Jumat, 09 November 2007

Kami Juga Punya KTP

KOMPAS - Senin, 18 Apr 1994 Halaman: 9 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 3962
"KAMI JUGA PUNYA KTP"
BAGI nelayan-nelayan sero yang hidup nomaden itu dan selalu
berpindah tempat setiap enam bulan sekali, tempat tinggal tidaklah
menjadi masalah. Namun, sebenarnya desa tempat kelahiran mereka ada
di Desa Cantigi Kulon. Dari desa ini pula, mereka mendapatkan KTP
(kartu tanda penduduk).
"Meski dalam satu tahun hanya tinggal enam bulan, saya dan
nelayan sero lainnya adalah penduduk Desa Cantigi Kulon. Kami pun
memegang KTP Cantigi Kulon," kata Basar. Dengan kata lain, ketika
mereka di "Kampung halaman kedua" di Desa Singaraja, nelayan-nelayan
sero asal Cantigi Kulon itu hanya sekadar numpang hidup.
Mungkin karena kampung halaman mereka Desa Cantigi Kulon,
membuat mereka berani meninggalkan anak-anak mereka bersekolah,
saat mereka harus hijrah ke Singaraja. "Mereka diurus oleh kakek
neneknya. Lagi pula di sana kan banyak saudara," kata Basar.
Di kampung halaman inilah, nelayan-nelayan sero ini dapat
membangun rumah sedikit permanen bagi keluarganya. Rumah dibangun
dengan menyisihkan sebagian penghasilan mereka. Ketika ditanya ke
mana sebenarnya uang mereka lari, nelayan-nelayan itu rata-rata
mengaku habis untuk keperluan sehari-hari.
Jarak tempuh darat antara muara sungai di Desa Singaraja tempat
mereka mengisi separuh hidupnya dalam setahun dan Cantigi Kulon,
sekitar 45 km. Jalan darat bisa ditempuh dengan melewati kota
Indramayu, terus ke barat sampai di daerah Bangkir. Dari tempat itu,
Cantigi Kulon dapat dijangkau melalui jalan desa atau jalan di atas
tanggul anak Sungai Cimanuk. Bagi nelayan-nelayan sero yang sudah
akrab dengan laut, ke Cantigi Kulon dapat ditempuh pula dengan
menggunakan perahu menyusuri pantai.

Warisan orang tua
Hampir semua nelayan mengaku, kehidupan nomaden seperti yang
mereka lakukan, adalah warisan orang tua mereka yang juga menjadi
nelayan sero. Namun sedikit berbeda dengan para pendahulunya yang
tidak mempunyai tempat tinggal tetap di Singaraja, para nelayan sero
itu mempunyai tempat tinggal seperti yang ditinggali sekarang.
Asal mula tinggal di lokasi muara Sungai Prawirokapolo sendiri
adalah, ketika awal tahun 1970-an lalu, mereka mulai mengisi daerah
pinggiran sungai dengan membangun gubuk-gubuk kecil. Pertengahan
1970-an, atas kebaikan Dinas Pengairan setempat mereka dibolehkan
membangun gubuk-gubuk lebih besar seperti keadaan sekarang.
"Sebelum membangun tempat tinggal ini, kalau sedang beroperasi
di perairan Singaraja, kami tinggal di rumah nelayan di sini atau
membangun gubuk kecil. Saya sendiri mengalami hal itu sejak masih
ikut orang tua saya dulu," kata Basar. Sejak adanya rumah tinggal
tetap di Singaraja itu meski tidak lebih hanya gubuk berukuran agak
besar, nelayan-nelayan sero itu mempunyai tempat tetap ketika harus
pindah mengikuti angin laut.
Untuk menempati daerah itu, mereka membayar senilai enam
kilogram cumi-cumi untuk kas desa. Biaya itu dibayar saat mereka
mulai datang menempati tempat itu. Keadaan di rumah-rumah tinggal
nelayan sero di Singaraja itu sendiri, ketika ditinggal nanti, tidak
ubahnya sebagai "kota mati" karena tidak ada lagi yang meninggali.
Kehidupan di lokasi itu paling hanya diisi beberapa penduduk
setempat (Desa Singaraja) yang memang membangun rumah tinggal di
kawasan perumahan kelompok nelayan nomaden itu.
"Kalau bulan Juli nanti ke sini, Mas pasti akan melihat lokasi
ini sepi. Saat itu kami sudah ada di Cantigi Kulon," kata Basar.
Kelengangan lokasi permukiman di muara Dudukan Desa Singaraja toh
tidak akan berlangsung lama. Enam bulan kemudian, nelayan-nelayan
nomaden itu akan kembali boyong dari Cantigi Kulon. Mereka pun akan
kembali mengisi kembali gubuk-gubuk yang telah mereka tinggalkan
selama enam bulan. (mul)
Foto:
Kompas/mul
KAMPUNG NELAYAN - Perkampungan nelayan yang hidup berpindah-pindah
di Desa Singaraja, Indramayu.

Tidak ada komentar: