Senin, 12 November 2007

Polsuksa, Hdang Penjahat Tanpa Senjata

KOMPAS - Minggu, 18 Oct 1992 Halaman: 1 Penulis: MULYADI, AGUS/GUN/NTS/POM/P/E/HW Ukuran: 8240
Polsuska:
HADANG PENJAHAT TANPA SENJATA
WALAU sasarannya kecil-kecil, namun kejahatan di atas kereta
sangat meresahkan. Apalagi kualitasnya dari masa ke masa makin
meningkat. Jika semula hanya sekadar menyabet sandal atau sepatu
yang dilepas penumpang saat tertidur, kini ada yang berani menodong
penumpang dengan menggunakan senjata api, atau bahkan mendorong
penumpang keluar dari kereta api yang sedang berjalan cepat, jika
dianggap menghalangi aksi mereka.
Memang sejak lama Perumka menugaskan anggota-anggota polisi
khususnya untuk mengawal. "Tapi kami cuma berbekal borgol, senter
dan pentungan," kata Sudiyono, asisten operasi peleton Polsuska
Yogyakarta.
Karena itu banyak suara yang menginginkan agar anggota Polsuska
dipersenjatai sehubungan semakin rawannya tingkat kejahatan di atas
KA. "Bukan untuk sekadar gagah-gagahan. Tetapi kebutuhan yang
mutlak. Apalagi pelaku kejahatan kini semakin berani," kata Sudiyono
pula.
Kekhawatiran Sudiyono ini dimaklumi oleh Djatmiko dari Polsus
Wilu Jawa, yang juga sering menghadapi penjahat terpaksa dengan
tangan kosong. Bahkan seorang perwira menengah polisi pembina
Polsuska di Kantor Pusat Perumka, Bandung, menilai hal sama. "Di
masa datang Polsuska perlu dilengkapi dengan senjata genggam
sebagaimana polisi, sehingga bila terjadi kejahatan bisa segera
mengambil tindakan," ujarnya.
Kata Djatmiko, Polsuska bukanlah orang sembarangan sehingga
tidak bisa dipercaya untuk memegang senjata api. Mereka dididik ilmu
kemiliteran selama empat bulan, ditambah pendidikan khusus penyidik
selama empat bulan juga, selain pendidikan kejuruan kereta api
selama dua bulan. Anggota Polsuska oleh jajaran Polri masih diberi
lagi latihan panca bela, antara lain bela diri judo dan karate.
Anggota Polsuska hingga tahun 1987 pernah diberi senjata api
genggam (pistol). Tapi setelah itu mereka dilucuti, dan paling-
paling hanya bawa belati. "Memang ada yang >f10f9< jika
menyandang senjata, tapi itu bisa ditangani," kata Basuki, Kepala
Security Ton Polsuska Yogyakarta.
Sangat aneh, justru di wilayah Perumka yang sepi dari tindak
kejahatan, Jawa Timur, anggota Polsuska masih dipercaya memegang
senjata api. Jalur Jatim memang aman, menurut Kabin Polsuska Jatim,
Kapten (Pol) Surono, karena kereta yang berangkat maupun yang tiba
ke Surabaya, selalu pada waktu yang tak menguntungkan untuk tidak
kriminalitas, yaitu pada hari terang.
Namun tidak cuma soal waktu. Mempersenjatai Polsuska adalah
penyebab utama kenapa daerah itu aman dari kejahatan di atas KA.
"Penampilan petugas berseragam bersenjata api sudah membuat ì
keder penjahat lebih dulu, walau belum pernah ada catatan Polsuska Jatim
menggunakannya," kata Surono.
* * *
MENJADI petugas Polsuska memang sangat menantang bahaya dan bahkan
bersimbah darah. Karena kelengkapannya yang bisa "membuat tertawa"
penjahat, hanya dengan modal keberanianlah mereka akhirnya bisa
mengamankan kereta api. Padahal penertiban terhadap penjahat selalu
mempunyai gelombang balik yang sasarannya adalah petugas penertib
tadi.
Ini dialami oleh Memed, Polsuska Stasiun Cikampek, Agustus
lalu. Ketika itu Memed berusaha mengusir tujuh orang yang
dicurigainya akan berbuat kejahatan, dari atas kereta api. Namun
pengusiran itu ditanggapi dengan pengeroyokan atas diri Memed.
Akibatnya bagian atas mata kiri Memed luka-luka.
Juga Marmin (40), ayah tiga anak, Polsuska Purwokerto yang
tinggal di Kroya. Ia yang rajin patroli di dalam KA dan sepanjang
sisi kereta saat singgah di stasiun, sangat dibenci penjahat yang
sebenarnya juga dikenalnya. Beberapa kali rencana aksi penjahat
gagal karena ketegasan Marmin.
Suatu kali di bulan Maret, saat Marmin mau mandi sore, ia
dicegat dua kakak beradik yang dikenal sebagai residivis, bahkan
seorang di antaranya baru saja kabur dari LP Nusakambangan. Marmin
yang sendirian dan tak bersenjata, tanpa ditanya terus dikeroyok dan
dianiaya pakai besi plat penyambung rel KA. Meski nyawanya
terselamatkan, Marmin sempat koma dan dirawat di rumah sakit selama
dua minggu, dengan berbagai luka menghias tangan dan mukanya.
Korban lain, justru berjatuhan saat tak bertugas. Misalnya
Kosasih yang tewas dihajar golok kawanan penjahat yang gagal
beroperasi di atas KA suatu malam. Atau Maman, Polsuska Stasiun
Jakarta dihajar golok penjahat awal tahun ini. Demikian juga Mursito
dari Stasiun Cepu, yang terpaksa dirawat di rumah sakit karena
tubuhnya koyak "dirajang" penjahat.
Tidak cuma Polsuska yang jadi korban. Koptu Anom dari Brimob
1 Oktober lalu terjatuh saat melompat turun dari KA ketika ia
berusaha mengejar seorang pedagang asongan yang naik ke KA Mutiara,
di Stasiun Cirebon. Anom terjungkal, kepalanya membentur batu. Ia
koma sampai meninggalnya dua hari kemudian, walau pihak Perumka
sudah minta rumah sakit yang merawatnya agar memberi perawatan yang
paling prima.
Masih panjang daftar anggota Polsuska yang jadi korban, jadi
tumbal untuk keamanan penumpang. Ngerikah mereka? "Pekerjaan saya
memang Polsuska yang setiap hari menghadapi aksi kejahatan. Kalau
saya tak bersedia menghadapi penjahat, saya harus keluar dari
Polsuska. Kalau saya keluar, otomatis saya kehilangan nafkah untuk
keluarga saya," ujar Djatmiko yang memang bertubuh atletis.
* * *
APAKAH demikian besar penghasilan seorang anggota Polsuska
sehingga mereka bersedia menantang maut? Marmin mengaku, dengan tiga
anak dan masa kerja sebagai Polsuska 20 tahun, tiap bulan bersih ia
mendapat gaji tak sampai Rp 180.000. Untung istrinya juga bekerja
sebagai guru SMP di Kroya, sementara ia menempati rumah dinas yang
nyaris gratis. Sebelumnya ia tinggal di Pondok Mertua Indah.
Walau berbahaya dan melelahkan, Polsuska mengharap tugas
pengawalan diteruskan. Sebab dari kerja itu, mereka mendapat imbalan
lebih di luar gaji resmi sebagai karyawan Perumka dari jenjang
pengatur muda (ptm). "Tiap kali mengawal mendapat imbalan Rp 13.000.
Makan dan minum gratis di restorasi," tutur Sudiyono. Imbalan
sebesar itu merupakan perubahan dari ketentuan semula (tahun 80-an)
yang hanya sepersepuluhnya. Dalam sebulan, Marmin bisa tiga kali
kebagian tugas pengawalan, yang setiap kali butuh waktu dua hari.
Tiap tugas, pukul 01.40 dinihari, ia naik KA Sawunggalih dari
Purwokerto ke Kutoarjo, lalu naik KA yang sama pukul 07.30 balik ke
Jakarta. Tiba di Jakarta esok lusa pagi, ia kembali lagi dengan KA
yang sama, tiba kembali di Purwokerto dinihari dua hari kemudian.
Jumlah imbalan yang sama juga diberikan kepada para anggota
Brimob yang bertugas, meski mereka tidak menerimanya langsung dari
Perumka, melainkan lewat kesatuan masing-masing. "Mungkin sekitar
itu (Rp 13.000) sekali tugas," tutur Kopral Satu Brimob Murlani
(32). Ia baru saja menangkap seorang pemuda yang mencurigakan dan
ternyata tak berkarcis, di atas KA Mutiara Selatan Surabaya --
Bandung yang sedang melaju dari Kroya ke Banjar.
Murlani meski sudah bertugas sejak sebelum tengah malam -- ia
naik dari Yogyakarta -- tampak masih segar pada pagi hari. Padahal
sepanjang perjalanan ia hilir mudik ke depan dan belakang kereta,
memeriksa apakah semua aman.
Saat itu KA Mutiara Selatan agak sepi penumpang. Tetapi justru
pada musim sepi penumpang seperti sekarang, pengawalan KA lebih
berat, di banding saat-saat ramai penumpang pada musim liburan
sekolah. Alasannya ketika ramai penumpang, banyak penumpang yang
terpaksa berdiri di pintu. Merekalah yang ikut "membantu" pengamanan
barang.
Biasanya dalam posisi demikian, penjahat tidak berkutik. "Kalau
penumpang ramai, kita bisa tidur," kata Ngaino, seorang anggota
Polsuska Yogyakarta.
Di satu pihak Perumka dituntut bisa melindungi penumpangnya
dari gangguan keamanan termasuk dari aksi perampok, di lain pihak
Polsuska tak dilengkapi dengan peralatan yang mencukupi. "Kejahatan
di atas KA yang sedang melaju sulit diatasi oleh dua orang Polsuska
yang hanya berbekal belati," kata seorang petugas. ***