Jumat, 09 November 2007

Sadja, Petani Nomad dari Indramayu

KOMPAS - Jumat, 27 Dec 1996 Halaman: 22 Penulis: MUL/BOY Ukuran: 10745
Sadja
PETANI NOMAD DARI INDRAMAYU

MEMBURU lahan kosong. Itulah pekerjaan Sadja (65). Dan itu sudah
dilakukannya selama 25 tahun lebih. Berkelana dari satu tempat ke
tempat lain dan tinggal di situ hanya untuk masa seumur usia tanaman.
Dan karena Sadja mengaku hanya tahu bertanam semangka, maka paling
lama dia "bertahan" di satu tempat selama tiga bulan. Sama dengan usia
semangka. Setelah itu, ia berkemas lagi, pergi ke daerah lain. Orang
menyebutnya petani nomad. Beragam tempat di Jawa Barat dan Jawa Tengah
sudah didatanganinya.
"Usia semangka mulai dari menanam biji sampai mulai panen membutuhkan
waktu sekitar 70 hari. Namun kalau dihitung mulai mengolah lahan
sampai selesai panen, sekitar tiga bulan," kata Sadja, ketika ditemui
Kompas di dalam gubuk di tengah ladang semangkanya di Desa Ciburuy,
Kecamatan Maja, Kabupaten Lebak, pertengahan Desember 1996.
Lahan yang sudah sekali digarap tidak bisa langsung ditanami semangka
lagi. Kalau dipaksakan juga, hasilnya jelek atau gagal panen. Karena
itu, ia harus selalu terus-menerus mencari lahan baru agar bisa
berkesinambungan bertanam semangka.
Petani asal Desa Juntinyuat, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten
Indramayu, Jawa Barat itu, sudah sekitar satu setengah bulan berada di
Maja. Tanaman semangkanya sekarang sedang subur-suburnya. Tanamannya
sudah mulai berbunga, bahkan sebagian sudah menampakkan buah sebesar
buah kelereng sampai bola pingpong.
Sadja adalah salah seorang petani semangka asal Indramayu yang tengah
menggarap lahan telantar di Maja. Ratusan petani semangka lain asal
Indramayu juga menanam semangka di kawasan yang tengah menjadi
sorotan, karena ribuan hektar lahannya telah dikuasai developer untuk
dibangun sebagai perumahan, namun hingga kini masih dibiarkan
telantar.
Ratusan petani asal Indramayu bertanam semangka dalam puluhan
kelompok. Mereka tinggal di puluhan gubuk-gubuk berbeda di tengah
hamparan tanaman masing-masing, di perbukitan Desa Ciburuy dan
sekitarnya. Seperti Sadja, petani pengembara itu juga bertanam
buah manis berair melimpah itu. Ini sudah turun-temurun dilakukan
petani di daerah asalnya di Juntinyuat. Pengembaraan mereka di daerah
lain hanya sebatas usia semangka. Selesai panen, daerah lain pun
didatangi.
"Ning Juntinyuat kuwu keder, sebab kelangan penduduke," kata Sadja,
dalam logat Jawa Indramayu yang kental. Katanya, kepala desa di
Juntinyat bingung kehilangan penduduknya yang rata-rata mengembara
bertanam semangka.
Petani pengembara seperti Sadja hanya sekali-sekali pulang ke kampung
asalnya di Indramayu. Dalam setahun, ia hanya bisa beristirahat di
kampung halaman sekitar sebulan penuh. Selebihnya, ia berpindah-pindah
mengikuti tanaman semangkanya.
Kadang petani-petani itu memang sempat pulang, di sela-sela waktu
bertanam untuk suatu keperluan. Namun itu dilakukan hanya sekitar
satu-dua hari, sebelum kemudian balik lagi mengurus "kebun"-nya.
***

GUBUK yang ditinggali Sadja - juga petani semangka pengembara lain
seperti Sardi, Karsam, Duloh, atau H Warana - berupa tenda plastik
tebal. Karena terus-menerus mengembara, kasur busa juga dibawa. Alas
tidur empuk itu ditaruh di atas amben bambu setinggi sekitar 30
sentimeter.
Tidak hanya itu, perlengkapan dapur dan lainnya juga dibawa serta. Di
sela-sela memelihara tanaman semangka, petani pengembara juga memasak
di dalam tenda. Ada pula di antara mereka yang membawa serta istri,
seperti yang dilakukan H Sadja. Selama masa pengembaraannya, Sadja
selalu didampingi istrinya, kecuali ketika dia sedang hamil sampai
melahirkan.
"Lairane ning umah, beli ning kene," kata Ny Sadja menyebutkan
kelahiran anak bungsunya yang kini berusia 17 tahun. Maksudnya,
anaknya itu lahir di rumah di kampungnya, bukan di tenda saat
mengikuti suaminya mengembara. Entah karena saat di kandungan sudah
dibawa serta berkelana, si anak bungsu H Sadja sampai sekarang ini pun
ikut ayah ibunya dalam hidup gaya nomad.
Meskipun sudah beranak-cucu, dalam bertani semangka di daerah orang, H
Sadja tidak mau kalah dengan petani-petani yang masih muda usia. Ia
bersama istri dan putra bungsunya tidak mau ketinggalan, ikut
berkelana mencari lahan di daerah lain untuk digarap.
Seperti yang dilakukan di Ciburuy, Maja, Sadja merupakan orang yang
tertua, namun semangatnya tidak kalah dengan yang lain. Ayah delapan
orang anak dan belasan cucu itu menyewa lahan seluas 1,5 hektar dengan
sewa Rp 187.500 kepada pemilik lahan. Dari lahan itu Sadja sudah
menanam 4.000 bibit semangka.
Di luar sewa lahan, ia mengeluarkan biaya sekitar Rp 5 juta untuk
tanamannya, membayar upah pekerja kebun yang juga diboyong dari
Indramayu, bibit, pupuk, dan obat hama. Ini belum termasuk biaya makan
sehari-harinya berikut anak istrinya, serta buruh pemelihara tanaman.
Ketika membuka lahan, jumlah petani yang dipekerjakan bisa mencapai 15
orang. Setelah pembersihan dan pengolahan lahan selesai, dan tinggal
menanam bibit serta pemeliharaan sampai panen, jumlah pekerja itu
dikurangi hingga tinggal empat orang.
Setiap pekerja diberi upah per hari sebesar Rp 5 ribu, ditambah
tanggungan makan. Biaya lain adalah pupuk kandang sebanyak 140 karung,
dan pupuk jenis NPK sampai satu ton.
Menurut Sadja, dalam pencarian lahan baru untuk ditanami semangka,
kelompok-kelompok petani asal Indramayu itu mempercayakannya kepada
orang lain. Kalau sudah ada sejumlah kelompok petani masuk ke daerah
baru, biasanya kelompok-kelompok petani lain dari Indramayu juga
datang. Mereka memang biasanya saling memberi informasi di mana ada
lahan kosong.
Mereka menyetor sewa kepada pencari lahan, yang memang dianggap
sebagai pimpinan petani-petani nomad itu. Pimpinan kelompok petani
itulah yang berurusan, mulai mencari hingga negosiasi sewa. Dengan
demikian, petani lainnya dapat dengan tenang menjalankan pekerjaannya,
tanpa harus repot dengan berbagai urusan.
Bukan hanya itu, pimpinan kelompok pula yang menyediakan pupuk. Dalam
penjualan semangka hasil panen pun, pimpinan kelompoklah yang
menginformasikan kepada calon pembeli.
Lantas mengapa memilih daerah Maja? "Daerah ini kan berbukit-bukit,
sementara air cukup berasal dari hujan yang turun. Di perbukitan
seperti ini, lahan semangka tidak tergenang," katanya. Ditambahkan, di
Maja satu-satunya sumber air untuk menyiram semangka hanya air hujan.
Jika panen berhasil, Sadja bisa menghasilkan sekitar 28 ton semangka.
Berat rata-rata satu buah semangka sekitar tujuh kilogram. Kalau harga
lagi normal satu kilogram semangka Rp 450, Sadja dapat mengantongi
uang sebanyak Rp 12,6 juta.
"Yah untung Rp 2-3 juta sekali tanam, lumayan bisa menyambung hidup,"
kata Sadja, yang tidak mau menyebut rinci hasil yang didapatnya.
Tampaknya Sadja sudah cukup pengalaman dalam menanam semangka. Untuk
memaksimalkan hasil panennya, dia memetik semua buah yang tumbuh
kecuali satu yang dibiarkan besar. Dengan demikian, buah yang
dihasilkan adalah buah yang besar dengan isi yang baik.
Hampir semua daerah di Jawa Barat pernah didatangi Sadja untuk
bertanam semangka. Bahkan dia pernah menyewa lahan sampai di daerah
Pemalang, Jawa Tengah. Selebihnya di daerah Jawa Barat, baik itu di
Indramayu sendiri, maupun daerah lain di pantura, seperti Cirebon,
Subang, Karawang, sampai Serang.
Sebelum di Maja, Sadja menanam semangka di daerah Karawang. Sesudah
Maja, Sadja sudah mengatakan akan mencari lahan baru di daerah Jawa
Tengah.
Kenapa mesti jauh ke daerah lain, bukankan di Indramayu terdapat lahan
pertanian luas? "Kalau waktu rendeng seperti sekarang, tidak ada lahan
sisa untuk ditanami semangka. Semuanya ditanami padi. Kami bisa
bertanam di Indramayu, kalau kemarau nanti," kata Sadja.
***
PETANI semangka pengembara lainnya, H Warana (45), juga warga
Juntinyuat, baru lima tahun hidup nomad bertani semangka. Dia
ikut-ikutan tetangganya yang banyak bertanam semangka di daerah lain.
Laki-laki beranak tiga itu - sementara anak istrinya tetap tinggal di
kampung asal - mengaku mendapat keuntungan lumayan dari tanaman
semangkanya.
Sama seperti petani semangka lain, Warana pun sekarang memilih lokasi
di daerah lain, karena di daerah asalnya atau daerah tetangga dekat
Indramayu seperti Cirebon, Brebes, dan Subang, tidak ada lahan kering
untuk bertanam semangka. Semuanya sekarang ditanami padi.
Sardi (40) dan Karsam (38) juga menyebut alasan serupa. Selain tidak
ada lahan tersisa di daerahnya untuk bertanam semangka, selalu
diperlukan lahan baru untuk menanam buah itu. Sekarang ini kakak
beradik yang masing-masing menyewa lahan satu hektar mempunyai dua
orang buruh untuk mengurus tanaman. Sebelumnya, saat membersihkan dan
mengolah lahan, masing-masing membawa belasan buruh dari daerah
asalnya. "Sekarang ini cukup dua orang saja, untuk memelihara dan
mengawasi tanaman," kata Sardi, petani asal Karangsinom, Indramayu.
Berbeda dengan H Sadja dan H Warana, Sardi dan Karsam dalam masa tanam
ini beberapa kali pulang kampung. Mereka berdua mempunyai sawah yang
tengah ditanami padi di desanya. Saat pemupukan padi seminggu lalu
misalnya, keduanya pulang untuk mengawasi langsung. "Sesudah
panen semangka di sini saya pulang, menunggu panen padi sampai
pengolahan sawah dan tanam padi musim berikutnya. Sesudah itu selesai,
kami akan mencari daerah lain untuk kembali bertanam semangka," kata
Karsam.
Berbeda dengan Sardi dan Karsam, empat orang buruh mereka, seperti
juga buruh pemelihara semangka lain, tidak pernah pulang sejak
pengolahan lahan semangka. "Kami terikat kontrak sampai panen nanti,"
kata Wasdi (25) dan Rukyat (20), buruh yang bekerja di lahan Sardi.
Dua orang buruh itu, masing-masing dibayar Rp 400.000 sampai masa
panen semangka selesai nanti. Makan sehari-hari ditanggung majikannya.
Sesudah itu para buruh semangka itu akan mengikuti kembali pemilik
modal. Kalau langsung pindah ke lokasi baru, mereka pun ikut.
Seandainya pulang dulu, mereka pun kembali ke rumah masing-masing,
untuk kemudian kembali mengembara di lahan semangka baru. (mul/boy)
Teksfoto:
Kompas/boy
DARURAT - Sadja (kanan), petani semangka asal Indramayu, sanggup hidup di ì
gubuk darurat selama dalam perantauan. Bila istrinya tidak sedang hamil, dia ì
membawa serta untuk membantu urusan dapur. Meski darurat, petani semangka ì
seperti Sadja mengaku bisa menikmati hidup dan bahkan mampu menciptakan ì
lapangan kerja.

Tidak ada komentar: