KOMPAS - Senin, 14 Apr 2003 Halaman: 32 Penulis: nat; b04; mul Ukuran: 4928
SALAH TANAM BIBIT BERMUARA PADA KEMISKINAN
PETANI karet rakyat di Sumatera Selatan dan Provinsi Jambi,umumnya hidup dalam lilitan kesulitan. Secara turun- temurun,sebagian petani yang berasal dari keluarga transmigran asal PulauJawa sulit terangkat dari lembah kemiskinan.Rendahnya harga karet dan lilitan utang kepada para tengkulakkaret, seakan- akan memperkuat belitan kesengsaraan tersebut.
Itulah sebabnya, ketika pohon-pohon karet milik mereka telah tua,dengan usia di atas 25 tahun, modal untuk meremajakannya pun tidakdipunyai.Meskipun sudah tidak produktif lagi dan menunggu kematiannya,pohon karet terus disadap. Sedikit getah karet yang masih menetesdari pohon-pohon tua itulah, yang masih menghidupi petani karet dankeluarganya.
Pohon karet tua hanya bisa membuat ratusan ribu petanikaret dan keluarganya sekadar bertahan hidup.Ketiadaan modal pun disebabkan pula dengan telah semakinmenyempitnya lahan perkebunan karet yang dimiliki petani. Sebagiandari mereka hanya memiliki lahan warisan dari kakek atau ayah mereka,para transmigran asal Pulau Jawa.Lahan transmigrasi pun dibagi-bagi untuk beberapa orang anak ataucucu.
Penyempitan lahan kepemilikan petani karet disebabkan pulatelah dijualnya areal kebun untuk kebutuhan sehari-hari.Ihwal kemiskinan yang terus menjerat petani karet rakyat sampaisekarang sehingga memunculkan "bom waktu" kesengsaraan lebih besardisebabkan pula oleh kesalahan masa lalu.
Sebagian petani ketika menanam bibit di kebun mereka pada sekitar25-30 tahun lalu memilih tanaman karet bukan dari jenis bibit unggul.Mereka justru memilih bibit karet dari benih yang tumbuh dari biji.Ketiadaan modal puluhan tahun lalu membuat petani karet terpaksamemilih bibit yang tumbuh dari biji.
Pohon-pohon karet bukan unggulan itu menjadi salah satu pemicu kemiskinan di kalangan petani. Pohon yang bukan dari bibit unggul tersebut hanya bisa disadap sekali dalamsatu minggu. Hasil sadapan- nya pun jauh lebih sedikit dari padakaret dari bibit unggul.
"Kebun karet milik saya hanya bisa disadap sekali dalam satuminggu karena dulu bibitnya dari biji. Kalau karet yang bibitnya daripersemaian hasil silangan bisa disadap tiap tiga hari," kata Jumilah(35), petani karet rakyat asal Dea Bukit, Kecamatan Betung, KabupatenBanyuasin, Sumatera Selatan.
Jumilah memang hanya mewarisi lahan karet dari kakeknya, seorangtransmigran asal Jawa Tengah. Setengah hektar atau 5.000 meterpersegi lahan pekerbunan karet miliknya, da- lam satu minggu hanyamenghasilkan 30 kilogram getah karet. Dengan harga karet di tingkattauke Rp 2.000 per kilogram, dalam satu minggu dia hanya mendapatkanpenghasilan Rp 60.000.
"Meskipun sedikit, tapi penghasilan itu sudah pasti sayadapatkan. Sementara kalau pohon karet yang sudah tua itu diganti barudengan bibit unggul, belum tentu tumbuh dengan baik. Saya juga harusmenunggu selama enam tahun sampai pohon karet baru itu bisa disadap.Selama enam tahun, pasti kami tidak bisa makan karena tidak adasumber nafkah lain. Lagi pula saya tidak punya modal untukmeremajakannya. Mendingan seperti sekarang," ujar Jumilah.
Jumilah saat ini hanya memiliki 250 batang pohon karet. Sebagiandi antaranya sudah tidak dapat disadap lagi karena usia tua. Denganpohon sebanyak itu, dia dan suaminya menghidupi dua anak mereka. Diapun tidak bisa berbuat apa-apa untuk meremajakan kebunnya.Jumilah bersikap pasrah, seperti juga ribuan pohon karet milikpetani lainnya, meskipun tahu dalam waktu beberapa tahun lagi semuapohon karetnya mati.
Kendati salah tanam bibit berakibat buruk dengan kurangnya produksi getah saat masa sadap tiba, sebagian petani di Jambi terpaksa memilih jalan itu.Tidak adanya lagi program peremajaan karet, baik yang didanaioleh pinjaman luar negeri maupun pemerintah, menyebabkan sebagianpetani di Jambi nekat meremajakan kebun karetnya dengan cara sepertiitu, yakni menanam bibit secara sembarangan.
Padahal, penanaman bukan bibit unggul itu hampir dipastikan akanmembuat petani karet tetap dalam lilitan kemiskinan. Produksigetahnya yang rendah, tidak akan mampu mendongkrak hidup mereka dankeluarganya menjadi lebih baik. Petani karet seperti Jumilah akansemakin bertambah banyak.
Masa menunggu waktu sadap yang mencapai sekitar 10 tahun daribibit bukan unggul itu juga merupakan masa paling sulit dalam hiduppetani karet. Bahkan, ketika waktu penyadapan getah telah tiba, hasilyang diperoleh pun jauh lebih sedikit dari pada karet dengan bibitunggul.Namun, petani karet saat ini tidak berdaya.
Pemerintah seharusnya turun tangan menyelamatkan petani karet. Mereka jangan sampaidibiarkan terus terpuruk dalam kemiskinan. Kesalahan masa lalu, tentuharus segera diperbaiki. (NAT/B04/AGUS MULYADI)
Rabu, 16 Juli 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar