untuk tanah seluas 38 ha, cukup dibutuhkan uang Rp 760
juta. Hingga sisa uang ditaksir masih sekitar Rp 1 milyar.
Kepada Kompas sejumlah penduduk menyampaikan keinginannya, agar
Pemda setempat terbuka, dan menjelaskan sisa uang hasil ganti rugi
tanah aset desa itu. Kalau memang ada, hendaknya dikembalikan ke
desa. Misalnya untuk membangun Desa Sukareja, atau untuk bekal
membangun "desa" baru mereka nanti, jika Sukareja jadi dibebaskan.
(agus mulyadi)
FOTO:1