Jumat, 09 November 2007

Dongbret, Pemikat Nelayan Untungkan KUD

KOMPAS - Selasa, 07 Mar 1995 Halaman: 17 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 7237
"DONGBRET," PEMIKAT NELAYAN UNTUNGKAN KUD
SEORANG petugas satpam di tempat pelelangan ikan (TPI) KUD Mina
Fajar Sidik, Kecamatan Blanakan, Subang, tidak henti-hentinya
meyakinkan tentang kehebatan KUD-nya itu. Meski jam tangan telah
menunjukkan pukul 01.00 dini hari, Sudiono, satpam itu, untuk
kesekian kali mengungkapkan pula, kehebatan KUD salah satunya
didukung oleh keberadaan ""dongbret"" di sekitar lokasi pelelangan.
Dongbret adalah sebuah kesenian tradisional masyarakat nelayan
pantai utara Jabar, seperti di Subang dan Indramayu. Kesenian ini
biasanya dapat dijumpai di sekitar muara-muara sungai yang menjadi
tempat mangkal perahu nelayan. Sejak belasan tahun terakhir, sulit
menemukan ""dongbret"" di Indramayu. Tetapi di daerah tetangganya,
Subang, masih bisa ditemukan di sejumlah muara.
Tiga lokasi yang sampai sekarang masih menjadi ajang pentas
""dongbret"" adalah di muara Blanakan (Sekitar 120 km timur Jakarta),
Mayangan (28 km timur Blanakan), dan Terungtum (di perbatasan
Kabupaten Subang-Kabupaten Indramayu atau 26 km timur Mayangan).
Dongbret adalah akronim dari ""sabelendong"" dan "dijambret".
Dalam kaitan ini, yang dijambret atau ditarik adalah wanita pelaku
"dongbret" dengan bayaran "sabelendong". Itu dahulu, ketika zaman
kolonial dan masyarakat masih mengenal duit "sabelendong" (2,5 sen).
Sekarang ini untuk menarik wanita "dongbret"-untuk diajak
kencan- si pria harus mengeluarkan uang Rp 500. Ini tarif yang
berlaku sekarang. Pembayaran diberikan oleh si pria, setelah kencan
sekitar 15 menit.
Dongbret memang tidak dapat dilepaskan dari dunia hiburan.
Dalam kaitan ini ""dongbret"" menjadi teman kencan. Namun ""dongbret""
berbeda dengan wanita penghibur atau WTS. Dongbret hanya sekitar menemani
ngobrol-ngobrol dengan pria berminat dengannya. Cium-cium pipi dan
colek-colek sedikit pun bolehlah.
Namun kencan akan berhenti tatkala "dongbret" menyambut kata
"kirim". Di sini berarti, si pria harus membayar Rp 500, dan si
wanita "dongbret" akan menyetorkannya kepada ketua kelompoknya. Jika
kencan ingin berlanjut, si pria bisa memesan kepada si "dongbret" tadi
untuk kembali lagi kepadanya. Begitu seterusnya. Uang yang
disetorkan nantinya dibagi bersama sesama "dongbret", pemain dangdut,
setelah dipotong macam-macam.
***
PELAKU "dongbret" hampir semuanya wanita belia, dan sebagian
besar datang dari Kabupaten Indramayu, seperti dari Krasak dan
Cangkingan. Sedangkan pengunjung pria, sebagian nelayan yang tengah
sandar di muara sekitar lokasi "dongbret". Dan kalau ditelusuri jauh ke
belakang, praktek "dongbret" itu sendiri mungkin sama tuanya dengan
usia lokasi pendaratan ikan bagi nelayan di muara sungai itu.
Tidak ada seorang pun nelayan yang tahu pasti, kapan "dongbret"
itu mulai ada. "Dongbret sudah ada sejak dulu," kata seorang nelayan
di Terungtum. Seorang nelayan pengunjung "dongbret" di Blanakan, Mus
(23), menyebutkan, ketika zaman ayahnya masih muda dan menjadi
nelayan, di Blanakan sudah ada "dongbret".
Keberadaan "dongbret" itu sendiri merupakan satu paket hiburan
bagi nelayan setempat, yang antara lain berasal dari Indramayu,
Subang sendiri, dan Pekalongan. Sebab ada pula unsur hiburan dangdut
di dalamnya. Seperti di Blanakan, ada sebuah grup dangdut yang
menyertai "dongbret", lengkap dengan panggung pementasannya.
Lokasinya berada sekitar 100 meter sebelat barat TPI Blanakan,
dan persis di samping deretan kios-kios yang dibangun setahun lalu
di kawasan itu. Sebelumnya, praktek "dongbret" berada di dalam TPI.
Beberapa ratus meter di sebelah utara, terdapat pula lokasi WTS.
Pengunjung "dongbret" Blanakan adalah nelayan-nelayan usia muda,
yang perahunya bersandar di muara kawasan itu. Setiap malam sejak
pukul 20.00 sampai pukul 02.00, setiap hari, "dongbret" dan grup
dangdut tampil di panggung lengkap dengan penyanyinya. Dahulu kala
konon tetabuhan pengiring "dongbret" hanyalah gendang, yang hanya
ditabuh dung.....dung.....saja, dengan irama tetap.
"Dongbret-dongbret" itu sendiri awalnya turut duduk-duduk di
panggung bagian samping. Sebagian nelayan yang datang langsung
"menjambret" "dongbret" untuk kencan di tempat gelap. "Dongbret" di
Blanakan, yang hampir semuanya gadis belia usia belasan tahun,
berjumlah sekitar 20 orang. Nelayan yang tidak kencan berjoget di
pelataran depan panggung. Kalau ingin memesan lagu dangdut kesukaan,
harus membayar Rp 500 kepada orang panggung.
Di Terungtum, meski tidak ada grup dangdut, kegiatan "dongbret"
tetap berlangsung di gedung TPI setempat. Jambret-menjambret
"dongbret" dan mojok di tempat gelap pun tetap terjadi. Bahkan sebagai
ganti dangdut, yang lagi tidak muncul karena generator listrik lagi
ngadat, di pelataran depan TPI digelar perjudian. Judi dadu dan
putaran nomor menjadi pelengkap "dongbret".
Sedangkan di Mayangan, pada musim angin barat sekarang,
"dongbret" hanya muncul malam minggu. Lokasinya persis di dalam
kawasan lokalisasi WTS Mayangan.
***
"DONGBRET", nelayan, dan dangdut, sepertinya juga tidak terlepas
dari minuman beralkohol. Mata merah dan bau alkohol jelas terpancar
dari nelayan yang ada di kawasan itu. Pengaruhnya kemudian juga
cukup jelas, kerap terjadi perkelahian sesama nelayan.
"Dua hari lalu ada perkelahian antara nelayan Parean dan
Dermayu, ada yang terkena hantam botol," kata seorang nelayan.
Parean, maksudnya adalah nama desa Parean Girang, Kecamatan
Kandanghaur, Indramayu. Sedangkan Dermayu, maksudnya kawasan nelayan
di utara kota Indramayu.
Hiburan memang sudah menjadi kebutuhan nelayan, setelah
menyabung nyawa di lautan demi sesuap nasi. Mereka yang berhibur
dengan "dongbret" adalah kalangan anak buah kapal (ABK) nelayan.
Ketika "dongbret" berakhir pukul 02.00, selanjutnya mereka bersiap-
siap pergi ke laut. Di perjalanan biasanya mereka tidur, karena ada
juru mudi yang memang tidak turut men"dongbret".
Para "dongbret" itu sendiri, beristirahat di rumah boss-nya di
perumahan nelayan. Kegiatan mereka, akan berulang malam berikutnya.
Ketika di tengah laut mencari ikan, para nelayan muda itu mungkin
ingin segera kembali ke darat, dan bertemu "dongbret" pujaan mereka.
Dan nelayan-nelayan itu pun, dapat lagi melepaskan ketegangan
setelah seharian atau beberapa hari berada di laut.
"Dongbret" memang telah menjadi daya tarik nelayan untuk mampir.
Mungkin karena menguntungkan itu, "dongbret" terus dipertahankan di
Blanakan, dengan segala konsekuensinya. "Dongbret sudah menjadi
potensi KUD," kata Sudiono. Dengan ada "dongbret" itulah, mungkin
akhirnya mengundang perahu nelayan, juga sampai yang berbobot mati
30 gross ton masuk ke Blanakan.
Mungkin karena ada "dongbret" itulah, KUD Mina Fajar Sidik
menjadi makmur. Hingga kemudian di kawasan itu dapat pula dibangun
perumahan nelayan dan pasar. "Dongbret" memang memikat. (agus mulyadi)
Teksfoto:
Kompas/mul
"DONGBRET" - Diiringi musik dangdut, nelayan Blanakan bersukaria setiap ì
malam. Sebagian nelayan lain mojok dengan dongbret.

Tidak ada komentar: