Rabu, 16 Juli 2008

Proses Pertarungan Ekonomi

KOMPAS - Senin, 05 Feb 1996 Halaman: 1 Penulis: MUL/THY/AMA/PUN/MT Ukuran: 8332

Perubahan Kawasan Puncak, Banjir, dan Pemiskinan (1)
PROSES PERTARUNGAN EKONOMI

TAHUN baru kali ini bagi sebagian warga DKI sungguhmerupakan sengsara. Tiupan terompet dan arak-arakan menyongsong tahun1996 yang bergemuruh sekitar Monas, kawasan Jl. Thamrin, Sudirman,Gajah Mada, dan Jl. Hayam Wuruk pada malam hari tanggal 31 Desemberlalu, ternyata telah kehilangan makna.

Seremoni yang tadinyamengental menjadi simbol ekspresi harapan masyarakat atas datangnyatahun yang "belum" pasti itu, kini benar-benar kena batunya.Hanya seminggu setelah pergantian tahun, Sungai Ciliwungmendadak meluap membabibuta. Apa saja yang menghadang gemuruh airyang tumpah dari hulunya di kawasan Puncak ini, rontok tergulungbanjir bandang yang dahsyat itu.

Dalam waktu beberapa jamsejumlah kawasan di Jakarta Timur dan Selatan berubah mirip kolamraksasa.Jakarta kemudian kehilangan sosok sebagai metropolitanyang tangguh. Puluhan ribu manusia kehilangan tempat tinggal. Merekatidak sanggup membendung air yang membenam rumahnya hingga setinggitiga meter.

Warga kocar-kacir mengungsi ke tempat-tempat aman.Sementara ratusan penduduk lainnya terpuruk di atap rumah semalamsuntuk, sambil berdoa agar air surut."Ciliwung yang dahulu ramah kini berubah menjadi sungaiyang menakutkan," ujar sejumlah warga korban banjir di KelurahanKampung Melayu, Tebet, Jakarta Selatan.

Berbarengan dengan itu pulakesadaran lama mengenai urgensi kawasan Puncak yang selama ini telahredup oleh runyamnya kehidupan di DKI, muncul kembali dalam benakbanyak orang. Dalam arti, apakah sessungguhnya yang terjadi di huludan DAS (daerah aliran sungai) Ciliwung, hingga debitnya mengganasseketika begitu musim hujan mulai mencapai tahap tinggi?"

KINI tak lagi terdengar suara jangkrik dan kodok. Yang ramaihanyalah derap sepatu satpam yang menjaga vila-vila kosong takberpenghuni," kata Supriatna (32), penduduk Desa Gadog, di kawasanPuncak, Kabupaten Cianjur.

Lelaki yang berpendidikan terakhir SMA ini masih menyimpankenangan manis tentang desanya sekitar 10 tahun lalu. Saat itu DesaGadog di Kecamatan Pacet, masih berupa lahan perkebunan sayuran danpalawija serta sebagian kecil sawah. Hamparan tanaman terbentangluas seperti permadani hijau dari kejauhan, dengan Gunung GedePangrango di latar belakangnya.

Jika pagi, saat itu masih terlihatembun tipis menyentuh pucuk-pucuk tanaman sayuran yang tengah mekarseperti daun kubis, wortel, kentang dan tomat."Tapi sekarang keadaannya sudah jauh berubah. Lahan yangdulunya perkebunan sayuran, sekarang di atasnya sudah berdiri vila-vila mewah," kata Supriatna.

Di Desa Gadog, yang lokasinya 90 km dari Jakarta arah Bandung,memang masih terlihat warna hijau. Namun ini bukan dari sayuran,melainkan genteng-genteng vila yang sengaja dipasang berwarna hijau."Kami merasa asing dengan desa kami sendiri. Ini desa kamitempat kami lahir dan dibesarkan. Tetapi desa ini sekarang bukanmilik kami lagi," kata Makmur (65), penduduk Desa Gadog.

DESA Gadog, hanyalah salah satu contoh desa yang berubah cepatdari areal perkebunan sayuran menjadi kompleks vila mewah di kawasanPuncak. Bersama desa tetangganya, Desa Sindanglaya, kini telahberdiri kompleks vila mewah, antara lain Green Aple Garden pada lahanseluas lebih dari 60 hektar.

"Lebih dari 60 persen dari 13.000 penduduk Desa Sindanglaya yangasalnya mayoritas petani, kini bergerak dalam bidang non-agraris,baik sebagai pedagang di Pasar Cipanas dan Pacet, maupun menjadiburuh bangunan di kompleks vila," kata Emon (60), Kades Sindanglaya, Cianjur.

Ia menambahkan, penduduk desa yang menjadi petani bisadihitung dengan jari. Sebab dari 250 hektar luas desa, kini tinggaltersisa empat hektar lahan perkebunan dan pertanian.Pendapat senada juga dikemukakan Kepala Desa Gadog, Cahyana.

Menurutnya, dari sekitar 200 hektar luas desa yang asalnya mayoritaslahan perkebunan, kini hanya sisa kurang dari 10 hektar arealpertanian. Sebagian besar lahan telah berubah fungsi menjadikompleks vila.

DESA Gadog dan Cipanas hanyalah salah satu contoh transformasiekologi berikut dampak sosial-ekonominya. Menurun ke arah KabupatenBogor, kerusakan yang tidak kalah parahnya sudah dan sedang terjadisejak Cibeureum di Cisarua, Cibogo, Cipayung, hingga Ciawi.

Hanyasaja berbeda dengan Kabupaten Cianjur yang lebih diwarnai olehberbagai estat, lembah, kondominium, dan hotel, maka di Bogor yangmencolok adalah vila-vila pribadi dengan halaman luas dan bangunanraksasa.

Di dua kabupaten ini upaya mempertahankan kelestarian kawasanPuncak sebagai daerah resapan air dan hulu Ciliwung, seolah tidakberdaya menghadapi derap langkah aktivitas ekonomi. Sebab lahan yangtadinya teronggok berabad-abad, sejak pertengahan tahun 1980-antiba-tiba berubah menjadi harta karun.

Kalangan developer dan para spekulan tanah yang melihattingginya pertumbuhan ekonomi Jakarta berikut besarnya konsentrasiuang, tahu persis kebutuhan lapisan menengah atas di tengah suasanasumpek dan kemacetan lalu lintas di Ibu Kota.

Lantas mereka segeramenyulap lahan-lahan itu menjadi vila, tempat peristirahatanterdekat dan nyaman bagi kalangan berduit di Jakarta.

Pertarungan pun tidak terhindarkan. Kekuatan ekonomi membuatKeppres No. 48/1983 dan Keppres 79/1985 yang melindungi kawasanPuncak, tidak berdaya. Bahkan terakhir, tahun 1994 Gubernur Jabarmenginstruksikan Bupati Cianjur dan Bogor agar tidak menerbitkan IMBbaru serta menghentikan kegiatan pembangunan oleh swasta.

Namun inipun ternyata hanyalah deretan kata-kata belaka, karena kegiatanpembangunan vila, hotel, restoran, dan lain sebagainya, terusberlanjut hingga detik ini.Lantas apa sesungguhnya yang terjadi dalam pengamanan kawasanPuncak ini?

Pak Mur (62) barangkali adalah sosok yang bisa mendeskripsikanjawaban untuk semua masalah ini. Warga Pacet, Cianjur ini tahun 1990melepas tanahnya seluas 500 m dengan harga Rp 5.000/m2. Sekarangdeveloper menawarkan bekas lahan Pak Mur itu dengan nilai tidakkurang dari Rp 250.000/m2.

Maka inilah yang disebut "mukjizat"ekonomi kawasan Puncak, yang sekaligus membuat memuncaknya "birahi"ekonomi kalangan spekulan dan pedagang.Lihat saja sekarang pada banyak spanduk di kawasan Puncak yangdengan gagah menawarkan "investasi menguntungkan" dalam tanah.

Misalnya di Villa Cerri II di Cipanas menawarkan harga tanah mulaidari RP 125.000/m2. Padahal lokasinya sekitar 10 Km dari jalan rayanegara yang menghubungkan Jakarta-Bandung. Sementara itu TamanKumala menawarkan Rp 250.000/m2, sedang Bumi Ciherang Rp 350.000/m2.Ada pula developer lain yang menawarkan hingga Rp 700.000/m2.

Dalam kondisi seperti ini nyaris mustahil membicarakanpengamanan kawasan Puncak sebagai daerah resapan air dan huluCiliwung. Belum lagi kalangan petani yang terlempar dari lahangarapannya, yang kemudian menimbulkan masalah baru.

Seperti misalnyamembabat kawasan hutan lindung maupun cagar alam.Lantas lihatlah sekarang, antara developer dan petani guremyang saling berebut lahan, membabat apa saja yang di hadapan mata.Dari mulai bukit, lembah, hingga tebing-tebing curam tidak ada yanglolos.

Bahkan punggung Gunung Gede Pangrango yang merupakan kawasanhutan lindung dan cagar alam, sejak beberapa tahun terakhir sudahdipangkas petani dan developer.Saat ini pertanian malah mulai melaju hingga ke bahu gunungtempat mata air Sungai Ciliwung itu.

Dalam waktu dekat diperkirakanakan sampai ke leher Gede Pangrango. Kalau ini terjadi, berarti mautbagi Jakarta. Bukan banjir bandang lagi yang tiba, namun barangkaliair bah yang lebih mengerikan. (agus mulyadi/thy/ama/pun/mt)

Foto:MENGIKIS TEBING : Developer di kawasan Puncak berlomba-lomba mengikis tebinguntuk pembangunan vila mewah seperti yang dilakukan di Kecamatan Pacet,Kabupaten Cianjur. Harga vila yang terletak di tepi tebing, umumnya lebihmahal dibandingkan dengan yang dibangun di atas tanah datar.

Tidak ada komentar: