Jumat, 09 November 2007

KUT Bagai Buah Simalakama Bagi KUD

KOMPAS - Jumat, 21 Aug 1992 Halaman: 13 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 7352
KUT BAGAI BUAH SIMALAKAMA BAGI KUD
BAGI Koperasi Unit Desa (KUD), menyalurkan Kredit Usaha Tani
(KUT) adalah pekerjaan rumah (pe-er) yang baru bisa selesai
bertahun-tahun. Kadang pe-er itu tidak kunjung selesai. Banyak
masalah yang timbul bukan pada saat mengajukan permohonan KUT atau
penyalurannya, tetapi ketika uang kredit itu harus dikembalikan
kepada BRI -- pemberi kredit.
Pemberian KUT kepada petani melalui KUD, tujuannya adalah dalam
usaha untuk meningkatkan produksi pertanian. Tetapi pengembalian
uang pokok berikut bunga kredit, kemudian menjadi satu hal yang
pelik.
Kredit macet di berbagai daerah di Indonesia yang menyalurkan
KUT, dan angkanya mencapai hampir seratus milyar rupiah. Meski
dengan genjotan penagihan yang sangat intensif, KUT macet sejak MT
1985 - MT 1991, mencapai Rp 95,2 milyar. Itu berarti 29 persen dari
total kredit yang disalurkan dalam waktu sama sebesar Rp 601, 8
milyar.
Uang KUT yang telah disalurkan berikut bunganya -kini sebesar
19 persen, sebelumnya 12 persen-, harus kembali ke BRI tanpa kurang
sedikit pun. Tidak ada keringanan buat KUD. Sedang biaya operasional
permohonan, pengambilan, penyaluran, dan penagihan uang KUT, tidak
sedikit yang harus dikeluarkan KUD.
Upah pungut tiga persen dari bunga kredit yang didapat KUD
penyalur penyalur, tidaklah cukup untuk semua itu. Begitu pula
ketika upah pungut dinaikkan menjadi enam persen pada tahun ini.
Lagi pula, upah pungut baru keluar setelah KUT yang disalurkan pada
satu musim tanam telah lunas. Karena itu tidak mengherankan jika,
sebagian uang KUT hasil tagihan digunakan untuk biaya operasional
"Nonsen jika ada KUD yang bisa seratus persen mengembalikan
KUT, tanpa menggunakan sebagian uang kredit itu. Kalaupun bisa tentu
menggunakan sebagian uang KUT musim tanam sebelum atau sesudahnya,"
ujar Ketua KUD Pelopor, Desa Segeran, Kecamatan Juntinyuat, H Anwar
Fathoni, kepada Kompas di rumahnya belum lama ini.
Itu baru satu kasus yang menyebabkan macetnya KUT. Soal biaya
operasional ini, kalau dikaji lebih mendalam memang menjadi satu hal
paling mendasar bagi suksesnya penyaluran dan penggunaan KUT.
Mending kalau KUD bisa nombok dulu dari kekayaannya untuk biaya
operasional. Kalau tidak, tentu sebagian uang KUT yang digunakan.
Maka tidak aneh jika kemudian tunggakan KUT terjadi di mana-
mana. Bahkan jumlahnya makin membengkak dari tahun ke tahun, meski
telah digenjot dengan penagihan sangat intensif. Belum lagi
tentunya, kemacetan karena sebab lain. Misalnya, pengajuan oleh
petani fiktif tak bersawah. Lainnya, pengajuan kredit untuk sawah
lebih luas dari yang sebenarnya, dan korupsi oleh oknum pengurus
Sekian "biaya" yang harus dikeluarkan KUD dalam mengrusi KUt,
sepertinya memang jauh lebih besar dari upah pungut sebagai
"keuntungan" yang harus diterima. Dan semua itu menjadi tanggung
jawab KUD. Apalagi penyaluran KUT sudah merupakan program nasional
yang harus disukseskan.
Karena memang bisa dikatakan, hampir tidak ada keuntungan yang
bisa diambil KUD, sebagai penyalur KUT. Sedangkan biaya operasional
dan tanggung jawab atas KUT, sepenuhnya berada di tangan KUD.
***
BESAR kecilnya tunggakan KUT, tergantung banyak tidaknya
"petani" yang mengajukan kredit, dan luasnya areal pertanian. Salah
satu kabupaten yang paling banyak menyalurkan KUT, dan mempunyai
total tunggakan cukup besar adalah Kabupaten Indramayu. Sejak MT
1985/1986 - MT 1991/1992, dari realisasi penyaluran KUT sebesar Rp
18.620.935.000, baru kembali Rp 13.684.324.000. Atau total kredit
yang masih tertunggak hampir mencapai Rp 5 milyar.
Pengembalian KUT itu tercatat sampai dengan tanggal 15 Juli
1992 lalu, dan untuk KUT MT 1991/1992, jatuh tempo akhir Juli lalu.
Namun dalam setengah bulan itu, angka tidak akan terlalu berbeda
dengan angka di atas.
Di Kabupaten Indramayu yang dikenal sebagai "lumbung beras"
Jawa Barat ini, KUT tidak hanya macet di tangan petani betulan.
Tetapi juga macet karena dinikmati pihak-pihak lain. Di antaranya,
petani fiktif atau pengurus KUD.
Khusus petani fiktif, beberapa pengurus KUD di Indramayu yang
dihubungi mengatakan, tidak hanya aparat pamong desa. Aparat lain di
atasnya juga kadang menerima. Caranya, turut pula mengajukan kredit
atas nama petani, kadang ada yang menggunakan nama petani di satu
desa, yang sebenarnya tidak ada. Karena petani itu sudah pindah ke
daerah lain umpamanya, bahkan ada yang sudah meninggal. Untuk kasus-
kasus seperti ini, jangan harap KUT bisa kembali.
Keadaan itu terjadi ketika KUT dengan mudah bisa diajukan dan
dicairkan, pada waktu-waktu awal ketika KUT mulai disalurkan pada MT
1985 - MT 1988. Hingga tidak aneh, jika sampai saat ini KUT MT-MT
itu, tunggakan kredit masih besar.
Seperti diakui oleh Asisten Sekwilda II Pemda Indramayu, Drs P.
Moeljono, untuk KUT tahun-tahun itu memang sulit kembali. Penagihan
kini lebih diharapkan dari KUT-KUT sesudahnya.
Macetnya KUT di tangan petani fiktif, sangat kontras dengan KUT
yang disalurkan kepada petani betulan. Dari keterangan beberapa
petani, mereka mengaku sudah melunasi tidak lama sesudah panen. Itu
pun diakui pengurus KUD. Tidak sulit menagih KUT di tangan petani
betulan.
Terkecuali petani yang kurang berhasil dalam panen. Di KUD
Pelopor, Desa Segeran, Kecamatan Juntinyuat, umpamanya. Di wilayah
ini, dalam dua tahun terakhir, panen kurang berhasil. Akibatnya, KUT
MT 1990/1991, sampai kini masih tertunggak sekitar Rp 90 juta.
Sebagian tunggakan KUT lainnya, memang "nyangkut" di tangan
pengurus KUD. Sehingga sejak 1989 sampai saat ini sudah ada 10
pengurus KUD telah divonis Pengadilan Negeri Indramayu, antara dua
sampai dengan tiga tahun. Dalam waktu dekat, menurut rencana dua
pengurus KUD lain di Indramayu, juga akan diseret ke meja hijau.
***
Dari keterangan beberapa pengurus KUD di Indramayu, KUT
ternyata "nyasar" pula untuk berbagai keperluan dan ke beberapa
pihak lain. Selain untuk biaya operasional pengajuan, pengambilan,
penyaluran dan penagihan KUT. Termasuk di dalamnya berbagai jenis
"servis" terhadap berbagai pihak, untuk kelancaran segala hal yang
menyangkut KUT.
Kenyataan di atas dikemukakan beberapa Ketua KUD di Kabupaten
Indramayu, yang ditemui Kompas pekan lalu. Sampai-sampai salah
seorang Ketua KUD menyebutkan, "Bagi KUD, sama sekali tidak ada
untungnya menyalurkan KUT. Kalau bukan karena kewajiban, kami lebih
memilih tidak menyalurkannya. Saya rasa KUD lain pun memilih hal
yang sama. Ketika mengajukan dan menyalurkannya, kami sadar KUT akan
merugikan bagi KUD."
Menurut Ketua KUD yang tidak mau disebut namanya itu, ada
semacam joke di antara sesama pengurus atau orang-orang dari
instansi terkait lainnya, "KUD jangan mengambil pekerjaan yang
menguntungkan saja, tetapi juga harus mengambil pekerjaan yang
merugikan." Dan pekerjaan yang merugikan itu, tidak lain adalah
penyaluran KUT. Hal itu disadari betul oleh beberapa Ketua KUD di
Indramayu, ketika bertindak sebagai penyalur KUT.
Menyalurkan KUT memang bak makan buah Simalakama bagi KUD.
(agus mulyadi)

Tidak ada komentar: