Jumat, 09 November 2007

Hancur-hancuran di Indramayu

KOMPAS - Selasa, 23 Nov 1993 Halaman: 1 Penulis: MUL Ukuran: 6181
HANCUR-HANCURAN DI INDRAMAYU
SEORANG wanita usia sekitar 40 tahun menjinjing sebuah tas
plastik, sementara tangannya yang lain mendekap dua ekor ayam. Di
belakangnya, pria dengan usia hampir sama, memanggul sebuah karung
plastik, entah berisi apa. Sepasang suami istri itu termasuk dalam
rombongan sekitar 10 orang pria wanita, yang tengah menyusuri jalan
tanah tegalan yang membentang di tengah sawah Desa Sambimaya,
Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Jabar.
Eksodus, pengungsian, itulah yang terjadi di daerah yang dari
luar terkenal dengan buah mangganya serta angka kawin-cerainya yang
tinggi itu, di seputar minggu pertama November 1993. Seperti
telah diberitakan koran-koran, terjadi "perang" antar desa -- atau
menurut istilah setempat keropokan -- di situ.
Desa Sambimaya sebenarnya hanya menjadi ajang bentrokan.
Pertikaian sendiri sebetulnya terjadi antara Desa Segeran, Kecamatan
Juntinyuat versus Desa Tugu, Kecamatan Sliyeg. Masing-masing desa,
mendapat "supporter" desa-desa lain di sekitarnya.
Sebabnya, seperti telah diberitakan koran-koran, barangkali
memang sepele, yakni sekelompok pemuda menganggu gadis desa
tetangga. Pacar sang gadis tidak terima. Bentrokan kecil timbul,
kemudian membesar dan membesar, sampai ke format yang kemudian
menjadi benar-benar seperti "Bharatayuda".
Setiap kali sebuah desa melakukan serangan, di situ dilibatkan
minimal 5.000 orang. Bandingkan dengan jumlah seluruh penduduk, di
mana jumlah penduduk Segeran misalnya, 9.200 jiwa (pria dan wanita
jumlahnya hampir seimbang). Sedangkan penduduk desa Tugu adalah
6.380 jiwa (3.241 wanita dan 3.189 pria). Dengan demikian, "perang"
itu memang melibatkan hampir seluruh penduduk desa, plus penduduk-
penduduk desa tetangga yang membantu.
Waktu itu, dari anak-anak berusia di bawah 15 tahun sampai kaum
tua di atas 50 tahun turun tangan. Mereka bersenjata parang, golok,
clurit, belati, bayonet, kapak, dan senjata-senjata tajam lainnya.
Pada masa itu, kalau setiap orang menyelipkan senjata tajam di
badan, sungguh sudah bukan pemandangan aneh. Petugas keamanan yang
berada di hadapan mereka, tidak membuat mereka keder dan
menyembunyikan senjata.
***
TAK ada yang kalah, tak ada yang menang. Yang jelas berantakan
adalah sekitar 10 hektar tanaman jeruk yang hancur dibabat massa.
Kerugian, kalau dirupiahkan, sekitar Rp 300 juta.
Kerugian lain, delapan bangunan termasuk warung dan pabrik
penggilingan beras hancur, ratusan pohon pisang dan pohon mangga --
buah kebanggaan Indramayu -- hancur. Belum lagi barang-barang
penduduk yang lain yang ikut hancur. Kerugian akibat bentrokan itu
dari sektor ini ditaksir sekitar Rp 400 juta.
Lantas, semua aktivitas penduduk desa-desa yang bentrok itu
juga praktis terhenti selama pekan-pekan awal bulan November.
Penduduk tidak bisa mengolah sawah mereka untuk persiapan menjelang
musim tanam pada musim hujan. Belum lagi terhentinya usaha yang
sedang digarap seperti usaha warung, kegiatan penggilingan
gabah/beras, pemeliharaan tanaman jeruk, serta tanaman ladang lainnya.
Anak-anak berhenti sekolah. Semua sekolah praktis meliburkan
murid-muridnya. Orang-orang tua mengungsi membawa sapi, kerbau,
kambing, ayam, serta buntelan-buntelan besar.
***
BENTROKAN antara warga Desa Segeran dan Desa Tugu yang
melibatkan seluruh penduduk seperti itu, menurut penduduk setempat
baru pertama kali ini terjadi.
Menurut kakek Carsiah, penduduk Segeran yang mengaku lahir
tahun 1912, pada masa mudanya dulu, keributan antardesa seperti
itu tidak pernah terjadi. Yang terjadi katanya hanyalah yang disebut
keropokan -- bentrokan antara satu kelompok orang dengan kelompok
lain, dengan saling melempar benda keras, baik menggunakan alat
bantu seperti katapel, bandring, maupun hanya cukup menggunakan
lemparan tangan. "Yang ikut keropokan tidak sampai ratusan atau
ribuan seperti bentrokan sekarang. Dulu hanya puluhan pemuda saja.
Itu pun akan selesai dan damai dengan sendirinya, ketika turun hujan
dan penduduk mulai mengolah sawahnya," ujar kakek Carsiah yang masih
sanggup mengendarai sepeda itu.
Hal senada dikemukakan oleh kakek Kardawi (70) penduduk
Segeran dan Munadi (60) penduduk Tugu dan seorang penduduk usia
lanjut setempat lainnya. Menurut mereka, kalaupun ada keropokan
pada zaman mereka dulu, para pelaku tidak melakukan pengrusakan
rumah atau tanaman seperti yang terjadi dalam bentrokan sekarang.
Tentang membesarnya keributan tersebut, sebagian penduduk
dua desa bentrok menyebut, karena rasa gengsi saling tidak mau
kalah dari pihak desa lain. Kedua desa itu, selama ini dianggap
gudangnya para "jagoan" di kabupaten Indramayu. Masing-masing
rupanya ingin disebut sebagai yang paling hebat.
Sebagian penduduk lain menyebut, keributan itu dilakukan
karena masing-masing pihak ingin mempertahankan desanya masing-
masing. Dalam hal ini penduduk ingin mempertahankan harta
benda masing-masing. Saling tidak mengalah terjadi, karena
masing-masing pihak sudah mengalami kerugian dan kerusakan, baik
dari rusaknya rumah maupun pembabatan tanaman.
Sebagian penduduk dan jajaran Muspida Indramayu sendiri,
seperti Bupati H. Ope Mustofa, berkeyakinan, keributan akan
mereda dan tuntas dengan sendirinya ketika hujan mulai turun.
Penduduk yang saling bentrok akan kembali turun mengolah sawah
masing-masing.
Mudah-mudahan dugaan Pak Bupati itu benar. Ketika hujan
mengguyur, terguyur pula hati mereka yang panas, sehingga menjadi
dingin lagi, dan mereka kembali ke sawah, mengolah kehidupan. Ibu
bumi, sungguh tak akan rela kalau dirinya dirusak.***
(agus mulyadi)
Foto: 1
(Kompas/mul)
AKIBAT BENTROKAN -- Delapan bangunan di Blok Simbartiba, Desa
Sambimaya, Indramayu, rusak akibat bentrokan antar warga Desa
Segeran dan Tugu di wilayah itu. Itu belum termasuk kerusakan yang
lain seperti tanaman jeruk, mangga, pisang, yang berantakan dibabat
massa yang kalap.

Tidak ada komentar: