Senin, 12 November 2007

Mengolah Air Limbah di Laut Cirebon

KOMPAS - Jumat, 03 Jun 1994 Halaman: 17 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 5703
MENGOLAH AIR LIMBAH DI LAUT CIREBON
KOTAMADYA Cirebon adalah salah satu kota di Indonesia yang
berbatasan langsung dengan laut. Ketinggian daratan kota ini sekitar
0,5-30 meter di atas permukaan air laut, dengan temperatur 24-32,5
derajat celsius. Hingga tidaklah heran, bila penduduknya yang
sekitar 255.000 jiwa, begitu akrab dengan laut.
Mungkin karena itulah, dalam waktu dekat, sebagian perairan
laut di wilayah Kotamadya Cirebon, akan dimanfaatkan, untuk
pengolahan air limbah. Inilah proyek masa depan pertama di
Indonesia, dalam penanganan air limbah perkotaan.
Sebagai konsekuensi pembangunan yang sedang berlangsung, baik
dalam sektor industri, perdagangan dan sebagainya, dengan sendirinya
memang menimbulkan masalah limbah. Bahkan pertumbuhan penduduk yang
turut mengiringinya, menciptakan pula bermacam jenis limbah rumah
tangga. Untuk menjawab permasalahan inilah, penanganan limbah di
Cirebon menjadi salah satu perhatian serius Pemda Cirebon.
Perjalanan menuju ke arah kota yang sehat untuk dihuni manusia,
ditunjang oleh keberadaan CUDP (Cirebon Urban Development Project/
Proyek pengembangan Kota Cirebon). Di antaranya pada CUDP I tahun
1977-1982, menangani masalah limbah, dilanjutkan CUDP II 1987-1991
yang menangani berbagai pembangunan sektor perkotaan lainnya. CUDP
III dalam waktu dekat ini akan dilaksanakan, di antaranya dengan
dana bantuan Pemerintah Swiss 10,3 juta franc Swiss (Rp 15 milyar)
Dalam kaitan menciptakan kota Cirebon yang bersih dan sehat
inilah, penanganan air limbah menjadi salah satu prioritas. Namun
adanya kenyataan sempitnya lahan kota dan semakin mahalnya harga
tanah, penanganan air limbah ini menghadapi kendala penyediaan
tempat. Padahal luas wilayah Kotamadya Cirebon tidak lebih dari
37,3 km2, dengan rata-rata kepadatan penduduk 6.809 jiwa/km2.
"Semua program pembuangan dan penyehatan lingkungan di Cirebon
akan percuma, kalau perilaku warga tidak mendukungnya," kata
Walikotamadya Cirebon, Drs H. Kumaedhi Syafrudin.
Karena itu suatu terobosan, pertama di Indonesia, dilakukan
di kota ini, khususnya dalam penyediaan lahan tempat pengolahan.
Kawasan perairan laut, akhirnya menjadi pilihan.
Tempat pengolahan air limbah di laut itu, nantinya tetap akan
dibatasi pembatas yang mengelilinginya. Bahan yang akan dipakai
sebagai tembok pembatas, menurut Pimpro CUDP III, Ir H. Subakat
Suhada, kemungkinan dari bahan polytelin. Tujuan pembatas, agar
limbah tidak menyebar dan justru akan mencemari laut dalam area
lebih luas. Lokasi tempat limbah di laut Cirebon itu, di sekitar
selatan Pelabuhan Cirebon.
***
PEMANFAATAN kawasan laut untuk menjadi tempat pengolahan air
limbah perkotaan secara konvensional, sebenarnya juga bukan karena
kedua faktor itu. Dengan pertimbangkan faktor biologis yang
menguntungkan, juga yang menjadikan pilihan lokasi di laut.
"Berat jenis air laut lebih tinggi dibandingkan dengan air
limbah. Karena itu nantinya air laut akan berada di bawah, dan air
limbah akan muncul ke permukaan," kata Ir H. Subakat Suhada.
Dengan kondisi seperti itu, proses biologis pengolahan air
limbah akan bekerja secara alamiah. Air limbah akan langsung
disinari matahari. Beberapa jenis ganggang, seperti ganggang biru
dan hijau, akan dimanfaatkan untuk proses pembersihan air limbah
itu. Selanjutnya, secara alamiah pula proses pembersihan air limbah
akan berlangsung.
Pemanfaatan laut, proses alamiah, dan faktor lain yang
menunjang pengolahan air limbah di laut, merupakan proses pengolahan
yang dilakukan secara konvensional. Sebab sebenarnya ada cara
pengolahan limbah dengan teknologi tinggi, dalam penanganan dan
pengolahan air limbah. Namun kendala biaya dan teknologi tinggi,
mengesampingkan pilihan pengolahan cara teknologi modern ini.
"Kalau proyek ini berhasil, nantinya akan dapat diterapkan
dalam pengolahan air limbah di kota-kota pantai lain, baik di
Indonesia maupun Asia Tenggara," kata Subakat.
Dipilihnya Cirebon, setelah ada keterkaitan dengan bantuan dana
pemerintah Swiss dalam program CUDP, juga dikaitkan dengan sudah
adanya beberapa kolam tempat pengolahan air limbah di kota itu.
Salah satunya adalah kolam oksidasi di Taman Ade Irma Suryani (TAIS)
yang menempati lahan seluas 4 hektar.
Kolam oksidasi pengolahan air limbah konvensional, secara
teknis memang lebih mungkin diterapkan, karena tidak membutuhkan
keahlian tinggi untuk pengelolaan dan pengolahannya. Proses
pengolahan limbah di kolam oksidasi seperti itu, merupakan proses
simbiosis mutualistis antara ganggang, air, dan matahari. Seperti
yang sudah dilakukan di kolam oksidasi TAIS, kolam pengolah air
limbah di laut nantinya akan menggunakan proses serupa.
"Perlu keseimbangan antara limbah dan bakteri. Sebab kalau
misalnya di kolam itu dominan terdapat ganggang hijau, akan
menimbulkan bau tidak sedap," kata Pimpro CUDP.
Di kolam oksidasi TAIS, baru 50 persen air limbah dari pusat
kota Cirebon dapat diolah. Kolam pengolahan air limbah ini, mampu
mengolah 61 liter/detik air limbah pusat kota secara biologis.
"Nah sisa air limbah pusat kota yang 50 persennya lagi,
diharapkan akan dapat diolah di tempat pengolahan di laut nanti,"
kata Subakat Suhada. (agus mulyadi)
Foto:
Kompas/mul
OKSIDASI - Kolam oksidasi Taman Ade Irma Suryani di tepi pantai
Cirebon, Jabar, saat ini baru mampu menampung 50 persen air limbah
kota Cirebon. Sisa limbah lain nantinya diharapkan dapat diolah
dan ditampung di tempat pengolahan air limbah di laut tak jauh
dari sana.