Jumat, 09 November 2007

Debu Kapur Sahabat Kami

KOMPAS - Senin, 13 Jan 1992 Halaman: 13 Penulis: MULYADI, AGUS/HARIJONO, TRY Ukuran: 5330
DEBU KAPUR SAHABAT KAMI
"SECARA medis, penduduk di sekitar lokasi pembakaran kapur
seharusnya menderita penyakit paru-paru atau gangguan pernafasan.
Sebab setiap hari mereka menghirup debu kapur," kata Kepala Seksi
Kesehatan Lingkungan, Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon (Jabar), dr
Suherman.
Meskipun demikian, kenyataannya jauh berbeda. Tidak ada keluhan
sedikit pun dari penduduk atau buruh yang bekerja di pabrik kapur.
Mereka seolah-olah sudah teramat akrab dengan debu halus yang
berwarna putih itu.
"Saya kerja di sini sudah 15 tahun, belum pernah menderita
sakit. Apalagi sesak nafas atau muntah darah. Debu kapur sudah
menjadi sahabat kami," ujar Burhanuddin (32), buruh pembakaran kapur
di Desa Gempol, Cirebon.
Burhanuddin memang terkesan tidak mengada-ada. Buruh-buruh
lainnya di pabrik kapur menyampaikan pernyataan serupa. Padahal
ada 61 industri pembakaran kapur yang, selain memproduksi kapur,
senantiasa juga mengebulkan debu kapur yang tak terkira tebalnya ke
udara sekitarnya.
Tetapi nampaknya para buruh di tempat-tempat pembakaran itu,
juga penduduk sekitar, sudah teramat akrab dengan debu kapur. Makan,
minum dan beristirahat mereka lakukan di tempat itu, dipayungi debu
kapur yang menggantung di mana-mana.
Bagi para buruh kapur, debu kapur bukanlah sumber penyakit atau
bencana. Periuk nasi mereka justru sangat tergantung dari berasap
tidaknya pabrik kapur tempat mereka bekerja. Mereka selama ini
menghidupi diri dan keluarganya, dari upah sebagai buruh di industri
pembakaran kapur, sebesar Rp 2.500 sehari, bekerja sejak pukul 07.00
sampai 17.00.
* * *
"PENDUDUK nampaknya sudah memiliki kekebalan alami," ujar dr
Suherman memberi alasan kenapa tidak ditemukan penduduk yang
menderita gangguan pernafasan. Hidung dan tenggorokan penduduk sudah
mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Sehingga debu
pembakaran kapur tidak mempengaruhi kondisi fisik mereka.
Penyakit rorombeheuen atau pecah-pecah pada telapak kaki,
yang secara medis dapat menimpa buruh-buruh pembakaran kapur,
ternyata juga tidak menimpa mereka. Padahal sehari-hari buruh di
pembakaran kapur bekerja tanpa alas kaki. "Ini fenomena alam yang
cukup menakjubkan," ujar dr Suherman.
Berbeda dengan pendapat Dinas Kesehatan setempat, Bappeda dan
Pemda Kabupaten Cirebon justru menduga, penduduk di sekitar lokasi
pembakaran kapur mayoritas menderita gangguan pernafasan.
"Sekitar 70 persen penduduk, terutama yang berusia di bawah 12
tahun, menderita gangguan pernafasan," ujar Kepala Bidang Fisik,
Bappeda Kabupaten Cirebon, Drs Bambang Wasito, mengutip hasil
penelitian instansinya yang dilakukan tahun 1985.
Pendapat serupa juga dilontarkan Assisten II Pemda Kabupaten
Cirebon, Drs Suparman Oleredja. Menurut dia, penelitian Pemda tahun
1987 menunjukkan, sejumlah penduduk di sekitar lokasi pembakaran
kapur terserang penyakit paru-paru.
Meski belum diketahui persis penduduk yang terserang gangguan
pernafasan, namun menurut dia, jumlahnya tidak bisa dikatakan
sedikit. Penelitian saat itu secara sampel acak dengan mengambil 100
penduduk, ternyata lebih dari separuhnya terkena gangguan pernafasan
meskipun belum bisa dikatakan kronis.
"Karena alasan dan pertimbangan itu, Pemda berniat untuk
memindahkan lokasi pembakaran kapur, jauh dari pemukiman penduduk,"
ujar Suparman.
* * *
APAPUN hasil penelitian, penduduk sebenarnya dihadapkan pada
masalah yang pelik. Jika pabrik itu jadi dipindahkan ke lokasi yang
baru sesuai dengan kehendak Pemda, penduduk yang memiliki pembakaran
kapur ragu, apakah usaha mereka akan berlanjut. Jangan-jangan lokasi
baru akan dikuasai orang-orang luar desa yang bermodal kuat, dugaan
mereka.
Jika tetap mempertahankan lokasi yang sekarang, mereka juga
mesti menghadapi tudingan sebagai sumber pencemaran udara yang
mengganggu kesehatan penduduk. Gara-gara usaha mereka, penduduk "tak
berdosa" pun harus menikmati udara yang bercampur debu kapur.
"Kalau harus bertanggung jawab menjaga kebersihan lingkungan,
jelas tidak mungkin, karena usaha ini memang mengeluarkan debu kok,"
ujar H Satiri (49), pengusaha pembakaran kapur di Desa Gempol.
Bila pengusaha diwajibkan membayar "dana kebersihan" kepada
penduduk di sekitar lokasi pembakaran kapur, bukanlah langkah yang
baik. Menurut pengusaha, usaha pembakaran kapur lebih dulu berdiri
sebelum adanya pemukiman penduduk yang padat seperti sekarang.
"Penduduklah yang salah, mengapa mencari pemukiman dekat
pembakaran kapur. Usaha ini kan sudah ada sejak dulu," kilah Satiri.
Kalau penduduk meminta dana kebersihan kepada pengusaha, juga
dianggap tak wajar. "Bagaimana mungkin meminta, mereka kan tetangga
sendiri. Bahkan kakak saya bekerja sebagai buruh di pabrik kapur,"
ujar Ny Ipah (25), penduduk Desa Palimanan Barat, Cirebon.
Alhasil penduduk yang tidak bekerja di pembakaran kapur, memang
harus menanggung akibatnya. Mereka tak pernah menikmati udara
bersih. Rumah, sawah dan halaman, senantiasa dipenuhi debu kapur.
Bahkan penyakit gangguan pernafasan senantiasa menghantui mereka.
(agus mulyadi/try harijono)

Tidak ada komentar: