Senin, 12 November 2007

Meraup Rupiah dari Kapur

KOMPAS - Minggu, 02 Feb 1992 Halaman: 8 Penulis: HARIJONO, TRY/MULYADI, AGUS Ukuran: 7413
MERAUP RUPIAH DARI KAPUR
TAK ada jendela yang terbuka. Apalagi pintu. Lubang angin yang
semestinya untuk ventilasi udara pun ditutup rapat dengan kertas
atau kain. Kasur digulung setiap pagi dan baru digelar bila akan
dipakai tidur pada malam hari.
Inilah gambaran sehari-hari kehidupan penduduk Desa Kedung
Bunder dan Palimanan Barat, Kecamatan Palimanan, Kabupaten Cirebon,
Jawa Barat. Mereka bukannya dicekam rasa takut oleh serangan hama
atau gerombolan, namun mereka menghindari masuknya debu sisa
pembakaran kapur yang ada di sekitar permukiman mereka.
Pembakaran kapur memang menjadi salah satu pilar ekonomi di
kecamatan yang terdiri atas 18 desa dan terletak pada ruas jalan
Bandung-Cirebon kilometer 100 ini. Di kecamatan seluas 4.861
hektar dan dihuni 71.876 jiwa ini, hanya dua desa yang menjadi
sentra pembakaran kapur, yakni Kedung Bunder dan Palimanan Barat.
Sayangnya, lokasi pembakaran kapur di kedua desa bersatu dengan
permukiman penduduk, sehingga debu sisa pembakaran kapur masuk ke
rumah-rumah penduduk.
"Pakaian dalam lemari yang tertutup rapat pun masih bisa
terkena debu kapur," keluh Ny Samirih (42), penduduk Desa Palimanan
Barat.
Bukan itu saja. Karena pembakaran kapur umumnya terletak di
tepi jalan raya Bandung-Jawa Tengah lewat jalur utara, asap
pembakaran kapur menutupi pemandangan, persis seperti kabut. Jarak
pandang pengemudi terbatas hanya beberapa puluh meter. Pemakai
kendaraan, harus menutup kaca mobil rapat-rapat jika tak ingin
menghisap debu kapur.
Genteng rumah di Palimanan, tidak lagi berwarna merah. Namun
berubah putih. Hamparan warna putih di Palimanan yang menutupi atap
rumah dan tanaman, sekilas seperti salju. Begitu gawatnya pengaruh
debu pabrik kapur di Palimanan.
* * *
"PEMDA Kabupaten Cirebon sebenarnya sudah berniat memindahkan
pabrik kapur ini ke Gua Macan sekitar lima kilometer dari lokasi
yang sekarang," ujar Asisten II Kabupaten Cirebon, Drs Suparman
Oleredja.
Tempat yang ditawarkan pemda ini, jauh dari permukiman penduduk.
Dari jalan raya pun jaraknya cukup jauh, sekitar tiga kilometer,
sehingga diperkirakan asap pabrik kapur tak akan menghalangi
pandangan pengemudi dan mengganggu kelancaran lalulintas.
"Tapi tentu untuk pemindahan pabrik kapur ini diperlukan biaya
yang tidak sedikit," ujar Kepala Bidang Fisik Bappeda Kabupaten
Cirebon, Drs Bambang Wasito.
Untuk pembangunan pembakaran kapur, diperlukan biaya paling
sedikit Rp 25 juta setiap unit. "Perinciannya Rp 19 juta untuk
pembangunan cerobong dan Rp 6 juta untuk biaya operasional," ujar
Manajer Koperasi Sepakat, Haji Abdullah Yuswo.
Di atas lahan seluas 18 hektar yang tersedia, menurut rencana
akan dibangun 100 unit pembakaran kapur. Berarti biaya yang
diperlukan untuk pembangunan kawasan pembakaran kapur tersebut
sekitar Rp 2,5 milyar.
"Lahan memang sudah tersedia. Kami tinggal menunggu investor,"
ujar Abdullah Yuswo penuh harap. "Kalau pengusaha harus membangun
pabrik kapur sendiri, saya yakin terlalu berat. Modal untuk
membangun pabrik mungkin cukup. Tapi setelah itu harus gulung tikar
karena tidak memiliki modal untuk usaha," ujar Samidi (35) pengusaha
pabrik kapur di Desa Palimanan Barat, Kecamatan Palimanan.
Menurut sejumlah pengusaha, lokasi yang akan dibangun untuk
pabrik kapur kelak, memang menguntungkan, sebab dekat dengan lokasi
pengambilan kapur. Sehingga ongkos angkut bisa ditekan. "Namun
dilihat dari sisi yang lain, kami jelas rugi. Sebab bangunan yang
masih tergolong baik ini tak akan terpakai lagi," ujar Hajjah Sara
(56) pengusaha kapur di Desa Kedung Bunder, Kecamatan Palimanan.
* * *
TIDAK begitu mudah memang memindahkan pembakaran kapur ke
lokasi yang dikehendaki. Keberadaan pembakaran kapur di Palimanan
sudah sedemikian eratnya dengan penduduk di sekitarnya. Bahkan
ribuan orang menggantungkan periuk nasinya pada industri yang
potensial menimbulkan pencemaran itu.
Tidak ada yang tahu persis, kapan pembakaran kapur mulai
didirikan di Palimanan. Yang jelas, usaha ini sudah berlangsung
sejak zaman penjajahan Belanda, Jepang, hingga masa kemerdekaan
sekarang ini.
"Kapur dari Palimanan sejak dulu terkenal berkualitas baik.
Karena itu kapur dari Palimanan dikirim ke Banten, Karawang, Bekasi,
Tasikmalaya, Ciamis, bahkan Semarang," ujar Hajjah Sara yang sudah 30
tahun membuka usaha pembakaran kapur.
Tapi sekarang kapur dari Palimanan hanya dipergunakan untuk
memasok kebutuhan kapur kota-kota di sekitar Cirebon, seperti
Indramayu, Majalengka, Kuningan, Sumedang, Brebes dan Tegal. Selain
untuk campuran bahan bangunan, kapur juga digunakan untuk
pengeringan tambak udang yang banyak terdapat di daerah tersebut.
Konsumen kapur sekarang ini terbanyak masyarakat dari golongan
menengah ke bawah. "Orang sekarang memang lebih suka menggunakan
semen untuk bahan bangunan. Mahal sedikit tapi lebih kuat," ujar
Abdullah Yuswo.
Pola pembakaran kapur juga sudah mengalami perkembangan. Dulu
pembakaran kapur hanya menggunakan arang dan batu bara. Untuk
"memasak" kapur, bahan bakar padat tersebut dimasukkan dalam
cerobong pembakaran berbentuk kerucut yang tingginya sekitar 15
meter, diameter bagian atas tiga meter, dan diameter bagian bawah 1,5
meter.
Sebanyak 35 cepon (keranjang kecil) kayu bakar dimasukkan dalam
cerobong pembakaran. Di atasnya barulah disimpan batu kapur
sebanyak 70 keranjang dan batu bara 20 keranjang. Begitu seterusnya
disusun secara berlapis hingga cerobong pembakaran itu penuh.
Untuk memudahkan pembakaran, dalam "adonan" tersebut dicampur
garam dua keranjang setiap satu lapisan. "Bila tidak dicampur garam,
batu kapur sulit terbakar," ujar Irjani (23) mandor kapur di Desa
Palimanan Barat.
Sejumlah pengusaha sekarang sudah menggunakan gas sebagai bahan
bakar. Prinsip pembakarannya hampir sama dengan kayu bakar dan batu
bara. Hanya saja, bila menggunakan gas waktu pembakaran lebih cepat,
hanya sekitar satu jam.
Untuk sekali membakar kapur, setidak-tidaknya
diperlukan biaya sekitar Rp 200.000. Biaya sebesar itu untuk
pembelian bahan baku berupa batu kapur yang diambil dari Bukit Gua
Macan, kayu bakar, batu bara dan garam. Biaya ini belum termasuk ongkos
tukang. Sedangkan hasil yang diperoleh rata-rata setiap hari sekitar
15 meter kubik kapur. Dengan harga jual Rp 20.000 per meter kubik.
"Keuntungan bersih setiap bulan tidak tentu. Bila musim hujan
bisa mengantongi keuntungan bersih Rp 200.000 sudah untung. Namun
bila musim kemarau keuntungan bisa mencapai Rp 600.000 per bulan,
karena permintaan kapur juga meningkat," ujar Sumana (32), pengusaha
pembakaran kapur di Desa Palimanan Barat.
Bukan hanya pengusaha yang mendapat keuntungan. Buruh-buruh di
yang banyaknya sekitar 10 orang tiap pembakaran, juga bisa
memperpanjang hidup dari usaha ini. Mereka rata-rata memperoleh upah
Rp 5.000 - Rp 7.000 per hari tergantung pekerjaannya.
"Lumayan untuk anak istri di rumah," ujar Deden (31) yang sudah
tujuh tahun memburuh di pembakaran kapur. Dia dan juga teman-
temannya yang lain, memang pantas bersyukur. Bisa meraup rupiah dari
kapur. (try harijono/agus mulyadi)
Foto : 1 buah.