Jumat, 09 November 2007

Penjaga Mercu Suar di Pulau Biawak

KOMPAS - Minggu, 25 Oct 1992 Halaman: 9 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 5652
PENJAGA MERCU SUAR DI PULAU BIAWAK
SUATU hari, Suwarjo, laki-laki kelahiran Yogyakarta 38 tahun
lalu, mendapat tugas dari atasan di kantornya pergi ke satu pulau.
Dalam pikirannya, mungkin tugas itu hanyalah kunjungan biasa.
Bersama beberapa karyawan lain di lingkungan Direktorak Jenderal
Perhubungan laut, dia pun berangkat menggunakan kapal.
Pulau tujuan berada di perairan kawasan Sumatera Selatan.
Suwarjo diturunkan bersama bekal kebutuhan hidupnya. Laki-laki
berambut lurus itu pun, akhirnya menyadari kalau dia akan bertugas
menjaga mercu suar di pulau itu, jauh dari keluarga.
"Ketika mulai kerja tahun 1976, saya tidak tahu kalau kemudian
ditempatkan sebagai penjaga mercu suar. Lha wong sebelumnya kerja
saya di kantor yang di Tanjung Priok," ujarnya, menceriterakan
pengalamannya pertama kali bertugas menjaga mercu suar tahun 1977.
Kepergiannya ke pulau tempat mercu suar tersebut hanya beberapa
bulan setelah laki-laki tamatan SMP itu diangkat menjadi karyawan
tetap. Tugas di pulau itu pada awalnya merupakan siksaan bagi ayah
dari dua anak itu. Selain terpencil, dalam tahun itu berjangkit
malaria. Suwarjo terkena juga.
***
TUGAS pertama menjaga mercu suar yang dialami Suwarjo, adalah
awal dari perjalanan hidup selanjutnya. Setelah satu tahun bertugas
di tempat itu, dia ditempatkan di pulau-pulau terpencil lainnya di
wilayah perairan Sumatera dan Jawa.
Sudah sekitar 20 pos ditempatinya sebagai penjaga mercu suar di
berbagai pulau. Sampai sejak awal Agustus 1992 lalu, dia bertugas
menjaga mercu suar di Pulau Rakit (Pulau Biawak). Satu pulau karang
yang tidak dihuni penduduk, dan berada sekitar 40 mil dari pantai
Indramayu, Jawa Barat.
Awal menjalankan tugas menjaga mercu suar dengan cara serupa
dialami pula oleh Slamet (41) dan Yahya (43), rekan seangkatan
Suwarjo ketika masuk kerja di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.
Sabeni (50), pimpinan penjaga mercu suar di Pulau Rakit, dan Sutaryo
(53) petugas lainnya, memiliki cerita yang sama dengan Suwarjo. Kini
mereka bertugas di satu tempat sama di Pulau Biawak.
***
MENJALANKAN tugas di pulau terpencil, jauh dari keluarga dan
masyarakat awalnya terasa sangat berat. Tapi setelah bertahun-tahun
pekerjaan itu ditekuni, mereka pun menjadi terbiasa. Berpisah selama
empat bulan setiap kali bertugas di satu pulau, dapat terobati
ketika ditarik kembali ke kantor pusat di Jakarta, selama dua bulan.
Kesempatan itu digunakan untuk berkumpul bersama keluarga yang
tinggal di Jakarta.
Mereka mengakui rasa kesepian kadang muncul. Untuk
mengatasinya, mereka masing-masing mempunyai cara. Slamet, Yahya,
dan Suwarjo umpamanya, menghabiskan waktu dengan mencari ikan.
Sedangkan Sabeni dan Sutaryo memilih membersihkan rumah atau halaman
di sekitarnya. Terkadang waktu itu habis untuk merawat generator
yang menjadi sumber energi untuk menyalakan lampu suar dan perumahan
yang mereka tempati.
Kedatangan tamu bagi penjaga mercu suar, menjadi semacam obat
tersendiri untuk membunuh rasa sepi, meski hanya sementara. Beragam
karakter orang yang datang dan cerita tentang "dunia" luar, bisa
mengurangi keterasingan mereka. Kedatangan tamu juga menjadi hiburan
bagi mereka. Selama ini sarana hiburan yang ada hanyalah satu radio
dua ban yang dibawa Sabeni.
Di tempat mereka bertugas tidak ada televisi, meski sekitar
tiga tahun lalu ada televisi hitam putih. Televisi itu rusak, lalu
dibawa ke daratan untuk diperbaiki. Sampai sekarang televisi
pengganti tidak pernah datang lagi.
Sedang keperluan makan dan keperluan sehari-hari lainnya didrop
cukup untuk selama empat bulan. Di samping itu, mereka mendapat gaji
yang besarnya berkisar antara Rp 150.000 - Rp 190.000 per bulan.
***
SABENI, Sutaryo, Suwarjo, Slamet dan Yahya adalah "Lima
Sekawan" petugas-petugas yang bekerja di bawah Distrik Navigasi
Kelas I Kanwil Hubungan laut III Tanjung Priok, Direktorat Jenderal
Perhubungan laut. Seperti juga para penjaga mercu suar di pulau
lain, mereka diserahi tugas menjaga kelancaran penerangan pantai
dari lampu suar yang disorotkan dari pulau itu. Penerangan Pantai
(PP) Pulau Rakit, yang terhitung dalam Daftar Suar Indonesia (DSI)
ke 2990, merupakan petunjuk dan pemberi arah bagi kapal-kapal laut
yang melintas di perairan itu.
Keselamatan pelayaran di sebagian perairan Laut Jawa itu,
secara tidak langsung ,menjadi tanggung jawab lima laki-laki tamatan
setingkat sekolah dasar dan sekolah lanjutan pertama itu. Apalagi
arus lalu lintas kapal laut dan perahu nelayan di perairan itu cukup
tinggi, karena berada di antara Tanjung Priok, Jakarta dan Tanjung
Mas, Semarang serta Tanjung Perak, Surabaya. "Kapal dan perahu
nelayan yang melintas di perairan sekitar Pulau Biawak (Pulau Rakit-
red) cukup tinggi, meski berapa banyaknya saya tidak mengetahui,"
ujar Subagya, Kepala Syahbandar Indramayu.
Karena itu lampu suar harus terus dinyalakan setiap malam, agar
kapal laut atau perahu nelayan tidak kehilangan arah. "Kalau lampu
tidak menyala pasti ketahuan oleh kantor pusat. "Kapal-kapal itu kan
mempunyai radio komunikasi," kata Slamet.
Bahkan pernah terjadi, ketika Slamet bertugas di pulau lain,
lampu suar tidak dapat dinyalakan. Akibatnya, terpaksa digantungkan
lampu petromaks di puncak menara. Semalaman Slamet menjaga di tempat
ketinggian itu, menahan dingin akibat kencangnya angin timur laut.
***

Tidak ada komentar: