Kamis, 17 Juli 2008

Cara Efektif Menghadang Penebangan Liar

KOMPAS - Rabu, 20 Aug 2003 Halaman: 30 Penulis: Mulyadi, Agus Ukuran: 8643 Foto: 1
CARA EFEKTIF MENGHADANG PENEBANGAN LIAR
MENGERINGNYA sejumlah sungai di Sumatera Selatan pada musim
kemarau ini, telah menyengsarakan warga yang bermukim di sekitarnya.
Terlebih lagi bagi mereka yang biasa mengandalkan air sungai untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Untuk mendapatkan air, dasar sungai yang telah mengering terpaksa
digali. Dari sumur di dasar sungai itulah sebagian warga kini
menggantungkan kebutuhan air untuk hidupnya.
Itu misalnya dilakukan oleh warga di Kecamatan Cempaka, Kabupaten
Ogan Komering Ilir (OKI). Mengeringnya sungai itu menyebabkan
sebagian dari mereka menggali dasar sungai untuk mendapatkan air.
Akibat lebih besar keringnya sungai dirasakan oleh ribuan petani
yang sawahnya kekeringan, karena air irigasi tidak mengalir lagi.
Irigasi kering karena tidak ada lagi pasokan air dari sungai.
Mengeringnya sungai-sungai pada musim kemarau merupakan akibat
langsung dari rusaknya DAS (daerah aliran sungai), terutama di bagian
hulu. Penebangan liar pepohonan di hutan di kawasan hulu sungai
mengakibatkan hilangnya persediaan air saat kemarau tiba.
Sungai-sungai pun menjadi kering. Warga yang biasa memanfaatkan
air sungai pun terkena getahnya.
***
PENEBANGAN liar beberapa tahun ini memang semakin menjadi-jadi di
hutan-hutan Sumatera bagian selatan. Ratusan ribu hektar hutan di
Sumatera Selatan, Lampung, dan Jambi rusak parah.
Di Jambi, lahan kritis akibat penebangan ilegal dan okupasi
kawasan hutan oleh masyarakat saat ini sedikitnya tercatat mencapai
626.539 hektar, atau 11,82 persen dari luas Provinsi Jambi yang 5,3
juta hektar. Lahan kritis sekitar 110.000 hektar di antaranya itu
berada di Kabupaten Kerinci.
Sebagian kawasan hutan di Provinsi Lampung juga telah rusak. Di
Gunung Betung, misalnya, lebih dari 12.000 hektar hutan rusak.
Kerusakan tersebut mencakup sekitar 60 persen dari total luas hutan
lindung di gunung itu.
Kerusakan hutan di Provinsi Bengkulu malah lebih parah. Saat ini,
lahan hutan seluas 180.000 hektar rusak parah. Semua kerusakan
tersebut terjadi di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung.
Dari total luas hutan di Bengkulu yang 920.000 hektar, sebanyak
76,42 persen di antaranya, menurut Kepala Dinas Kehutanan Bengkulu
Hidayat Sjahid, adalah hutan konservasi dan hutan lindung. Hutan
konservasi terluas, yakni 340.000 hektar, berada di kawasan Taman
Nasional Kerinci Seblat (TNKS), dan sekitar 65.000 hektar berada di
Taman Nasional Bukit Barisan Selasan (TNBBS).
Hidayat mengakui, perusakan hutan sulit dihindari selama
masyarakat sekitar masih membutuhkan lahan untuk membuka kebun.
Perusakan itu pun akan terus berlangsung selama penebangan liar tidak
bisa dihentikan.
Kepala Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera
Selatan, Dulhadi, menyatakan, perambahan di hutan konservasi sulit
dibendung. Masyarakat masih kerap membabat hutan untuk membuka kebun
atau pertambakan. Para perambah hutan sudah turun-temurun
melakukannya.
***
MENJAGA hutan yang luas di Bengkulu diakui Hidayat cukup sulit.
Apalagi petugas polisi kehutanan di provinsi itu hanya berjumlah 132
orang.
Dengan jumlah polisi hutan yang terbatas, memang sulit menghadang
aksi-aksi penjarahan atau penebangan liar. Oleh karena itu, bentuk
upaya lain untuk menghadang penebangan liar perlu dilakukan.
Upaya menghadang dan menghadapi penebangan liar di Bengkulu,
salah satunya kini dilakukan Kepolisian Resor (Polres) Kota Bengkulu.
Mereka tidak mengawasi langsung hutan, melainkan memberantas di
bagian hilir, yakni bisnis kayu olahan di dalam kota.
Dengan dasar penertiban SKSHH (surat keterangan sah hasil hutan),
Polres Kota Bengkulu menyegel sekitar 60 depot penjualan kayu di kota
tersebut. Selama dilakukan penyegelan, pemiliknya dilarang menjual
kayu di depot milik mereka.
Upaya ini sementara waktu cukup efektif untuk mengurangi
mengalirnya kayu-kayu olahan dari panglong (tempat penggergajian
kayu). Berkurangnya pengiriman kayu dari panglong dipastikan
mengurangi pula kiriman batang-batang pohon dari hutan untuk
digergaji.
Penyegelan sebanyak 60 depot penjualan kayu di Kota Bengkulu itu
sudah berlangsung sejak pekan pertama Agustus 2003.
Penyegelan dilakukan polisi karena para pedagang kayu tersebut
tidak memiliki SKSHH. Surat yang dikeluarkan Dinas Kehutanan setempat
itu merupakan bukti bahwa kayu olahan yang mereka jual bahan baku
kayunya bukan dari hasil penebangan liar.
Akibat penyegelan tersebut, pedagang tidak berani menjual kayu
milik mereka. Meskipun tempat-tempat penjualan itu masih dibuka,
mereka tidak melayani pembeli yang datang.
Seorang pedagang kayu di Jalan Sumatera, Kota Bengkulu, Janil,
menyatakan, tidak berani lagi menjual kayu karena telah disegel
polisi. Namun, dia tetap berharap polisi mengizinkan agar dia tetap
bisa menjual kayu-kayu miliknya.
"Saya ini pedagang kecil. Kayu yang saya jual berasal dari lahan
rakyat, bukan dari hasil penebangan liar di hutan lindung," katanya.
Menurut Janil, seharusnya polisi memberikan kebebasan bagi
pedagang kecil seperti dirinya. Apalagi, menurut dia, kayu yang
dijual berasal dari lahan milik rakyat.
"Kayu yang saya jual berasal dari pohon yang ditebang dari lahan
milik rakyat. Saya memiliki surat keterangan dari kepala desa tempat
kayu itu ditebang. Lagi pula, kayu-kayu yang saya jual jumlahnya
tidak banyak, dan berasal dari kayu- kayu yang kurang berkualitas,"
katanya.
Surat keterangan dari kepala desa itu menyebutkan, kayu yang
dibawa dari panglong tersebut adalah pohon-pohon bahan bakunya
berasal dari lahan milik rakyat. Selembar surat yang diterbitkan pada
Mei 2003 itu juga dilengkapi dengan legalisasi dari pos polisi hutan
dan petugas kepolisian sektor (polsek).
Disebutkan, perjalanan untuk membawa kayu dari panglong ke depot
membutuhkan biaya tidak sedikit. Selain untuk surat keterangan dari
kepala desa sebesar Rp 10.000, dia pun selama perjalanan harus
mengeluarkan biaya lain di sedikitnya enam lokasi dengan besar
pungutan Rp 5.000 hingga Rp 10.000.
Berkaitan dengan penyegelan puluhan depot kayu, Kepala Polres
Kota Bengkulu Ajun Komisaris Besar M Toha Suharto menyatakan,
pihaknya akan mengusut tuntas kasus itu. Penjualan kayu-kayu yang
tidak memiliki dokumen resmi seperti SKSHH tersebut harus diusut
sampai ke akar-akarnya.
Oleh karena itu, Toha menyatakan kayu-kayu di depot penjualan
yang kini menjadi barang bukti tersebut tidak boleh dijual oleh
pemiliknya. "Menjual berarti menghilangkan barang bukti. Itu berarti
telah melakukan tindak pidana lain," ujarnya.
Kasus itu, ungkap Toha, akan terus berlanjut hingga ke
penyidikan. Seandainya dalam penyidikan ditemukan bukti bahwa kayu-
kayu itu berasal dari penebangan liar, berkas penyidikan perkaranya
akan dilimpahkan ke kejaksaan.
Menurut Toha, pihaknya hanya mencoba menegakkan peraturan
mengenai perdagangan kayu. Seharusnya pemilik kayu melengkapi semua
bentuk perizinan, termasuk SKSHH. "Kami hanya melakukan tindakan di
dalam kota, di wilayah yurisdiksi kami. Mengenai pencegahan illegal
logging itu urusan pihak lain, karena bukan berada di wilayah hukum
Kota Bengkulu," katanya.
Penyegelan depot kayu yang dilakukan Polres Kota Bengkulu itu
telah memancing puluhan pedagang melakukan aksi unjuk rasa di DPRD
Kota Bengkulu pada Rabu lalu. Mereka memprotes tindakan polisi yang
dianggap telah mematikan usaha perdagangan kayu di kota itu. Mereka
meminta agar tempat usaha yang telah disegel dibuka kembali.
Terlepas dari benturan kepentingan yang muncul menyusul
penertiban penjualan kayu di Bengkulu, langkah itu diharapkan mampu
menghentikan penebangan liar. Dengan keharusan memiliki SKSHH, para
pedagang harus benar-benar menjual kayu yang berasal hutan produksi.
Di Provinsi Bengkulu sendiri, menurut Hidayat, tidak ada lagi
hutan produksi sejak enam tahun lalu. "Sejak enam tahun lalu, tidak
ada lagi HPH (hak pengusahaan hutan) di Bengkulu," katanya.
Nah, kalau tak ada lagi hutan produksi, dari mana kayukayu yang
dijual kepada masyarakat itu berasal? (AGUS MULYADI)
Foto:
Kompas/Agus Mulyadi
BABAT HUTAN--Penggundulan hutan terus terjadi akibat perambahan dan
penebangan liar. Seperti yang terjadi di kawasan hutan lindung Taba
Penanjung, Kabupaten Bengkulu Utara. Sebagian hutan di kawasan itu
dibabat agar bisa dijadikan kebun.

Tidak ada komentar: