Jumat, 09 November 2007

Jerih Payah Surawinata Hanya Hasilkan Keringat

KOMPAS - Selasa, 19 Jul 1994 Halaman: 2 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 6072 Foto: 8
JERIH PAYAH SURAWINATA HANYA HASILKAN KERINGAT
SIRNA sudah harapan Surawinata (60) untuk menggapai penghasilan
dari tanaman padinya. Saat tangan kanannya memegang arit, dan tangan
kirinya memegang tanaman padi, dia sadar sekitar tiga ton gabah yang
diharapkannya akan lenyap. Bersamaan dengan tebasan arit pada batang
padi, terpenggal pula penghasilannya tahun 1994 ini.
Dengan berat hati, Surawinata terpaksa harus membabat tanaman
padi pada sawah seluas satu bahu (0,7 hektar) yang disewanya. Musim
kemarau berkepanjangan yang tak kunjung henti, mengakibatkan tanaman
padinya kekeringan. Dan tanaman padi Suwinata termasuk yang harus
mengalami puso (gagal panen).
Nasib buruk yang dialami petani asal Desa Karangampel,
Kecamatan Karangampel, Kabupaten Indramayu itu, sama seperti yang
dialami ribuan petani lain, khususnya di Indramayu dan di Pulau Jawa
umumnya. Kemarau panjang, hujan yang lebih dari dua bulan tidak
turun, dan mengeringnya saluran air irigasi, mengakibatkan tanaman
padi harus pula kekeringan.
Seperti yang dikemukakan Menteri Pertanian, Syarifudin
Baharsyah, areal kekeringan di Pulau Jawa mencakup areal seluas
33.269 hektar. Dari jumlah itu yang benar-benar dinyatakan puso
mencapai 33.260 hektar (Kompas, 16/7).
Petani seperti Surawinata memang akhirnya harus menanggung
akibat dari kekeringan. Tanaman padi seluas satu bahu yang digarapnya
pada musim gadu ini tidak mendapatkan hasil. Padahal pada musim
rendeng MT 1993/1994 lalu, dari sawah garapannya itu ia mendapat tiga
ton gabah. Kini tiga ton gabah yang akan dapat dipergunakan untuk
memperpanjang hidup keluarganya itu, lenyap dibawa musim kering.
Padahal Surawinata hanya menggarap sawah sewaan. Sawah tidak
beririgasi teknis yang terdapat di desanya itu, disewa seharga dua
ton beras per tahun. Dengan lenyapnya tiga ton gabah yang akan
didapat dari musim gadu ini, turut sirna pula hasil yang diidamkan
dari sawah sewaan tersebut.
"Akibat kekeringan ini, saya tidak mendapatkan hasil apa-apa
dari hasil sewa sawah," kata Surawinata di lokasi sawah sewaannya
kepada Kompas, Sabtu (16/7). Surawinata menatap sendu tanaman padi
di hadapannya yang mulai berwarna cokelat akibat kekeringan.
"Percuma diteruskan, lamun ana udan sepisan mesing gah, angger
bae masa kuat tekang panen. Delengen bae, mletake wis amba-amba
mengkenen," ujar laki-laki yang rambutnya sudah ubanan itu, dalam
bahasa Indramayu, yang maksudnya. "Percuma diteruskan, seandainya
ada hujan sekali lagi, tetap tidak akan kuat sampai panen. Lihat
saja, retaknya (tanah sawah) sudah lebar-lebar begini."
***
BAGI Surawinata, kegagalan panen adalah risiko yang harus
dihadapinya sebagai petani. Karena itu dia tidak menyerah, dan tetap
akan mengolah sawah untuk ditanami semangka. Cucuran keringatnya
yang habis percuma selama mengolah tanaman padi dua MT, tidak akan
pernah mematahkan semangatnya.
Jerih payahnya selama menanam padi MT 1993/1994 dan MT 1994,
hanya membuahkan hasil keringat dari tubuhnya. Hasil panenan
sebanyak tiga ton pada musim rendeng MT 1993/1994 lalu, habis untuk
membayar sewa sawah, dan biaya garapan sawah MT itu dan MT 1994 gadu
sekarang.
Menurut Surawinata, dari tiga ton gabah hasil panen MT 1993/1994
lalu, dua ton di antaranya sudah dibayarkan untuk sewa sawah. Sisanya
yang satu ton, telah dijualnya untuk menutupi biaya garapan dua MT
tahun ini.
Pada musim panen lalu, satu ton gabah sisa miliknya menghasilkan
uang Rp 300.000, karena ketika itu harga per kuintal gabah kering
simpan Rp 30.000/kuintal. Dalam perhitungannya, uang sebesar itu
sebenarnya telah habis untuk biaya garapan sawah pada MT 1994 lalu,
yang juga menghabiskan sekitar Rp 250.000. Biaya garapan meliputi
pengolahan sawah, pupuk, bibit, obat-obatan, tenaga buruh tani, dan
sebagainya.
Surawinata tadinya berharap, keuntungan dapat diraihnya pada MT
gadu ini, sebab dia tidak perlu lagi membayar sewa yang sudah
dilunasi dari hasil panen MT sebelumnya. Dengan sisa uang Rp 50.000
untuk tambahan biaya garapan sawah, dia berharap tiga ton gabah hasil
panen nanti, utuh menjadi miliknya. Apalagi harga gabah sudah lebih
tinggi, dan saat ini saja sudah sekitar Rp 440/kg (Rp 440.000/ton).
Dengan rasa optimisme akan mendapat hasil sebesar itu,
Surawinata mengolah musim gadunya. Pada awal garapan, sawahnya tumbuh
subur, karena air masih menggenangi sawahnya. Namun apa lacur, hujan
kemudian tidak kunjung turun, sementara panas begitu terik menyengat,
menambah cepat terjadinya penguapan air. Saluran air di sekitar
persawahan di kawasan itu pun sama mengering.
Tanah sawah akhirnya retak-retak. Mulai retak pula harapan
Surawinata terhadap hasil sawah garapannya. Kemarau berkepanjangan
kemudian memang benar-benar merontokkan harapannya. Dengan sangat
terpaksa, tanaman padi berusia dua bulan miliknya dibabat. Kekeringan
memporak porandakan semuanya.
"Padahal saya sudah menghabiskan modal Rp 150.000 untuk biaya
garapan sampai saat ini. Hasil menanam padi yang saya harapkan dari
sawah ini tidak menjadi kenyataan," kata laki-laki berkulit hitam
terbakar matahari ini, pelan.
Dari sawah garapannya itu, Surawinata tidak mendapatkan apapun,
kecuali rasa capek, kepanasan, dan keringat bercucuran. Bahkan dapat
dikatakan, dia rugi Rp 100.000 untuk biaya garapan dua MT tahun ini.
Sebab seluruh biaya garapan yang telah dikeluarkan totalnya Rp
400.000, sedangkan hasil penjualan sisa gabahnya yang satu ton hanya
Rp 300.000. "Itu belum termasuk tenaga yang saya keluarkan berbulan-
bulan untuk mengolah sawah ini," katanya sambil penuh harap atas
tanaman semangka yang ditanamnya mengganti padi yang puso.
(agus mulyadi)
Teks foto:
Kompas/mul
SUNGAI CIMANIS- Sungai Cimanis yang melintas Kecamatan Krangkeng,
Indramayu, Jabar, kini kering kerontang. Padahal air sungai itu
biasanya mengairi areal pesawahan di kiri kanannya.

Tidak ada komentar: