Rabu, 16 Juli 2008

Sawit, Andalan Devisa Republik

KOMPAS - Sabtu, 25 Feb 2006 Halaman: 52 Penulis: Bakir, Mohammad; Mulyadi, Agus Ukuran: 8715 Foto: 1

SAWIT, ANDALAN DEVISA REPUBLIK
Oleh Mohammad Bakir dan Agus Mulyadi

Perkebunan kelapa sawit, diakui atau tidak, telah memicu
peningkatan perekonomian. Walaupun dihadang beragam persoalan, selama
20 tahun perkebunan sawit menjadi nadi utama penghidupan rakyat.

Di Sumatera, sebagai sentra perkebunan sawit republik ini, banyak
daerah baru tumbuh akibat langsung dari perkebunan sawit. Yang cukup
fantastis terjadi di Provinsi Riau yang meliputi lima kabupaten,
Siak, Pelelawan, Rokan Hulu, Indragiri Hulu, dan Kampar.
Sepanjang jalan lintas timur, lintas tengah, dan lintas barat
Sumatera antara Medan dan Palembang, di kanan kiri jalan yang
terlihat hanyalah hamparan perkebunan sawit atau karet.

Tak heran jika total luas areal tanaman sawit di seluruh
Indonesia dalam 20 tahun terakhir berkembang sangat cepat. Tahun 2003
luas areal kebun sawit di Sumatera, seperti dicatat Pusat Penelitian
Kelapa Sawit (PPKS), mencapai 5,2 juta hektar. Padahal, pada tahun
1997 luas areal sawit di Sumatera hanya 611.300 hektar.

Dari luas itu, empat juta hektar lebih berada di Sumatera,
termasuk Bangka Belitung. Kebun seluas itu menghasilkan tidak kurang
8,3 juta ton minyak sawit mentah (CPO) dan sekitar tiga juta ton di
antaranya diekspor. Bayangkan jika harga internasional CPO sekitar
400 dollar AS per ton, setiap tahun Sumatera menyumbang devisa 1,2
miliar dollar AS.

Biasanya setiap dua hektar kebun sawit digarap satu keluarga atau
empat orang. Dengan luas areal empat juta hektar, berarti delapan
juta orang terlibat dalam bisnis ini. Itu baru mereka yang bekerja di
kebun, belum buruh di pabrik pengolahan CPO dan transportasi tandan
buah segar (TBS) atau para pegiat benih di beberapa pusat pembenihan.

Masalah benih
Kebutuhan benih terus meningkat dari tahun ke tahun seiring
dengan pesatnya pembukaan lahan baru kebun sawit. Data terbaru dari
Asosiasi Petani Kelapa Sawit Seluruh Indonesia (Apkasindo)
menunjukkan kebutuhan benih mencapai 2,4 juta per tahun. Dari
sembilan pemasok benih di Indonesia, hanya dapat diproduksi sekitar 1
juta per tahun.

Belum lagi persoalan benih, petani sawit juga dihadapkan pada
akses jalan menuju pabrik pengolahan. TBS harus sudah diolah menjadi
CPO hanya dalam waktu 24 jam. Jika dalam waktu 24 jam belum diproses,
kemungkinan besar TBS akan membusuk.

Seperti terjadi di Bengkulu akhir-akhir ini, rakyat membiarkan
sawitnya tidak dipanen karena akses jalan menuju pabrik sangat sulit.
Kalaupun ada, ongkos transportasinya mahal. Soal ini pula di Provinsi
Riau yang menjadi kendala utama pengolahan sawit. Perkembangan cepat
luas areal tanam tidak sebanding dengan kehadiran pabrik pengolahan.
Memang, pabrik pengolahan ini ada yang terkait dengan kebun, ada pula
yang menampung sawit dari rakyat.

Pabrik pengolahan kadang jengkel dengan ulah petani yang menyiram
TBS di tengah jalan menuju pabrik pengolahan. Tidak jarang pekerja di
pabrik pengolahan membiarkan sawit sampai berjam-jam tidak diolah,
menunggu sampai air di TBS mengering. "Ini yang rugi petani sendiri
karena makin cepat sawit diolah, makin banyak hasilnya. Kalau nunggu
sampai kering, kan hasilnya berkurang," ujar Amril, buruh di pabrik
pengolahan sawit di Bandar Pulau, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara.

Di luar persoalan ulah petani, kebun sawit membutuhkan sangat
banyak pupuk. Dalam petunjuk pemupukan yang dikeluarkan PPKS, setiap
pohon sawit rata-rata per tahun membutuhkan sekitar 7 kg, tergantung
usianya. Jika setiap hektar lahan rata-rata ditumbuhi 150 pohon,
berarti kebutuhan pupuk per hektar per tahun 1.050 kg. Dengan areal
empat juta hektar sawit, Sumatera setiap tahun membutuhkan pupuk 4,2
juta ton, belum termasuk kebutuhan pupuk untuk tanaman pangan seperti
padi dan jagung atau tanaman palawija.

Rasanya wajar jika hampir setiap tahun kita selalu berteriak
kekurangan pupuk. Apalagi sebagian pupuk bersubsidi sengaja dilempar
ke luar negeri karena pasti mendapat untung yang menggiurkan. Itu
terjadi pada pupuk bersubsidi. Pupuk bersubsidi ini bisa diperoleh
pekebun sawit juga dengan harga cukup tinggi meski tidak setinggi
harga ekspor. Akibatnya, tetap saja pekebun sawit sering merasakan
kekurangan pupuk.

Ketergantungan sawit pada pupuk diceritakan oleh Manajer Umum
Plantations PT Agrowiyana Hepi Sapirman. "Jika dalam setahun tidak
dipupuk, bisa berakibat penurunan produksi sekitar 20 persen. Jika
dalam dua tahun tidak dipupuk, penurunan produksi bisa mencapai 35
persen. Baru pulih setelah satu setengah sampai dua tahun sejak
dipupuk kembali," ujar Hepi.

Betapa besarnya uang yang beredar di bisnis sawit dan banyaknya
orang yang terlibat memang tak terbantahkan. Maka, ketika Indonesia
mengalami krisis keuangan di tahun 1997, Sumatera seperti tak terkena
imbasnya. Mobil-mobil baru terus berjejal, seolah ingin menunjukkan
betapa Sumatera siap mengambil alih peran, khususnya ekonomi, dari
Pulau Jawa.

Ketika sawit membuat orang Sumatera tetap tersenyum, terjadilah
pembukaan lahan besar-besaran untuk dijadikan kebun sawit. Salah satu
contohnya, sepanjang 300 kilometer Sungai Siak di Kabupaten Siak,
Riau, telah berdiri sekitar 700 hektar lahan sawit.

Kehadiran mereka diduga akan menjadi awal bagi terganggunya
ekosistem perairan di sungai itu. Banyak biota laut yang sudah
menghilang, belum lagi kekhawatiran akan menipisnya persediaan air
tanah akibat lahan sawit itu.

Pembukaan lahan sawit tak hanya dilakukan oleh rakyat, tetapi
juga oleh perusahaan dengan modal kecil maupun besar. Mereka berlomba
membuka lahan perkebunan baru, tanpa memedulikan lagi kelestarian
alam. Bahkan, di Taman Nasional Tesso Nello (Riau) sekitar 100 hektar
lahan konservasi itu juga mulai dirambah.

Masih banyak lagi taman nasional yang sudah digunduli dan siap
menjadi kebun sawit. Padahal, meski dari segi luas Indonesia lebih
unggul dari Malaysia, produktivitas sawit Indonesia masih jauh
dibandingkan dengan negara ini. Harus diakui, ratusan hektar sawit di
Sumatera adalah peninggalan Belanda atau sudah berusia di atas 30
tahun.

Itu antara lain yang membuat produktivitas lahan kita tertinggal,
belum lagi penggunaan pupuk dan teknologinya. Ironis memang, di balik
hamparan pohon kelapa sawit yang menghijau itu banyak tersimpan
cerita muram petaninya.

Persoalan lain, dengan potensi sawit yang demikian besar,
industri hilir selain pabrik CPO yang tersedia, khususnya di
Sumatera, sangat jarang. Padahal, nilai tambah terbesar sawit
terletak pada industri hilir yang menyertainya, mulai dari minyak
goreng, mentega, sampai palm based oleochemical yang banyak
dibutuhkan untuk kosmetik.

"Andai sawit tidak busuk dalam waktu 24
jam, mungkin banyak orang Medan yang menjual sawit tanpa mengolahnya
jadi CPO terlebih dahulu," kelakar seorang petani di Labuhan Batu.
Dari 178 pabrik CPO di seluruh Indonesia, 90 persen berada di
Sumatera. Anehnya, hanya ada 20 pabrik minyak goreng di Sumatera dari
58, dari tiga pabrik oleo dari enam di Indonesia. Seandainya industri
hilir sawit marak di Sumatera, bukan tidak mungkin pulau ini akan
menjadi pusat industri agro dari hulu sampai ke hilir. Dan, bayangkan
berapa juta orang yang akan terlibat dalam industri ini.

Akan tetapi, gambaran di atas sekaligus memperlihatkan bahwa
ekstensifikasi lahan sawit belum sebanding dengan ketersediaan pupuk,
bibit, pabrik pengolahan, dan pembuatan akses jalan menuju pabrik
itu. Beberapa persoalan itu yang menyadarkan kita, betapa
ekstensifikasi tanpa perencanaan matang akan memunculkan masalah yang
penyelesaiannya kadang lebih rumit. Belum lagi munculnya gagasan
mengembangkan lahan sawit satu juta hektar di Kalimantan!

Bagaimana kebun yang merambah masuk taman nasional diberi akses
jalan menuju pabrik pengolahan tanpa harus mengambil lahan taman itu?
Beragam persoalan itu membuat kita berpikir mungkinkah menata ulang
perkebunan kelapa sawit di Sumatera? Penataan ini sangat penting agar
bumi Sumatera tak hanya diperas, tetapi sekaligus diberdayakan.
Mungkinkah?

Foto: 1
Kompas/Neli Triana
Sawit menjadi salah satu pilihan usaha favorit masyarakat Riau
seiring predikat penghasil minyak sawit mentah (CPO) terbesar kedua
setelah Malaysia dengan areal perkebunan mencapai 1,5 juta hektar.
Namun, akibat sampingan perluasan kebun membabi buta dengan merambah
hutan alam adalah kerusakan lingkungan yang menyebabkan bencana
banjir terjadi setiap tahun di Riau.
Image:
Estimasi Produksi dan Konsumsi CPO Indonesia Tahun 1997-2009

Tidak ada komentar: