Jumat, 09 November 2007

Saya Tidak Menghitung Tenaga Saya untuk Mengelola Sawah Ini

KOMPAS - Senin, 11 Oct 1993 Halaman: 17 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 7294
SAYA TAK HITUNG TENAGA SAYA
UNTUK MENGELOLA SAWAH INI
SUHANDI (33) tidak terlalu memikirkan berita tentang naiknnya
harga gabah yang ditetapkan pemerintah beberapa hari lalu. Dalam
pengertian laki-laki ini, harga gabah tetap tergantung keadaan di
pasaran. Dengan kata lain, meski pemerintah menaikkan harga toh
tidak menjamin kenaikan harga di pasaran. Pengalaman pada musim
tanam (MT) 1992/1993 lalu, rupanya membuat dia tidak optimis
terhadap adanya perbaikan harga gabah meski pemerintah menaikkannya.
Ketika itu (MT 1992/1993), Suhandi seperti juga petani-petani
lain di kawasan pantura (Pantai utara) Jabar, merasakan bagaimana
nelangsanya mereka akibat jatuhnya harga gabah, khususnya gabah
kering pungut (GKP) sampai Rp 180 per kilogram. Padahal ketika itu
harga GKP yang ditetapkan pemerintah Rp 235/kg. Dia tetap percaya,
kestabilan harga komoditi pertanian, khususnya gabah, tetap
tergantung situasi pasar.
Suhandi hanyalah salah seorang petani yang tidak tergugah untuk
merasa gembira dengan adanya harga baru tersebut. Terlebih lagi
setelah mengetahui pula, naiknya harga gabah dibarengi pula harga
pupuk. Seorang petani di Desa Drunten Wetan, Kecamatan Gabuswetan,
Kabupaten Indramayu umpamanya menyebut, bagi dia lebih baik harga
gabah tetap seperti seperti semula, asalkan harga pupuk tidak naik.
"Apalagi harga gabah jatuh biasanya ketika lagi panen raya
saja. Beberapa bulan setelah itu harga biasanya merambat naik lagi,"
ujar petani yang namanya tidak mau disebut ini. Bagi dia dan petani
lain yang ditemui, adanya berita kenaikkan harga gabah malah dapat
berakibat makin melambungnya harga-harga barang lain. Karena
biasanya kalau ada pengumuman salah satu harga barang naik, akan
diikuti naiknya harga barang-barang lainnya.
Biaya produksi
Beberapa petani yang ditemui di Kabupaten Subang dan Indramayu,
Jabar, yang ditemui Kompas, Jumat (8/10) menyebutkan bahwa mereka
belum tahu pasti besar biaya yang akan dikeluarkan untuk mengelola
sawah (tanaman padi) mereka pada MT 1993/1994 yang akan mulai
berlangsung ini. Menurut mereka, seperti juga kebanyakan petani
lain, tak pernah menghitung rinci biaya yang harus dikeluarkan itu.
Kalau tidak ada hama yang mengganggu, tentu mereka akan
mengeluarkan biaya hanya sebatas untuk penyediaan benih, tenaga
buruh, pupuk, dan obat-obatan. tetapi kalau ada serangan hama, biaya
itu akan membengkak tinggi. Namun yang pasti bagi petani, mereka
akan mengeluarkan biaya tambahan dibanding MT-MT sebelumnya dengan
adanya kenaikkan harga pupuk, antara Rp 20 - Rp 30 dibanding
sebelumnya.
Suhandi memperkirakan total biaya produksi dalam satu MT lebih
dari Rp 350.000 per hektar, dengan catatan tak ada hama. Disebutkan,
untuk pengelohan areal tanaman padi seluas satu hektar, biaya-biaya
yang harus dikeluarkan antara lain untuk, penyediaan benih padi
sebanyak 15 kilogram Rp 9.000, urea (tabur) satu kuintal Rp 21.000,
pupuk jenis TSP tiga kuintal Rp 96.000, beberapa kaleng obat-obatan
penyemprot hama Rp 40.000. Kebutuhan pokok untuk bertanam padi itu
jumlahnya Rp 166.000.
Diperlukan pula biaya-biaya seperti untuk sewa traktor untuk
pengolahan awal sawah sebelum Rp 60.000, upah buruh yang meratakan
areal tanah sawah Rp 10.000, upah buruh tandur (penanam bibit pada)
Rp 60.000 (biasanya melibatkan tenaga buruh tani wanita), upah
penabur pukuk urea dan TSP sekitar tiga kali Rp 12.000, upah buruh
ngoyos (menyiangi rumput di sela-sela tanaman padi) Rp 12.000, upah
buruh yang menyeprot obat-obatan hama Rp 4.000. Total seluruh untuk
upah tenaga kerja dan sewa trktor selama masa tanam padi, sampai
dengan menjelang panen yang biasanya berlangsung sekitar empat
bulan, sebanyak Rp 198.000.
Dengan perhitungan kasar seperti itu, dengan catatan tanaman
padi tidak diganggu hama tanaman yang cukup serius, untuk satu sawah
per hektar per MT, seorang petani harus menyediakan dana sebesar
Rp 364.000. Baik benih, pupuk, maupun obat-obatan dibeli Suhandi
di kios penjualnya di Binong. Hal sama dilakukan pula petani lain,
yakni dengan membeli di kios-kios pengecer.
Para petani sendiri mengakui bahwa naiknya harga gabah, akan
mendatangkan nilai jual lebih dibanding kenaikkan harga pupuk. Namun
bagi mereka tetap saja ada rasa khawatir, sebab kenaikkan harga
gabah biasanya didahului kenaikan harga barang lain.
Hasil jual gabah
Naiknya harga gabah kering giling (GKG) dari Rp 340 per
kilogram menjadi Rp 360, di satu sisi memang akan menguntungkan
petani. Tetapi seperti diturunkan Suhandi dan petani lainnya yang
ditemui, harga itu tetap tergantung keadaan di pasaran. Dalam hal
ini harga gabah tergantung pada ketetapan atau tawaran dari
tengkulak yang biasanya datang membeli gabah mereka. Selain itu
harga gabah itu sendiri biasanya ditentukan pula oleh lancar
tidaknya pemasukkan gabah dari KUD atau non KUD (tengkulak) ke
gudang-gudang Dolog. Kalau pemasukkan lancar, harga di pasaran
biasanya mengikuti harga yang ditetapkan pemerintah. Sebaliknya
kalau tidak lancar, harga akan melorot seperti sekarang ini yakni
setelah usai panen MT 1992/1993 dan 1993 lalu, di mana beras yang
akan dimasukkan ke Dolog ditolak karena tidak memenuhi persyaratan.
Berdasarkan keterangan petani, pada saat ini harga gabah
dipasaran di Subang dan Indramayu sekitar Rp 270 per kilogram. Itu
adalah harga gabah yang telah kering disimpan (GKG versi petani),
dan siap untuk digiling. Harga sebesar itu kalau dilihat dari harga
dasar gabah yang masih berlaku saat ini (harga baru berlaku mulai
Januari 1994) tetap di sawah harga dasar. Namun patokan itu pun
tetap tidak dapat dipegang karena biasanya ada perbedaan ukuran
kualitas gabah antara petani dengan pihak Dolog. Dalam hal ini
petani tidak tahu apakah gabah kering yang disimpannya termasuk GKG
atau tidak.
Suhandi sendiri menuturkan, dari satu hektar sawah miliknya
pada MT 1993 lalu menghasilkan gabah kering (sudah dijemur) sebanyak
tujuh ton. Produksi itu sudah dikurangi upah pungut buruh pamanen
padi sekitar satu ton.
Dari hasil panen, dengan harga seperti yang berlaku saat ini
didaerahnya yakni Rp 270 per kilogram, dihasilkan uang sebesar Rp
2.160.000. Kalau dikurangi dengan biaya produksi seperti upah buruh
dan penyediaan bibit, pupuk, dan obat, hasil bersih penjualan
padinya sebesar Rp 1.796.000 (dihitung dari Rp 2.160.000 dikurangi
Rp 364.000). Dengan kata lain, penghasilan petani Suhandi dalam
satu MT (selama empat bulan) dari areal sawah seluas satu hektar,
adalah sebesar Rp 1.796.000.
Dengan menghitung dari jumlah itu, akan diperoleh penghasilan
Suhandi tiap bulan dari sawahnya adalah sebesar Rp 449.000.
Penghasilan sebesar ini tentu saja sebenarnya cukup tinggi untuk
ukuran Indonesia.
Namun harus diingat bahwa selama musim tanam padi itu
berlangsung, Suhandi selama empat bulan kepanasan, keanginan bahkan
kehujanan mengurus sawahnya. Belum lagi istri dan anak-anaknya yang
ikut pula kesawah."Biaya yang saya keluarkan cukup besar untuk
menanam padi ini. Itu pun belum menghitung upah tenaga saya
sekeluarga," ujar Suhandi. (agus mulyadi)

Tidak ada komentar: