Rabu, 16 Juli 2008

Kota Tanpa Gelandangan

KOMPAS - Selasa, 03 Jun 2003 Halaman: 32 Penulis: Mulyadi, Agus Ukuran: 5783

KOTA TANPA GELANDANGAN

BEKERJA keras! Itulah motto hidup warga Pulau Bangka, termasukpenduduk Kota Pangkalpinang. Mereka tidak mau menjadi pengangguranyang menjadi parasit bagi orang lain.
Membanting tulang sudah pastijauh lebih menjanjikan dan terhormat dibandingkan menjadi pengemis,misalnya.

Mungkin karena penduduknya yang suka bekerja keras itulah di KotaPangkalpinang tidak dijumpai gelandangan dan pengemis. Paling tidak,itulah yang terlihat ketika Kompas selama beberapa hari mengelilingiibu kota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada pertengahan Mei 2003.

Apakah tidak adanya gelandangan atau pengemis yang berkeliaran dijalan-jalan dalam kota pertanda warga Pangkalpinang makmur? Ternyatajawabannya belum tentu. Jika diukur, masih banyaknya warga setempatyang hidup di bawah garis kemiskinan.

Data dari Bagian Humas dan Protokol Pemerintah Kota Pangkalpinangdisebutkan, di kota itu terdapat sekitar 3.177 keluarga yangtergolong hidup di bawah garis kemiskinan. Namun, warga yang hidupnyapas-pasan itu pun ternyata tidak memilih menjadi pengemis.

Merekamemilih tetap bekerja sebagai buruh kasar, baik di lokasi-lokasipenambangan timah, di pasar, atau tempat lainnya.Jumlah penduduk kota yang akan berusia 47 tahun pada 16 November2003 itu sebenarnya tidak terlalu banyak, yakni sekitar 134.000 jiwa.Mereka umumnya mengandalkan hidup dari sektor perdagangan, jasa, danindustri.

Sekretaris Kota Pangkalpinang Zulkarnaen Karim menyebutkan, 58persen penduduk setempat mencari nafkah dari sektor primer, sepertiperdagangan, jasa, dan industri. Sementara yang menggantungkanhidupnya dari sektor sekunder berupa bidang pengolahan sepertikerajinan sebesar 22 persen.

Sisanya, 20 persen, bergerak dalambidang pertanian, perikanan, dan peternakan.Pemerintah Kota (Pemkot) Pangkalpinang, ungkap Zulkarnaen,menyadari lilitan kemiskinan yang dialami sebagian warganya harusdilepaskan. Upaya yang dilakukan pemkot di antaranya denganmemberikan santunan Rp 50.000 per keluarga setiap bulannya.

"Anggarannya diambil dari dana abadi yang disimpan di bank. Uangitu berasal dari bantuan masyarakat, seperti kalangan pengusaha,"ujar Zulkarnaen.

Penghimpunan dana dan pemberian bantuan kemanusiaan seperti itu,menurut Zulkarnaen, merupakan wujud dari kesetiakawanan sosial yangditunjukkan warganya. Pembinaan kesetiakawanan sosial seperti itudiperlukan agar warga bersama-sama secara swadaya membantu sesamanyayang hidup dalam kemiskinan.Kesetiakawanan sosial itu ditanamkan kepada warga setempat sejakmereka masih sekolah.

"Setiap bulan Agustus, semua pelajar diPangkalpinang menghimpun beras. Jumlah beras yang dikumpulkan darisetiap siswa tidak banyak, semampu mereka masing-masing. Pengumpulanberas pada bulan Agustus itu sekaligus pula menanamkan jiwanasionalisme bagi pelajar," ucap Zulkarnaen.

TIDAK terlihatnya gelandangan atau pengemis berkeliaran di dalamkota memang tidak menjadi tolok ukur wilayah itu makmur secarakeseluruhan. Seandainya bentuk "penyakit masyarakat" lain yaknipelacuran juga menjadi acuan ketidakmakmuran warganya, KotaPangkalpinang sama seperti sebagian besar daerah lain di Indonesia,masih miskin.

Praktik pelacuran begitu nyata di kota yang mempunyai mottopembangunan Berarti (bersih, aman, rapi, tertib, dan indah) itu. Padamalam hari, misalnya, puluhan wanita pekerja seks komersial (PSK)bertebaran di seputar Lapangan Merdeka.

Di kawasan pusat kota yangterletak di depan rumah dinas Wali Kota Pangkalpinang itu denganbebas wanita PSK menjajakan diri.Berdampingan dengan Lapangan Merdeka, bentuk prostitusi lain jugadengan mudah ditemukan di Kompleks Taman Sari. Namun, di lokasi iniyang menjajakan diri berasal dari kalangan waria.

Praktik prostitusi di Pangkalpinang bisa ditemukan pula di dualokasi lain, yakni di kawasan Teluk Bayur dan Parit Enam. Mungkin,sulitnya mencari nafkah di zaman yang masih serba sulit sekarang yangmendorong sebagian perempuan muda menjadi PSK di Pangkalpinang.

Tak adanya gelandangan dan pengemis memang tak menjadi ukuranPangkalpinang adalah kota yang makmur. Anggaran Pendapatan danBelanja Daerah (APBD) Kota Pangkalpinang sampai tahun anggaran 2003pun masih bergantung sepenuhnya ke pemerintah pusat.

Dari APBD sebesar Rp 141 miliar pada tahun 2003, hanya Rp 9miliar yang ditargetkan berasal dari pendapatan asli daerah (PAD)sendiri. Sebagian besar anggaran berasal dari DAU (dana alokasi umum)yang diberikan pemerintah pusat.

Rendahnya PAD tersebut diakuiZulkarnaen Karim.Menurut dia, Kota Pangkalpinang memang tidakmemiliki sumber daya alam memadai. PAD kota ini hanya mengandalkandari retribusi seperti izin tempat usaha dan izin mendirikanbangunan. Lainnya berasal dari pajak penerangan jalan umum, pajakhotel, dan restoran.

Pemkot Pangkalpinang sendiri tentu saja tidak tinggal diam. Salahsatu upaya mendongkrak PAD tersebut, misalnya, berasal dari pajaksarang burung walet. Di kota itu sekarang terdapat lebih dari 70lokasi sarang burung walet.

Di Pangkalpinang memang tidak ditemukan gelandangan, pengemis,bahkan pengamen sekalipun. Di kota yang sebagian penduduknya hidupmiskin itu, kehidupan yang diwarnai pula praktik prostitusi, kerjakeras terus dilakukan warganya agar hidup layak dan lebih layak.

Pada era otonomi daerah sekarang, Pangkalpinang dianggapZulkarnaen lebih makmur dari pada tahun-tahun sebelumnya. Kalaupunmasih dililit kesulitan ekonomi, itu lebih karena imbas keterpurukanekonomi secara nasional selama lima tahun ini. (Agus Mulyadi)

Tidak ada komentar: