Kamis, 17 Juli 2008

Harga Kopi Menukik, Petani Pun Panik

KOMPAS - Jumat, 11 Jul 2003 Halaman: 30 Penulis: Mulyadi, Agus Ukuran: 6953 Foto: 1
HARGA KOPI MENUKIK, PETANI PUN PANIK
HIDUP petani kopi di zaman yang serba sulit ini makin bertambah
susah. Di tengah terus membubungnya harga-harga kebutuhan pokok hidup
dan berbagai jenis barang, nilai tukar produksi pertanian mereka
tetap rendah. Nilai tukar produksi pertanian, termasuk kopi, tetap
tidak sebanding dengan harga barang yang mereka butuhkan.
PETANI kopi pun kini semakin terpuruk ke dalam lembah kemiskinan,
akibat terus merosotnya harga biji kopi kering di pasaran. Hasil
jerih payah mereka setahun ini tidak membuahkan hasil memadai.
Rendahnya harga jual biji kopi membuat mereka terus terpuruk di dalam
jurang kemiskinan.
"Tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari kebun kopi sekarang.
Harga kopi tidak sebanding dengan kerja keras dan biaya yang telah
dikeluarkan. "Saya tidak tahu lagi, apakah hasil penjualan kopi tahun
ini bisa untuk menutupi biaya makan setahun ke depan," ujar Zaeri,
petani kopi di Talang Pagar Alam, Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan.
Keluhan dan kekhawatiran Zaeri seperti mewakili ratusan ribu
petani kopi di Sumatera Selatan (Sumsel), Bengkulu, Lampung, dan juga
provinsi lain di Indonesia. Mereka hanya bisa pasrah
menerima "perlakuan tidak adil" tersebut.
Harga kopi yang terus merosot hanya bisa dihadapi petani dengan
sikap nrimo. Mereka hanya bisa mengikuti kehendak pasar.
Dua bulan ini, saat masa panen kopi tengah berlangsung, harga
jual di tingkat petani menukik tajam di kisaran Rp 3.500 sampai
dengan Rp 4.000 per kilogram. Harga itu tentu saja tak sebanding
dengan kerja keras dan modal yang dikeluarkan petani selama setahun.
Harga di kisaran itu jauh dari harapan petani yang pernah
merasakan bagusnya harga biji kopi kering pada tahun 1998 yang
mencapai Rp 16.000 per kilogram. Namun, kenaikan tersebut hanya
dialami saat itu saja. Tahun berikutnya, yaitu tahun 1999 dan 2000,
harga kopi menurun drastis menjadi Rp 7.000 per kilogram.
"Tahun 2001 harga kopi kembali turun menjadi Rp 5.000 per
kilogram. Dan yang paling parah tahun 2002, harganya hanya sekitar Rp
2.500 sampai Rp 2.800 per kilogram. Namun, tahun lalu produksi
melimpah sehingga pendapatan petani tetap lebih besar," ucap Lukman,
petani kopi di Desa Talang Tinggi, Kecamatan Pagar Alam Utara,
Sumsel, yang memiliki 35.000 pohon kopi.
Tahun 2003 ini memang mimpi buruk bagi petani. Meskipun harga
sedikit membaik dibandingkan dengan tahun lalu, namun produksi kopi
menurun drastis. Gara-gara cuaca yang tidak bersahabat, produksi kopi
petani menurun sampai setengahnya dibandingkan dengan produksi tahun
2002.
Marul, petani kopi di Desa Suban Ayam, Kecamatan Selupuh Rejang,
Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu, menyebutkan, produksi
kopi kering dari kebun miliknya sekarang hanya sekitar 500
kilogram. "Itu setengah produksi tahun lalu yang bisa mencapai satu
ton," katanya.
Soal rendahnya produksi ini diakui beberapa petani di Kecamatan
Kerinci, Kecamatan Pulau Pinang, Kecamatan Muaro Tigo, hingga
Kecamatan Tanjung Sakti di Kabupaten Lahat. Menurut mereka, tahun
2003 ini petani kopi mengalami pukulan dua kali.
Idham (60), petani di Desa Muaro Siban, Kecamatan Muaro Tigo,
malah mengaku hanya mendapat 600 kilogram biji kopi kering dari dua
hektar tanamannya. Produksi itu jauh menurun dibandingkan dengan
tahun-tahun sebelumnya.
Demikian pula Helmi (40), petani kopi asal Desa Muaro Danau,
Kecamatan Muaro Tigo, yang tahun ini hanya mendapatkan 400 kilogram
dari sekitar 5.000 batang pohon kopi di kebunnya.
***

MESKIPUN produksi rata-rata jauh lebih sedikit daripada tahun
lalu, di daerah-daerah sentra produksi itu biji kopi tetap terlihat
melimpah. Di sepanjang jalan yang menghubungkan antara Kecamatan
Kerinci-Lahat-Pulau Pinang- Muaro Tigo, hingga ke kecamatan-kecamatan
di Pagar Alam seperti Dempo Utara, Dempo Selatan, Dempo Tengah, Pagar
Alam Selatan, dan Pagar Alam Utara, jemuran kopi ada di mana-mana.
Di ruas jalan yang menghubungkan antara Pagar Alam melalui
Kecamatan Tanjung Sakti, Kabupaten Lahat, terus hingga ke arah Manna,
Kabupaten Bengkulu Selatan, hamparan jemuran kopi terlihat di mana-
mana. Malah di kawasan Tanjung Sakti dan Lubuk Mas, Bengkulu Selatan,
petani menjemur kopi mereka di jalan.
Hamparan jemuran kopi di depan rumah penduduk atau di tepi jalan
terlihat pula di ruas jalan antara Manna dan Kota Bengkulu, terutama
di kawasan Tais hingga Seluma.
***

MENGHADAPI derita berkepanjangan selama empat tahun ini, sebagian
petani tampaknya merasa frustrasi. Mereka akhirnya memilih tidak
mengurusi kebunnya.
"Dengan harga yang terus turun selama beberapa tahun ini, petani
tidak lagi memiliki modal untuk memelihara kebunnya. Biaya paling
mahal untuk pupuk," ujar Basir.
Ia menyebutkan, pupuk jenis NPK saat ini harganya Rp 5.000.
Padahal untuk memupuk satu hektar lahan selama dua kali setahun
dibutuhkan 400 kilogram. Belum lagi biaya untuk membersihkan rumput
Rp 200.000 per tahun, dan menyemprot hama Rp 100.000.
"Banyaknya biaya seperti itu, tentu tidak mungkin bisa ditanggung
petani. Kami akhirnya memilih untuk membiarkan kebun kopi dan mencari
pekerjaan lain. Toh kalau sudah waktunya panen tetap bisa
menghasilkan, meskipun jumlahnya tidak banyak," kata Basir.
Rendahnya produksi dan malasnya petani merawat kebun, dianggap
oleh Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Provinsi Bengkulu
Edi Kasim sebagai penyebab semakin terpuruknya nasib petani kopi. Itu
berbeda dengan petani kopi di Brasil dan Vietnam, misalnya.
"Meskipun harga tengah merosot, petani kopi di Vietnam, misalnya,
tetap memperoleh pendapatan lebih bagus karena produksinya melimpah.
Di Vietnam, karena kebun dirawat dengan baik, produksi satu hektar
kebun bisa mencapai dua ton biji kopi kering," ujar Edi Kasim.
Derita petani kopi memang tak kunjung selesai. Bahkan, Edi pun
tidak bisa memprediksi kapan harga kopi akan membaik lagi. Kalau
sudah begitu, tahun-tahun ke depan petani kopi masih akan terpuruk.
Mungkin nasib petani yang membabat kebun kopi miliknya sekitar
dua tahun lalu, atau sebagian lainnya tahun lalu dan tahun ini, akan
lebih baik hidupnya nanti. Mungkin tanaman karet pengganti mereka
seperti yang telah dilakukan di Kecamatan Kerinci, atau tanaman
coklat pengganti seperti yang dilakukan petani di Tegur Wangi, Pagar
Alam, akan membuahkan hasil lebih baik dibandingkan kopi.
(AGUS MULYADI)
Image:
- Peta Sentra Penghasil kopi
Foto:
Kompas/Agus Mulyadi
DITANAM DI LERENG - Sebagian petani di Dempo Tengah, Pagar Alam,
menanam kopi mereka di lereng-lereng bukit. Di tengah anjloknya harga
kopi sekarang, sebagian besar petani membiarkan kebun kopi mereka
tumbuh tanpa perawatan yang memadai.

Tidak ada komentar: