Rabu, 16 Juli 2008

KOMPAS - Rabu, 29 Jan 1992 Halaman: 1 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 7796
DARI RAKYAT UNTUK RAKYAT
Konservasi Hutan di Sulsel (1)
Pengantar:Hubungan manusia dengan alam agaknya tetap relevan dijadikanbasis upaya pelestarian lingkungan. Antusiasme untuk menjaga alamagar tetap lestari, niscaya hanya bisa tersulut jika manusia itusendiri diletakkan sebagai inti dari gerakan pelestarian lingkungan.Itulah pokok yang dilihat oleh wartawan Kompas Agus Mulyadi, ketika awal Januari lalu ikut serta dalam rombongan Press Tour DepartemenKehutanan melihat pembangunan kehutanan di Sulawesi Selatan. Laporan dibuat dalam dua tulisan, dimuat hari ini dan besok.
PEMBABATAN hutan tropis di Indonesia memang bisa terasamenggedor hati. Ketika alam menjadi merana, persoalannya lalu bukansemata-mata terletak bagaimana masyarakat harus mempertahankan citradiri dari sorotan para aktivis lingkungan, tetapi secara takterhindarkan adalah pada bagaimana menentukan sikap yang layakterhadap lingkungan, dan bagaimana membuat aktivitas untukmenyelamatkan nasib alam.Langkah harus diambil.
Mungkin ini yang mendasari pembangunankehutanan di Sulawesi Selatan pada tingkat seperti terjadi diwilayah itu sekarang. Kondisi hutan di Sulawesi Selatan boleh dikatasudah tercabik-cabik. Dari hutan seluas sekitar 3,5 juta hektar,seluas 1,1 juta hektar (atau sekitar 30 persen) telah menjadi lahankritis. Ini konon akibat pembabatan liar untuk perkebunan danperladangan berpindah. Wilayah kritis itu 700.000 hektar beradadalam kawasan hutan, dan 400.000 di luar kawasan.
Pemerintah Daerah dengan instansi yang terkait yakni KantorWilayah Departemen Kehutanan Sulawesi Selatan telah mengambilberbagai langkah untuk mengatasi krisis itu. Taruh misalnya denganpola HTI (Hutan Tanaman Industri) -- sebuah upaya "penghutanankembali" yang melibatkan Departemen Kehutanan, kalangan swasta danmasyarakat.Tapi yang boleh dibilang menarik, adalah upaya penyelamatanhutan yang meletakkan masyarakat sebagai inti gerakan, denganmengembalikan interelasi alam dan manusia sebagai basis. Kegiatan itu menonjol pada penyelamatan hutan dengan program HKD (HutanKesepakatan Desa).
APAKAH HKD? "Masyarakat terutama yang tinggal di sekitar hutanturut bertanggungjawab terhadap kerusakan hutan. Karena itu merekaharus bertanggungjawab pula untuk melestarikan sisa hutan danmembangun kembali hutan di lahan-lahan kritis itu," ujar Ir SoetomoSoepangkat, Kakanwil Kehutanan Sulsel.
Pelibatan langsung masyarakat dalam pelestarian dan pembangunanhutan sekarang sudah seperti kereta api di atas rel dan siapmenggelinding terus. Kabupaten Sinjai yang terletak di Sulsel bagiantimur bisa dijadikan contoh dari keberhasilan program HKD. Kegiatanpenghutanan kembali lahan-lahan kritis itu memang tidak dilakukan dihutan lindung, melainkan di hutan rakyat. Penghijauan hutan lindungtetap menjadi tanggungjawab pemerintah. Sedangkan untuk hutanrakyat, upaya dimulai dengan kesepakatan bersama antara masyarakatdengan pemerintah.
"Bisa dikatakan hutan kesepakatan desa atau HKD ini baru ada diKabupaten Sinjai. Sinjai bisa disebut sebagai pelopor pelestarianhutan di Indonesia dengan keterlibatan langsung masyarakat tanpabantuan dana serta campur tangan pemerintah," kata Bupati Sinjai, A.Arifudin Mattotorang, SH.
Kegiatan ini dimulai tahun 1983. Dengan berswadaya, pendudukdesa menjaga dan melestarikan hutan rakyat -- maksudnya hutan dilingkungan mereka. Kawasan di sekitar mereka yang mereka garapbervariasi, dari sekitar lima hektar sampai 100 hektar. HKD padadasarnya merupakan kawasan yang dijaga bersama untuk dilindungi.Dari 35 desa di Sinjai, hingga saat ini 28 desa sudahmenetapkan areal HKD.
Sebagian besar hutan rakyat itu merupakanareal hulu sungai yang mensuplai pengairan desa. Istilah yangdipakai memang "hutan rakyat", yakni suatu areal yang berasal darihak milik rakyat atau juga hutan adat milik suatu desa. Dengan pelestarian hutan itu dengan cara swadaya, barangkali inilah yangdisebut "hutan rakyat, untuk rakyat".
Menurut Arifudin Mattotorang, HKD bermula dari musyawarahdengan prakarsa utama LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) untukmenyepakati suatu kawasan hutan yang dicadangkan menjadi hutan desaatau HKD. Hutan itu pada dasarnya merupakan sebagian areal yangsemula digarap penduduk. Dengan musyawarah, dengan pendekatan dialogdan bukan todongan senapan, keluarga-keluarga penggarap menyerahkanhaknya atas tanah garapan untuk menjadi areal HKD.
Ikhtiar pembentukan HKD bukan hanya sekadar didorong keharusanmengembangkan hutan untuk mencegah erosi, menyelamatkan tanah-tanahkritis dan menjaga sumber air, tetapi lebih dari itu karenakesadaran untuk memelihara flora dan fauna Indonesia yang kinimerosot dengan cepat.Bagi sebagian HKD yang belum pulih sepenuhnya sebagai hutan,beberapa desa telah mengusahakan intensifikasi penanaman (enrichmentplanning) dengan tanaman-tanaman spesifikasi. Tanaman spesifikasiitu di antaranya berupa tanaman aren. Tahun 1987 dan 1988, empatdesa menyemaikan bibit aren berjumlah 140.000 pohon.
HUTAN kesepakatan -- sebutan lazim untuk HKD -- dilaksanakantanpa bantuan sepeser pun dari pemerintah. Yang dijadikan landasanuntuk mengkonsolidasi kekuatan rakyat itu rupanya memang bukan dana,melainkan tradisi yang telah berakar sebelumnya. Dari dulu, desa-desa di Sinjai senantiasa memiliki hutan rakyat, yang disebut pulahutan adat.Setiap desa, mempunyau aturan sendiri untuk mengamankanhutannya.
Saat ini, beberapa desa misalnya, menerapkan sanksi denganpembayaran ganti rugi Rp 50.000 untuk satu orang yang melanggarketetapan. Bahkan, andaikata orang itu hanya menebang satu pohonkecil. Denda tersebut dijatuhkan kepada pelanggar berdasarkankesepakatan yang diambil dalam musyawarah masyarakat setempat.Sanksi semacam ini agaknya telah membuat penduduk keder.
Di kalangan mereka kini ada istilah "peliharalah senso". Itu merupakanseloroh. Senso artinya mesin gergajian. Kalau mesin gergajidipelihara baik-baik, artinya tidak digunakan untuk sembarangtebang, niscaya mereka bakal aman.Setelah sekitar sembilan tahun HKD diterapkan di Sinjai, sampaisaat ini luas hutan kesepakatan sudah mencapai 402,65 hektar. Arealitu tersebar di semua wilayah, baik di Kecamatan Sinjai Timur, Sinjai Barat, Sinjai Tengah, Sinjai Selatan dan Sinjai Utara.
Luas hutan kesepakatan yang telah berhasil dihijaukan itu,kalau ditilik dari jumlah angka pastilah memang belum seberapa,dibanding keseluruhan luas hutan di Kabupaten Sinjai, yakni 23.630hektar. Terlalu naif memang, apabila menggantungkan pemeliharaanhutan hanya semata-mata kepada HKD.
HKD akan terasa lebih kecil lagi, kalau diletakkan dalam skalakeseluruhan hutan di Sulawesi Selatan, yang terhampar seluas 3,5juta hektar dengan sekitar 30 persen di antarnya gundul.Tapi HKD terasa menjadi signifikan, karena di situ ada percikkesadaran dari masyarakat. Kalau dilihat dengan kacamata optimisme,seluruh perubahan sejarah biasanya dimulai dari percik kesadaransejumlah orang -- betapapun kecil jumlahnya. Seperti dikatakanArifudin Mattotorang,
"Hutan kesepakatan hanyalah embrio pelestarian hutan di Indonesia." ***
teks foto:Kompas/mul
HUTAN RAKYAT -- Hutan rakyat di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatanini ini sudah tampak hijau kembali berkat upaya penghutanan kembalioleh rakyat. Tapi, perjalanan rasanya masih jauh, kalau mengingatluasnya skala perusakan hutan di Indonesia.
Diposting oleh ManggaDermayu di 04:14 0 komentar
Label: , ,

Tidak ada komentar: