Kamis, 17 Juli 2008

Laba Kecil-kecilan Pedagang Pengumpul

KOMPAS - Jumat, 11 Jul 2003 Halaman: 31 Penulis: mul Ukuran: 5436
LABA KECIL-KECILAN PEDAGANG PENGUMPUL
DI pusat kota Kecamatan Kepahiang, Kabupaten Rejang Lebong,
Provinsi Bengkulu, deretan rumah toko di salah satu sisi jalan
disesaki timbunan biji kopi kering. Sejak dua tahun ini, ruko-ruko
itu berganti isi dari tempat dijajakannya barang dagangan atau tempat
usaha lain menjadi gudang sementara biji kopi kering.
Berpuluh-puluh karung berisi biji kopi kering yang siap dikirim
ke Lampung dan timbunan kopi kering yang baru dibeli dari petani dan
belum dimasukkan ke dalam karung mengisi ruangan di petak-petak rumah
toko (ruko) tersebut. Sejumlah buruh di masing-masing ruko terlihat
sibuk dengan berbagai aktivitas, seperti membersihkan atau memasukkan
biji kopi ke dalam karung.
Di jalan persis di depan ruko, Sabtu (5/7) siang lalu, sejumlah
petani tampak datang silih berganti. Mereka membawa karung-karung
berisi biji kopi seberat 50 kilogram, maupun yang berisi kurang dari
10 kilogram.
Kepada pedagang pengumpul itulah petani menaruh harapan. Ketika
datang ke kios-kios pedagang itu mereka membawa harapan lain pula,
mudah-mudahan harga biji kopi hari ini lebih baik dibanding kemarin.
Maraknya jual beli kopi di Kepahiang terutama terjadi beberapa
tahun ini berbarengan dengan semakin banyak bermunculan pedagang
pengumpul. "Dua tahun ini saja sudah 70 pedagang pengumpul di sini,"
kata Hidayat, salah seorang pedagang pengumpul di Kepahiang.
Hidayat menuturkan, banyaknya pedagang tersebut menyebabkan
perolehan biji kopi kering dari petani menjadi lebih sedikit. "Saya
sekarang dalam satu hari paling banyak mendapat biji kopi kering
tujuh ton. Hampir setiap hari saya kirim kopi ke Lampung untuk dijual
ke eksportir di sana," ucapnya.
Dikatakan, keuntungan yang diperoleh dari bisnis itu sebenarnya
tidaklah besar, antara Rp 10-Rp 25 per kilogram. Biji kopi itu dijual
kepada eksportir di Lampung dengan harga tidak lebih dari Rp 3.895
per kg. Sebelumnya dia membeli dari petani Rp 3.700 per kg.
Selisih harga pembelian dan penjualan Rp 195 tidak mutlak menjadi
keuntungan. Dari kopi satu kilogram yang dibeli, terdapat penyusutan
Rp 20, ongkos angkut ke Lampung Rp 140, upah buruh angkut Rp 20, dan
biaya karung Rp 15. "Sisanya Rp 20. Tidak seberapa keuntungan yang
saya peroleh," katanya.
Pada musim panen kopi tahun ini, pedagang pengumpul umumnya
mengeluhkan pula soal tidak lancarnya pasokan dari petani. Itu semua
disebabkan anjloknya produksi kopi. "Selain keuntungan kecil, tahun
ini pasokan juga tidak lancar. Apalagi sekarang pedagang pengumpul
seperti saya bertambah banyak," ujar Hidayat.
PEDAGANG pengumpul di Kota Pagar Alam juga mengeluhkan tidak
lancarnya pasokan dan sedikitnya keuntungan yang mereka peroleh.
Namun, usaha itu tetap dijalani karena tetap merupakan pilihan
terbaik bagi mereka untuk mencari sumber nafkah.
"Selama beberapa bulan ini keuntungan yang kami peroleh tidak
lebih Rp 25 per kilogram. Sekarang harga sedang anjlok, sementara
pedagang bertambah banyak," ucap Likut, seorang pedagang pengumpul
kopi di Pagar Alam.
Likut mengatakan, dalam satu hari tempat usahanya mampu
menghimpun biji kopi kering 14 ton-15 ton, bahkan kadang-kadang
sampai 20 ton. Jumlah sebesar itu pula yang dikirim ke eksportir di
Lampung. Lampung menjadi pilihan pedagang pengumpul karena di kota
itu terdapat ratusan eksportir. Pedagang bisa mencari pembeli dengan
harga lebih baik meskipun selisihnya tetap tipis.
Di Lampung, biji kopi yang dibawa truk pengangkut juga pasti
terjual karena banyaknya eksportir tersebut. Itulah sebabnya pedagang
pengumpul, termasuk dari Pagar Alam, memilih Lampung sebagai tempat
menjual kopi ketimbang ke Palembang.
Di Pagar Alam, kota berudara sejuk di kaki Gunung Dempo yang
letaknya 270 kilometer sebelah barat Palembang, juga banyak
bermunculan pedagang pengumpul kopi. Mereka bertebaran di berbagai
pelosok kota, bahkan sampai ke pinggiran kota.
Ke kios-kios pedagang pengumpul itulah petani membawa biji kopi
yang kulitnya telah dikupas. Kepada pedagang pengumpul mereka menaruh
harapan dan menjual hasil bumi itu untuk kelangsungan hidup keluarga
mereka meskipun sebagian di antaranya hanya menjual kopi dalam jumlah
sedikit.
Seorang ibu rumah tangga dan petani berusia sekitar 60 tahun,
Kamis pekan lalu, hanya membawa karung plastik berisi kopi ke tempat
Likut. Ketika ditimbang, berat biji kopi kering yang hendak dijual
hanya sembilan kilogram. "Kalau kopi yang sudah kering dan dikupas
kulitnya ini tidak dijual, kami sekeluarga mau makan apa?" katanya.
Petani saat ini terpaksa menjual kopi produksi kebun mereka
karena didesak kebutuhan hidup. Selain untuk makan sehari-hari, anak-
anak mereka pun sedang banyak membutuhkan biaya untuk mulai sekolah
pada tahun ajaran baru nanti.
Dari sembilan kilogram biji kopi yang dijual perempuan tadi
diperoleh uang Rp 33.300. Uang sebesar itu apakah mampu untuk
menutupi kebutuhan makan dan minum selama seminggu, misalnya? Namun
yang pasti, uang itu pasti tidak cukup untuk membeli keperluan
sekolah anak-anak petani kopi pada tahun ajaran baru yang dimulai
pekan depan. (agus mulyadil)

Tidak ada komentar: