KOMPAS - Rabu, 08 Feb 1995 Halaman: 1 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 7427
DERITA INI MASIH BELUM BERAKHIR...
TANAM padi dan panen sampai dengan tiga kali musim tanam, biasa
terjadi di lahan sawah beririgasi teknis yang airnya terjamin.
Sebagian petani di Kecamatan Krangkeng, Kabupaten Indramayu, pun
kerap tanam sampai tiga kali atau lebih. Namun itu tidak dalam satu
tahun, tapi dalam satu kali musim tanam (MT). Panennya pun, tetap
hanya satu kali.
Itu terjadi, karena petani setempat kerap harus mengganti
tanaman padi mereka. Biasanya, karena bibit padi yang sudah ditanam
mati membusuk akibat terendam air. Agar bisa ikut panen -meski
terlambat- mau tidak mau petani Krangkeng harus mengganti tanaman
padinya yang mati.
Penggantian bibit tanaman padi ini kadang tidak hanya sekali
(dalam satu MT), tetapi sampai dua tiga kali. Sebab, ketika tanaman
baru sudah ditanam, banjir datang lagi merendam berhari-hari.
Tanaman padi mati lagi, sehingga harus diganti. Kondisi itu berulang
terjadi, sampai genangan tinggi yang mematikan tanaman tidak terjadi
lagi. Ya karena hujan mulai jarang turun, sehingga genangan surut.
Bahkan hantaman cobaan terhadap petani Krangkeng dalam
bercocok tanam padi ini, sudah terjadi saat baru dalam persemaian
bibit. Bibit baru disemaikan banjir datang, hingga habis terbawa
banjir. Ganti persemaian ini pun kerap terjadi lebih dari satu
kali.
"Kita bae wis nebar ping loro kien," kata seorang petani di
Desa Singakerta, sebut saja namanya Samin. Maksudnya, dalam MT
1994/1995 sekarang dia sudah dua kali ini menaburkan bibit di
persemaian. Sebab persemaiannya yang pertama lenyap dibawa
genangan banjir di sawahnya.
* * *
SEBAGIAN petani di Kecamatan Krangkeng, Kabupaten Indramayu,
sampai minggu pertama Februari 1995 ini tetap belum bisa menanam
padi di lahan sawah mereka. Boro-boro menanam padi, mengolah
sawah pun sulit dilakukan. Genangan air di kawasan persawahan itu
yang mengakibatkan tertundanya penanaman padi MT sekarang.
Sebagian petani lainnya di kawasan persawahan "merana" itu
ada yang sudah menanam padi, tetapi tetap terlambat jauh
dibandingkan di kecamatan lain di Indramayu.
Keadaan tidak jauh berbeda terjadi pula di daerah
tetangganya, Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon. Petak-petak
sawah terlantar atau baru dan belum lama ditanam, menjadi
pemandangan sekarang ini. Padahal di Krangkeng dan Kapetakan
masing-masing ada sekitar 5.000 hektar dan 8.000 hektar sawah
tadah hujan.
Gambaran persawahan tadah hujan dua kecamatan di kabupaten
berbeda yang lahannya kerap tergenang banjir ini, mungkin bisa
diwakili di kawasan persawahan antara Sungai Cimanis dan Sungai
Kumpulkuista. Di kawasan persawahan yang termasuk dalam Desa
Singakerta (Krangkeng) dan Bungko Lor, sebagian besar masih
terlantar. Genangan air cukup tinggi masih merendam sawah.
Lokasinya, berada di sisi barat berbatasan dengan jalan raya
yang menghubungkan Indramayu-Cirebon. Di sisi timur berbatasan
langsung dengan sebuah saluran air tawar pertambakan kawasan
pantai. Persawahan di sisi barat jalan raya pun kondisinya tidak
jauh berbeda, meski tidak separah di sisi timur jalan.
* * *
SEJAK kapan sebenarnya kendala yang begitu menghambat
kelancaran pertanian di kawasan itu terjadi? Apa pula penyebabnya?
Kondisi sawah tadah hujan yang tidak beririgasi teknis yang
dijamin airnya, memang sudah sejak berpuluh tahun lalu. Namun
genangan air dalam waktu lama di persawahan mereka, terjadi
sekitar sepuluh tahun lalu.
Ada penyebab yang menghambat pembuangan air ke laut, sehingga
genangan seperti betah di persawahan. Petani setempat menuding
pertambakan di sepanjang pantai, yang menjadi salah satu penyebab
terjadinya genangan. Setiap kali hujan deras - di kawasan itu maupun
di bagian hilir saluran-saluran yang melintas - genangan terjadi.
Dan surutnya, membutuhkan waktu berhari-hari, berminggu-minggu.
Di wilayah Krangkeng, air dari beberapa sungai dan saluran
pembuang yang melintas di persawahan, terhambat saluran sejajar
tambak yang disebut penduduk setempat Kali Malang. Air yang mengalir
dari sungai dan saluran, tidak langsung terbuang ke laut, tetapi
bermuara di Kali Malang, yang melintang sejajar dengan pantai
berkilo-kilo meter jauhnya di wilayah Kecamatan Krangkeng.
Karena semua air dari saluran dan sungai bermuara hanya di
satu tempat -Kali Malang- air jadi cepat meninggi. Dari kali ini
untuk kepentingan penyediaan air pertambakan ini, air dialirkan dan
bermuara di Sungai Kumpulkuista.
Namun Kumpulkuista sendiri sudah bermuatan volume air dalam
jumlah besar. Permukaan air yang cukup tinggi, sehingga air dari
Kali Malang hanya bisa mengalir perlahan. Tidak lancar. Terlebih
lagi pada musim hujan, ketika semua saluran/sungai yang bermuara
di Kali Malang, dan Kumpulkuista sendiri tinggi. Bisa dikatakan,
air dari Kali Malang tidak bisa mengalir ke Kumpulkuista.
Akibatnya mudah ditebak. Air di Kali Malang kemudian meluap
ke persawahan di sisi barat. Kondisi tanggul di sisi itu, yang
memudahkan air meluber ke persawahan. Sedangkan tanggul di sisi
timur yang membatasi Kali Malang dengan pertambakan, memang
didesain untuk mengamankan tambak. Tanggul yang cukup tinggi,
mengamankan tambak dari bahaya luapan.
Selain menerima luapan dari Kali Malang, persawahan di
kawasan Krangkeng itu harus pula menerima luapan dari semua
saluran dan sungai yang melintas. Sebabnya, tanggul-tanggul
saluran/sungai tidak terpelihara. Di tanggul yang sudah mendekati
kawasan Kali Malang, di sana-sini tanggul rata dengan sawah.
Kali Cimanis misalnya, tanggulnya tidak dapat dilewati
sampai mencapai Kali Malang. Kondisi tanggul yang sebagian rusak
di bagian hilir, yang menjadi penyebabnya.
Dengan kondisi itu, tentu saja air dari saluran dengan
bebasnya masuk persawahan. Dalam musim hujan sejak sebulan
terakhir yang kerap mengguyur kawasan itu, air yang menggenangi
persawahan menjadi semakin tinggi dan sulit terbuang.
Di Kapetakan, persoalannya sedikit berbeda. Genangan sulit
terbuang, karena sejumlah saluran tidak bisa bermuara ke laut,
karena saluran dijadikan tambak. Air tidak bisa mengalir. Pimpro
PWS (pengembangan wilayah sungai) Cimanuk-Cisanggarung, Ir
Soeradji Dipl Ing, sudah meminta Bupati Cirebon untuk menertibkan
kawasan tambak.
* * *
PETANI setempat terus bergulat dengan nasibnya. Akibat
kepentingan yang dianggap lebih bagus -pertambakan- mereka
menjadi korban. Tetapi petani tidak menyerah. Mereka mencoba
terus bertahan dan tetap setia bercocok tanam padi.
Meski kemudian mereka harus lebih lama lagi menunggu
surutnya genangan, karena ada kepentingan lain lagi yang tidak
dapat dihadang mereka. Seperti yang dialami petani Bungko Lor.
Sawah mereka yang sudah lama tergenang, kini semakin "awet"
kebanjiran. Sawah mereka menjadi tempat pembuangan air saluran di
sisi utara Kumpulkuista, yang sengaja dibobol untuk pembangunan
sebuah bendung karet. Dari tanggul yang dibobol sejak Agustus
1994 lalu, air langsung menerjang persawahan mereka, tanpa mereka
bisa berbuat apa-apa.
Perjalanan nasib buruk petani Krangkeng dan Kapetakan, terus
berlanjut. Derita bagi mereka memang belum berakhir...
(agus mulyadi)