Senin, 12 November 2007

Sandiwara Cirebon Antara Hidup dan Mati

KOMPAS - Sabtu, 05 Dec 1992 Halaman: 12 Penulis: MUL Ukuran: 2683
SANDIWARA "CIREBON" ANTARA HIDUP DAN MATI
PERBUATAN yang baik selalu mengalahkan yang jahat. Sebuah
pengertian yang selalu ditanamkan kepada anak-anak. Gambaran realita
itu, sampai akhir 1970-an, kerap dimainkan anak-anak di pedesaan
Cirebon atau Indramayu, dalam bentuk "sandiwara-sandiwaraan" di
pekarangan, lapangan, atau halaman rumah. Namun sejak pertengahan
1980-an, permainan itu sudah sulit ditemukan.
Hilangnya permainan itu, karena makin kurangnya kesempatan
mementaskan kesenian tradisional itu sendiri. Dulu, mereka biasanya
manggung di pesta hajatan, umumnya di pedesaan. Namun kini, pesta
hajatan itu sudah beralih ke bentuk hiburan lain, seperti video,
layar tancap atau pengajian. Alasan utama, menyelenggarakan
sandiwara cukup merepotkan, jumlah pasukan yang besar juga harus
dilayani pembuat hajat. Untuk satu grup sandiwara, paling tidak
melibatkan sekitar 50 orang. Mereka terdiri dari 15 penabuh gamelan,
10 orang bagian peralatan, sisanya pemain.
Itu berarti, pengundang perlu menambah dana yang cukup, seperti
untuk makan dan rokok. Belum lagi honor grup itu, sekitar Rp 700.000
sekali mentas siang malam.
***
BERKURANGNYA pertunjukan sandiwara itu, diakui Kepala Seksi
Kebudayaan Depdikbud Kabupaten Cirebon, S. Muchtar RD. "Pertunjukkan
semua jenis kesenian daerah Cirebon, termasuk sandiwara, makin
menurun dalam 20 tahun terakhir ini," ujarnya.
Sebagai perbandingan, Muchtar menyebutkan, tahun 1974 satu grup
kesenian, termasuk sandiwara, rata-rata mentas sekitar 210 kali
setahun. Angka pementasan turun pada 1979-1984, rata-rata 175 kali
mentas, tahun 1984-1989, turun lagi menjadi 105 kali.
Berkurangnya kesempatan mentas, menurunkan kualitas kesenian
daerah. Karena itu, kata Muchtar, sekolah, lembaga pemerintah atau
swasta, dapat ikut menyelamatkan dan mengembangkan kesenian daerah.
Kini tercatat 47 grup sandiwara di Cirebon, tersebar di enam
kecamatan.
Sandiwara tumbuh dan berkembang di Kabupaten Cirebon, sekitar
1940-an. Lahirnya sandiwara atas prakarsa Mursid, penduduk Desa
Wangunarja, Kecamatan Klangenan-Cirebon. Dua kesenian khas daerah
itu ialah reog sepat dan tunil, dipadukan menjadi satu. Kesenian
baru itu pertama kali dinamakan jeblusan, artinya pertunjukan drama
tunil tanpa layar tutup (jeblas-jeblos).
Kesenian yang dianggap baru itu, akhirnya dikenal dengan nama
sandiwara, dari kata sandi (terselubung) dan wara (pemberitahuan).
Penduduk setempat mengartikannya, penyampaian suatu petunjuk secara
terselubung. Sayang, sandiwara itu kini kurang diminati penduduk
setempat. (mul)