Rabu, 16 Juli 2008

KOMPAS - Selasa, 27 Feb 1996 Halaman: 8 Penulis: BAR/MUL Ukuran: 6985

KEPPRES DAN MENTAL APARAT

MASALAH pembangunan liar di Puncak, Jawa Barat sudah merebaksejak tahun 1980-an. Setiap pakar lingkungan meramaikannya di mediamassa. Namun pimpinan daerah di Jawa Barat, baik tingkat I atau II,selalu mengatakan, segala bentuk penyimpangan mengenai pembangunan dikawasan Bogor- Puncak-Cianjur (Bopunjur) akan ditindak tegas!

Belasan tahun kemudian, kerugian yang ditimbulkan hancurnyakawasan Bopunjur makin besar dan menjadi "mimpi buruk" bagi warga IbuKota. Bukan hanya jalan dan rumah yang tenggelam, tapi semua kegiatanberhenti.

Menteri Negara Lingkungan Hidup, Sarwono Kusumaatmadjamengatakan, nilai kerugian itu jika dirupiahkan bisa mencapaitrilyunan rupiah.Kerusakan gedung, jalan, kendaraan, alat-alat rumah tangga,peralatan elektronik, barang-barang berharga, tertundanya ataubatalnya keberangkatan penerbangan di Bandara Soekarno-Hatta danbatalnya transaksi-transaksi ekonomi penting yang nilainya sangatbesar.

Misalnya, kerugian PT Telkom yang mencapai milyaran rupiahakibat terendamnya sentral telepon di Jl. Gatot Subroto, sertahilangnya ribuan pulsa akibat putusnya hubungan telepon itu. PT Astramelaporkan, 4.000 unit mobil yang sudah siap dipasarkan, rusak beratakibat banjir karena terendam.

Demikian pula dengan kerugian yang tak ternilai harganya, yaituhilangnya 22 jiwa akibat banjir tersebut. Sedang jawaban pimpinandaerah di Jawa Barat masih sama dengan belasan tahun lalu, yakni bahwasegala bentuk penyimpangan itu akan ditindak tegas. Bahkan masihdibumbui kata-kata, tidak ada yang kebal hukum!

KENYATANNYA ribuan vila-vila mewah, kompleks perumahan,perdagangan, industri, dan lapangan golf muncul di kawasan Bopunjur.Wajar jika kuat dugaan bahwa ada yang "tak beres" pada aparat pemberiizin dan pengawas pembangunan di kawasan itu, atau memang benar ada"kekuatan" besar yang berdiri di belakang pembangunan vila-vila itu.

Berdasarkan pengamatan Kompas, pada lahan milik negara pun vilaitu sudah bermunculan. Misalnya di kawasan resapan Desa Cibeureum,Kecamatan Cisarua. Lahan yang sudah ditetapkan sebagai kawasan resapanair itu bahkan sudah beberapa kali pindah tangan diperjualbelikan.

Misalnya di blok Barusireum, dimana berdiri sejumlah vila yangbelum lama selesai dibangun. Satu di antaranya berada tidak jauh darivila yang pernah dibongkar tim OWP (Operasi Wibawa Praja) PemdaKabupaten bogor pertengahan Januari 1996 lalu.Di Desa Cibeureum itu pun saat ini mulai dibangun sebuah kawasanvila bernama Bukit Nirwana.

Dari lahan-lahan yang sudah dikavling dansedang dipasarkan itu, sudah selesai dibangun 7 vila mewah.Penyimpangan penggunaan lahan juga terjadi di atas tanah negara bekasPerkebunan Cisarua Selatan yang telah habis HGU (hak guna usaha)-nyapada tahun 1970-an.

Seorang pejabat di Pemda TK II Bogor mengakui bahwa dari 150 viladi desa Cibeureum itu, yang berdiri di atas tanah negara maupun hakmilik, hanya 40 yang memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB).Ditambahkannya, di Desa Jogjogan, Blok Curug, saat ini 6 unit vilabaru selesai dibangun.

Di desa itu hampir semua lahan pertanian sudahdibeli "orang Jakarta".Menurut dia, penyimpangan pembangunan di kawasan Bopunjur itusesungguhnya berhubungan dengan "ketidakberesan" pejabat.

Dicontohkannya, mantan Bupati Cianjur periode 1983-88, Ir ArifinYoesoef sebelum meletakkan jabatannya, bekerja sama dengan DPRDKabupaten Cianjur sudah mengeluarkan Perda Nomor 3, yang menyangkutRencana Detail Tata Ruang (RDTR) kawasan Puncak.

Pada RDTR itu sudah ditetapkan kawasan-kawasan lindung, kawasanpenyangga, kawasan budidaya nonpertanian, dan kawasan jalur pengamanaliran sungai dan mata air.

Namun pada era Bupati berikutnya, yangdipegang H. Eddi Soekardi, muncul keputusan Pemda TK II Cianjur yangbaru, yang membuat lahan-lahan pertanian produktif di desa-desaseperti Sukarngalih, Sindangjaya, Ciloto, Cibadak dan Ciwelan diubahmenjadi "hutan beton" oleh developer.

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Kelompok Masyarakat CianjurUntuk Lingkungan Hidup (KMCULH) pernah memprotes keras keputusanpribadi Bupati Eddi Soekardi tersebut. Waktu itu KMCULH itu bahkanberani memberikan bukti bahwa tidak satu pun proyek pembangunanperumahan yang diizinkan Pemda Cianjur itu memiliki Amdal (AnalisaMengenai Dampak Lingkungan). Hasilnya, semua protes itu berlalu begitusaja.Tiap tahun jumlah vila di Bopunjur terus bertambah.

Kepala DesaMegamendung, HA Djadjat kepada Kompas menambahkan, selama hampir 10tahun terakhir, jumlah vila di desanya telah bertambah lebih dari 300persen. Ketika dia mulai menjadi Kades Megamendung tahun 1978, jumlahvila baru sekitar 60 unit. Sekarang ini vila yang tercatat di kantordesanya sudah sekitar 200 unit. Jumlahnya diperkirakan masih banyaklagi, karena separuh dari vila yang ada di kawasan itu diduga takmemiliki IMB, jadi tak diberitahukan ke kecamatan setempat.

GUNA melindungi kawasan Puncak, tidak tanggung- tanggung, telahmuncul 2 Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 48 Tahun 1983 dan Nomor 79Tahun 1985 yang mengatur penataan ruang kawasan Bopunjur.

Bahkan masihada satu lagi, yakni Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang pengelolaankawasan tata air, yakni ketentuan mengenai permukaan tanah sebagairesapan air, seperti persawahan dan sungai.Namun semuanya dianggap sepi.

Salah seorang pemilik vilamenceritakan, sebenarnya tidak perlu beking pejabat tinggi di pusatuntuk memperoleh IMB mendirikan vila. Asal punya "pelor" (uang),ujarnya, jangankan membangun di lereng-lereng puncak atau gunung, dipuncak gunung sekali pun pasti diizinkan.

Diungkapkannya, proses untuk mendapatkan izin lokasi terlebihdahulu harus ada rekomendasi dari TAT (Tim Asistensi Teknik), yangberanggotakan pegawai dari Badan Perencana Pembangunan Daerah(Bappeda), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Asisten I, DinasPertanian, Dinas Parawisata, dan Camat.

Ditambahkan, pengeluaran uang bukan cuma untuk anggota TAT itu,tapi biaya rapat-rapat mereka di hotel-hotel di Puncak pun harusditanggung developer. Menurut dia, pasaran pengeluaran "dana taktis"itu beberapa waktu lalu di Puncak adalah Rp 300 juta untuk pembangunanvila-vila yang memakai lahan seluas 15 hektar.

Ucapan pemilik vila itu cukup mencengangkan. Bayangkan, dia mampu"membayar" sebuah tim yang anggotanya terdiri dari perwakilan dariberbagai instansi. Dan memang, walau sudah berkali-kali PanglimaDaerah, Gubernur, hingga Menteri (bahkan Keppres) mengancam akanmenindak tegas penyimpangan itu, kenyatannya bangunan-bangunan vilaterus bermunculan di kawasan Bopunjur.

Lalu siapa lagi yang bisa dipercaya dalam kasus Bopunjur ini?(bar/agus mulyadi)

Tidak ada komentar: