Jumat, 09 November 2007

Kegerlapan Tambak Itu Tak Berbias di Bungko Lor

KOMPAS - Kamis, 28 Apr 1994 Halaman: 17 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 4450 Foto: 1
KEGERLAPAN TAMBAK ITU, TAK BERBIAS DI BUNGKO LOR
MELINTAS di jalan raya Indramayu - Cirebon melalui Karangampel
pada malam hari, kita akan melihat betapa gemerlapnya lampu listrik
di kawasan pantai. Lampu yang gemerlap membentang di kawasan
sepanjang lebih 10 km itu adalah pertambakan udang intensif. Lampu-
lampu listrik itu digunakan untuk menerangi tambak udang, serta
berbagai keperluan di kawasan pertambakan.
Tenaga listrik yang mengalir ke kawasan pertambakan itu
disuplai PLN melalui tiang-tiang beton yang mengambil aliran yang
membentang di jalan Indramayu-Cirebon. Bentangan kabel itu melewati
permukiman penduduk di Desa Bungko Lor yang berpenduduk 2.863 jiwa
atau 700 KK (kepala keluarga).
***
IRONIS memang. Sebuah desa yang dihuni ribuan manusia harus
bergelimang dalam kegelapan di bawah jaringan kabel listrik untuk
membuat gemerlap tambak udang dan para pekerjanya di kawasan pantai,
sampai dengan saat sekarang belum dapat menikmati listrik. Penduduk
Desa Bungko Lor belum bisa menikmati terangnya lampu neon, atau
menonton siaran televisi berwarna. Mereka harus cukup puas dengan
menikmati televisi hitam putih yang dihidupkan dengan batere dari
aki. Untuk penerangan, warga Bungko Lor cukup dengan petromaks bagi
yang punya. Atau hanya dengan lampu minyak tanah.
Penduduk Bungko Lor boleh saja iri. Tapi itulah realita. Sebab
nilai ekonomis yang hidup di bawah gemerlapnya lampu-lampu neon di
kawasan pantai itu memang tinggi. Udang windu yang dibudidayakan
sejumlah pengusaha di pantai itu paling tidak berharga Rp 15.000 per
kilo. Dari sini tidak sedikit devisa yang dihasilkannya.
Wadika (35), salah seorang warga Bungko Lor mengatakan,
bentangan kawat listrik yang melintas desa untuk mensuplai listrik
ke pertambakan udang windu itu sudah berlangsung sejak tiga tahun
lalu. Mereka tak bisa ikut menikmati listrik karena memang tak
mampu. "Untuk dapat memasang listrik, kami harus membayar Rp 250.000
per rumah. Dari mana kami mempunyai uang sebanyak itu," katanya. Hal
senada juga dikemukakan penduduk lainnya, Rasija.
Ketidakmampuan penduduk Bungko Lor menyambung aliran listrik,
berbeda dengan penduduk tetangganya Desa Bungko. Dua desa itu
sebelumnya jadi satu yang kemudian dipecah menjadi dua. Sejak
beberapa waktu lalu sebagian penduduk Bungko dapat menikmati
listrik, karena mereka lebih mampu untuk membayar.
Bagi penduduk Desa Bungko Lor, yang sebagian besar mencari
nafkah sebagai nelayan, buruh nelayan, bertani atau buruh tani itu,
penerangan listrik mungkin tetap hanya menjadi mimpi mereka. Selama
penghasilan mereka tetap hanya pas-pasan. Kepala Desa Bungko Lor,
Sukardi, mengaku tidak tahu kapan listrik dapat menerangi rumah-
rumah penduduk desa yang dipimpinnya itu.
***
KETERBATASAN penghasilan penduduk Bungko Lor, hingga mereka
tidak mampu mengalirkan listrik ke rumah, mungkin tergambar dari
masuknya desa itu ke dalam kelompok desa tertinggal yang berhak
mendapat kucuran dana IDT (Inpres Desa Tertinggal). Di Bungko Lor,
1.097 jiwa penduduk tidak mampu yang akan mendapat IDT itu, dibagi
dalam lima kelompok. Masing-masing penduduk/KK tidak mampu akan
mendapat bantun modal. Rasija misalnya, mengaku akan dapat bantuan
IDT Rp 100.000. Uang itu akan digunakan untuk istrinya berjualan
kecil-kecilan.
Namun sayang (ini yang selalu dipikirkannya), berdasarkan
kesepakatan di kelompoknya, Rasija harus mengembalikan bantuan Rp
100.000 itu menjadi Rp 180.000. Setiap bulan dia harus mengangsur Rp
15.000 selama satu tahun (12 bulan). Katanya, kelebihan pembayaran
itu karena panitia setempat harus mengeluarkan biaya administrasi
dan biaya transportasi.
Nelayan kecil seperti Rasija yang tinggal di rumah berdinding
bambu berlantai tanah, mungkin akan tetap bingung memikirkan
pembayaran angsuran. Bagaimana nantinya dia harus pontang panting
mencari uang pembayaran angsuran bantuan IDT. Mampukah dagang kecil-
kecilan istrinya menyetor Rp 15.000 setiap bulan? Sebab, bila
penghasilannya hanya cukup untuk mengembalikan bantuan IDT, kapan
keluarga Rasija akan terbebas dari kategori penduduk miskin? Dan
mereka akan tetap tinggal di rumah-rumah desa yang gelap, sambil
bermimpi memandang lampu neon kawasan pertambakan yang gemerlapan...!
(agus mulyadi)
Foto:1

Tidak ada komentar: