Jumat, 09 November 2007

Kencan Massal di Jalan Padat Kendaraan

KOMPAS - Jumat, 03 Feb 1995 Halaman: 9 Penulis: MUL Ukuran: 6778 Foto: 1
KENCAN MASSAL DI JALAN PADAT KENDARAAN
BUKAN hal aneh, kalau jalan utara Jawa Barat sering macet.
Umumnya titik-titik kemacetan ada di sekitar pasar-pasar pinggir
jalan. Tapi ada titik lain yang tak kurang menentukan dalam
menyumbang kemacetan ini. Itulah Kandanghaur (sekitar 170 km timur
Jakarta atau 40 km barat kota Indramayu), yang mengakibatkan
kemacetan setiap malam hari selama 90 menit. Baik kendaraan dari
arah Jakarta atau dari arah Cirebon terpaksa harus merambat
perlahan, bahkan kadang kala berhenti sejenak.
Lihatlah, kedua sisi kanan kiri jalan persis di tikungan depan
Kantor Kawedanan Kandanghaur. Di situlah ribuan muda mudi setempat
melakukan kencan setiap malam, mulai sekitar pukul 21.00 sampai
dengan pukul 22.30. Pengemudi kendaraan yang biasa melintas di ruas
jalan itu sudah hafal dengan kondisi demikian. Sebelum memasuki
tikungan jalan di arena kencan tersebut, mereka langsung mengurangi
kecepatan.
Tiap malam ribuan jejaka, gadis, duda, maupun janda dari empat
desa: Parean Girang, Bulak, Ilir, dan Wirapanjunan, ramai-ramai
berkumpul dan mengobrol di bawah embun, dingin malam, dan seliweran
kendaraan. Beragam mode pakaian hingga mode rambut mewarnai acara
yang banyak dipenuhi saling colek dan saling remas tangan itu.
***
LIHAT saja Rasita, Raup, dan Satori. Remaja ingusan berusia
antara 15-17 tahun itu, tiada henti hilir mudik. Padahal dua sisi
jalan raya depan Kantor Kawedanan tempat muda-mudi ngeceng itu
begitu berjubel orang.
Lihat pula kelompok gadis usia 15-an, seperti Sutini, Dewi,
Susi, Wastiri, yang begitu bebas cekikikan, juga saat ada colekan-
colekan. Mereka tak hentinya berputar-putar di dalam kerumunan,
mencari kenalan atau sekadar iseng jalan-jalan iseng. Kadang pula
mereka ramai-ramai menyeberang jalan.
Rasita, Raup, Satori, dan ratusan pria lain juga gemar
mencolak-colek gadis yang melintas di dekatnya. Semua gratis, bebas,
bahkan sering kali tanpa perlu basa-basi dulu.
Namun tidak semua usaha perkenalan itu meluncur mulus.
Kebanyakan bahkan bisa disebut macet di tengah jalan, ketika colekan
pertama terjadi. Tidak jarang pula antara pencolek dan dicolek
ternyata sudah saling kenal. Bahkan, ketika mata beradu pandang dari
jarak begitu dekat di tengah kerumunan, keduanya baru tahu kalau
mereka tetangga dekat.
"Ti endi (dari mana)?"
"Ti dinya (dari sana)!"
Inilah kekhasan lain pengunjung jaringan. Bahasa Sunda mereka
terdengar janggal di telinga, karena memang itulah bahasa Sunda
Parean. Disebut Parean, karena nama salah satu desa di daerah itu
adalah Pareangirang.
Bahasa Sunda khas daerah setempat, yang banyak disisipi bahasa
Dermayu (bahasa penduduk Indramayu), menjadi alat komunikasi sehari-
hari penduduk empat desa di Kandanghaur itu. Tak heran kalau dalam
acara jaringan, bahasa ini jugalah yang begitu dominan mewarnai
kencan massal gaya Kandanghaur tersebut. Penduduk dari luar Parean
yang turut serta ber-jaringan-ria pasti mudah dipergoki dari gaya
bicaranya.
Di "medan perjodohan" tanpa kontak surat di surat kabar atau
majalah itulah, mereka saling "bertempur" mendapatkan calon pasangan
hidup. Pria peserta jaringan umumnya dari kalangan nelayan, dan kaum
wanitanya adalah gadis-gadis menganggur. Tapi beberapa gadis dan
jejaka setingkat SMA-pun ada juga yang ikut serta.
***
MESKI tak semurni seperti semula, fungsi jaringan sebagai
"bursa jodoh" masih berlaku. Kaum muda setempat tetap meneruskan
tradisi yang pernah dilakukan orangtua mereka. Karena itu, orangtua
seperti Kasrim, Caya, Okim, dan Kasiman, misalnya, membiarkan anak
mereka ikut jaringan.
"Daripada mereka nganggur di rumah, dan tidur sore-sore," kata
Kasrim. Dengan ikut jaringan, lanjutnya, orangtua yakin anak mereka
bakal mendapat jodoh. Paling tidak anak-anak mereka yang sudah
menikah, dulunya juga mendapatkan istri atau suaminya dari jaringan.
"Ritual" jaringan dimulai setiap malam sekitar pukul 20.30,
dengan mulai berdatangannya satu-dua kelompok gadis, jejaka, atau
janda, duda. Pada pukul 21.30 kerumunan semakin memadat dan
berjubel, terus sampai pukul 22.30. Sesudah pukul 22.30, berangsur
kerumunan berkurang.
Meski kadang kala terjadi seorang gadis hamil tanpa diketahui
siapa bapaknya, kegiatan remaja empat desa untuk begadang tiap malam
tetap lancar. Jodoh tetap mereka dapatkan di "pasar jodoh" itu,
meski kecepatannya tidak seperti zaman kakek-nenek atau orangtua
mereka dulu. Sekarang biasanya dilakukan ikatan dulu dan pernikahan
bisa dilangsungkan beberapa tahun kemudian.
Orangtua mereka juga mulai sadar anak mereka masih remaja "bau
kencur". Lihat saja dari ketidakpastian hati mereka ketika memilih
pasangan. Hamid (17), misalnya, mengaku sudah punya pasangan gadis
yang akan dinikahinya sesudah lebaran ini, tetapi toh dia tetap
mencoba-coba mencari kemungkinan lain di jaringan.
Tetapi memang cerita kadang kembali berulang. Tidak semua
pasangan mendapatkan jodoh yang kekal. Tak jarang ikatan pernikahan
-- yang diperoleh dari hasil "bertempur" di jaringan -- hanya
menjadi kedok untuk mendapatkan status.
Sebut saja Tobirin (18). Bulan April 1994 lalu dia menikahi
gadis yang baru dikenalnya di jaringan. Malang, usia rumah tangga
mereka hanya dua bulan. "Saya sudah cerai," kata Tobirin. Padahal
selama pernikahan yang begitu singkat itu, dia tidak pernah sempat
menggauli istrinya. "Maklum, itu hanya perkawinan untuk mencari
status janda saja," tambahnya. Rupanya, sang mantan istri telah
kehilangan keperawanannya akibat direnggut teman kencannya.
Bursa jodoh jaringan tetap bertahan. Upaya penghentian kegiatan
itu tidak pernah berhasil dilakukan, dengan melepaskan tembakan
sekalipun, seperti ketika pada zaman gerombolan DI beraksi akhir
1950-an. "Jaringan hanya dapat bubar kalau hujan turun," kata
seorang penduduk.
Lantas apakah dengan ada jaringan angka perkawinan terus
meninggi? Ternyata tidak. Menurut Sakim, Kaur Kesra Desa Bulak,
dalam setahun paling banyak hanya ada 50 kali pernikahan penduduk
setempat. Sedangkan perceraian dalam setahun bahkan kurang dari
angka perkawinan. Perceraian kebanyakan dilakukan oleh mereka yang
telah bertahun-tahun berumah tangga.
Pukul 23.00 tidak tampak lagi bekas-bekas jaringan. Semua telah
kembali ke rumah masing-masing, kecuali mereka yang akan membuka
dagangan di pasar. Esok malam, kedua sisi jalan raya Kandanghaur
kembali menjadi saksi bisu perkencanan massal, saat jaringan mania
berlomba mencari jodohnya di pinggir jalan itu. (mul)
Foto: 1 buah.

Tidak ada komentar: