Kamis, 17 Juli 2008

Mobil Tak Terbeli, Mobil Malah Dijual

KOMPAS - Jumat, 11 Jul 2003 Halaman: 30 Penulis: mul Ukuran: 5874
MOBIL TAK TERBELI, DAUN PINTU MALAH DIJUAL
"TAHUN 1998 lalu petani kopi di Bengkulu ini memang gila-gilaan.
Masak mobil yang diparkir di tepi jalan pun ditawar dari pemiliknya,
apakah hendak dijual," ujar Husni, pedagang di Pasar Bengkulu.
Pada saat musim panen kopi dan sesudahnya, pada tahun itu, memang
masa yang luar biasa bagi perekonomian Bengkulu. Dengan melambungnya
harga kopi sampai Rp 16.000 per kilogram, ribuan petani bisa
mengantongi uang tunai hingga puluhan jutaan rupiah di saku celananya.
Tanpa pikir panjang mereka pun membelanjakan uangnya untuk
membeli barang-barang apa saja. "Banyak petani yang tinggal di pondok-
pondok mereka yang kecil di tengah kebun membeli lemari es, rice
cooker, atau televisi. Ketika sampai di rumah, barang-barang itu
tentu saja tak bisa digunakan karena memang belum ada listrik. Kulkas
pun hanya bisa dipakai menyimpan pakaian," kata Husni.
Di jalan-jalan di Provinsi Bengkulu, saat itu berseliweran mobil-
mobil bernomor polisi Jakarta. Mobil-mobil tangan kedua (second hand)
aneka jenis itu tentu saja dibeli petani kopi yang tengah bergelimang
uang. Sementara dealer sepeda motor pun kewalahan melayani
permintaan. Seorang petani saat itu kadang membeli dua sepeda motor
sekaligus, tentu saja dengan uang hasil penjualan kopi.
Melambungnya harga kopi saat itu benar-benar membuat ribuan
petani kopi Bengkulu begitu makmur. Perekonomian daerah itu secara
keseluruhan tentu saja terangkat. Hasil kerja keras petani kopi tidak
sia-sia.
"Harga kopi saat itu tinggi lebih disebabkan faktor dominan kurs
rupiah yang rendah. Pada tahun itu pun produksi kopi dunia, khususnya
jenis robusta, memang tidak tinggi sehingga kopi dari Indonesia
terserap dengan mudah di pasaran dunia," ujar Edi Kasim, Ketua
Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Provinsi Bengkulu.
Saat puncak krisis ekonomi yang melanda negara ini tahun 1998
memang merupakan masa keemasan petani kopi, termasuk di Bengkulu.
Nasib sama dialami pula petani cengkeh dan lada. Orang kaya baru
(OKB) bermunculan di mana-mana. Harga kopi yang membubung telah
mendongkrak kesejahteraan hidup ratusan ribu petani kopi, juga petani
cengkeh dan petani lada.
Namun, sayang pola hidup konsumtif sebagian besar petani saat itu
mendorong pembelanjaan uang sesuka hati mereka. Barang-barang apa
saja dibeli tanpa memikirkan manfaatnya. Petani yang biasa dikungkung
kemiskinan mungkin merasa kaget ketika menyadari mereka memiliki
banyak uang.
***

TAHUN-tahun berikutnya kesulitan ternyata kembali menghadang
petani saat harga kopi kembali turun. Bahkan, pada tahun ini harga
kopi hanya bergerak di kisaran Rp 3.500 hingga Rp 4.000 per kilogram.
Pada tahun 2002 harganya malah menukik sampai pada kisaran antara Rp
2.500 sampai Rp 2.800 per kg.
Harga sebesar itu-yang bisa berubah setiap hari dengan nilai
antara Rp 100-Rp 300 per kg-tentu saja menyebabkan pendapatan petani
jauh merosot. Di saku celana dan di bawah bantal di kamar tidur
mereka tidak ada lagi uang bergepok-gepok yang siap dibelanjakan
untuk apa saja. Tabungan yang terkuras karena telah habis
dibelanjakan barang saat harga kopi melambung membuat mereka kembali
dililit kesulitan hidup.
"Empat tahun ini jangankan membeli mobil atau sepeda motor baru,
barang-barang yang pernah dibeli pun akhirnya terpaksa dijual
kembali. Bahkan, perabotan di rumah dijual hanya agar keluarganya
bisa makan," ujar Ahmad Holil, Kepala Desa Suban Ayam, Kecamatan
Selupuh Rejang, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu.
Petani di Desa Muaro Siban, Kecamatan Muaro Tigo, Kabupaten
Lahat, Idham (60), menambahkan, sebagian petani malah ada yang sampai
menjual daun pintu atau peralatan lain di rumahnya agar bisa makan.
***

MEROSOTNYA harga jual dan menurunnya produksi pada musim panen
tahun 2003 ini juga membuat sebagian petani di Bengkulu Selatan dan
Rejang Lebong menjemur biji kopi di tengah jalan. Itu dilakukan
selain agar biji kopi cepat kering, juga supaya kulit biji kopi
terkelupas. Dengan begitu mereka tidak perlu lagi menggiling biji
kopi untuk membuang kulitnya, yang pasti membutuhkan biaya.
Di tengah ambruknya harga dan produksi, petani memang harus tetap
mengeluarkan biaya tambahan untuk mengupas kulit biji kopi sebelum
dijual kepada para pedagang pengumpul. Biaya yang dikeluarkan untuk
menggiling 50 kilogram biji kopi sebesar 1,5 kg biji kopi. Pemilik
penggilingan kopi di Pagar Alam, misalnya, umumnya mendapat bayaran
dengan cara seperti itu.
"Biaya giling setiap karung isi 50 kilogram memang sebesar 1,5
kilogram dari biji kopi yang digiling," ucap H Bakar, pemilik pabrik
penggilingan kopi di Desa Bangun Rejo, Pagar Alam Utara. Di kawasan
Rejang Lebong, biaya giling bukan dibayar dengan biji kopi yang
digiling. "Di sini biaya giling satu kilogram kopi Rp 200," kata
Basir, petani di Desa Tebat Monok, Kepahiang.
Bagi petani, biaya giling hanyalah salah satu pengeluaran setiap
kali panen. Mereka juga harus mengeluarkan biaya lain, seperti upah
buruh panen sebesar Rp 10.000 per hari. Mereka pun harus mengeluarkan
biaya pengangkutan dari kebun ke rumah dan dari rumah ke tempat
pedagang pengumpul yang besarnya ditentukan oleh jarak tempuh.
Bermacam pengeluaran itu tentu saja semakin membuat tipis
penghasilan petani kopi. Karena itu, mereka pun pesimistis hasil
penjualan kopi bisa digunakan untuk makan keluarganya setahun ke
depan.
Soal beli-membeli barang kebutuhan hidup lain, seperti yang
pernah dilakukan tahun 1998, mungkin hanya muncul dalam mimpi-mimpi
mereka saat tidur di malam hari. Mereka tidak tahu kapan harga kopi
kembali membaik dan membuat hidup menjadi lebih layak. (MUL)

Tidak ada komentar: