Senin, 12 November 2007

Sultan Kasepuhan yang Merakyat

KOMPAS - Minggu, 19 Jan 1992 Halaman: 8 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 7449
Pangeran Raja Adipati Maulana Pakuningrat SH
SULTAN KASEPUHAN YANG MERAKYAT
AROMA asap kemenyan terasa ketika memasuki ruangan itu. Suasana
magis tercipta, meski aroma asap kemenyan tidak terlalu menyengat.
Suasana yang menyadarkan bahwa kita tidak sedang berada di
lingkungan tempat tinggal masyarakat kebanyakan.
Meski suasana magis terasa kental, pemandangan di pecirah (teras
belakang) Keraton Kasepuhan Cirebon, tidaklah terlalu istimewa atau
mencerminkan keadaan keraton seperti dongeng masa kecil. Hanya
seperangkat sofa model masa kini, yang menjadi pelengkap bagian itu.
Bahkan di antara pecirah dan bangunan di bagian selatan, kelihatan
jemuran pakaian berjejer pada tali jemuran.
Keraton Kasepuhan adalah satu dari empat keraton di Cirebon
keraton lainnya adalah Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan, dan
Keraton Kaprabonan.
Keberadaan keraton di Cirebon, tidak dapat dilepaskan dari
keberadaan agama Islam d Indonesia. Dari Cirebon inilah syiar
Islam turut dikumandangkan. Salah seorang Wali Sanga yaitu Sunan
Gunung Jati, memilih daerah ini sebagai pusat penyebaran Islam.
Tidak berlebihan kiranya jika Cirebon dikenal sebagai kota
religius. Selain keberadaan sisa-sisa bangunan bekas pusat syiar
Islam dan pusat pemerintahan kerajaan Islam, di daerah ini bertebaran
pesantren-pesantren di segala penjuru, besar atau kecil. Pesantren-
pesantren tersebut masih berkait dengan penyebaran Islam pada masa
lalu.
Menurut Sultan Sepuh Kasepuhan Cirebon, Pangeran Raja Adipati
(PRA) Maulana Pakuningrat, SH, tahun lalu, pondok-pondok pesantren
besar seperti Pesantren Buntet, Balerante, Babakan, dan Pesantren
Ciwaringin, semuanya di Kabupaten Cirebon, dipimpin oleh kerabat-
kerabat keraton. Meski pemlmpm-pemimpin pesantren Im tidak lagi
menggunakan gelar ningrat, mereka adalah keturunan langsung kerabat
keraton masa lalu. Mereka lebih memilih keluar dari lingkungan
keraton untuk menyebarkan Islam, daripada bekerja sama dengan VOC.
Dalam buku Kerajaan Cirebon 1479-1809 karangan RH Unang
Supardjo SH disebutkan, Kerajaan Cirebon terpecah setelah
wafatnya Raja Cirebon ke-3 yaitu Panembahan Girilaya. Ketiga
puteranya yakni Pangeran Wangsakerta, Pangeran Martawijaya, dan
Pangeran Kertawijaya, naik tahta menjadi Sultan Cirebon, Sultan Sepuh
dan Sultan Anom. Ketiganya dinobatkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa
dari Banten yang berkuasa pada paruh kedua abad ke-17.
Sejak itulah Kerajaan Cirebon terpecah, dan tidak menjadi pusat
pemerintahan lagi. Dengan adanya tiga sultan di Cirebon, yang pada
hakekatnya hasil keputusan politik Banten terhadap Cirebon, maka
dimulailah sejarah baru dalam aspek pemerintahan dan politik Cirebon.
Cirebon yang ketika masih dipimpin Panembahan Girilaya adalah negara
merdeka dan berdaulat, terbelah menjadi tiga dan berada di bawah
perlindungan dan pembinaan Banten.
***
PANGERAN Raja Adipati Maulana Pakuningrat (53), sebagai
keturunan ke-13 dari Pangeran Martawijaya (Sultan Sepuh) atau
generasi ke-18 langsung dari Sunan Gunung Jati, menyadari betul
posisinya. Sebagaimana yang telah berlangsung sejak masa Pangeran
Martawijaya, Keraton Kasepuhan kini tidak lebih sebagai pusat
keagamaan dan pusat kebudayaan di Cirebon.
Sebagai pusat keagamaan, kerabat Keraton Kasepuhan dan keraton
lain di Cirebon dekat dengan masyarakat luas. Hubungan langsung tidak
dibatasi oleh rentang jarak akibat tembok feodalisme.
"Dalam hubungan antara ulama dan umaroh yang harus selalu dekat,
tentu saja tidak ada lagi batas. Demikian pula halnya hubungan
kerabat keraton dengan masyarakat luas," ujar Sultan Sepuh didampingi
putra sulungnya Pangeran Raja Arief Natadiningrat, SE (26).
Kedudukannya sebagai seorang sultan, dianggap PRA Maulana
Pakuningrat, tidak lebih sebagai pemimpin formal. Lebih tepat dia
mengistilahkan sebagai Sesepuh Cirebon. Keberadaan keraton tidak
lebih sebagai pusat kebudayaan, peninggalan sejarah yang perlu
dilestarikan.
***
HUBUNGAN kerabat keraton dengan masyarakat luas yang seolah
tanpa batas, yang diibaratkan sebagai hubungan antara ulama dan
umaroh, membuat kehidupan kerabat keraton di Cirebon. khususnya
kerabat Keraton Kasepuhan seperti layaknya masyarakat kebanyakan.
Proses sosialisasi tidak mengalami hambatan.
Karena itu pula, tidak akan aneh jika banyak ditemui kerabat
keraton yang hidup di tengah-tengah masyarakat sampai di pelosok
desa. Mereka membina keluarga dan terlibat langsung dalam kehidupan
masyarakat, baik dengan tetap menggunakan gelar-gelar ningrat, maupun
tidak.
***
PANGERAN Raja Adipati Maulana Pakuningrat sendiri dalam
kedudukannya sebagai Sultan Sepuh Kasepuhan yang dinobatkan sejak
1969 menggantikan ayahandanya Sultan Sepuh Raja Rajadiningrat,
memulai karirnya langsung dalam lingkungan masyarakat luas.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Hukum Jurusan
Perdata, Universitas Padjadjaran, Bandung, pada awal 1965 dia
mempersuntina Irawati, yang saat itu tengah menimba ilmu di
universitas sama. Ketika ditelusuri kemudian, ternyata calon itu
seorang gadis asal Sagalaherang, Kabupaten Subang, yang mempunyai
darah ningrat dan ada kaitan dengan kerabat keraton. Pertemuan itu,
tentu saja tidak terjadi di dalam lingkungan keraton.
Pada akhir tahun itu juga, lahir buah cinta mereka yang pertama
yaitu PR Arief Natadiningrat SE, yang belum lama ini menyelesaikan
kuliahnya di Fakultas Ekonomi, Unpad, Bandung. Kemudian pasangan ini
dikaruniai lagi dua putera dan dua puteri.
PRA Maulana Pakuningrat tetap tinggal di Bandung dan kemudian
memulai karirnya di bidang perbankan serta bergabung dengan BPD (Bank
Pembangunan Daerah) Jabar. Dia meniti karir dari bawah, sebagai salah
seorang karyawan di tempatnya bekerja.
Ketika dinobatkan sebagai sultan yang ke-13 menggantikan ayahnya
pada 1969, anak sulung dari delapan bersaudara ini tetap menjalani
profesinya. Karirnya tetap diburu, meski dia telah menyandang gelar
sultan. "Karir saya di perbankan bukan karena fasilitas dan kemudahan
karena saya seorang sultan. Saya meniti karir karena kemampuan saya
sendiri," ujarnya menjawab Kompas apakah perjalanan karirnya
mendapatkan kemudahan karena dia seorang sultan.
Beberapa pos penting kemudian dia tempati. Di antaranya menjadi
pimpinan cabang di BPD Kabupaten Majelengka, Kuningan dan Indramayu.
Dua tahun lalu, PRA Maulana Pakuningrat menempati posnya sebagai
Kepala Cabang BPD Kotamadya Cirebon. Mungkin karena sudah mendekati
masa pensiun, jabatan di kota kelahirannya itu akan ditempati sampai
masa pensiun nanti.
Sesudah pensiun, tentu PRA Maulana Pakuningrat dapat lebih
mencurahkan kemampuan dirinya sebagai seorang sultan.
Sultan Sepuh Kasepuhan Cirebon itu tentu dapat lebih mudah
berhubungan langsung dengan masyarakat luas. Seperti pada setiap
menjelang penngatan Maulud Nabi. Bertempat di Bangsal Keputren,
sultan menerima sebagian masyarakat dari beberapa kalangan yang ingin
bertemu langsung dengan dirinya. Pada waktu-waktu seperti peringatan
Maulud Nabi, sultan menerima langsung warga yang ingin bertemu.
Kedatangan warga yang seolah simbol dari sisa kepemimpinan raja-raja
Cirebon dahulu. (agus mulyadi)