Jumat, 09 November 2007

Di Indramayu, Bulu Domba Tapos Menjadi Hiasan Dinding

KOMPAS - Minggu, 02 Apr 1995 Halaman: 15 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 7695
DI INDRAMAYU, BULU DOMBA TAPOS MENJADI HIASAN DINDING
BULU domba di Indramayu sejak 15 tahun lalu tidak keriting lagi.
Aroma khas domba yang menempel pada bulu itu pun sirna. Malah segala
macam warna menghiasi bulu binatang yang bisa diadu domba itu, sebab
bulu hewan ternak ini berubah menjadi berbagai bentuk hiasan
dinding, taplak meja, sarung bantal kursi, atau tas.
Memang bukan bulu yang masih menempel di kulit domba hidup,
tetapi bulu-bulu hasil pencukuran dari kulit hewan yang sedap
dibuat sate itu. Bahkan bisa disebut, hanya bulu domba asal
peternakan Tapos, Bogor, yang tidak keriting lagi. Kerajinan
pengolahan bulu domba di Indramayu, bahan bakunya semuanya berasal
dari Tapos.
"Semua bahan baku bulu domba saya dapatkan dari Tapos,"
kata Ny Sukaryatinih (38), pengelola kerajinan bulu domba
Indramayu, Jabar. Ibu seorang putra berusia dua tahun ini satu-
satunya pengusaha kerajinan bulu domba di Jabar, dengan dibantu
sebelas orang tenaga kerja pengrajin. Bulu domba Tapos dibelinya
seharga Rp 500 per kg. Dalam satu bulan, sekitar 2-3 kuintal bulu
domba dihabiskan untuk kerajinan ini.
Mungkin karena hanya semata wayang, kerajinan langka ini
kadang menjadi kebanggaan daerah setempat. Rasa bangga yang
muncul saat ada kegiatan pameran di tingkat propinsi misalnya,
atau ada kunjungan pejabat lebih tinggi lagi.
Bisa dikatakan kerajinan bulu domba sudah menjadi semacam
kerajinan khas Indramayu. Kalau orang menyebut kerajinan
bulu domba mau tak mau harus melihat ke daerah ini, padahal
kerajinan ini hanya berada di satu lokasi dengan kapasitas
terbatas. Selama perjalanannya yang sudah belasan tahun, bisa
dikatakan pula kerajinan ini jalan di tempat.
Penyebabnya bermacam-macam. Semuanya mengenai keterbatasan
yang khas industri gurem, apakah itu terbatasnya tenaga pengrajin,
modal, pangsa pasar, sampai dukungan dari kalangan yang memiliki kemampuan.
Namun di tengah sejumlah keterbatasan, kerajinan ini tetap hidup berkat
keuletan pengelola tunggalnya, Ny Sukaryatinih.
Kerajinan bulu domba Indramayu contoh dari sebuah
keuletan dan perjuangan. Tanpa dibekali itu, kerajinan yang
memang langka ini mungkin sejak lama sudah gulung tikar.
***
LAHIRNYA bayi kerajinan bulu domba di Indramayu, berawal
dari bantuan Pemerintah Belanda yang diberikan khusus untuk
mengembangkan kerajinan langka ini. Dan Indramayu menjadi pilihan.
Lokasinya berada di dalam kompleks LIK (lingkungan industri kecil)
setempat.
Kegiatan yang melibatkan Dinas Perindustrian dan Dinas
Peternakan Indramayu, bekerja sama dengan Jurusan Seni Rupa
Institut Teknologi Bandung, kemudian melatih sejumlah tenaga
pengrajin. Seorang di antaranya, Sukaryatinih. Yang dilatihkan
antara lain tentang pemintalan bulu domba, penenunan, dan desain.
Selesai diklat, mereka langsung diterjunkan dalam praktek
kerajinan di LIK. Satu perangkat alat pintal bulu domba bukan
mesin (APBM) dan empat unit alat tenun bukan mesin (ATBM)
bantuan, menjadi alat kerja para pengrajin baru tersebut.
Pengelolaannya antara tahun 1980-1982 masih dalam kaitan
proyek bantuan itu. Baru pada tahun 1982 pengelolaannya
diserahkan kepada Pemda Indramayu. Roda kerajinan baru ini berjalan
tersendat, sampai kemudian pada tahun 1985 berhenti.
Namun kerajinan bulu domba adalah seni, dan jiwa seni telah
tumbuh dalam diri pengrajin. Salah satu dari mereka,
Sukaryatinih, yang ketika itu menjadi bendahara sekaligus
pengrajin, tidak mau kerajinan bulu domba itu mati. Sejak tahun
1985, dia ambil alih pengelolaannya. Sukaryatinih terus berkarya.
"Iseng, dari pada mengganggur di rumah, lebih baik saya
lanjutkan kerajinan bulu domba ini. Apalagi saya kasihan pada
pekerja yang kehilangan mata pencahariannya," kata
Sukaryatinih. Bermodalkan empat ATBM dan seperangkat APBM
peninggalan bantuan Belanda yang tidak terpakai, bulu domba
kembali dirangkai menjadi hiasan dinding, tas atau taplak meja.
Sebuah ruangan di salah satu gedung dalam kompleks LIK di Jalan
Gatot Subroto, Indramayu, sampai sekarang pun tetap ditempati
industri kerajinan kecil ini.
***
MESKI telah beralih tangan, perjalanan kerajinan bulu domba
tetap merayap. Selama 10 tahun Sukaryatinih mengelolanya,
pertumbuhannya berlangsung perlahan. Pada masa-masa awal industri
kerajinan ini memproduksi sekitar 40-50 hiasan dinding. Saat ini
meski telah meningkat, tetap saja tidak melonjak, sekitar 60 hiasan
dinding, taplak meja dan sarung bantal.
Sukaryatinih kerap mengalami kesulitan mengerjakan pesanan. Untuk
keperluan pameran di Jakarta Design Center akhir 1993 lalu misalnya, dia
mendapat pesanan 100 hiasan dinding. Mestinya pesanan itu selesai satu bulan, ì
namun kenyataannya baru diselesaikan satu bulan setengah. Penyebabnya,
keterbatasan alat dan tenaga kerja pengrajin.
Langkah pengrajin bulu domba Indramayu yang seperti berjalan
di tempat ini, menurut Sukaryatinih, paling utama karena pangsa
pasar yang tetap seperti dulu-dulu juga. Pemasarannya tetap ke
Bogor, Bandung, dan Jakarta. Di Ibu Kota, kerajinan ini bisa
dijumpai di Sarinah, Keris Galeri, atau di kawasan Kemang.
Harga karya kerajinan ini sebenarnya tidaklah mahal. Sebuah
hiasan dinding berukuran 80 cm x 120 cm misalnya, dijual Rp 50.000 -
Rp 60.000. Sedangkan seperangkat taplak meja dan sarung bantal (enam
buah) Rp 100.000. Tapi meski cukup murah, tetap saja sulit melebarkan sayap
pemasarannya.
"Cukup sulit memasarkan hasil kerajinan ini. Lagi pula
peminatnya terbatas, hanya mereka yang tertarik terhadap karya seni
ini," kata lulusan SMEA Negeri Indramayu tahun 1976 ini. Ditambahkannya,
kerajinan bulu domba berbeda dengan industri makanan atau sandal yang
merupakan kebutuhan sangat mendasar manusia.
Sandal kerap dibutuhkan manusia dalam hidup kesehariannya
tetapi hiasan dinding hanya dibutuhkan mereka yang menghargai
keindahan, sekadar penambah atau pelengkap keindahan aksesori sebuah
gedung. Karena itu wajar saja pasar kerajinan bulu domba cukup sulit
berkembang tanpa bantuan tenaga yang lebih profesional mulai dari
pendidikan tenaga pengrajin hingga pemasaran.
Kendala lain, meski tetap semuanya kemudian bermuara pada
pemasaran adalah terbatasnya modal, alat, dan tenaga kerja. Untuk
menambah produksi, alat pintal dan alat tenun tentunya harus
ditambah. Begitu pula tenaga pengrajinnya. Saat ini alat tenun
kerajinan itu sudah tujuh unit sementara alat pintal tetap satu.
"Kalau alat tenun bisa dipesan pada tukang kayu atau membeli
bekas, tetapi alat pintal khususnya jenis cardine atau sisir pintal,
harus didatangkan dari luar negeri," ujar Sukaryatinih memberi
alasan. Sedangkan soal penambahan modal, mungkin saja ditambah
melalui cara kerja sama dengan pihak lain.
Tentang kerja sama ini, diakuinya pernah ada tawaran dari
seorang pengusaha di Jakarta namun bentuk kerja samanya tidak
berkenan bagi Sukaryatinih. Pemodal itu hanya menganggap dia tidak
lebih sebagai pengawas pekerja, dengan target produksi yang
ditetapkan. Sukaryatinih tentu saja menolak.
Dalam lubuk hati Sukaryatinih pun tetap tersimpan sebuah
obsesi: kerajinan bulu domba yang dikelolanya dapat berkembang
menjadi besar, dan semakin diminati masyarakat banyak. (agus mulyadi)
Teksfoto:
Kompas/mul
MENENUN -- Mendidik pengrajin bulu domba tidak mudah, padahal mereka
seringkali masuk dan berhenti bekerja sesuka mereka. Kendala ini
ikut menyebabkan kerajinan dari bulu domba lambat berkembang.

Tidak ada komentar: