Rabu, 16 Juli 2008

KOMPAS - Kamis, 30 Jan 1992 Halaman: 1 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 7388

PETANI BERDASI VERSUS KELOMPOK RIMBAWAN
* Konservasi Hutan di Sulsel (2-Habis)

TELUK Bone. Jika Anda berlayar di daerah ini, mungkin Anda akanmenyaksikan pemandangan lain yang berbeda dari pantai-pantai lainseperti di pesisir utara Jawa, atau bahkan di wilayah lain diSulawesi Selatan sendiri. Pantai di Teluk Bone dipenuhi hamparanhutan bakau, menjamur sepanjang sekitar 30 kilometer di empat desadalam wilayah Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten Sinjai, Sulsel.
Seperti halnya hutan kesepakatan desa (HKD) di KabupatenSinjai yang diusahakan secara mandiri oleh masyarakat setempatsebagai bentuk turun tangan langsung masyarakat dalam penghutanankembali wilayahnya, hutan bakau di pinggir pantai itu juga hasilswadaya para nelayan desa setempat.
"Warga desa yang tinggal di pantai kan tidak mempunyai hutan.Maka untuk berpartisipasi dalam pembangunan hutan seperti HKD,mereka mewujudkannya dalam bentuk konservasi hutan bakau di pantai,"kata Bupati Sinjai A. Arifudin Mattotorang SH.
Mungkin terimbas oleh semangat penghutanan kembali wilayah-wilayah kritis yang tengah menyala di Sinjai, warga nelayan di KecamatanSinjai Timur lalu memilih pantai untuk dijadikan kawasan hutan kesepakatan.Mereka mengikuti langkah para petani di daerah pedalaman yangmenghutankan kembali wilayah di sekeliling mereka dalam program HKD,atau biasa disebut oleh masyarakat setempat sebagai hutan kesepakatan.Seperti para petani itu, mereka juga menghijaukan kembaliwilayahnya tanpa sepeser pun bantuan dari pemerintah. "Kami pernahmenolak bantuan dana yang pernah akan diberikan pemerintah untukmembangun hutan bakau rakyat itu," ujar Arifudin. Strategi sepertiini dalam mengelola alam, barangkali memang tepat. Basispendekatannya adalah tanggungjawab, dengan sebuah premis, bahwaplanet kecil bernama bumi ini milik bersama.Upaya yang dilakukan sejak 1987 itu kini sudah mencapai 500hektar. Polanya mirip yang dilakukan para petani dengan program HKD.Batas-batas wilayah penghijauan ditentukan bersama, kemudian digarapdan dipelihara bersama.Menurut seorang nelayan di Kelurahan Samatarin, KecamatanSinjai Timur, penanaman dilakukan dengan menanam batang-batang bibitbakau yang didapat dari beberapa perairan yang masih menyimpan jenistanaman itu. Setelah bibit yang terkumpul dirasa cukup untuk arealbeberapa hektar, penanaman mulai dilakukan. Jika diukur dari bibirpantai, tanaman bakau itu tumbuh menjorok ke laut sekitar 300 meter.Camat Sinjai Timur, Drs A. Moh Yusuf mengatakan, panjangpesisir pantai di wilayahnya 132,23 kilometer, memanjang dari utarake selatan di perairan Teluk Bone. "Penanaman bakau oleh rakyatdilakukan untuk mengatasi erosi pantai, terutama di muara-muarasungai," ujar Yusuf.DI Samatarin, areal bakau rakyat seluas 67 hektar dikelola olehdua kelompok tani nelayan bernama Mekar Jaya I dan Mekar Jaya II.Masing-masing kelompok beranggota 20 orang. Dua kelompok itulah yangbertanggungjawab atas kelestarian kawasan hutan bakau rakyattersebut.Manfaat yang diperoleh oleh nelayan setempat dengan hutan bakauitu, menurut Ketua Mekar Jaya I, Bambang, antara lain erosi pantaiakibat kikisan ombak bisa ditanggulangi. Kadar garam di sumur-sumurpenduduk katanya juga turun, sehingga kebutuhan air tawar makinmudah dipenuhi.Selain itu, ada manfaat ekonomis yang sekarang bisa dinikmatinelayan. Hasil penangkapan nener dan benur meningkat secaramencolok. Kalau tadinya dari tiap hektar perairan hanya menghasilkansekitar 3.000 nener dan benur, kini dengan kawasan yang dipenuhihutan bakau, dari areal dengan luas sama bisa dijaring 30.000 nenerdan benur."Selain untuk dijual, benur dan nener itu kami budidayakansendiri," ucap Bambang. Dengan harga pada awal Januari 1992 yang mencapai Rp 60tiap ekor benur dan Rp 20 tiap ekor nener, penghasilan tambahan itumemang cukup berarti bagi para nelayan.DILETAKKAN dalam skala makro kerusakan hutan di Indonesia --atau setidaknya di Sulsel dimana dari 3,5 juta hektar, seluas 1,1juta hektar atau sekitar 30 persen koyak oleh perusakan -- upaya-upaya yang dilakukan secara swadaya oleh penduduk itu boleh jaditerbilang kecil jika diukur secara kuantitatif. Bahkan lebih dariitu, perjuangan penduduk untuk menghutankan kembali wilayahnyakadang masih dihadapkan pada berbagai penawaran, dari kekuatan-kekuatan di luar mereka.Perusakan hutan yang kerap terjadi, acapkali dituduhkan kepadapara peladang berpindah sebagai pelakunya. Sementara menurutberbagai kabar, para peladang berpindah itu sering dimanfaatkan oleh"petani berdasi", sebagai jalan untuk membuka hutan untuk dijadikanperkebunan. Areal hutan yang dibakar disulap menjadi perkebunan, danpada hiliran berikut, tak jarang areal itu lalu menjelma menjadimilik pribadi, lengkap dengan sertifikat resmi...Kakanwil Departemen Kehutanan Sulsel, Ir Soetomo Soepangkatsendiri mengakui hal ini. Sampai saat ini saja, di Sulsel sudahada sekitar 500 sertifikat lahan-lahan seperti itu yang dimilikikelompok berdasi. "Meski diduga prakteknya seperti itu, sulit untukmembuktikannya," ujar Soetomo. Kesulitan lebih disebabkan tidakadanya pengakuan dari peladang berpindah yang membakar hutan, dankemudian ditangkap. Jumlah peladang berpindah di wilayah itudiperkirakan sekitar 88.850 KK (kepala keluarga)."Lahan kritis lebih banyak terdapat di Sulsel bagian tengahsampai selatan. Sedangkan di bagian utara dimana terdapat HPH diLuwu dan Mamuju, keadaan hutan masih baik," kata Soetomo Soepangkat.Ini artinya, peladangan berpindah bisa dianggap potensial dalamperusakan hutan.MUNGKIN agak berlebihan jika terlalu berharap dari proyek-proyek itu, untuk dapat segera melihat hijaunya hutan di Indonesia.Hutan kesepakatan desa, hutan bakau rakyat, merupakan picu kecildari seluruh pembangunan hutan di Indonesia.Yang lebih menarik dari upaya-upaya yang dilakukan secaraswadaya oleh masyarakat ini adalah semangat itu sendiri. Lihatlah.Sampai di desa Utada di Kabupaten Majene misalnya, sekelompok pemudamendirikan kelompok yang bergerak di penghutanan kembali wilayahnyadalam kelompok yang mereka beri nama Rimbawan. Mereka hijaukankawasan pantai seluas lima hektar di desa mereka dengan inisiatifsendiri.Mengingat begitu banyaknya segi yang terkait dalam perusakanhutan, yang paling penting di situ agaknya bagaimana menjagasemangat partisan itu, untuk terus menghadapi tantangan yangmengancam kelestarian hutan. Betapa mengharukan sebenarnya, bahwasemangat itu justru tumbuh di kalangan para petani dan nelayansederhana. Adakah alam, memang lebih dekat dengan manusia-manusiasederhana, dibanding kalkulasi-kalkulasi modern yang menakarsegalanya dengan semangat eksploatatif? (agus mulyadi)teks fotoBAKAU RAKYAT -- Kawasan pantai di Kecamatan Sinjai Timur, KabupatenSinjai, Sulsel, sudah mulai menghijau. Penghijauan ini dilakukanpara tani-nelayan, tanpa campur tangan pemerintah.Kompas/mul
Diposting oleh ManggaDermayu di 04:09 0 komentar
Label: , ,

Tidak ada komentar: