Senin, 12 November 2007

Kura-kura Belawa, Hewan Keramat yang Langka

KOMPAS - Rabu, 13 May 1992 Halaman: 13 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 8078
KURA-KURA BELAWA, HEWAN
"KERAMAT" YANG LANGKA
BERBAGAI jenis kura-kura (testudinidae) yang ada di Indoensia,
biasanya berpunggung cembung. Tetapi tidak demikian halnya keadaan
kura-kura di Desa Belawa, Kecamatan Sedong, Kabupaten Cirebon. Tidak
seperti jenis kura-kura lain di Indonesia yang berpunggung cembung,
kura-kura Belawa justru sebaliknya berpunggung cekung.
Justru semacam keistimewaan inilah, yang mungkin membedakan
kura-kura Belawa dengan kura-kura yang ditemukan di daerah lain.
Bagian punggung penutup tubuh bagian atas yang keras itu, persis pada
bagian tengahnya cekung ke dalam. Besarnya cekungan tergantung besar
tidaknya punggung itu, dipengaruhi usia masing-masing.
Dalam satu komunitas tersendiri, kura-kura di Desa Belawa hidup
dalam kolam khusus milik pemerintah desa setempat, serta kolam-kolam
penduduk di sekitarnya. Jumlahnya konon mencapai ratusan ekor.
Menurut Kepala Desa Belawa, Djuhud, kura-kura di kolam penampungan
milik pemerintah desa saja jumlahnya sekitar 300 ekor. Ditambah lagi
dengan yang ada di kolam-kolam penduduk, meski jumlahnya tidak
banyak, karena telah banyak yang dipindahkan ke kolam penampungan.
Untuk melindungi satwa langka ini, Dinas Pariwisata Kabupaten
Cirebon membuat tembok setinggi 60 sentimeter di sekeliling kolam.
Selain untuk menjaga dari tangan-tangan jahil, juga agar kura-kura
tidak berkeliaran ke kolam-kolam penduduk sekitarnya.
Berbagai jenis kura-kura dalam ukuran berbeda ada di sana.
Mulai dari diameter punggung berukuran sekitar 20 sentimeter, sampai
dengan 50 sentimeter, tergantung usia kura-kura itu sendiri.
Kuku-kuku tajam berukuran sampai jari kelingking orang dewasa,
nampak pula ketika kura-kura besar berusaha naik ke tepi kolam.
Sedangkan kepala kura-kura terbesar, ada yang mencapai satu setengah
kali kepalan rata-rata orang dewasa.
Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan, kura-kura adalah jenis
binatang melata (reptilia). Di Indonesia diketahui terdapat sekitar
20 jenis binatang itu. Kura-kura dari jenis agustic tortoise orlitia
norneensis, di Belawa ini sebagai binatang yang dilindungi, memang
terjaga. Apalagi penduduk setempat dan sekitarnya, hewan ini binatang
keramat.
***
BELAWA yang menjadi tempat komunitas binatang melata itu hidup,
adalah nama salah satu desa di perbukitan dalam wilayah Kecamatan
Sedong, sekitar 20 kilometer tenggara kota Cirebon.
Dalam penelitian dan upaya pelestarian kura-kura --selain
sebagai upaya pengembangan obyek wisata Belawa --Pemda Kabupaten
Cirebon telah berusaha meminta bantuan Direktorat Jendral PHPA
(Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam), untuk mengadakan
penelitian terhadap binatang itu. Selain upaya lain seperti
pembenahan kolam, dan yang terakhir bekerja sama dengan Taman Safari
Indonesia (TSI), dalam bidang penangkaran 10 ekor kura-kura di TSI.
Laporan dari Subseksi Konservasi Sumberdaya Alam Kabupaten
Cirebon menyatakan, Kura-kura itu termasuk jenis aguastic tortoise
orlita noormensis. Kura-kura jenis ini termasuk langka dan
dilindungi, karena berbeda dengan jenis kura-kura lain.
Asal-usul keberadaan kura-kura di Belawa, sampai saat ini belum
dapat diketahui pasti. Namun menurut penduduk setempat, catatan
Diparda Kabupaten Cirebon, dan ceritera Djuhud, ada semacam legenda
atau ceritera rakyat yang berkaitan dengan asal mula kura-kura itu.
Pada dahulu kala di desa itu datang seorang pemuda bernama
Kasaman Jaya (putera Syekh Datu Mulya), ke sahabat ayahnya yakni
Stekh Datu Putih. Tujuannya, berguru dengan berbekal sebuah kitab
suci Al Quran kecil. Ketika dia datang, tepat waktu sholat ashar, dan
Kasaman Jaya bermaksud menjalankan ibadah itu.
Tetapi pemuda itu bingung, karena ketika akan mengambil air
wudu, tidak ada mata air. Sang Kyai lalu memberinya keris kecil,
untuk dicungkilkan ke tanah berbatu. Setelah dilakukan, seketika itu
juga dari tanah memancar air. Banyaknya air yang memancar, hingga
menimbulkan genangan seperti kolam.
Selesai mandi, Kasaman Jaya bermaksud mengambil baju Al Quran
kecil miliknya. Namun entah apa penyebabnya, kitab suci jatuh ke
dalam kolam. Kasaman Jaya lantas mencarinya di dalam kolam. Dalam
pencarian, di dasar kolam dia meraba satu benda hidup. Ketika
diangkat, ternyata benda tersebut seekor kura-kura, dengan ciri sama
seperti yang sampai sekarang ini hidup di Belawa.
Cerita rakyat itulah, yang dipercaya penduduk setempat tentang
asal mula kura-kura spesifik di Belawa. Bahkan penduduk setempat dan
sekitarnya, percaya kura-kura itu membawa berkah. Hingga tidak aneh
jika banyak orang yang mengunjungi kolam berisi kura-kura yang telah
berkembangbiak itu.
Memberi berkah atau tidak, yang pasti keberadaan kura-kura di
Belawa memberikan berkah bagi penduduk setempat. Setidaknya bagi para
penjual makanan berupa kerupuk atau ikan kepada pengunjung, untuk
memberi makan binatang melata itu.
Dengan dipancing kerupuk atau ikan yang ditaruh di bagian
lantai landai, kura-kura biasanya naik dari air, menjangkau makanan
itu. dengan cara itu, kura-kura yang selalu berendam dan bersembunyi
di dalam air kolam, keluar memburu makanan.
***
KURA-KURA berukuran kecil, tidak sulit naik ke lantai landai. ì
Tetapi kura-kura berukuran sampai berdiameter 50 sentimeter, harus ì
dengan susah payah. Dengan cakar bekuku tajam, kura-kura besar ì
berusaha naik. Kalau dirasa cukup, kepalanya menjulur meraih makanan. ì
Adanya tembok yang mengelilingi kolam sekitar 100 meter persegi
itu, sebenarnya benar-benar mengurung satwa langka ini. Mereka hanya
bisa berkubang di air, kecuali untuk kura-kura kecil yang bisa naik
ke lantai landai.
Namun persoalannya bukan itu. Perkembangbiakan kura-kura
terhambat, bahkan bisa terhenti. Sebabnya, reptilia itu tidak bisa
bertelur di dalam tanah. "Sudah setahun kura-kura di kolam tidak
berkembang biak, karena tidak bisa naik dan bertelur di dalam tanah.
Pada hal untuk berkembangbiak, kura-kura bertelur di dalam tanah yang
dilubangi dan diuruk binatang itu, untuk kemudian menetas sendiri,"
ujar Kepala Desa Belawa, Djuhud, yang sudah melaporkan keadaan itu ke
Diparda Kabupaten Cirebon.
Keadaan itu diakui Ruchiat Utju S, Kepala Seksi Bina Wisata
Diparda Cirebon. Namun karena terbatasnya dana, rencana perluasan
tembok pembatas sampai ke tanah datar, belum bisa dilakukan.
Pengembangbiakan satwa ini, akhirnya dalam setahun terakhir
hanya bisa terjadi pada kura-kura di kolam-kolam penduduk di sekitar
kolam khusus. Tetapi menurut Sarwa, itu pun sedikit, karena kura- kura
yang tertinggal di kolam penduduk beberapa ekor saja. Sebagian besar
kura-kura di Belawa, telah dikumpulkan di kolam desa, ketika tembok
pembatas selesai dibuat.
Kura-kura yang masih menyebar ini, selain di kolam penduduk,
juga berkeliaran di parit-parit sekitar kolam. Sama seperti kura- kura
di kolam desa, makanan dari pengunjung yang datang, sangat ditunggu
kura-kura di parit, karena ikan-ikan kecil sulit didapat, kecuali
tetumbuhan. (agus mulyadi)