Jumat, 09 November 2007

Nelayan Nomaden Indramayu

KOMPAS - Senin, 18 Apr 1994 Halaman: 9 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 8357
NELAYAN NOMADEN INDRAMAYU
HIDUP IKUTI ALIRAN REZEKI
CARA hidup nomaden seperti yang dilakukan kaum Gipsy di daratan ì
Eropa, membuat mereka tidak pernah menetap di satu tempat untuk
jangka waktu lama. Kehidupan seperti itu ternyata juga dilakukan
sebagian nelayan di Kabupaten Indramayu, Jabar. Meski tidak persis
sama seperti kaum Gipsy, nelayan nomaden Indramayu tidak dapat
menetap di satu daerah, dalam kurun waktu satu tahun.
Mengikuti pergantian musim angin barat dan angin timur, mereka
hidup berpindah-pindah di dua tempat berbeda. Kelompok nelayan yang
dikenal sebagai nelayan sero ini, tiap enam bulan sekali pindah
tempat tinggal, tergantung musim angin.
Kepindahan kelompok nelayan sero itu dimaksudkan agar mata
pencaharian mereka sebagai nelayan pencari hewan laut tidak
terganggu. Di perairan-perairan yang terlindung dari angin barat
atau angin timur, kelompok nelayan ini berharap mendapat hasil
tangkapan cukup baik. Hewan laut jenis cumi-cumi merupakan sumber
utama nelayan-nelayan sero.
Berdasar keyakinan dan pengalaman selama bertahun-tahun, serta
cerita-cerita dari generasi-generasi nelayan sero pendahulunya,
cumi-cumi selalu mencari perairan teduh yang terlindung terpaan
angin laut. Ketika angin berubah, hewan laut itu ikut mengalir
mengikuti aliran sungai sampai menemukan perairan teduh yang
terlindung dari terpaan angin laut, baik dari timur maupun barat.
Karena yang diburu selalu berpindah-pindah, mereka pun harus
hidup berpindah-pindah enam bulan sekali. Kawasan yang jadi tempat
tinggal, ada di kawasan pantai yang tak jauh dari tempat mereka
menebar jaring. Berdasar pola dua jenis angin, nelayan ini pun
punya dua "daerah kekuasaan", daerah tempat tinggal dan perairan.
Dua "daerah kekuasaan" nelayan sero itu ada do Desa Cantigi
Kulon, Kecamatan Lohbener (Kabupaten Indramayu) sekitar 35 km ke
arah barat daya di seberang barat Sungai Cimanuk. Daerah lainnya, di
Blok Muara Dudukan, Sungai Prawirokepolo, Desa Singaraja, Kecamatan
Indramayu, berjarak sekitar 10 km timur kota Indramayu.
Lokasi tempat mencari cumi-cumi saat musim barat, ada di
perairan Teluk Indramayu di kawasan Pantai Singaraja, yang teduh
karena terlindung daratan di sebelah barat. Di situ, mereka tinggal
enam bulan sampai bulan Juli, saat musim angin berganti.
Pada musim angin timur, Juli sampai enam bulan berikutnya,
mereka memburu cumi-cumi di perairan sekitar Pantai Cantigi. Dalam
bernomaden, mereka membawa serta keluarga. Bersama keluarga mereka
di Cantigi Kulon, sama seperti saat tinggal di Singaraja. Enam bulan
kemudian, mereka akan memboyong keluarga masing-masing ke tempat
baru. Begitu seterusnya, sampai rambut mereka ubanan, saat mereka
tidak bisa lagi berpindah-pindah antara Cantigi Kulon dan Singaraja.
***
DI Muara Dudukan, Desa Singaraja, jumlah nelayan sero ini
sekitar 60 rumah/KK (kepala keluarga). Sebagian dari mereka
membonyong keluarganya. Lainnya, hanya membawa anak-anak yang belum
sekolah (SD). Mereka tinggal di atas bangunan-bangunan rumah sangat
sederhana (RSS) di sekitar bantaran Sungai Prawirokepolo, milik
Dinas Pengairan setempat. Adanya tanah itu, membuat mereka dapat
membangun rumah berkelompok di pinggiran sungai. Meski gubuk dan
berlantai tanah, berdinding gedek bambu, beratap untaian daun kelapa
kering, dan di atas bantaran kali, namun semuanya diatur rapi. Besar
rumah mereka rata-rata 4 x 6 meter.
Setelah dibangun berkelompok, sejumlah nelayan nomaden lainnya,
membangun secara terpisah-pisah di kawasan sama. Tetapi bentuk dan
bahan bangunannya hampir sama.
Di gubuk-gubuk sekitar muara sungai itulah, mereka tinggal
selama enam bulan bersama keluarga. "Tidak semua anak-anak kami
bawa. Sebagian anak-anak, kami tinggal di Cantigi Kulon bersama
kakek nenek mereka," ujar Basar (35), salah seorang nelayan sero
nomaden itu. Anak-anak nelayan yang ditinggal di salah satu desa
tempat mereka tinggal itu, umumnya sedang bersekolah SD.
Basar sendiri yang telah menjadi nelayan sero dan hidup
berpindah-pindah sejak masih kecil - karena ikut ayahnya yang
juga nelayan nomaden - terpaksa berpisah dengan ketiga anaknya,
"Hanya yang bungsu yang saya bawa ke sini (Singaraja - Red).
Ketiga kakaknya sudah masuk SD," tambah Rosjani (40).
Karena yang dibawa ke Muara Dudukan Desa Singaraja umumnya
anak kecil yang belum sekolah, maka menjadi hal yang lumrah bila di
daerah itu terlihat banyak anak-anak balita. Anak-anak usia tanggung
hampir tidak terlihat, karena tinggal di Cantigi Kulon agar bisa
meneruskan sekolah.
Tidak hanya nelayan Basar yang hanya mengecap pendidikan sampai
SD, yang mau berpisah sementara waktu dengan sebagian anak-anaknya,
dengan harapan agar nasib anak-anaknya tidak menjadi nelayan lagi
seperti mereka. Sebagian besar nelayan nomaden pun melakukan hal
serupa. Meski diakui ada sejumlah nelayan yang membawa serta anak-
anak usia sekolah mereka, untuk turut ke laut mencari cumi-cumi
atau hewan lainnya.
Kesadaran pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka, mungkin
didorong keberhasilan salah seorang anak dari mereka yang mengecap
perguruan tinggi. "Adik ipar saya sudah jadi sarjana. Sekarang lagi
cari pekerjaan," kata Basar yang mengaku tidak tahu di perguruan
tinggi mana dahulu adik iparnya kuliah. Yang pasti dorongan untuk
hidup "tidak sesengsara" mereka, membuat nelayan-nelayan sero itu
menginginkan anak-anaknya dapat mengenyam pendidikan. Namun,
keinginan itu sering terbentur masalah keterbatasan biaya.
Seperti Sipin (50). Semua anak-anaknya dibawa ke Singaraja.
"Sesudah tamat SD, mendingan mereka membantu saya di laut," katanya.
Penyebabnya adalah keterbatasan modal untuk mendongkrak biaya
pendidikan anak-anaknya. Dengan dibawa serta ke laut, anak-anaknya
dengan sendirinya dapat menjadi lebih mandiri, dan dapat pula
membantu mendapatkan hasil banyak.
***
KEHIDUPAN nelayan-nelayan sero di Indramayu yang hidup dengan
cara nomaden, sebenarnya sedikit berbeda dengan nelayan-nelayan lain
yang sama-sama memburu hewan laut. Bedanya, nelayan sero mencari
ikan hanya di satu tempat/lokasi perairan.
Mereka memasang jaring pada tiang-tiang bambu yang dipancang
di perairan sekitar dua kilometer dari garis pantai. Setelah jaring
terpasang dalam bentuk melingkar, aktivitas rutin mereka selanjutnya
adalah mengambil hewan laut yang masuk perangkap jaring. Kebanyakan
hasil mereka di dua perairan berbeda adalah jenis cumi-cumi, dan
berbagai jenis ikan dalam jumlah lebih sedikit.
Dua tiga jam ada di sekitar jaring mengambil hasil tangkapan,
nelayan-nelayan sero lantas kembali ke darat. Kegiatan mereka itu
disambung dengan menjual cumi-cumi atau hasil tangkapan kepada
para pedagang ikan yang datang sendiri ke lokasi permukiman
nelayan nomaden di muara sungai itu.
"Hasilnya tidak tentu. Kadang dapat cumi-cumi 25 kg, kadang
sampai 100 kg. Tetapi, kadang kami tidak dapat seekor cumi atau
ikan," lanjut Basar. Harga cumi-cumi itu rata-rata Rp 2.500/kg.
Berbeda dengan Basar, sejumlah nelayan lain yang dapat melaut
mengambil hasil tangkapan dari jaring, mengisi sebagian perjalanan
hari-hari mereka dengan membetulkan jaring-jaring cadangan yang
rusak. Seperti Sipin yang membetulkan jaring di depan gubuknya,
atau Rosjani yang memilih tempat di amben teras gubuknya yang teduh.
Di amben-amben yang ada di hampir semua rumah nelayan
nomaden itulah, sejumlah nelayan lain mengisi waktu dengan duduk-
duduk bengong atau saling ngobrol di antara mereka. Hal serupa
dilakukan pula oleh istri-istri dan anak-anak mereka. Rutinitas
seperti itulah yang membelenggu mereka, pendahulu mereka, dan
mungkin juga pada anak-anak mereka bila terus menjadi nelayan
nomaden. (agus mulyadi)
Foto:
Kompas/mul
HIDUP BERPINDAH-PINDAH - Salah seorang nelayan nomaden, Basar, di
depan "RSS" yang ditempatinya bersama istri dan anak bungsunya. Tiga
anak Basar yang lain ditinggal di Kampung halamannya, Cantigi Kulon, ì
karena harus bersekolah. Hidupnya yang selalu berpindah-pindah
membuat Basar harus berpisah dengan sebagian anak-anaknya.

Tidak ada komentar: