Jumat, 09 November 2007

Deretan Ujunggebang Kini Menjadi Dasar Laut

KOMPAS - Senin, 18 Apr 1994 Halaman: 12 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 10641
DARATAN UJUNGGEBANG KINI MENJADI DASAR LAUT
"BENGEN umahe kita ning kana kah," ujar kakek Dasman yang
berusia sekitar 70 tahun, sambil menunjuk lokasi perairan laut
sekitar 500 meter dari bibir pantai di Desa Ujunggebang, Kecamatan
Sukra, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Sekitar 125 rumah penduduk,
berikut balai desa lama dan sebuah masjid, kawasan permukiman itu
kini telah berubah menjadi dasar laut. "Dulu rumah saya di sana,".
Begitu arti ucapan kakek Dasman dalam bahasa Indonesia.
Secara berangsur rumah-rumah penduduk, tergusur ganasnya Laut
Jawa di kawasan itu. Dari waktu ke waktu, secara berangsur pula
rumah-rumah bergeser ke daratan lebih dalam, menghindar ganasnya
gusuran ombak. Namun ombak Laut Jawa rupanya terus memburu mereka,
sehingga sekitar tiga tahun lalu semua permukiman penduduk beserta
tambak, sawah, tegalan dan berbagai jenis pepohonan lenyap. Berbagai
bekas saksi kehidupan manusia itu kini sudah menjadi dasar laut.
Penghuninya sendiri, seolah takut kejaran ombak yang tak
kunjung henti sampai sekarang. Mereka telah pindah berpencar ke
beberapa lokasi agak jauh dari pantai, ke blok lain di Desa
Ujunggebang atau ke desa lain di sekitarnya. Ada yang pindah ke Desa
Tegal Taman, tetangga desa sebelah timur, ada pula yang berpindah ke
Desa Ketimban, Kecamatan Pusakanegara di sebelah barat. Sebagian
lain berpencar di blok lain desa Ujunggebang seperti Blok Pegagan
dan Blok Jangkar.
Kakek Dasman misalnya, bersama puluhan KK (kepala keluarga)
lain yang tidak mempunyai tanah di lokasi lain, terpaksa membangun
rumah-rumah mereka di atas tanah negara di Blok Tanjungpura, Desa
Ujunggebang. Pemerintah desa setempat menyediakan tanah negara
berupa tanah pangonan seluas dua hektar, untuk penduduk yang rumah
dan tanahnya telah menjadi dasar laut itu.
Balai Desa Ujunggebang yang menjadi pusat pemerintah di desa
yang terletak di perbatasan dengan Kabupaten Subang itu, juga telah
berpindah sejak tahun 1992 lalu di Blok Jangkar. Sebab balai desa
lama mungkin sudah menjadi "kantor" sekelompok ikan atau hewan laut
di dasar laut sana.
***
GARANGNYA hempasan ombak laut, mengakibatkan satu kelompok
masyarakat Desa Ujunggebang lenyap. Mereka kemudian membentuk
kelompok baru, atau bergabung dengan kelompok lain, dalam satu
komunitas masyarakat yang tentu baru bagi mereka. Menurut Staf
Pemerintah desa setempat, Bambang, setelah melihat buku potensi
desa, sekitar 108 ha luas areal dengan berbagai isi kehidupan di
atasnya telah lenyap sejak tahun 1977 lalu. Hingga saat ini sisa
luas Desa Ujunggebang tinggal 793,072 ha.
Kepala Dusun Blok I Tanjungpura, Yahya menambahkan, penduduk
terakhir yang pindah dari kawasan yang kini menjadi dasar laut itu
terjadi tiga tahun lalu. "Lokasi bekas rumah saya dulu juga sudah
menjadi dasar laut," katanya. Mungkin lokasi bekas rumah Yahya yang
berumur sekitar 50 tahun itu, sekarang sudah menjadi markas kelompok
gurita atau kelompok hewan laut lain.
Kalau mendengar penuturan kakek Dasman, mungkin luas daratan
yang telah lenyap berganti menjadi dasar laut itu, akan lebih luas
lagi. Sebab menurut dia, ombak laut di kawasan Ujunggebang mulai
kencang menghempas pantai di kawasan itu sejak zaman Jepang. Mulai
saat itu, dalam waktu-waktu berikutnya secara berangsur, daratan
digerogoti ombak. Sejak itu pula secara berangsur rumah-rumah
penduduk yang ada di sekitar pantai, bergeser ke daratan semakin
menjauhi pantai.
Kata Camat Sukra, Trisula Boedi dan beberapa stafnya, tanpa
menghitung tahun kapan mulainya ombak laut menggusur daratan
Ujunggebang, diperkirakan sekitar 250 ha daratan desa itu yang
telah berubah menjadi dasar laut.
Bekas-bekas dari rumah penduduk Ujunggebang sendiri, kini
bahkan sudah sulit ditemukan lagi, sehingga tidak dapat memberikan
kesaksian tentang berapa luas sebenarnya, dan sejak kapan awal
keganasan ombak laut menggusur mereka. Sementara kakek Dasman yang
pagi itu mengendarai sepeda tuanya menyusuri pantai Ujunggebang,
ingin bernostalgia sambil mengenang tempatnya lahir dulu yang kini
berubah menjadi laut.
Nenek Jasmin yang berusia sekitar 60 tahun mungkin sedang
bernostalgia pula, ketika pagi itu bersama salah seorang cucunya
berjalan kaki melintasi pasir pantai. Satu yang pasti, dia kini
tidak dapat kembali lagi ke rumahnya yang dulu. Deburan tenang ombak
pagi hari, yang mungkin menguak kembali ingatannya. Bahwa dia
bersama keturunnya terpaksa menyingkir, karena laut tidak lagi
mau bersahabat dengan mereka.
Seperti pula kakek Dasman, Yahya, dan puluhan KK penduduk
lainnya, nenek Jasmin kini menempati rumahnya yang dibangun di atas
tanah milik negara itu tidak akan ada yang mengganggu-gugat, karena
mereka tidak punya tanah lagi tanah milik mereka di muka bumi ini.
Para penduduk korban keganasan ombak laut itu pun, khususnya
yang tidak mempunyai lahan garapan pengganti kecuali lahan tempat
mereka tinggal di Tanjungpura, harus pula berganti mata pencaharian.
Bagi bekas petani, mereka kini tidak lagi menjadi petani. Paling-
paling mereka hanya dapat menjadi buruh tani. Sebagian penduduk
lainnya, telah beralih pula menjadi buruh-buruh nelayan.
***
DEBURAN ombak Laut Jawa di pantai bekas permukiman penduduk
Ujunggebang, terlihat tenang saat Kompas berada di lokasi itu awal
April 1994 lalu. Deburan ombak itulah yang mungkin dapat bercerita
dengan angkuh, tentang keganasan mereka menelan daratan yang begitu
dibutuhkan 125 KK Ujunggebang yang saat ini telah berpindah. Lebih
dari 1.000 jiwa terpaksa mengungsi menghindari ganasnya ombak.
Keangkuhan ombak yang terus menerus menggusur daratan ini
biasanya terjadi antara bulan Juli sampai dengan November saat angin
timur bertiup kencang. Beberapa tahun lalu, saat berlangsungnya KKN
(kuliah kerja nyata) seorang mahasiswa sebuah PTN (perguruan tinggi
negeri) di Bandung, Yahya pernah mebuktikan keganasan ombak itu.
Petang hari dia menancapkan sebuah tonggak kayu di batas ombak laut
dengan daratan. "Esok harinya tonggak itu sudah berada sekitar satu
meter dari batas garis pantai. Tanah yang di atasnya ada tonggak itu
dalam semalam sudah menjadi dasar laut," tutur Yahya.
Ganasnya ombak laut menggusur daratan Ujunggebang, sepertinya
memang tidak dapat dilawan. Upaya manusia untuk menahan gempuran
ombak seperti dengan membuat tanggul penahan, belum pula dilakukan.
Kecuali yang dilakukan sebuah perusahaan tambak udang di salah satu
kawasan Ujunggebang.
Pada tahun 1986 lalu pengusaha tambak seluas 33 ha itu,
membangun tanggul penahan ombak dari tumpukan batu-batu, untuk
melindungi tambaknya. Sampai dengan saat ini tambaknya tetap
terlindung. Sedangkan kawasan pantai di sekitarnya, sudah jauh
bergerak beberapa meter ke arah daratan. Hingga saat ini tambak
terlihat, kawasan tambak itu menjorok sendiri ke tengah laut.
Upaya menahan ombak laut untuk mencegah abrasi ini, telah
dilakukan pula pada kawasan Pantai Eretan, Kecamatan Kandanghaur,
yang terletak sekitar 10 km timur Ujunggebang. Sebab sejak belasan
tahun lalu Pantai Eretan makin masuk ke dalam daratan, dan sekarang
di beberapa tempat tinggal berjarak sekitar 50 meter dari jalan
utama utara Pulau Jawa (by-pass).
Sebuah tanggul dari tumpukan batu memanjang sekitar satu
kilometer, sejak Oktober 1993 lalu melindungi Pantai Eretan.
Penduduk Ujunggebang pun berharap, hal serupa dilakukan di kawasan
pantai desa mereka. Kalau tidak, dikhawatirkan abrasi akan menggusur
pula pesawahan dan daratan lain di desa mereka.
***
ABRASI yang menggusur areal daratan luas, ternyata tidak hanya
terjadi di Ujunggebang. Selain Pantai Eretan, sebanyak tujuh desa
lain di timur Ujunggebang yang masih termasuk Kecamatan Sukra, rata-
rata sekitar 10 ha daratannya sudah menjadi dasar laut pula. Hal itu
dikemukakan Camat Sukra, Trisula Boedi, bersama beberapa orang
stafnya kepada Kompas di kantornya.
Desa-desa yang sebagian daratannya lenyap ditelan laut itu,
antara lain Tegaltaman, Sumuradem, Sumuradem Timur, Mekarsari,
Patrol Lor, Bugel, dan Sukahaji. Namun abrasi di desa-desa itu tidak
terlalu mengkhawatirkan penduduk, karena abrasi menggusur daratan
yang tidak ditempati permukiman penduduk. Berbeda dengan Ujunggebang
yang melenyapkan puluhan rumah dan bangunan lainnya.
Tentang abrasi yang berlangsung ganas melenyapkan daratan di
wilayah Kabupaten Indramayu itu, Bupati Indramayu H. Ope Mustofa
menyebutnya sebagai gejala alam yang kadang memang tidak dapat
diatasi manusia. Tentang pembuatan tanggul penahan sendiri, Pemda
Indramayu tidak berencana membangunnya. Seperti Eretan, tanggul
mungkin akan dibangun dengan dana dari pemerintah pusat.
Abrasi di Ujunggebang dan desa lain di bagian timur, dalam
kenyataannya memang secara total telah melenyapkan sekitar 180 ha
daratan. Desa-desa itu ada di sebelah timur Kali Sewo, yang
merupakan perbatasan antara Kabupaten Indramayu dan Kabupaten
Subang.
Berbeda dengan yang terjadi di bagian timur Kali Sewo, hal
sebaliknya terjadi di sebelah barat kali itu. Daratan di barat Sewo
bukannya berkurang akibat abrasi, tetapi malah bertambah. Menurut
penduduk sekitar, beratus hektar tanah baru telah muncul di kawasan
pantai mereka. Tanah timbul itu mengakibatkan semakin jauhnya pantai
dari permukiman penduduk.
Tanah timbul itu mungkin muncul sebagai "pengganti" tanah
penduduk Desa Ujunggebang yang telah lenyap. Namun sayangnya
mereka tidak bisa mengklaim tanah itu sebagai tanah mereka, karena
munculnya areal tanah baru itu berada bukan di wilayah bekas tempat
tinggal mereka dulu. Dan seperti tanah timbul di daerah lain, tanah
timbul itu pun sudah dipetak-petak, karena konon sudah ada yang
memiliki. Bahkan jauh sebelum tanah itu muncul, perairan pantai
sudah dipetak-petak, sehingga begitu tanah timbul muncul, sudah
terpetak-petak dan mempunyai pemilik. Padahal areal tanah itu
mungkin berasal dari daratan milik penduduk Desa Ujunggebang yang
kini hilang. (mul)
Foto:
Kompas/mul
TERANCAM TERGUSUR - Bongkahan tanah bekas tegalan milik penduduk
yang kini berada di bibir pantai, seakan menunjukkan keganasan laut
Jawa terhadap daratan Ujunggebang. Saat angin timur laut datang
Juli nanti, bongkahan itu diduga akan tergusur ombak pula. Daratan ì
Ujunggebang yang menjadi dasar laut pun akan semakin bertambah.

Tidak ada komentar: