Rabu, 16 Juli 2008

Angkutan Sungai, Transportasi Warga Pedalaman Sumatera Selatan

KOMPAS - Senin, 21 Jun 2004 Halaman: 34 Penulis: Mulyadi, Agus ; Damayanti, Doty Ukuran: 5539 Foto: 1

ANGKUTAN SUNGAI, TRANSPORTASI WARGA PEDALAMAN SUMATERA SELATAN

ADIP Fanani adalah seseorang yang begitu mencintai kampung halamannya. Jarang sekali dia meninggalkan desanya. "Hanya satu bulansekali saya meninggalkan desa. Ke Palembang hanya untuk membeliberbagai barang dagangan," ujarnya.

WARGA Desa Sugihwaras, Kecamatan Muara Padang, KabupatenBanyuasin, Sumatera Selatan (Sumsel), yang juga pedagang itu, barukeluar desanya kalau betul-betul ada keperluan, seperti belanjabarang. Kalau tidak penting sekali, Adip setiap hari tetap berada didesanya. Paling jauh, dia hanya main ke rumah tetangga.

Ribuan warga Sugihwaras dan desa lain di bekas kawasantransmigrasi, yang dikenal dengan nama Jalur 16, itu juga bersikapseperti Adip. Mereka lebih suka berada di kampung halaman. Bepergianke lokasi lain, seperti Palembang, merupakan langkah yang mahal. Halserupa pun dilakukan warga Desa Sungsang, Kecamatan Sungsang,Banyuasin.

Warga Jalur 16 dan Sungsang merupakan dua dari sejumlah kawasandi Sumsel yang hidup seperti itu. Mereka jarang keluar desa untuksekadar main atau berkunjung ke saudara dan sahabat karena biaya yangdibutuhkan tidak sedikit.

Perjalanan melalui Sungai Musi itu puncukup lama, dua jam.Satu kali perjalanan ke Palembang misalnya, warga Sungsang harusmengeluarkan biaya Rp 25.000 per orang. Sementara warga Jalur 16harus membayar Rp 30.000. Untuk perjalanan pergi pulang, warga tentuharus mengeluarkan biaya dua kali lebih besar.

Angkutan yang dipakai adalah angkutan sungai dengan menggunakanperahu motor, baik jenis perahu cepat (speedboat) maupun perahuketek. Angkutan sungai melalui perairan Sungai Musi dan sungai kecildi sekitarnya merupakan satu-satunya sarana transportasi warga.

ANGKUTAN sungai di Sumsel, hingga kini tak terpisahkan darikehidupan sebagian warga setempat. Masih terbatasnya infrastrukturjalan menyebabkan mereka tetap bergelut hidup seperti orang-orangterasing. Hanya dengan menggunakan perahu melalui sungai, mereka bisamelihat dunia luar.

Sejumlah kawasan permukiman, yang berdiri di daerah-daerahterpencil, pada mulanya dibuka dan dijadikan lahan transmigrasi. Akantetapi, sesudahnya pemerintah tidak melengkapinya dengan fasilitasjalan darat. Jangankan jalan berbatu dan beraspal, jalan tanah puntidak kunjung dibuka hingga kini.

Kawasan Jalur 16, yang kini menjelma menjadi daerah permukimanpenduduk di sejumlah desa, dibuka sebagai daerah transmigrasi padatahun 1980. Meksipun daerah itu terpencil, warga pendatang tetapbertahan dan mampu hidup dari lahan yang diberi pemerintah.

Meskipun mereka lebih banyak terkungkung di desa masing-masing, warga tetapmenjalani hidup mereka.Sungai dan kanal-kanal di permukiman pun pada akhirnya menjadibagian dari keseharian warga.

Perahu motor menjadi alat transportasiwarga agar bisa berinteraksi dengan dunia luar, bisa menjualkomoditas pertanian, atau membeli barang-barang keperluan hidupsehari-hari.Warga Sungsang yang kebanyakan nelayan pun bernasib sama.

Kendatikawasan itu sudah menjelma menjadi permukiman yang ramai, hingga kinitidak ada akses langsung dari Palembang atau Pangkalan Balai, ibukota Kabupaten Banyuasin, ke kawasan itu.

Sungsang yang terletak di kawasan muara Sungai Musi yangberhadapan dengan Selat Bangka memang seperti dilupakan pemerintah,khususnya pemerintah daerah setempat. Akses ke daerah yang jugamerupakan produsen kelapa itu hingga kini belum dibangun.

Seorangwarga Sungsang menyebutkan, ujung jalan terdekat ke Sungsang terdapatdi kawasan Jalur 17. Dari ujung jalan itu hingga ke Sungsang jaraknyamasih sekitar 30 kilometer.Tidak adanya infrastruktur jalan menuju Sungsang dan Jalur 16menyebabkan tidak ada pula kendaraan roda empat yang masuk ke duakawasan itu.

Suara klakson dan deru mesin mobil tidak pernah didengarwarga.Kabupaten Banyuasin yang merupakan bagian dari kawasan timurSumsel termasuk kabupaten yang masih kurang dengan infrastrukturjalan.

Demikian pula kawasan timur lain yang terdapat di KabupatenOgan Komering Ilir dan Musi Banyuasin.Menurut Bupati Banyuasin Amiruddin Inoed, karena kondisi jalandarat masih buruk, transportasi air memang menjadi andalan masyarakatBanyuasin.Jalan ke permukiman umumnya berupa kanal. Kanal utama lebarnyabisa lima meter dengan kedalaman dua meter. Untuk mencapai rumahmereka, ada kanal-kanal sempit yang hanya bisa dilalui perahu kecil.

Seperti warga di luar pedalaman yang memiliki garasi dan mobil,warga di desa itu pun memiliki tempat tambat dan perahu yang menjadialat transportasi mereka. Hanya bedanya, warga pedalaman sepertiCinta Manis, Sungsang, Jalur 16, Pulau Rimau, dan banyak kawasanpermukiman lainnya, tidak pernah merasakan jalan rusak atau macetnyaarus lalu lintas.

Dengan perahu, mereka melaju di kanal-kanal, sungai besar sepertiSungai Musi, untuk menjenguk dunia luar yang serba gemerlapan.(AGUS MULYADI/ DOTY DAMAYANTI)

Foto:Kompas/Agus Mulyadi

PERAHU KELUARGA - Di banyak kawasan pedalaman di Sumatera Selatan,sebagian warga masih mengandalkan perahu untuk alat transportasikeluarga. Perahu mereka umumnya ditambatkan di kanal dekat rumahuntuk memudahkan mereka beraktivitas, seperti yang terlihat di DesaCinta Manis Lama, Kecamatan Banyuasin I, Kabupaten Banyuasin.

Tidak ada komentar: