Kamis, 17 Juli 2008

Derita Panjang Petani Kopi

KOMPAS - Jumat, 11 Jul 2003 Halaman: 1 Penulis: Mulyadi, Agus Ukuran: 5684 Foto: 1
DERITA PANJANG PETANI KOPI
PANEN raya kopi tahun ini tidak disambut gembira oleh Toto (37).
Demikian pula oleh puluhan ribu, bahkan ratusan ribu, petani kopi
lainnya yang tersebar di Kabupaten Lahat dan Kota Pagar Alam,
Sumatera Selatan, serta Kabupaten Bengkulu Selatan dan Rejang Lebong,
Bengkulu. Jerih payah mereka selama setahun mendapat balasan yang
tidak setimpal.
Harga biji kopi kering hasil kebun petani saat ini jeblok!
Produksi kebun komoditas andalan dua provinsi itu pun jauh
menurun dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Akibat cuaca yang
tidak bersahabat, berganti-ganti antara panas menyengat dan hujan
deras, sebagian bunga kopi mengering atau berguguran. Produksi kopi
pun otomatis menurun.
"Nasib kami ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah
produksi anjlok, harga kopi pun rendah," ujar Toto, petani di Talang
Pagar Alam, Kota Pagar Alam, pekan lalu.
Toto adalah salah seorang petani yang menggarap lahan di areal
perkebunan rakyat di Talang Pagar Alam. Di lokasi perbukitan yang
berdebu karena tanah kering itu, Toto dan keluarganya tinggal.
Persisnya di tengah-tengah areal perkebunan. Dia bersama 20 keluarga
lain menempati "perkampungan" yang lokasinya sekitar 15 kilometer
arah utara dari pusat Kota Pagar Alam.
Petani-petani kopi yang kebanyakan pendatang dari berbagai daerah
tersebut menetap di tengah kebun kopi yang mereka garap sendiri.
Rumah yang ditinggali Toto bersama istri dan tiga anaknya berupa
rumah panggung kayu, berukuran tiga meter kali empat meter. Rumah-
rumah tersebut juga berdiri di atas lahan para tuan tanah yang
menyewakan lahan mereka kepada para petani kopi itu.
"Di sini hampir semuanya pendatang. Kami menyewa tanah dari
pemilik yang semuanya warga Pagar Alam. Hasil yang diperoleh dari
kebun dibagi dua dengan pemilik tanah," ujar Toto.
Karena hasil kebun dibagi dua, penghasilan yang diperoleh Toto
dan juga petani penyewa lahan lainnya menjadi semakin kecil. Ditambah
dengan produksi yang menurun dan harga yang rendah, penghasilan yang
diperoleh mereka semakin kecil.
"Hasil dari kebun kopi setiap tahun selalu habis untuk makan dan
minum keluarga saja. Kadang-kadang hasil yang diperoleh tidak cukup
untuk makan sekalipun," ucap Toto lirih.
***
MUSIM panen kopi tahun ini bagi petani memang merupakan pukulan
yang menyakitkan. Pada pekan lalu, misalnya, biji kopi kering hanya
dihargai Rp 3.700 per kilogram. Bahkan, kopi dengan kualitas lebih
buruk dan kadar air lebih banyak paling tinggi dihargai oleh pedagang
pengumpul (tengkulak) Rp 3.500 per kilogram.
Tahun-tahun sebelumnya harga kopi pun tidaklah bagus, kecuali
ketika harga melambung sampai Rp 16.000 per kilogram tahun 1998.
Tahun-tahun berikutnya harga biji kopi kering terus merosot mulai
dari Rp 7.000 dan Rp 5.000 per kilogram, hingga Rp 2.800 per kilogram
pada tahun 2002.
"Tapi pada tahun 2002 produksi kopi melimpah. Meskipun harganya
lebih rendah, penghasilan yang diperoleh petani tetap lebih besar,"
ujar Zaeri, petani kopi lain di Talang Pagar Alam.
Pada musim panen tahun ini produksi kopi memang merosot sampai di
bawah setengah produksi tahun lalu. Toto, misalnya, yang menggarap
lahan seluas 2,5 hektar, hanya mendapatkan sekitar satu ton biji kopi
kering. Setelah dibagi dua dengan pemilik lahan, hasil yang
diperolehnya tinggal 500 kilogram.
Padahal, selama setahun ini, Toto telah membanting tulang
sepanjang hari. Dia selalu dipanggang terik Matahari ketika
membersihkan kebunnya. Toto pun mengeluarkan biaya tidak sedikit
untuk memupuk sekitar 9.000 batang tanaman kopi miliknya.
Akan tetapi, kerja kerasnya tidak membuahkan hasil yang memadai.
Cuaca yang tidak bersahabat menyebabkan produksi kebun kopi yang
diolah Toto jauh berkurang dibandingkan dengan tahun lalu. Akibat
sengatan Matahari yang luar biasa panas, kembang di tanaman kopi
umumnya cepat mengering. Sementara ketika hujan deras, kembang kopi
pun kebanyakan berguguran.
"Tidak tahu lagi saya harus berbuat apa sekarang. Dengan produksi
sedikit seperti sekarang dan harga yang rendah, saya tidak tahu
apakah hasil penjualannya cukup untuk makan kami sekeluarga satu
tahun ke depan," ujarnya dengan suara pelan.
Laki-laki asal Purworejo, Jawa Tengah, yang datang ke Pagar Alam
untuk membuka kebun kopi sejak tahun 1987, itu memang tidak bisa
berbuat banyak menghadapi berbagai kesulitan yang terus dihadapinya.
Kerja kerasnya selama belasan tahun sebagai petani kopi tidak bisa
berwujud dalam bentuk materi yang memadai.
Toto dan keluarganya tetap tinggal di rumah panggung kecil yang
berdiri di atas tanah orang lain. Isi rumahnya hanyalah sebuah kasur,
yang kalau malam hari ia harus berdesakan di situ dengan anak dan
istrinya. Selain itu, ada satu lemari kecil untuk menyimpan pakaian.
Alat dapurnya terlihat begitu sederhana dan disimpannya di kolong
rumah panggungnya.
Puluhan ribu atau mungkin ratusan ribu petani kopi seperti Toto
hingga sekarang memang belum merasakan nikmatnya kopi, seperti para
penikmat kopi di seantero dunia. Mereka masih terus berkutat dalam
jurang kemiskinan. Penderitaan panjang mereka entah kapan bisa
berakhir. (Agus Mulyadi)
Foto: 1
Kompas/Agus Mulyadi
HARGA KOPI ANJLOK-Seorang ibu rumah tangga di Kecamatan Kerinci,
Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, tengah menjemur biji kopi hasil
panen di kebun yang dikelolanya. Seperti ribuan petani kopi lainnya,
ibu ini menyesalkan anjloknya harga biji kopi kering yang saat ini
sekitar Rp 3.700 per kilogram

Tidak ada komentar: