Ciwidey, negeri menawan di Bandung selatan. Ciwidey adalah Negeri Stroberi. Di mana-mana terhampar kebun buah yang rasanya asam namun menyegarkan itu. Ciwidey adalah Kawah Putih. Puncak gunung yang telah meletus. Ciwidey adalah Situ Patenggang, danau menawan dikelilingi kebun teh. Ciwidey memang menawan. (Agus Mulyadi)
Jumat, 18 Juli 2008
Kamis, 17 Juli 2008
Derita Panjang Petani Kopi
KOMPAS - Jumat, 11 Jul 2003 Halaman: 1 Penulis: Mulyadi, Agus Ukuran: 5684 Foto: 1
DERITA PANJANG PETANI KOPI
PANEN raya kopi tahun ini tidak disambut gembira oleh Toto (37).
Demikian pula oleh puluhan ribu, bahkan ratusan ribu, petani kopi
lainnya yang tersebar di Kabupaten Lahat dan Kota Pagar Alam,
Sumatera Selatan, serta Kabupaten Bengkulu Selatan dan Rejang Lebong,
Bengkulu. Jerih payah mereka selama setahun mendapat balasan yang
tidak setimpal.
Harga biji kopi kering hasil kebun petani saat ini jeblok!
Produksi kebun komoditas andalan dua provinsi itu pun jauh
menurun dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Akibat cuaca yang
tidak bersahabat, berganti-ganti antara panas menyengat dan hujan
deras, sebagian bunga kopi mengering atau berguguran. Produksi kopi
pun otomatis menurun.
"Nasib kami ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah
produksi anjlok, harga kopi pun rendah," ujar Toto, petani di Talang
Pagar Alam, Kota Pagar Alam, pekan lalu.
Toto adalah salah seorang petani yang menggarap lahan di areal
perkebunan rakyat di Talang Pagar Alam. Di lokasi perbukitan yang
berdebu karena tanah kering itu, Toto dan keluarganya tinggal.
Persisnya di tengah-tengah areal perkebunan. Dia bersama 20 keluarga
lain menempati "perkampungan" yang lokasinya sekitar 15 kilometer
arah utara dari pusat Kota Pagar Alam.
Petani-petani kopi yang kebanyakan pendatang dari berbagai daerah
tersebut menetap di tengah kebun kopi yang mereka garap sendiri.
Rumah yang ditinggali Toto bersama istri dan tiga anaknya berupa
rumah panggung kayu, berukuran tiga meter kali empat meter. Rumah-
rumah tersebut juga berdiri di atas lahan para tuan tanah yang
menyewakan lahan mereka kepada para petani kopi itu.
"Di sini hampir semuanya pendatang. Kami menyewa tanah dari
pemilik yang semuanya warga Pagar Alam. Hasil yang diperoleh dari
kebun dibagi dua dengan pemilik tanah," ujar Toto.
Karena hasil kebun dibagi dua, penghasilan yang diperoleh Toto
dan juga petani penyewa lahan lainnya menjadi semakin kecil. Ditambah
dengan produksi yang menurun dan harga yang rendah, penghasilan yang
diperoleh mereka semakin kecil.
"Hasil dari kebun kopi setiap tahun selalu habis untuk makan dan
minum keluarga saja. Kadang-kadang hasil yang diperoleh tidak cukup
untuk makan sekalipun," ucap Toto lirih.
***
MUSIM panen kopi tahun ini bagi petani memang merupakan pukulan
yang menyakitkan. Pada pekan lalu, misalnya, biji kopi kering hanya
dihargai Rp 3.700 per kilogram. Bahkan, kopi dengan kualitas lebih
buruk dan kadar air lebih banyak paling tinggi dihargai oleh pedagang
pengumpul (tengkulak) Rp 3.500 per kilogram.
Tahun-tahun sebelumnya harga kopi pun tidaklah bagus, kecuali
ketika harga melambung sampai Rp 16.000 per kilogram tahun 1998.
Tahun-tahun berikutnya harga biji kopi kering terus merosot mulai
dari Rp 7.000 dan Rp 5.000 per kilogram, hingga Rp 2.800 per kilogram
pada tahun 2002.
"Tapi pada tahun 2002 produksi kopi melimpah. Meskipun harganya
lebih rendah, penghasilan yang diperoleh petani tetap lebih besar,"
ujar Zaeri, petani kopi lain di Talang Pagar Alam.
Pada musim panen tahun ini produksi kopi memang merosot sampai di
bawah setengah produksi tahun lalu. Toto, misalnya, yang menggarap
lahan seluas 2,5 hektar, hanya mendapatkan sekitar satu ton biji kopi
kering. Setelah dibagi dua dengan pemilik lahan, hasil yang
diperolehnya tinggal 500 kilogram.
Padahal, selama setahun ini, Toto telah membanting tulang
sepanjang hari. Dia selalu dipanggang terik Matahari ketika
membersihkan kebunnya. Toto pun mengeluarkan biaya tidak sedikit
untuk memupuk sekitar 9.000 batang tanaman kopi miliknya.
Akan tetapi, kerja kerasnya tidak membuahkan hasil yang memadai.
Cuaca yang tidak bersahabat menyebabkan produksi kebun kopi yang
diolah Toto jauh berkurang dibandingkan dengan tahun lalu. Akibat
sengatan Matahari yang luar biasa panas, kembang di tanaman kopi
umumnya cepat mengering. Sementara ketika hujan deras, kembang kopi
pun kebanyakan berguguran.
"Tidak tahu lagi saya harus berbuat apa sekarang. Dengan produksi
sedikit seperti sekarang dan harga yang rendah, saya tidak tahu
apakah hasil penjualannya cukup untuk makan kami sekeluarga satu
tahun ke depan," ujarnya dengan suara pelan.
Laki-laki asal Purworejo, Jawa Tengah, yang datang ke Pagar Alam
untuk membuka kebun kopi sejak tahun 1987, itu memang tidak bisa
berbuat banyak menghadapi berbagai kesulitan yang terus dihadapinya.
Kerja kerasnya selama belasan tahun sebagai petani kopi tidak bisa
berwujud dalam bentuk materi yang memadai.
Toto dan keluarganya tetap tinggal di rumah panggung kecil yang
berdiri di atas tanah orang lain. Isi rumahnya hanyalah sebuah kasur,
yang kalau malam hari ia harus berdesakan di situ dengan anak dan
istrinya. Selain itu, ada satu lemari kecil untuk menyimpan pakaian.
Alat dapurnya terlihat begitu sederhana dan disimpannya di kolong
rumah panggungnya.
Puluhan ribu atau mungkin ratusan ribu petani kopi seperti Toto
hingga sekarang memang belum merasakan nikmatnya kopi, seperti para
penikmat kopi di seantero dunia. Mereka masih terus berkutat dalam
jurang kemiskinan. Penderitaan panjang mereka entah kapan bisa
berakhir. (Agus Mulyadi)
Foto: 1
Kompas/Agus Mulyadi
HARGA KOPI ANJLOK-Seorang ibu rumah tangga di Kecamatan Kerinci,
Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, tengah menjemur biji kopi hasil
panen di kebun yang dikelolanya. Seperti ribuan petani kopi lainnya,
ibu ini menyesalkan anjloknya harga biji kopi kering yang saat ini
sekitar Rp 3.700 per kilogram
DERITA PANJANG PETANI KOPI
PANEN raya kopi tahun ini tidak disambut gembira oleh Toto (37).
Demikian pula oleh puluhan ribu, bahkan ratusan ribu, petani kopi
lainnya yang tersebar di Kabupaten Lahat dan Kota Pagar Alam,
Sumatera Selatan, serta Kabupaten Bengkulu Selatan dan Rejang Lebong,
Bengkulu. Jerih payah mereka selama setahun mendapat balasan yang
tidak setimpal.
Harga biji kopi kering hasil kebun petani saat ini jeblok!
Produksi kebun komoditas andalan dua provinsi itu pun jauh
menurun dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Akibat cuaca yang
tidak bersahabat, berganti-ganti antara panas menyengat dan hujan
deras, sebagian bunga kopi mengering atau berguguran. Produksi kopi
pun otomatis menurun.
"Nasib kami ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah
produksi anjlok, harga kopi pun rendah," ujar Toto, petani di Talang
Pagar Alam, Kota Pagar Alam, pekan lalu.
Toto adalah salah seorang petani yang menggarap lahan di areal
perkebunan rakyat di Talang Pagar Alam. Di lokasi perbukitan yang
berdebu karena tanah kering itu, Toto dan keluarganya tinggal.
Persisnya di tengah-tengah areal perkebunan. Dia bersama 20 keluarga
lain menempati "perkampungan" yang lokasinya sekitar 15 kilometer
arah utara dari pusat Kota Pagar Alam.
Petani-petani kopi yang kebanyakan pendatang dari berbagai daerah
tersebut menetap di tengah kebun kopi yang mereka garap sendiri.
Rumah yang ditinggali Toto bersama istri dan tiga anaknya berupa
rumah panggung kayu, berukuran tiga meter kali empat meter. Rumah-
rumah tersebut juga berdiri di atas lahan para tuan tanah yang
menyewakan lahan mereka kepada para petani kopi itu.
"Di sini hampir semuanya pendatang. Kami menyewa tanah dari
pemilik yang semuanya warga Pagar Alam. Hasil yang diperoleh dari
kebun dibagi dua dengan pemilik tanah," ujar Toto.
Karena hasil kebun dibagi dua, penghasilan yang diperoleh Toto
dan juga petani penyewa lahan lainnya menjadi semakin kecil. Ditambah
dengan produksi yang menurun dan harga yang rendah, penghasilan yang
diperoleh mereka semakin kecil.
"Hasil dari kebun kopi setiap tahun selalu habis untuk makan dan
minum keluarga saja. Kadang-kadang hasil yang diperoleh tidak cukup
untuk makan sekalipun," ucap Toto lirih.
***
MUSIM panen kopi tahun ini bagi petani memang merupakan pukulan
yang menyakitkan. Pada pekan lalu, misalnya, biji kopi kering hanya
dihargai Rp 3.700 per kilogram. Bahkan, kopi dengan kualitas lebih
buruk dan kadar air lebih banyak paling tinggi dihargai oleh pedagang
pengumpul (tengkulak) Rp 3.500 per kilogram.
Tahun-tahun sebelumnya harga kopi pun tidaklah bagus, kecuali
ketika harga melambung sampai Rp 16.000 per kilogram tahun 1998.
Tahun-tahun berikutnya harga biji kopi kering terus merosot mulai
dari Rp 7.000 dan Rp 5.000 per kilogram, hingga Rp 2.800 per kilogram
pada tahun 2002.
"Tapi pada tahun 2002 produksi kopi melimpah. Meskipun harganya
lebih rendah, penghasilan yang diperoleh petani tetap lebih besar,"
ujar Zaeri, petani kopi lain di Talang Pagar Alam.
Pada musim panen tahun ini produksi kopi memang merosot sampai di
bawah setengah produksi tahun lalu. Toto, misalnya, yang menggarap
lahan seluas 2,5 hektar, hanya mendapatkan sekitar satu ton biji kopi
kering. Setelah dibagi dua dengan pemilik lahan, hasil yang
diperolehnya tinggal 500 kilogram.
Padahal, selama setahun ini, Toto telah membanting tulang
sepanjang hari. Dia selalu dipanggang terik Matahari ketika
membersihkan kebunnya. Toto pun mengeluarkan biaya tidak sedikit
untuk memupuk sekitar 9.000 batang tanaman kopi miliknya.
Akan tetapi, kerja kerasnya tidak membuahkan hasil yang memadai.
Cuaca yang tidak bersahabat menyebabkan produksi kebun kopi yang
diolah Toto jauh berkurang dibandingkan dengan tahun lalu. Akibat
sengatan Matahari yang luar biasa panas, kembang di tanaman kopi
umumnya cepat mengering. Sementara ketika hujan deras, kembang kopi
pun kebanyakan berguguran.
"Tidak tahu lagi saya harus berbuat apa sekarang. Dengan produksi
sedikit seperti sekarang dan harga yang rendah, saya tidak tahu
apakah hasil penjualannya cukup untuk makan kami sekeluarga satu
tahun ke depan," ujarnya dengan suara pelan.
Laki-laki asal Purworejo, Jawa Tengah, yang datang ke Pagar Alam
untuk membuka kebun kopi sejak tahun 1987, itu memang tidak bisa
berbuat banyak menghadapi berbagai kesulitan yang terus dihadapinya.
Kerja kerasnya selama belasan tahun sebagai petani kopi tidak bisa
berwujud dalam bentuk materi yang memadai.
Toto dan keluarganya tetap tinggal di rumah panggung kecil yang
berdiri di atas tanah orang lain. Isi rumahnya hanyalah sebuah kasur,
yang kalau malam hari ia harus berdesakan di situ dengan anak dan
istrinya. Selain itu, ada satu lemari kecil untuk menyimpan pakaian.
Alat dapurnya terlihat begitu sederhana dan disimpannya di kolong
rumah panggungnya.
Puluhan ribu atau mungkin ratusan ribu petani kopi seperti Toto
hingga sekarang memang belum merasakan nikmatnya kopi, seperti para
penikmat kopi di seantero dunia. Mereka masih terus berkutat dalam
jurang kemiskinan. Penderitaan panjang mereka entah kapan bisa
berakhir. (Agus Mulyadi)
Foto: 1
Kompas/Agus Mulyadi
HARGA KOPI ANJLOK-Seorang ibu rumah tangga di Kecamatan Kerinci,
Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, tengah menjemur biji kopi hasil
panen di kebun yang dikelolanya. Seperti ribuan petani kopi lainnya,
ibu ini menyesalkan anjloknya harga biji kopi kering yang saat ini
sekitar Rp 3.700 per kilogram
Laba Kecil-kecilan Pedagang Pengumpul
KOMPAS - Jumat, 11 Jul 2003 Halaman: 31 Penulis: mul Ukuran: 5436
LABA KECIL-KECILAN PEDAGANG PENGUMPUL
DI pusat kota Kecamatan Kepahiang, Kabupaten Rejang Lebong,
Provinsi Bengkulu, deretan rumah toko di salah satu sisi jalan
disesaki timbunan biji kopi kering. Sejak dua tahun ini, ruko-ruko
itu berganti isi dari tempat dijajakannya barang dagangan atau tempat
usaha lain menjadi gudang sementara biji kopi kering.
Berpuluh-puluh karung berisi biji kopi kering yang siap dikirim
ke Lampung dan timbunan kopi kering yang baru dibeli dari petani dan
belum dimasukkan ke dalam karung mengisi ruangan di petak-petak rumah
toko (ruko) tersebut. Sejumlah buruh di masing-masing ruko terlihat
sibuk dengan berbagai aktivitas, seperti membersihkan atau memasukkan
biji kopi ke dalam karung.
Di jalan persis di depan ruko, Sabtu (5/7) siang lalu, sejumlah
petani tampak datang silih berganti. Mereka membawa karung-karung
berisi biji kopi seberat 50 kilogram, maupun yang berisi kurang dari
10 kilogram.
Kepada pedagang pengumpul itulah petani menaruh harapan. Ketika
datang ke kios-kios pedagang itu mereka membawa harapan lain pula,
mudah-mudahan harga biji kopi hari ini lebih baik dibanding kemarin.
Maraknya jual beli kopi di Kepahiang terutama terjadi beberapa
tahun ini berbarengan dengan semakin banyak bermunculan pedagang
pengumpul. "Dua tahun ini saja sudah 70 pedagang pengumpul di sini,"
kata Hidayat, salah seorang pedagang pengumpul di Kepahiang.
Hidayat menuturkan, banyaknya pedagang tersebut menyebabkan
perolehan biji kopi kering dari petani menjadi lebih sedikit. "Saya
sekarang dalam satu hari paling banyak mendapat biji kopi kering
tujuh ton. Hampir setiap hari saya kirim kopi ke Lampung untuk dijual
ke eksportir di sana," ucapnya.
Dikatakan, keuntungan yang diperoleh dari bisnis itu sebenarnya
tidaklah besar, antara Rp 10-Rp 25 per kilogram. Biji kopi itu dijual
kepada eksportir di Lampung dengan harga tidak lebih dari Rp 3.895
per kg. Sebelumnya dia membeli dari petani Rp 3.700 per kg.
Selisih harga pembelian dan penjualan Rp 195 tidak mutlak menjadi
keuntungan. Dari kopi satu kilogram yang dibeli, terdapat penyusutan
Rp 20, ongkos angkut ke Lampung Rp 140, upah buruh angkut Rp 20, dan
biaya karung Rp 15. "Sisanya Rp 20. Tidak seberapa keuntungan yang
saya peroleh," katanya.
Pada musim panen kopi tahun ini, pedagang pengumpul umumnya
mengeluhkan pula soal tidak lancarnya pasokan dari petani. Itu semua
disebabkan anjloknya produksi kopi. "Selain keuntungan kecil, tahun
ini pasokan juga tidak lancar. Apalagi sekarang pedagang pengumpul
seperti saya bertambah banyak," ujar Hidayat.
PEDAGANG pengumpul di Kota Pagar Alam juga mengeluhkan tidak
lancarnya pasokan dan sedikitnya keuntungan yang mereka peroleh.
Namun, usaha itu tetap dijalani karena tetap merupakan pilihan
terbaik bagi mereka untuk mencari sumber nafkah.
"Selama beberapa bulan ini keuntungan yang kami peroleh tidak
lebih Rp 25 per kilogram. Sekarang harga sedang anjlok, sementara
pedagang bertambah banyak," ucap Likut, seorang pedagang pengumpul
kopi di Pagar Alam.
Likut mengatakan, dalam satu hari tempat usahanya mampu
menghimpun biji kopi kering 14 ton-15 ton, bahkan kadang-kadang
sampai 20 ton. Jumlah sebesar itu pula yang dikirim ke eksportir di
Lampung. Lampung menjadi pilihan pedagang pengumpul karena di kota
itu terdapat ratusan eksportir. Pedagang bisa mencari pembeli dengan
harga lebih baik meskipun selisihnya tetap tipis.
Di Lampung, biji kopi yang dibawa truk pengangkut juga pasti
terjual karena banyaknya eksportir tersebut. Itulah sebabnya pedagang
pengumpul, termasuk dari Pagar Alam, memilih Lampung sebagai tempat
menjual kopi ketimbang ke Palembang.
Di Pagar Alam, kota berudara sejuk di kaki Gunung Dempo yang
letaknya 270 kilometer sebelah barat Palembang, juga banyak
bermunculan pedagang pengumpul kopi. Mereka bertebaran di berbagai
pelosok kota, bahkan sampai ke pinggiran kota.
Ke kios-kios pedagang pengumpul itulah petani membawa biji kopi
yang kulitnya telah dikupas. Kepada pedagang pengumpul mereka menaruh
harapan dan menjual hasil bumi itu untuk kelangsungan hidup keluarga
mereka meskipun sebagian di antaranya hanya menjual kopi dalam jumlah
sedikit.
Seorang ibu rumah tangga dan petani berusia sekitar 60 tahun,
Kamis pekan lalu, hanya membawa karung plastik berisi kopi ke tempat
Likut. Ketika ditimbang, berat biji kopi kering yang hendak dijual
hanya sembilan kilogram. "Kalau kopi yang sudah kering dan dikupas
kulitnya ini tidak dijual, kami sekeluarga mau makan apa?" katanya.
Petani saat ini terpaksa menjual kopi produksi kebun mereka
karena didesak kebutuhan hidup. Selain untuk makan sehari-hari, anak-
anak mereka pun sedang banyak membutuhkan biaya untuk mulai sekolah
pada tahun ajaran baru nanti.
Dari sembilan kilogram biji kopi yang dijual perempuan tadi
diperoleh uang Rp 33.300. Uang sebesar itu apakah mampu untuk
menutupi kebutuhan makan dan minum selama seminggu, misalnya? Namun
yang pasti, uang itu pasti tidak cukup untuk membeli keperluan
sekolah anak-anak petani kopi pada tahun ajaran baru yang dimulai
pekan depan. (agus mulyadil)
LABA KECIL-KECILAN PEDAGANG PENGUMPUL
DI pusat kota Kecamatan Kepahiang, Kabupaten Rejang Lebong,
Provinsi Bengkulu, deretan rumah toko di salah satu sisi jalan
disesaki timbunan biji kopi kering. Sejak dua tahun ini, ruko-ruko
itu berganti isi dari tempat dijajakannya barang dagangan atau tempat
usaha lain menjadi gudang sementara biji kopi kering.
Berpuluh-puluh karung berisi biji kopi kering yang siap dikirim
ke Lampung dan timbunan kopi kering yang baru dibeli dari petani dan
belum dimasukkan ke dalam karung mengisi ruangan di petak-petak rumah
toko (ruko) tersebut. Sejumlah buruh di masing-masing ruko terlihat
sibuk dengan berbagai aktivitas, seperti membersihkan atau memasukkan
biji kopi ke dalam karung.
Di jalan persis di depan ruko, Sabtu (5/7) siang lalu, sejumlah
petani tampak datang silih berganti. Mereka membawa karung-karung
berisi biji kopi seberat 50 kilogram, maupun yang berisi kurang dari
10 kilogram.
Kepada pedagang pengumpul itulah petani menaruh harapan. Ketika
datang ke kios-kios pedagang itu mereka membawa harapan lain pula,
mudah-mudahan harga biji kopi hari ini lebih baik dibanding kemarin.
Maraknya jual beli kopi di Kepahiang terutama terjadi beberapa
tahun ini berbarengan dengan semakin banyak bermunculan pedagang
pengumpul. "Dua tahun ini saja sudah 70 pedagang pengumpul di sini,"
kata Hidayat, salah seorang pedagang pengumpul di Kepahiang.
Hidayat menuturkan, banyaknya pedagang tersebut menyebabkan
perolehan biji kopi kering dari petani menjadi lebih sedikit. "Saya
sekarang dalam satu hari paling banyak mendapat biji kopi kering
tujuh ton. Hampir setiap hari saya kirim kopi ke Lampung untuk dijual
ke eksportir di sana," ucapnya.
Dikatakan, keuntungan yang diperoleh dari bisnis itu sebenarnya
tidaklah besar, antara Rp 10-Rp 25 per kilogram. Biji kopi itu dijual
kepada eksportir di Lampung dengan harga tidak lebih dari Rp 3.895
per kg. Sebelumnya dia membeli dari petani Rp 3.700 per kg.
Selisih harga pembelian dan penjualan Rp 195 tidak mutlak menjadi
keuntungan. Dari kopi satu kilogram yang dibeli, terdapat penyusutan
Rp 20, ongkos angkut ke Lampung Rp 140, upah buruh angkut Rp 20, dan
biaya karung Rp 15. "Sisanya Rp 20. Tidak seberapa keuntungan yang
saya peroleh," katanya.
Pada musim panen kopi tahun ini, pedagang pengumpul umumnya
mengeluhkan pula soal tidak lancarnya pasokan dari petani. Itu semua
disebabkan anjloknya produksi kopi. "Selain keuntungan kecil, tahun
ini pasokan juga tidak lancar. Apalagi sekarang pedagang pengumpul
seperti saya bertambah banyak," ujar Hidayat.
PEDAGANG pengumpul di Kota Pagar Alam juga mengeluhkan tidak
lancarnya pasokan dan sedikitnya keuntungan yang mereka peroleh.
Namun, usaha itu tetap dijalani karena tetap merupakan pilihan
terbaik bagi mereka untuk mencari sumber nafkah.
"Selama beberapa bulan ini keuntungan yang kami peroleh tidak
lebih Rp 25 per kilogram. Sekarang harga sedang anjlok, sementara
pedagang bertambah banyak," ucap Likut, seorang pedagang pengumpul
kopi di Pagar Alam.
Likut mengatakan, dalam satu hari tempat usahanya mampu
menghimpun biji kopi kering 14 ton-15 ton, bahkan kadang-kadang
sampai 20 ton. Jumlah sebesar itu pula yang dikirim ke eksportir di
Lampung. Lampung menjadi pilihan pedagang pengumpul karena di kota
itu terdapat ratusan eksportir. Pedagang bisa mencari pembeli dengan
harga lebih baik meskipun selisihnya tetap tipis.
Di Lampung, biji kopi yang dibawa truk pengangkut juga pasti
terjual karena banyaknya eksportir tersebut. Itulah sebabnya pedagang
pengumpul, termasuk dari Pagar Alam, memilih Lampung sebagai tempat
menjual kopi ketimbang ke Palembang.
Di Pagar Alam, kota berudara sejuk di kaki Gunung Dempo yang
letaknya 270 kilometer sebelah barat Palembang, juga banyak
bermunculan pedagang pengumpul kopi. Mereka bertebaran di berbagai
pelosok kota, bahkan sampai ke pinggiran kota.
Ke kios-kios pedagang pengumpul itulah petani membawa biji kopi
yang kulitnya telah dikupas. Kepada pedagang pengumpul mereka menaruh
harapan dan menjual hasil bumi itu untuk kelangsungan hidup keluarga
mereka meskipun sebagian di antaranya hanya menjual kopi dalam jumlah
sedikit.
Seorang ibu rumah tangga dan petani berusia sekitar 60 tahun,
Kamis pekan lalu, hanya membawa karung plastik berisi kopi ke tempat
Likut. Ketika ditimbang, berat biji kopi kering yang hendak dijual
hanya sembilan kilogram. "Kalau kopi yang sudah kering dan dikupas
kulitnya ini tidak dijual, kami sekeluarga mau makan apa?" katanya.
Petani saat ini terpaksa menjual kopi produksi kebun mereka
karena didesak kebutuhan hidup. Selain untuk makan sehari-hari, anak-
anak mereka pun sedang banyak membutuhkan biaya untuk mulai sekolah
pada tahun ajaran baru nanti.
Dari sembilan kilogram biji kopi yang dijual perempuan tadi
diperoleh uang Rp 33.300. Uang sebesar itu apakah mampu untuk
menutupi kebutuhan makan dan minum selama seminggu, misalnya? Namun
yang pasti, uang itu pasti tidak cukup untuk membeli keperluan
sekolah anak-anak petani kopi pada tahun ajaran baru yang dimulai
pekan depan. (agus mulyadil)
Kalah Bersaing dengan Kopi Brasil dan Vietnam
KOMPAS - Jumat, 11 Jul 2003 Halaman: 31 Penulis: mul; jos; b04 Ukuran: 8697 Foto: 1
KALAH BERSAING DENGAN KOPI BRASIL DAN VIETNAM
"KEBANYAKAN petani di Indonesia menanam kopi jenis robusta, yang
empat tahun ini harganya memang rendah. Sementara kopi jenis arabika
hanya ditanam sebagian kecil petani. Padahal, harga kopi arabika di
pasar dunia masih tetap tinggi," ujar Edi Kasim, Ketua Asosiasi
Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Provinsi Bengkulu, ketika ditemui
Senin (7/7) pagi di rumahnya.
DI pasar dunia saat ini kopi robusta memang tengah membanjiri
pasaran, terutama kopi robusta produksi Brasil dan Vietnam. Kopi
jenis ini umumnya ditanam petani di sebagian besar wilayah Indonesia,
termasuk Provinsi Bengkulu, Lampung, dan Sumatera Selatan. Kopi
arabika hanya ditanam oleh kurang dari 10 persen petani kopi di tiga
kawasan itu.
Kopi arabika di Indonesia umumnya ditanam petani di Aceh,
Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Bali, dan Nusa Tenggara Timur.
Petani-petani penanam kopi arabika mendapat penghasilan lebih baik
karena produksi dunia tidak melimpah seperti kopi robusta. Dengan
sendirinya harga kopi itu pun stabil.
Sedikitnya lahan yang ditanami kopi arabika oleh petani Provinsi
Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung, merupakan kesalahan dalam
menentukan pilihan. Mungkin karena pengaruh petani lain, ratusan ribu
petani di tiga provinsi itu lebih memilih menanam kopi robusta.
Kebetulan pula, petani di Brasil dan Vietnam umumnya menanam kopi
sejenis pula. Akibatnya, ketika musim panen berlangsung bersamaan
dengan panen di dua negara itu dan negara produsen lain, harga pun
bersaing keras. "Suplai kopi lebih besar dibandingkan dengan
permintaan sehingga harga pun anjlok. Kopi dari Indonesia harus
bersaing dengan kopi dari negara lain," ujar Edi.
Harga kopi robusta ditentukan oleh bursa kopi di London, Inggris.
Sementara kopi arabika ditentukan oleh bursa kopi di New York,
Amerika Serikat (AS). Produksi yang melimpah itulah yang membuat
harga kopi tertekan.
Bagi petani Indonesia, harga kopi yang tertekan akibat kelebihan
produksi itu makin menyulitkan pemasaran. Hal ini disebabkan produsen
kopi negara lain berani menjual dengan harga lebih murah dibanding
kopi asal Indonesia.
Meskipun kopi dijual lebih murah, sehingga lebih mudah menembus
pasar dunia dan diminati pembeli di luar negeri (buyer), petani
Vietnam, misalnya, tetap mendapat penghasilan lebih baik. Ini
disebabkan tingkat produksi petani kopi di negara itu jauh lebih
bagus dibandingkan dengan tingkat produksi petani Indonesia.
Soal produksi, bandingkan misalnya dengan petani Bengkulu, Pagar
Alam, Lahat, atau Lampung. Di sentra-sentra produksi kopi itu, tahun
ini produksinya paling tinggi 500 kilogram per hektar. Sementara
petani Vietnam mampu menghasilkan dua ton biji kopi kering per hektar!
"Meski harga jual kopi mereka lebih rendah dibandingkan dengan
kopi dari Indonesia, penghasilan petani Vietnam tetap lebih tinggi,"
kata Edi.
Dengan penghasilan lebih tinggi, tentu saja petani Vietnam hidup
lebih layak. Itu terwujud berat kegigihan mereka mengolah dan merawat
kebun jauh lebih baik dibandingkan dengan petani di Tanjung Sakti,
Kabupaten Lahat. Ditambah dengan mutu yang lebih bagus, kopi Vietnam
lebih mampu menembus pasar dunia.
***
KOPI asal Indonesia memang masih tetap dikapalkan ke berbagai
negara oleh para eksportir. Namun, mereka harus menanggung kerugian
tidak sedikit, karena harga jual di luar negeri lebih rendah
dibandingkan dengan harga pembelian dari pedagang pengumpul.
"Untuk kembali modal saja sulit bagi eksportir. Mereka masih
menjual kopi kepada pembeli luar negeri karena sebelumnya terikat
kontrak jual beli. Kalau eksportir ingkar janji, mereka akan di-black
list. Ini akan menyulitkan usaha ke depan," ujar Edi.
Para eksportir di Sumatera bagian selatan kebanyakan berada di
Lampung. Mereka membeli kopi dari ratusan pedagang pengumpul kopi
yang berdatangan dari Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung. Karena
banyak pedagang yang datang menjual kopi mereka, eksportir pun bisa
membeli dengan selisih harga yang tidak terlalu menganga dengan harga
jual rugi kepada pembeli asing.
Pilihan ekspor melalui Lampung karena ada jaminan kapal yang akan
mengangkut kopi di daerah itu. Pembeli bisa menentukan sendiri jenis
kapal yang akan mengangkut kopi ke negara tujuan melalui Pelabuhan
Panjang.
Jaminan ketersediaan kapal di pelabuhan itulah yang membuat
Lampung dibanjiri eksportir. Kondisi pelabuhan di Lampung lebih
menjamin dibandingkan Pelabuhan Bom Baru Palembang, misalnya. Karena
itu, pedagang pengumpul pun berbondong-bondong menjual kopi ke
Lampung.
Ekspor kopi melalui Lampung itu membuat nilai ekspor dari daerah
ini terangkat. Lampung memang menjadi andalan bagi ekspor kopi
Indonesia. Hingga akhir tahun 2002 tercatat Lampung memberi andil
lebih dari 196.000 ton dari total ekspor kopi Indonesia 283.700 ton.
Nilai ekspor yang disumbangkan Lampung dari komoditas ini sekitar
99,46 juta dollar AS. Jumlah itu menurun dibandingkan dengan total
ekspor tahun 2001 yang tercatat 240.900 ton kopi dengan nilai 106
juta dollar AS.
Humas AEKI Provinsi Lampung Azischan Satib menyebutkan, tahun ini
hingga periode April 2003, ekspor kopi Lampung lebih dari 49.000 ton
dengan nilai ekspor lebih dari 30 juta dollar AS. Jumlah sebanyak itu
naik sekitar 5.000 ton jika dibandingkan dengan periode yang sama
tahun 2002 yang 44.600 ton dengan nilai ekspor 18,5 juta dollar AS.
Semestinya produksi kopi asal Lampung dapat ditingkatkan karena
kawasan tersebut memiliki lahan dan iklim yang pas untuk kopi. Namun
karena buruknya harga kopi di pasar dunia, petani pun enggan mengurus
tanaman mereka.
Saat ini di Lampung terdapat sekitar 141. 500 hektar tanaman kopi
yang menghasilkan, dan sekitar 12.400 hektar kebun yang belum
menghasilkan. Dari total luasan itu, setiap tahun diperkirakan total
produksi kopi Lampung 150.000 ton, dengan asumsi rata-rata per hektar
kebun menghasilkan 700 kilogram hingga 800 kilogram kopi.
Hal itu berbeda dengan petani Vietnam yang mengolah lahan mereka
lebih baik sehingga mampu memproduksi lebih dari tiga ton kopi per
hektar. Meski pasar dalam negeri tidak mampu menyerap semua produksi
tersebut, Vietnam masih memiliki peluang besar menjual produksi kopi
di pasar dunia dengan harga lebih rendah.
Hingga akhir tahun 2002, dari total 41,45 juta ton kebutuhan kopi
dunia, Vietnam menyuplai sekitar 11,23 juta ton. Sementara Indonesia
memberi andil 5,22 juta ton.
Ketua Dewan Pembina dan Penasihat AEKI Sumatera Selatan Indra
Mulyawan mengemukakan, merosotnya harga kopi dipengaruhi oleh
menumpuknya persediaan kopi dunia. Saat ini, negara penghasil kopi
dunia seperti Brasil sedang panen. Beberapa negara lain seperti
Vietnam, meskipun belum panen raya, juga masih memiliki persediaan
kopi yang sangat besar.
Indra menyebutkan, harga ekspor kopi robusta asal Indonesia di
pasaran dunia saat ini berkisar 60 sen dollar AS per kilogram. "Di
Sumatera Selatan sendiri tidak ada kopi arabika," ujarnya.
Selain stok kopi menumpuk, menguatnya nilai tukar rupiah juga
cukup berperan terhadap turunnya harga ekspor.
Sementara, menurut Kepala Dinas Perkebunan Sumatera Selatan
Sukarno HS, kopi sebagai komoditas ekspor harganya memang sangat
terpengaruh oleh harga di pasar dunia, sehingga sangat sulit
mengangkat harga kopi petani ke tingkat yang semestinya.
Sukarno menambahkan, sebenarnya ada semacam rencana dana retensi
kopi untuk menjaga harga kopi petani tidak jatuh. Dana ini untuk
membeli kopi saat terjadi panen raya dan harga kopi anjlok.
Petani, menurut Indra, juga berperan terhadap rendahnya harga
jual kopi mereka. Pengolahan pascapanen dan panen yang tidak baik
membuat mutu kopi rendah sehingga dihargai murah. "Dari dulu hingga
sekarang mutu kopi petani memang gitu-gitu saja, belum juga membaik,"
ujarnya.
Kualitas kopi asal Indonesia mungkin tidak bagus karena sebagian
di antaranya terlebih dahulu dilindas kendaraan saat dijemur di
jalan. Itu sebabnya, mungkin, kopi Indonesia kalah bersaing dengan
kopi Brasil dan Vietnam yang tidak perlu dilindas-lindas roda
kendaraan terlebih dahulu. (mul/jos/b04)
Foto:
Kompas/Agus Mulyadi
TETAP MELIMPAH - Meskipun produksi kopi tahun ini merosot sampai
sekitar separuh dari tahun lalu, pedagang pengumpul di Kepahiang,
Rejang Lebong, masih mampu menghimpun berton-ton kopi setiap hari.
Kopi dari daerah ini selanjutnya dijual kepada eksportir di Lampung.
KALAH BERSAING DENGAN KOPI BRASIL DAN VIETNAM
"KEBANYAKAN petani di Indonesia menanam kopi jenis robusta, yang
empat tahun ini harganya memang rendah. Sementara kopi jenis arabika
hanya ditanam sebagian kecil petani. Padahal, harga kopi arabika di
pasar dunia masih tetap tinggi," ujar Edi Kasim, Ketua Asosiasi
Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Provinsi Bengkulu, ketika ditemui
Senin (7/7) pagi di rumahnya.
DI pasar dunia saat ini kopi robusta memang tengah membanjiri
pasaran, terutama kopi robusta produksi Brasil dan Vietnam. Kopi
jenis ini umumnya ditanam petani di sebagian besar wilayah Indonesia,
termasuk Provinsi Bengkulu, Lampung, dan Sumatera Selatan. Kopi
arabika hanya ditanam oleh kurang dari 10 persen petani kopi di tiga
kawasan itu.
Kopi arabika di Indonesia umumnya ditanam petani di Aceh,
Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Bali, dan Nusa Tenggara Timur.
Petani-petani penanam kopi arabika mendapat penghasilan lebih baik
karena produksi dunia tidak melimpah seperti kopi robusta. Dengan
sendirinya harga kopi itu pun stabil.
Sedikitnya lahan yang ditanami kopi arabika oleh petani Provinsi
Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung, merupakan kesalahan dalam
menentukan pilihan. Mungkin karena pengaruh petani lain, ratusan ribu
petani di tiga provinsi itu lebih memilih menanam kopi robusta.
Kebetulan pula, petani di Brasil dan Vietnam umumnya menanam kopi
sejenis pula. Akibatnya, ketika musim panen berlangsung bersamaan
dengan panen di dua negara itu dan negara produsen lain, harga pun
bersaing keras. "Suplai kopi lebih besar dibandingkan dengan
permintaan sehingga harga pun anjlok. Kopi dari Indonesia harus
bersaing dengan kopi dari negara lain," ujar Edi.
Harga kopi robusta ditentukan oleh bursa kopi di London, Inggris.
Sementara kopi arabika ditentukan oleh bursa kopi di New York,
Amerika Serikat (AS). Produksi yang melimpah itulah yang membuat
harga kopi tertekan.
Bagi petani Indonesia, harga kopi yang tertekan akibat kelebihan
produksi itu makin menyulitkan pemasaran. Hal ini disebabkan produsen
kopi negara lain berani menjual dengan harga lebih murah dibanding
kopi asal Indonesia.
Meskipun kopi dijual lebih murah, sehingga lebih mudah menembus
pasar dunia dan diminati pembeli di luar negeri (buyer), petani
Vietnam, misalnya, tetap mendapat penghasilan lebih baik. Ini
disebabkan tingkat produksi petani kopi di negara itu jauh lebih
bagus dibandingkan dengan tingkat produksi petani Indonesia.
Soal produksi, bandingkan misalnya dengan petani Bengkulu, Pagar
Alam, Lahat, atau Lampung. Di sentra-sentra produksi kopi itu, tahun
ini produksinya paling tinggi 500 kilogram per hektar. Sementara
petani Vietnam mampu menghasilkan dua ton biji kopi kering per hektar!
"Meski harga jual kopi mereka lebih rendah dibandingkan dengan
kopi dari Indonesia, penghasilan petani Vietnam tetap lebih tinggi,"
kata Edi.
Dengan penghasilan lebih tinggi, tentu saja petani Vietnam hidup
lebih layak. Itu terwujud berat kegigihan mereka mengolah dan merawat
kebun jauh lebih baik dibandingkan dengan petani di Tanjung Sakti,
Kabupaten Lahat. Ditambah dengan mutu yang lebih bagus, kopi Vietnam
lebih mampu menembus pasar dunia.
***
KOPI asal Indonesia memang masih tetap dikapalkan ke berbagai
negara oleh para eksportir. Namun, mereka harus menanggung kerugian
tidak sedikit, karena harga jual di luar negeri lebih rendah
dibandingkan dengan harga pembelian dari pedagang pengumpul.
"Untuk kembali modal saja sulit bagi eksportir. Mereka masih
menjual kopi kepada pembeli luar negeri karena sebelumnya terikat
kontrak jual beli. Kalau eksportir ingkar janji, mereka akan di-black
list. Ini akan menyulitkan usaha ke depan," ujar Edi.
Para eksportir di Sumatera bagian selatan kebanyakan berada di
Lampung. Mereka membeli kopi dari ratusan pedagang pengumpul kopi
yang berdatangan dari Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung. Karena
banyak pedagang yang datang menjual kopi mereka, eksportir pun bisa
membeli dengan selisih harga yang tidak terlalu menganga dengan harga
jual rugi kepada pembeli asing.
Pilihan ekspor melalui Lampung karena ada jaminan kapal yang akan
mengangkut kopi di daerah itu. Pembeli bisa menentukan sendiri jenis
kapal yang akan mengangkut kopi ke negara tujuan melalui Pelabuhan
Panjang.
Jaminan ketersediaan kapal di pelabuhan itulah yang membuat
Lampung dibanjiri eksportir. Kondisi pelabuhan di Lampung lebih
menjamin dibandingkan Pelabuhan Bom Baru Palembang, misalnya. Karena
itu, pedagang pengumpul pun berbondong-bondong menjual kopi ke
Lampung.
Ekspor kopi melalui Lampung itu membuat nilai ekspor dari daerah
ini terangkat. Lampung memang menjadi andalan bagi ekspor kopi
Indonesia. Hingga akhir tahun 2002 tercatat Lampung memberi andil
lebih dari 196.000 ton dari total ekspor kopi Indonesia 283.700 ton.
Nilai ekspor yang disumbangkan Lampung dari komoditas ini sekitar
99,46 juta dollar AS. Jumlah itu menurun dibandingkan dengan total
ekspor tahun 2001 yang tercatat 240.900 ton kopi dengan nilai 106
juta dollar AS.
Humas AEKI Provinsi Lampung Azischan Satib menyebutkan, tahun ini
hingga periode April 2003, ekspor kopi Lampung lebih dari 49.000 ton
dengan nilai ekspor lebih dari 30 juta dollar AS. Jumlah sebanyak itu
naik sekitar 5.000 ton jika dibandingkan dengan periode yang sama
tahun 2002 yang 44.600 ton dengan nilai ekspor 18,5 juta dollar AS.
Semestinya produksi kopi asal Lampung dapat ditingkatkan karena
kawasan tersebut memiliki lahan dan iklim yang pas untuk kopi. Namun
karena buruknya harga kopi di pasar dunia, petani pun enggan mengurus
tanaman mereka.
Saat ini di Lampung terdapat sekitar 141. 500 hektar tanaman kopi
yang menghasilkan, dan sekitar 12.400 hektar kebun yang belum
menghasilkan. Dari total luasan itu, setiap tahun diperkirakan total
produksi kopi Lampung 150.000 ton, dengan asumsi rata-rata per hektar
kebun menghasilkan 700 kilogram hingga 800 kilogram kopi.
Hal itu berbeda dengan petani Vietnam yang mengolah lahan mereka
lebih baik sehingga mampu memproduksi lebih dari tiga ton kopi per
hektar. Meski pasar dalam negeri tidak mampu menyerap semua produksi
tersebut, Vietnam masih memiliki peluang besar menjual produksi kopi
di pasar dunia dengan harga lebih rendah.
Hingga akhir tahun 2002, dari total 41,45 juta ton kebutuhan kopi
dunia, Vietnam menyuplai sekitar 11,23 juta ton. Sementara Indonesia
memberi andil 5,22 juta ton.
Ketua Dewan Pembina dan Penasihat AEKI Sumatera Selatan Indra
Mulyawan mengemukakan, merosotnya harga kopi dipengaruhi oleh
menumpuknya persediaan kopi dunia. Saat ini, negara penghasil kopi
dunia seperti Brasil sedang panen. Beberapa negara lain seperti
Vietnam, meskipun belum panen raya, juga masih memiliki persediaan
kopi yang sangat besar.
Indra menyebutkan, harga ekspor kopi robusta asal Indonesia di
pasaran dunia saat ini berkisar 60 sen dollar AS per kilogram. "Di
Sumatera Selatan sendiri tidak ada kopi arabika," ujarnya.
Selain stok kopi menumpuk, menguatnya nilai tukar rupiah juga
cukup berperan terhadap turunnya harga ekspor.
Sementara, menurut Kepala Dinas Perkebunan Sumatera Selatan
Sukarno HS, kopi sebagai komoditas ekspor harganya memang sangat
terpengaruh oleh harga di pasar dunia, sehingga sangat sulit
mengangkat harga kopi petani ke tingkat yang semestinya.
Sukarno menambahkan, sebenarnya ada semacam rencana dana retensi
kopi untuk menjaga harga kopi petani tidak jatuh. Dana ini untuk
membeli kopi saat terjadi panen raya dan harga kopi anjlok.
Petani, menurut Indra, juga berperan terhadap rendahnya harga
jual kopi mereka. Pengolahan pascapanen dan panen yang tidak baik
membuat mutu kopi rendah sehingga dihargai murah. "Dari dulu hingga
sekarang mutu kopi petani memang gitu-gitu saja, belum juga membaik,"
ujarnya.
Kualitas kopi asal Indonesia mungkin tidak bagus karena sebagian
di antaranya terlebih dahulu dilindas kendaraan saat dijemur di
jalan. Itu sebabnya, mungkin, kopi Indonesia kalah bersaing dengan
kopi Brasil dan Vietnam yang tidak perlu dilindas-lindas roda
kendaraan terlebih dahulu. (mul/jos/b04)
Foto:
Kompas/Agus Mulyadi
TETAP MELIMPAH - Meskipun produksi kopi tahun ini merosot sampai
sekitar separuh dari tahun lalu, pedagang pengumpul di Kepahiang,
Rejang Lebong, masih mampu menghimpun berton-ton kopi setiap hari.
Kopi dari daerah ini selanjutnya dijual kepada eksportir di Lampung.
Mobil Tak Terbeli, Mobil Malah Dijual
KOMPAS - Jumat, 11 Jul 2003 Halaman: 30 Penulis: mul Ukuran: 5874
MOBIL TAK TERBELI, DAUN PINTU MALAH DIJUAL
"TAHUN 1998 lalu petani kopi di Bengkulu ini memang gila-gilaan.
Masak mobil yang diparkir di tepi jalan pun ditawar dari pemiliknya,
apakah hendak dijual," ujar Husni, pedagang di Pasar Bengkulu.
Pada saat musim panen kopi dan sesudahnya, pada tahun itu, memang
masa yang luar biasa bagi perekonomian Bengkulu. Dengan melambungnya
harga kopi sampai Rp 16.000 per kilogram, ribuan petani bisa
mengantongi uang tunai hingga puluhan jutaan rupiah di saku celananya.
Tanpa pikir panjang mereka pun membelanjakan uangnya untuk
membeli barang-barang apa saja. "Banyak petani yang tinggal di pondok-
pondok mereka yang kecil di tengah kebun membeli lemari es, rice
cooker, atau televisi. Ketika sampai di rumah, barang-barang itu
tentu saja tak bisa digunakan karena memang belum ada listrik. Kulkas
pun hanya bisa dipakai menyimpan pakaian," kata Husni.
Di jalan-jalan di Provinsi Bengkulu, saat itu berseliweran mobil-
mobil bernomor polisi Jakarta. Mobil-mobil tangan kedua (second hand)
aneka jenis itu tentu saja dibeli petani kopi yang tengah bergelimang
uang. Sementara dealer sepeda motor pun kewalahan melayani
permintaan. Seorang petani saat itu kadang membeli dua sepeda motor
sekaligus, tentu saja dengan uang hasil penjualan kopi.
Melambungnya harga kopi saat itu benar-benar membuat ribuan
petani kopi Bengkulu begitu makmur. Perekonomian daerah itu secara
keseluruhan tentu saja terangkat. Hasil kerja keras petani kopi tidak
sia-sia.
"Harga kopi saat itu tinggi lebih disebabkan faktor dominan kurs
rupiah yang rendah. Pada tahun itu pun produksi kopi dunia, khususnya
jenis robusta, memang tidak tinggi sehingga kopi dari Indonesia
terserap dengan mudah di pasaran dunia," ujar Edi Kasim, Ketua
Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Provinsi Bengkulu.
Saat puncak krisis ekonomi yang melanda negara ini tahun 1998
memang merupakan masa keemasan petani kopi, termasuk di Bengkulu.
Nasib sama dialami pula petani cengkeh dan lada. Orang kaya baru
(OKB) bermunculan di mana-mana. Harga kopi yang membubung telah
mendongkrak kesejahteraan hidup ratusan ribu petani kopi, juga petani
cengkeh dan petani lada.
Namun, sayang pola hidup konsumtif sebagian besar petani saat itu
mendorong pembelanjaan uang sesuka hati mereka. Barang-barang apa
saja dibeli tanpa memikirkan manfaatnya. Petani yang biasa dikungkung
kemiskinan mungkin merasa kaget ketika menyadari mereka memiliki
banyak uang.
***
TAHUN-tahun berikutnya kesulitan ternyata kembali menghadang
petani saat harga kopi kembali turun. Bahkan, pada tahun ini harga
kopi hanya bergerak di kisaran Rp 3.500 hingga Rp 4.000 per kilogram.
Pada tahun 2002 harganya malah menukik sampai pada kisaran antara Rp
2.500 sampai Rp 2.800 per kg.
Harga sebesar itu-yang bisa berubah setiap hari dengan nilai
antara Rp 100-Rp 300 per kg-tentu saja menyebabkan pendapatan petani
jauh merosot. Di saku celana dan di bawah bantal di kamar tidur
mereka tidak ada lagi uang bergepok-gepok yang siap dibelanjakan
untuk apa saja. Tabungan yang terkuras karena telah habis
dibelanjakan barang saat harga kopi melambung membuat mereka kembali
dililit kesulitan hidup.
"Empat tahun ini jangankan membeli mobil atau sepeda motor baru,
barang-barang yang pernah dibeli pun akhirnya terpaksa dijual
kembali. Bahkan, perabotan di rumah dijual hanya agar keluarganya
bisa makan," ujar Ahmad Holil, Kepala Desa Suban Ayam, Kecamatan
Selupuh Rejang, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu.
Petani di Desa Muaro Siban, Kecamatan Muaro Tigo, Kabupaten
Lahat, Idham (60), menambahkan, sebagian petani malah ada yang sampai
menjual daun pintu atau peralatan lain di rumahnya agar bisa makan.
***
MEROSOTNYA harga jual dan menurunnya produksi pada musim panen
tahun 2003 ini juga membuat sebagian petani di Bengkulu Selatan dan
Rejang Lebong menjemur biji kopi di tengah jalan. Itu dilakukan
selain agar biji kopi cepat kering, juga supaya kulit biji kopi
terkelupas. Dengan begitu mereka tidak perlu lagi menggiling biji
kopi untuk membuang kulitnya, yang pasti membutuhkan biaya.
Di tengah ambruknya harga dan produksi, petani memang harus tetap
mengeluarkan biaya tambahan untuk mengupas kulit biji kopi sebelum
dijual kepada para pedagang pengumpul. Biaya yang dikeluarkan untuk
menggiling 50 kilogram biji kopi sebesar 1,5 kg biji kopi. Pemilik
penggilingan kopi di Pagar Alam, misalnya, umumnya mendapat bayaran
dengan cara seperti itu.
"Biaya giling setiap karung isi 50 kilogram memang sebesar 1,5
kilogram dari biji kopi yang digiling," ucap H Bakar, pemilik pabrik
penggilingan kopi di Desa Bangun Rejo, Pagar Alam Utara. Di kawasan
Rejang Lebong, biaya giling bukan dibayar dengan biji kopi yang
digiling. "Di sini biaya giling satu kilogram kopi Rp 200," kata
Basir, petani di Desa Tebat Monok, Kepahiang.
Bagi petani, biaya giling hanyalah salah satu pengeluaran setiap
kali panen. Mereka juga harus mengeluarkan biaya lain, seperti upah
buruh panen sebesar Rp 10.000 per hari. Mereka pun harus mengeluarkan
biaya pengangkutan dari kebun ke rumah dan dari rumah ke tempat
pedagang pengumpul yang besarnya ditentukan oleh jarak tempuh.
Bermacam pengeluaran itu tentu saja semakin membuat tipis
penghasilan petani kopi. Karena itu, mereka pun pesimistis hasil
penjualan kopi bisa digunakan untuk makan keluarganya setahun ke
depan.
Soal beli-membeli barang kebutuhan hidup lain, seperti yang
pernah dilakukan tahun 1998, mungkin hanya muncul dalam mimpi-mimpi
mereka saat tidur di malam hari. Mereka tidak tahu kapan harga kopi
kembali membaik dan membuat hidup menjadi lebih layak. (MUL)
MOBIL TAK TERBELI, DAUN PINTU MALAH DIJUAL
"TAHUN 1998 lalu petani kopi di Bengkulu ini memang gila-gilaan.
Masak mobil yang diparkir di tepi jalan pun ditawar dari pemiliknya,
apakah hendak dijual," ujar Husni, pedagang di Pasar Bengkulu.
Pada saat musim panen kopi dan sesudahnya, pada tahun itu, memang
masa yang luar biasa bagi perekonomian Bengkulu. Dengan melambungnya
harga kopi sampai Rp 16.000 per kilogram, ribuan petani bisa
mengantongi uang tunai hingga puluhan jutaan rupiah di saku celananya.
Tanpa pikir panjang mereka pun membelanjakan uangnya untuk
membeli barang-barang apa saja. "Banyak petani yang tinggal di pondok-
pondok mereka yang kecil di tengah kebun membeli lemari es, rice
cooker, atau televisi. Ketika sampai di rumah, barang-barang itu
tentu saja tak bisa digunakan karena memang belum ada listrik. Kulkas
pun hanya bisa dipakai menyimpan pakaian," kata Husni.
Di jalan-jalan di Provinsi Bengkulu, saat itu berseliweran mobil-
mobil bernomor polisi Jakarta. Mobil-mobil tangan kedua (second hand)
aneka jenis itu tentu saja dibeli petani kopi yang tengah bergelimang
uang. Sementara dealer sepeda motor pun kewalahan melayani
permintaan. Seorang petani saat itu kadang membeli dua sepeda motor
sekaligus, tentu saja dengan uang hasil penjualan kopi.
Melambungnya harga kopi saat itu benar-benar membuat ribuan
petani kopi Bengkulu begitu makmur. Perekonomian daerah itu secara
keseluruhan tentu saja terangkat. Hasil kerja keras petani kopi tidak
sia-sia.
"Harga kopi saat itu tinggi lebih disebabkan faktor dominan kurs
rupiah yang rendah. Pada tahun itu pun produksi kopi dunia, khususnya
jenis robusta, memang tidak tinggi sehingga kopi dari Indonesia
terserap dengan mudah di pasaran dunia," ujar Edi Kasim, Ketua
Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Provinsi Bengkulu.
Saat puncak krisis ekonomi yang melanda negara ini tahun 1998
memang merupakan masa keemasan petani kopi, termasuk di Bengkulu.
Nasib sama dialami pula petani cengkeh dan lada. Orang kaya baru
(OKB) bermunculan di mana-mana. Harga kopi yang membubung telah
mendongkrak kesejahteraan hidup ratusan ribu petani kopi, juga petani
cengkeh dan petani lada.
Namun, sayang pola hidup konsumtif sebagian besar petani saat itu
mendorong pembelanjaan uang sesuka hati mereka. Barang-barang apa
saja dibeli tanpa memikirkan manfaatnya. Petani yang biasa dikungkung
kemiskinan mungkin merasa kaget ketika menyadari mereka memiliki
banyak uang.
***
TAHUN-tahun berikutnya kesulitan ternyata kembali menghadang
petani saat harga kopi kembali turun. Bahkan, pada tahun ini harga
kopi hanya bergerak di kisaran Rp 3.500 hingga Rp 4.000 per kilogram.
Pada tahun 2002 harganya malah menukik sampai pada kisaran antara Rp
2.500 sampai Rp 2.800 per kg.
Harga sebesar itu-yang bisa berubah setiap hari dengan nilai
antara Rp 100-Rp 300 per kg-tentu saja menyebabkan pendapatan petani
jauh merosot. Di saku celana dan di bawah bantal di kamar tidur
mereka tidak ada lagi uang bergepok-gepok yang siap dibelanjakan
untuk apa saja. Tabungan yang terkuras karena telah habis
dibelanjakan barang saat harga kopi melambung membuat mereka kembali
dililit kesulitan hidup.
"Empat tahun ini jangankan membeli mobil atau sepeda motor baru,
barang-barang yang pernah dibeli pun akhirnya terpaksa dijual
kembali. Bahkan, perabotan di rumah dijual hanya agar keluarganya
bisa makan," ujar Ahmad Holil, Kepala Desa Suban Ayam, Kecamatan
Selupuh Rejang, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu.
Petani di Desa Muaro Siban, Kecamatan Muaro Tigo, Kabupaten
Lahat, Idham (60), menambahkan, sebagian petani malah ada yang sampai
menjual daun pintu atau peralatan lain di rumahnya agar bisa makan.
***
MEROSOTNYA harga jual dan menurunnya produksi pada musim panen
tahun 2003 ini juga membuat sebagian petani di Bengkulu Selatan dan
Rejang Lebong menjemur biji kopi di tengah jalan. Itu dilakukan
selain agar biji kopi cepat kering, juga supaya kulit biji kopi
terkelupas. Dengan begitu mereka tidak perlu lagi menggiling biji
kopi untuk membuang kulitnya, yang pasti membutuhkan biaya.
Di tengah ambruknya harga dan produksi, petani memang harus tetap
mengeluarkan biaya tambahan untuk mengupas kulit biji kopi sebelum
dijual kepada para pedagang pengumpul. Biaya yang dikeluarkan untuk
menggiling 50 kilogram biji kopi sebesar 1,5 kg biji kopi. Pemilik
penggilingan kopi di Pagar Alam, misalnya, umumnya mendapat bayaran
dengan cara seperti itu.
"Biaya giling setiap karung isi 50 kilogram memang sebesar 1,5
kilogram dari biji kopi yang digiling," ucap H Bakar, pemilik pabrik
penggilingan kopi di Desa Bangun Rejo, Pagar Alam Utara. Di kawasan
Rejang Lebong, biaya giling bukan dibayar dengan biji kopi yang
digiling. "Di sini biaya giling satu kilogram kopi Rp 200," kata
Basir, petani di Desa Tebat Monok, Kepahiang.
Bagi petani, biaya giling hanyalah salah satu pengeluaran setiap
kali panen. Mereka juga harus mengeluarkan biaya lain, seperti upah
buruh panen sebesar Rp 10.000 per hari. Mereka pun harus mengeluarkan
biaya pengangkutan dari kebun ke rumah dan dari rumah ke tempat
pedagang pengumpul yang besarnya ditentukan oleh jarak tempuh.
Bermacam pengeluaran itu tentu saja semakin membuat tipis
penghasilan petani kopi. Karena itu, mereka pun pesimistis hasil
penjualan kopi bisa digunakan untuk makan keluarganya setahun ke
depan.
Soal beli-membeli barang kebutuhan hidup lain, seperti yang
pernah dilakukan tahun 1998, mungkin hanya muncul dalam mimpi-mimpi
mereka saat tidur di malam hari. Mereka tidak tahu kapan harga kopi
kembali membaik dan membuat hidup menjadi lebih layak. (MUL)
Harga Kopi Menukik, Petani Pun Panik
KOMPAS - Jumat, 11 Jul 2003 Halaman: 30 Penulis: Mulyadi, Agus Ukuran: 6953 Foto: 1
HARGA KOPI MENUKIK, PETANI PUN PANIK
HIDUP petani kopi di zaman yang serba sulit ini makin bertambah
susah. Di tengah terus membubungnya harga-harga kebutuhan pokok hidup
dan berbagai jenis barang, nilai tukar produksi pertanian mereka
tetap rendah. Nilai tukar produksi pertanian, termasuk kopi, tetap
tidak sebanding dengan harga barang yang mereka butuhkan.
PETANI kopi pun kini semakin terpuruk ke dalam lembah kemiskinan,
akibat terus merosotnya harga biji kopi kering di pasaran. Hasil
jerih payah mereka setahun ini tidak membuahkan hasil memadai.
Rendahnya harga jual biji kopi membuat mereka terus terpuruk di dalam
jurang kemiskinan.
"Tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari kebun kopi sekarang.
Harga kopi tidak sebanding dengan kerja keras dan biaya yang telah
dikeluarkan. "Saya tidak tahu lagi, apakah hasil penjualan kopi tahun
ini bisa untuk menutupi biaya makan setahun ke depan," ujar Zaeri,
petani kopi di Talang Pagar Alam, Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan.
Keluhan dan kekhawatiran Zaeri seperti mewakili ratusan ribu
petani kopi di Sumatera Selatan (Sumsel), Bengkulu, Lampung, dan juga
provinsi lain di Indonesia. Mereka hanya bisa pasrah
menerima "perlakuan tidak adil" tersebut.
Harga kopi yang terus merosot hanya bisa dihadapi petani dengan
sikap nrimo. Mereka hanya bisa mengikuti kehendak pasar.
Dua bulan ini, saat masa panen kopi tengah berlangsung, harga
jual di tingkat petani menukik tajam di kisaran Rp 3.500 sampai
dengan Rp 4.000 per kilogram. Harga itu tentu saja tak sebanding
dengan kerja keras dan modal yang dikeluarkan petani selama setahun.
Harga di kisaran itu jauh dari harapan petani yang pernah
merasakan bagusnya harga biji kopi kering pada tahun 1998 yang
mencapai Rp 16.000 per kilogram. Namun, kenaikan tersebut hanya
dialami saat itu saja. Tahun berikutnya, yaitu tahun 1999 dan 2000,
harga kopi menurun drastis menjadi Rp 7.000 per kilogram.
"Tahun 2001 harga kopi kembali turun menjadi Rp 5.000 per
kilogram. Dan yang paling parah tahun 2002, harganya hanya sekitar Rp
2.500 sampai Rp 2.800 per kilogram. Namun, tahun lalu produksi
melimpah sehingga pendapatan petani tetap lebih besar," ucap Lukman,
petani kopi di Desa Talang Tinggi, Kecamatan Pagar Alam Utara,
Sumsel, yang memiliki 35.000 pohon kopi.
Tahun 2003 ini memang mimpi buruk bagi petani. Meskipun harga
sedikit membaik dibandingkan dengan tahun lalu, namun produksi kopi
menurun drastis. Gara-gara cuaca yang tidak bersahabat, produksi kopi
petani menurun sampai setengahnya dibandingkan dengan produksi tahun
2002.
Marul, petani kopi di Desa Suban Ayam, Kecamatan Selupuh Rejang,
Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu, menyebutkan, produksi
kopi kering dari kebun miliknya sekarang hanya sekitar 500
kilogram. "Itu setengah produksi tahun lalu yang bisa mencapai satu
ton," katanya.
Soal rendahnya produksi ini diakui beberapa petani di Kecamatan
Kerinci, Kecamatan Pulau Pinang, Kecamatan Muaro Tigo, hingga
Kecamatan Tanjung Sakti di Kabupaten Lahat. Menurut mereka, tahun
2003 ini petani kopi mengalami pukulan dua kali.
Idham (60), petani di Desa Muaro Siban, Kecamatan Muaro Tigo,
malah mengaku hanya mendapat 600 kilogram biji kopi kering dari dua
hektar tanamannya. Produksi itu jauh menurun dibandingkan dengan
tahun-tahun sebelumnya.
Demikian pula Helmi (40), petani kopi asal Desa Muaro Danau,
Kecamatan Muaro Tigo, yang tahun ini hanya mendapatkan 400 kilogram
dari sekitar 5.000 batang pohon kopi di kebunnya.
***
MESKIPUN produksi rata-rata jauh lebih sedikit daripada tahun
lalu, di daerah-daerah sentra produksi itu biji kopi tetap terlihat
melimpah. Di sepanjang jalan yang menghubungkan antara Kecamatan
Kerinci-Lahat-Pulau Pinang- Muaro Tigo, hingga ke kecamatan-kecamatan
di Pagar Alam seperti Dempo Utara, Dempo Selatan, Dempo Tengah, Pagar
Alam Selatan, dan Pagar Alam Utara, jemuran kopi ada di mana-mana.
Di ruas jalan yang menghubungkan antara Pagar Alam melalui
Kecamatan Tanjung Sakti, Kabupaten Lahat, terus hingga ke arah Manna,
Kabupaten Bengkulu Selatan, hamparan jemuran kopi terlihat di mana-
mana. Malah di kawasan Tanjung Sakti dan Lubuk Mas, Bengkulu Selatan,
petani menjemur kopi mereka di jalan.
Hamparan jemuran kopi di depan rumah penduduk atau di tepi jalan
terlihat pula di ruas jalan antara Manna dan Kota Bengkulu, terutama
di kawasan Tais hingga Seluma.
***
MENGHADAPI derita berkepanjangan selama empat tahun ini, sebagian
petani tampaknya merasa frustrasi. Mereka akhirnya memilih tidak
mengurusi kebunnya.
"Dengan harga yang terus turun selama beberapa tahun ini, petani
tidak lagi memiliki modal untuk memelihara kebunnya. Biaya paling
mahal untuk pupuk," ujar Basir.
Ia menyebutkan, pupuk jenis NPK saat ini harganya Rp 5.000.
Padahal untuk memupuk satu hektar lahan selama dua kali setahun
dibutuhkan 400 kilogram. Belum lagi biaya untuk membersihkan rumput
Rp 200.000 per tahun, dan menyemprot hama Rp 100.000.
"Banyaknya biaya seperti itu, tentu tidak mungkin bisa ditanggung
petani. Kami akhirnya memilih untuk membiarkan kebun kopi dan mencari
pekerjaan lain. Toh kalau sudah waktunya panen tetap bisa
menghasilkan, meskipun jumlahnya tidak banyak," kata Basir.
Rendahnya produksi dan malasnya petani merawat kebun, dianggap
oleh Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Provinsi Bengkulu
Edi Kasim sebagai penyebab semakin terpuruknya nasib petani kopi. Itu
berbeda dengan petani kopi di Brasil dan Vietnam, misalnya.
"Meskipun harga tengah merosot, petani kopi di Vietnam, misalnya,
tetap memperoleh pendapatan lebih bagus karena produksinya melimpah.
Di Vietnam, karena kebun dirawat dengan baik, produksi satu hektar
kebun bisa mencapai dua ton biji kopi kering," ujar Edi Kasim.
Derita petani kopi memang tak kunjung selesai. Bahkan, Edi pun
tidak bisa memprediksi kapan harga kopi akan membaik lagi. Kalau
sudah begitu, tahun-tahun ke depan petani kopi masih akan terpuruk.
Mungkin nasib petani yang membabat kebun kopi miliknya sekitar
dua tahun lalu, atau sebagian lainnya tahun lalu dan tahun ini, akan
lebih baik hidupnya nanti. Mungkin tanaman karet pengganti mereka
seperti yang telah dilakukan di Kecamatan Kerinci, atau tanaman
coklat pengganti seperti yang dilakukan petani di Tegur Wangi, Pagar
Alam, akan membuahkan hasil lebih baik dibandingkan kopi.
(AGUS MULYADI)
Image:
- Peta Sentra Penghasil kopi
Foto:
Kompas/Agus Mulyadi
DITANAM DI LERENG - Sebagian petani di Dempo Tengah, Pagar Alam,
menanam kopi mereka di lereng-lereng bukit. Di tengah anjloknya harga
kopi sekarang, sebagian besar petani membiarkan kebun kopi mereka
tumbuh tanpa perawatan yang memadai.
HARGA KOPI MENUKIK, PETANI PUN PANIK
HIDUP petani kopi di zaman yang serba sulit ini makin bertambah
susah. Di tengah terus membubungnya harga-harga kebutuhan pokok hidup
dan berbagai jenis barang, nilai tukar produksi pertanian mereka
tetap rendah. Nilai tukar produksi pertanian, termasuk kopi, tetap
tidak sebanding dengan harga barang yang mereka butuhkan.
PETANI kopi pun kini semakin terpuruk ke dalam lembah kemiskinan,
akibat terus merosotnya harga biji kopi kering di pasaran. Hasil
jerih payah mereka setahun ini tidak membuahkan hasil memadai.
Rendahnya harga jual biji kopi membuat mereka terus terpuruk di dalam
jurang kemiskinan.
"Tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari kebun kopi sekarang.
Harga kopi tidak sebanding dengan kerja keras dan biaya yang telah
dikeluarkan. "Saya tidak tahu lagi, apakah hasil penjualan kopi tahun
ini bisa untuk menutupi biaya makan setahun ke depan," ujar Zaeri,
petani kopi di Talang Pagar Alam, Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan.
Keluhan dan kekhawatiran Zaeri seperti mewakili ratusan ribu
petani kopi di Sumatera Selatan (Sumsel), Bengkulu, Lampung, dan juga
provinsi lain di Indonesia. Mereka hanya bisa pasrah
menerima "perlakuan tidak adil" tersebut.
Harga kopi yang terus merosot hanya bisa dihadapi petani dengan
sikap nrimo. Mereka hanya bisa mengikuti kehendak pasar.
Dua bulan ini, saat masa panen kopi tengah berlangsung, harga
jual di tingkat petani menukik tajam di kisaran Rp 3.500 sampai
dengan Rp 4.000 per kilogram. Harga itu tentu saja tak sebanding
dengan kerja keras dan modal yang dikeluarkan petani selama setahun.
Harga di kisaran itu jauh dari harapan petani yang pernah
merasakan bagusnya harga biji kopi kering pada tahun 1998 yang
mencapai Rp 16.000 per kilogram. Namun, kenaikan tersebut hanya
dialami saat itu saja. Tahun berikutnya, yaitu tahun 1999 dan 2000,
harga kopi menurun drastis menjadi Rp 7.000 per kilogram.
"Tahun 2001 harga kopi kembali turun menjadi Rp 5.000 per
kilogram. Dan yang paling parah tahun 2002, harganya hanya sekitar Rp
2.500 sampai Rp 2.800 per kilogram. Namun, tahun lalu produksi
melimpah sehingga pendapatan petani tetap lebih besar," ucap Lukman,
petani kopi di Desa Talang Tinggi, Kecamatan Pagar Alam Utara,
Sumsel, yang memiliki 35.000 pohon kopi.
Tahun 2003 ini memang mimpi buruk bagi petani. Meskipun harga
sedikit membaik dibandingkan dengan tahun lalu, namun produksi kopi
menurun drastis. Gara-gara cuaca yang tidak bersahabat, produksi kopi
petani menurun sampai setengahnya dibandingkan dengan produksi tahun
2002.
Marul, petani kopi di Desa Suban Ayam, Kecamatan Selupuh Rejang,
Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu, menyebutkan, produksi
kopi kering dari kebun miliknya sekarang hanya sekitar 500
kilogram. "Itu setengah produksi tahun lalu yang bisa mencapai satu
ton," katanya.
Soal rendahnya produksi ini diakui beberapa petani di Kecamatan
Kerinci, Kecamatan Pulau Pinang, Kecamatan Muaro Tigo, hingga
Kecamatan Tanjung Sakti di Kabupaten Lahat. Menurut mereka, tahun
2003 ini petani kopi mengalami pukulan dua kali.
Idham (60), petani di Desa Muaro Siban, Kecamatan Muaro Tigo,
malah mengaku hanya mendapat 600 kilogram biji kopi kering dari dua
hektar tanamannya. Produksi itu jauh menurun dibandingkan dengan
tahun-tahun sebelumnya.
Demikian pula Helmi (40), petani kopi asal Desa Muaro Danau,
Kecamatan Muaro Tigo, yang tahun ini hanya mendapatkan 400 kilogram
dari sekitar 5.000 batang pohon kopi di kebunnya.
***
MESKIPUN produksi rata-rata jauh lebih sedikit daripada tahun
lalu, di daerah-daerah sentra produksi itu biji kopi tetap terlihat
melimpah. Di sepanjang jalan yang menghubungkan antara Kecamatan
Kerinci-Lahat-Pulau Pinang- Muaro Tigo, hingga ke kecamatan-kecamatan
di Pagar Alam seperti Dempo Utara, Dempo Selatan, Dempo Tengah, Pagar
Alam Selatan, dan Pagar Alam Utara, jemuran kopi ada di mana-mana.
Di ruas jalan yang menghubungkan antara Pagar Alam melalui
Kecamatan Tanjung Sakti, Kabupaten Lahat, terus hingga ke arah Manna,
Kabupaten Bengkulu Selatan, hamparan jemuran kopi terlihat di mana-
mana. Malah di kawasan Tanjung Sakti dan Lubuk Mas, Bengkulu Selatan,
petani menjemur kopi mereka di jalan.
Hamparan jemuran kopi di depan rumah penduduk atau di tepi jalan
terlihat pula di ruas jalan antara Manna dan Kota Bengkulu, terutama
di kawasan Tais hingga Seluma.
***
MENGHADAPI derita berkepanjangan selama empat tahun ini, sebagian
petani tampaknya merasa frustrasi. Mereka akhirnya memilih tidak
mengurusi kebunnya.
"Dengan harga yang terus turun selama beberapa tahun ini, petani
tidak lagi memiliki modal untuk memelihara kebunnya. Biaya paling
mahal untuk pupuk," ujar Basir.
Ia menyebutkan, pupuk jenis NPK saat ini harganya Rp 5.000.
Padahal untuk memupuk satu hektar lahan selama dua kali setahun
dibutuhkan 400 kilogram. Belum lagi biaya untuk membersihkan rumput
Rp 200.000 per tahun, dan menyemprot hama Rp 100.000.
"Banyaknya biaya seperti itu, tentu tidak mungkin bisa ditanggung
petani. Kami akhirnya memilih untuk membiarkan kebun kopi dan mencari
pekerjaan lain. Toh kalau sudah waktunya panen tetap bisa
menghasilkan, meskipun jumlahnya tidak banyak," kata Basir.
Rendahnya produksi dan malasnya petani merawat kebun, dianggap
oleh Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Provinsi Bengkulu
Edi Kasim sebagai penyebab semakin terpuruknya nasib petani kopi. Itu
berbeda dengan petani kopi di Brasil dan Vietnam, misalnya.
"Meskipun harga tengah merosot, petani kopi di Vietnam, misalnya,
tetap memperoleh pendapatan lebih bagus karena produksinya melimpah.
Di Vietnam, karena kebun dirawat dengan baik, produksi satu hektar
kebun bisa mencapai dua ton biji kopi kering," ujar Edi Kasim.
Derita petani kopi memang tak kunjung selesai. Bahkan, Edi pun
tidak bisa memprediksi kapan harga kopi akan membaik lagi. Kalau
sudah begitu, tahun-tahun ke depan petani kopi masih akan terpuruk.
Mungkin nasib petani yang membabat kebun kopi miliknya sekitar
dua tahun lalu, atau sebagian lainnya tahun lalu dan tahun ini, akan
lebih baik hidupnya nanti. Mungkin tanaman karet pengganti mereka
seperti yang telah dilakukan di Kecamatan Kerinci, atau tanaman
coklat pengganti seperti yang dilakukan petani di Tegur Wangi, Pagar
Alam, akan membuahkan hasil lebih baik dibandingkan kopi.
(AGUS MULYADI)
Image:
- Peta Sentra Penghasil kopi
Foto:
Kompas/Agus Mulyadi
DITANAM DI LERENG - Sebagian petani di Dempo Tengah, Pagar Alam,
menanam kopi mereka di lereng-lereng bukit. Di tengah anjloknya harga
kopi sekarang, sebagian besar petani membiarkan kebun kopi mereka
tumbuh tanpa perawatan yang memadai.
Dari Rejang Lebong Daun Sawi Itu Berasal
KOMPAS - Rabu, 09 Jul 2003 Halaman: 32 Penulis: mul Ukuran: 6544 Foto: 1
DARI REJANG LEBONG DAUN SAWI ITU BERASAL...
PARA penikmat sayuran di Palembang, Jambi, atau kota dan daerah
lain, mungkin tidak pernah berpikir kalau daun sawi di mangkuk
makanan yang mereka santap itu berasal dari daerah yang teramat jauh.
Tidak akan terpikir pula, daun sawi yang disajikan untuk menemani
makan, juga hasil dari kerja keras petani yang menanamnya.
Dalam benak para penikmat sayuran itu pun, tentunya tidak pernah
terpikir daun hijau segar tersebut telah menempuh perjalanan jauh
sebelum sampai ke piring mereka. Dengan diangkut truk atau mobil bak
terbuka lain, daun sawi telah pula melalui jalan rusak atau mulus
sepanjang ratusan kilometer.
Bersama jenis sayuran lain yang diangkut pedagang, daun sawi
dibawa dari sentra produksi sayur-mayur di Kabupaten Rejang Lebong,
Provinsi Bengkulu. Dari daerah berhawa sejuk dengan ibu kota Curup
itulah, berbagai jenis sayuran dihasilkan.
Sebelum tiba di Palembang, misalnya, sayuran asal Rejang Lebong
harus melintasi buruknya kondisi jalan lintas Sumatera di antara
Tebing Tinggi dan Lahat, Sumatera Selatan. Itu jika perjalanan
dilalui dengan rute Curup-Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, terus ke
Tebing Tinggi-Lahat-Muara Enim-Prabumulih-Palembang. Perjalanan lebih
dari 12 jam yang sebagian melalui jalan rusak parah tersebut berjarak
lebih dari 400 kilometer.
Sementara itu, perjalanan lebih pendek, sekitar 300 kilometer,
dapat dilakukan dengan mengambil rute Curup-Lubuk Linggau-Sekayu-
Pangkalan Balai-Palembang. Namun, perjalanan itu pun harus dilakukan
melalui sebagian jalan yang kondisinya amburadul.
Di jalan lintas Sumatera lainnya ini kerusakan juga menghadang di
ruas jalan antara Muara Beliti sampai dengan Lakitan. Belum lagi
selepas Betung di ruas jalan lintas timur Sumatera antara Jambi-
Palembang, lubang-lubang yang menganga di jalan pun siap menghadang.
Dengan buruknya kondisi jalan tersebut, perjalanan sayuran pun
menjadi lebih lama. Sayuran yang diangkut juga harus terbanting-
banting di dalam keranjangnya di atas bak truk atau mobil bak terbuka
lainnya.
Perjalanan jauh dengan melintasi sebagian jalan rusak itu kadang
menjadi lebih lama lagi jika terjadi kemacetan. Semua kendaraan yang
melintas bisa antre berjam-jam, misalnya, karena ada truk mogok atau
teperosok di jalan rusak.
Kalau ada kendaraan teperosok dan mengalangi jalan, dapat
dipastikan antrean bisa berjam-jam. "Saya pernah ikut antre dan
berhenti selama enam jam gara-gara ada truk lain terperosok.
Akibatnya, sayuran yang saya bawa pun terlambat tiba di Pasar 16
Ilir, Palembang," ujar Tanto, sopir truk Colt diesel ketika ditemui
di Desa Siban Ayam, Kecamatan Selupuh Rejang.
Mungkin gara-gara jalan rusak seperti itulah, biaya angkut
sayuran dari Rejang Lebong pun melambung. Biaya angkut ke Jambi untuk
kendaraan Suzuki Carry bak terbuka, misalnya, Rp 300.000. Padahal,
sayuran yang diangkut tidak lebih dari satu ton. "Kalau ke Lubuk
Linggau yang jaraknya 60 kilometer dari sini, tarifnya cuma Rp
75.000," ujar Anwar, sopir lainnya.
Tarif paling mahal tentu saja untuk angkutan jenis Colt diesel.
Biaya pengangkutan sayuran dengan muatan sekitar tujuh ton itu
dipatok Rp 1,5 juta. "Meskipun biaya ongkos angkut mahal, tidak ada
jaminan sayuran tiba tepat waktu di pasar tujuan. Perjalanan kami
tetap ditentukan oleh kondisi jalan saat melintas menuju Palembang,"
kata Tanto.
Dia menyebutkan, perjalanan yang paling nyaman dijalani,
sebenarnya hanya antara Rejang Lebong-Lubuk Linggau. Di ruas itu,
jalan beraspal hotmix mulus membuat nyaman pengendara. Apalagi
kawasan yang dilalui juga jalan pegunungan yang sejuk dan menyuguhkan
pemandangan indah di kanan dan kiri jalan.
***
REJANG Lebong memang merupakan satu kawasan di Provinsi Bengkulu
yang memiliki pemandangan menawan. Selain dihiasi kebun-kebun sayur,
sepanjang perjalanan di kawasan Rejang Lebong mata juga dimanjakan
dengan indahnya rumah-rumah panggung kayu khas daerah setempat. Bunga-
bunga yang tumbuh di tepi jalan di depan rumah-rumah warga, juga
menjadikan alam terlihat begitu indah.
Jalan yang mulus, baik yang menghubungkan ke Kota Bengkulu maupun
ke Lubuk Linggau, membuat kawasan itu makin menawan. Hamparan sayuran
di sentra produksi kabupaten itu ikut memberi pemandangan yang sejuk.
SENTRA sayuran di Rejang Lebong itu selain terdapat di Kecamatan
Selupu Rejang, juga terdapat di tiga kecamatan tetangganya, yakni
Sindang Kelingi, Curup, dan Bermani Hulu.
"Namun, di beberapa kecamatan lain juga ada tanaman sayuran
dengan lahan yang tidak luas," ujar Kepala Dinas Pertanian dan
Ketahanan Pangan Kabupaten Rejang Lebong Rosihan YT.
Menurut Rosihan, saat ini lahan tanaman cabai seluas 10.278
hektar, tomat 6.371 hektar, kubis 3.385 hektar, sawi 4.449 hektar,
wortel 2.143 hektar, terong 3.790 hektar, kacang buncis 3.480 hektar,
mentimun 4.165 hektar, bawang daun 3.750 hektar, bayam 1.981 hektar,
dan kentang 192 hektar.
Dari berbagai jenis sayuran yang ditanam petani Rejang Lebong
tersebut, menurut Rosihan, tiga jenis di antaranya telah diekspor ke
Singapura. Melalui Batam, cabai, tomat, dan buncis diekspor ke negara
jiran tersebut. "Namun jumlahnya tidaklah banyak," ucapnya.
Kepala Desa Siban Ayam Ahmad Holil menyatakan, penduduk desanya
yang sebagian besar petani sayuran tidak memperoleh penghasilan
memadai, meski harga sayuran di tingkat konsumen tinggi.
Rosihan menjanjikan, suatu saat nanti akan terjadi perubahan ke
arah yang lebih baik. Menurut dia, Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong
merencanakan akan membangun beberapa pabrik saus tomat. "Sebagian
produksi tomat dan cabai petani nantinya bisa dijual ke pabrik.
Dengan cara seperti itu, mudah-mudahan harga pun bisa meningkat,"
ujarnya.
Seandainya itu semua terwujud, petani tentu akan merasa senang.
Kawasan itu pun tentu akan menjadi semakin indah dipandang karena
senyum petani mengembang di mana-mana setelah tidak dipusingkan lagi
oleh harga sayuran yang rendah. (MUL)
Foto: 1
Kompas/Agus Mulyadi
DIKIRIM KE PALEMBANG - Setelah membeli dari petani, para pedagang
sayur yang banyak bertebaran di Kecamatan Selupuh Rejang, Kabupaten
Rejang Lebong, membersihkan sayuran dan memasukkannya ke dalam
keranjang atau karung. Sayuran dari daerah pegunungan yang sejuk itu
dikirim ke sejumlah pasar di Palembang, Jambi, dan Bengkulu.
DARI REJANG LEBONG DAUN SAWI ITU BERASAL...
PARA penikmat sayuran di Palembang, Jambi, atau kota dan daerah
lain, mungkin tidak pernah berpikir kalau daun sawi di mangkuk
makanan yang mereka santap itu berasal dari daerah yang teramat jauh.
Tidak akan terpikir pula, daun sawi yang disajikan untuk menemani
makan, juga hasil dari kerja keras petani yang menanamnya.
Dalam benak para penikmat sayuran itu pun, tentunya tidak pernah
terpikir daun hijau segar tersebut telah menempuh perjalanan jauh
sebelum sampai ke piring mereka. Dengan diangkut truk atau mobil bak
terbuka lain, daun sawi telah pula melalui jalan rusak atau mulus
sepanjang ratusan kilometer.
Bersama jenis sayuran lain yang diangkut pedagang, daun sawi
dibawa dari sentra produksi sayur-mayur di Kabupaten Rejang Lebong,
Provinsi Bengkulu. Dari daerah berhawa sejuk dengan ibu kota Curup
itulah, berbagai jenis sayuran dihasilkan.
Sebelum tiba di Palembang, misalnya, sayuran asal Rejang Lebong
harus melintasi buruknya kondisi jalan lintas Sumatera di antara
Tebing Tinggi dan Lahat, Sumatera Selatan. Itu jika perjalanan
dilalui dengan rute Curup-Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, terus ke
Tebing Tinggi-Lahat-Muara Enim-Prabumulih-Palembang. Perjalanan lebih
dari 12 jam yang sebagian melalui jalan rusak parah tersebut berjarak
lebih dari 400 kilometer.
Sementara itu, perjalanan lebih pendek, sekitar 300 kilometer,
dapat dilakukan dengan mengambil rute Curup-Lubuk Linggau-Sekayu-
Pangkalan Balai-Palembang. Namun, perjalanan itu pun harus dilakukan
melalui sebagian jalan yang kondisinya amburadul.
Di jalan lintas Sumatera lainnya ini kerusakan juga menghadang di
ruas jalan antara Muara Beliti sampai dengan Lakitan. Belum lagi
selepas Betung di ruas jalan lintas timur Sumatera antara Jambi-
Palembang, lubang-lubang yang menganga di jalan pun siap menghadang.
Dengan buruknya kondisi jalan tersebut, perjalanan sayuran pun
menjadi lebih lama. Sayuran yang diangkut juga harus terbanting-
banting di dalam keranjangnya di atas bak truk atau mobil bak terbuka
lainnya.
Perjalanan jauh dengan melintasi sebagian jalan rusak itu kadang
menjadi lebih lama lagi jika terjadi kemacetan. Semua kendaraan yang
melintas bisa antre berjam-jam, misalnya, karena ada truk mogok atau
teperosok di jalan rusak.
Kalau ada kendaraan teperosok dan mengalangi jalan, dapat
dipastikan antrean bisa berjam-jam. "Saya pernah ikut antre dan
berhenti selama enam jam gara-gara ada truk lain terperosok.
Akibatnya, sayuran yang saya bawa pun terlambat tiba di Pasar 16
Ilir, Palembang," ujar Tanto, sopir truk Colt diesel ketika ditemui
di Desa Siban Ayam, Kecamatan Selupuh Rejang.
Mungkin gara-gara jalan rusak seperti itulah, biaya angkut
sayuran dari Rejang Lebong pun melambung. Biaya angkut ke Jambi untuk
kendaraan Suzuki Carry bak terbuka, misalnya, Rp 300.000. Padahal,
sayuran yang diangkut tidak lebih dari satu ton. "Kalau ke Lubuk
Linggau yang jaraknya 60 kilometer dari sini, tarifnya cuma Rp
75.000," ujar Anwar, sopir lainnya.
Tarif paling mahal tentu saja untuk angkutan jenis Colt diesel.
Biaya pengangkutan sayuran dengan muatan sekitar tujuh ton itu
dipatok Rp 1,5 juta. "Meskipun biaya ongkos angkut mahal, tidak ada
jaminan sayuran tiba tepat waktu di pasar tujuan. Perjalanan kami
tetap ditentukan oleh kondisi jalan saat melintas menuju Palembang,"
kata Tanto.
Dia menyebutkan, perjalanan yang paling nyaman dijalani,
sebenarnya hanya antara Rejang Lebong-Lubuk Linggau. Di ruas itu,
jalan beraspal hotmix mulus membuat nyaman pengendara. Apalagi
kawasan yang dilalui juga jalan pegunungan yang sejuk dan menyuguhkan
pemandangan indah di kanan dan kiri jalan.
***
REJANG Lebong memang merupakan satu kawasan di Provinsi Bengkulu
yang memiliki pemandangan menawan. Selain dihiasi kebun-kebun sayur,
sepanjang perjalanan di kawasan Rejang Lebong mata juga dimanjakan
dengan indahnya rumah-rumah panggung kayu khas daerah setempat. Bunga-
bunga yang tumbuh di tepi jalan di depan rumah-rumah warga, juga
menjadikan alam terlihat begitu indah.
Jalan yang mulus, baik yang menghubungkan ke Kota Bengkulu maupun
ke Lubuk Linggau, membuat kawasan itu makin menawan. Hamparan sayuran
di sentra produksi kabupaten itu ikut memberi pemandangan yang sejuk.
SENTRA sayuran di Rejang Lebong itu selain terdapat di Kecamatan
Selupu Rejang, juga terdapat di tiga kecamatan tetangganya, yakni
Sindang Kelingi, Curup, dan Bermani Hulu.
"Namun, di beberapa kecamatan lain juga ada tanaman sayuran
dengan lahan yang tidak luas," ujar Kepala Dinas Pertanian dan
Ketahanan Pangan Kabupaten Rejang Lebong Rosihan YT.
Menurut Rosihan, saat ini lahan tanaman cabai seluas 10.278
hektar, tomat 6.371 hektar, kubis 3.385 hektar, sawi 4.449 hektar,
wortel 2.143 hektar, terong 3.790 hektar, kacang buncis 3.480 hektar,
mentimun 4.165 hektar, bawang daun 3.750 hektar, bayam 1.981 hektar,
dan kentang 192 hektar.
Dari berbagai jenis sayuran yang ditanam petani Rejang Lebong
tersebut, menurut Rosihan, tiga jenis di antaranya telah diekspor ke
Singapura. Melalui Batam, cabai, tomat, dan buncis diekspor ke negara
jiran tersebut. "Namun jumlahnya tidaklah banyak," ucapnya.
Kepala Desa Siban Ayam Ahmad Holil menyatakan, penduduk desanya
yang sebagian besar petani sayuran tidak memperoleh penghasilan
memadai, meski harga sayuran di tingkat konsumen tinggi.
Rosihan menjanjikan, suatu saat nanti akan terjadi perubahan ke
arah yang lebih baik. Menurut dia, Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong
merencanakan akan membangun beberapa pabrik saus tomat. "Sebagian
produksi tomat dan cabai petani nantinya bisa dijual ke pabrik.
Dengan cara seperti itu, mudah-mudahan harga pun bisa meningkat,"
ujarnya.
Seandainya itu semua terwujud, petani tentu akan merasa senang.
Kawasan itu pun tentu akan menjadi semakin indah dipandang karena
senyum petani mengembang di mana-mana setelah tidak dipusingkan lagi
oleh harga sayuran yang rendah. (MUL)
Foto: 1
Kompas/Agus Mulyadi
DIKIRIM KE PALEMBANG - Setelah membeli dari petani, para pedagang
sayur yang banyak bertebaran di Kecamatan Selupuh Rejang, Kabupaten
Rejang Lebong, membersihkan sayuran dan memasukkannya ke dalam
keranjang atau karung. Sayuran dari daerah pegunungan yang sejuk itu
dikirim ke sejumlah pasar di Palembang, Jambi, dan Bengkulu.
Menunggu Kabar Langsung dari Asmar
KOMPAS - Selasa, 12 Aug 2003 Halaman: 17 Penulis: mul Ukuran: 4348
MENUNGGU KABAR LANGSUNG DARI ASMAR
SATU minggu sejak bom meledak di Hotel JW Marriott, Jakarta,
keluarga Asmar Latin Sani tidak bisa tidur nyenyak. Itu bermula dari
adanya dugaan, salah seorang korban yang ditemukan tewas adalah Asmar.
Polisi bahkan sudah memastikan jasad kepala tanpa tubuh yang
ditemukan di hotel itu adalah Asmar. Polisi memastikannya setelah ada
kesaksian Amanda, salah seorang kakak Asmar, yang telah melihat
langsung jasad kepala tanpa tubuh itu.
Akan tetapi, pihak keluarga Asmar masih belum yakin jasad itu
anak dan adik bungsu mereka. Ketidakyakinan itu diperkuat dengan
tabiat Asmar yang selama ini dikenal jauh dari hal-hal yang berbau
kekerasan.
"Asmar, adik yang saya kenal, tidak berkelakuan buruk. Ia rajin
beribadah, ceramah keagamaan, dan mengajar mengaji. Tidak mungkin dia
melakukan perbuatan yang menyengsarakan orang lain," ujar salah
seorang kakak perempuannya, Senin (11/8) siang.
Ketika ditemui di rumah orangtua mereka di Jalan Sulawesi, Gang
Damai VIII, Kota Bengkulu, tiga kakak kandung dan seorang kakak Asmar
tidak mau berbicara banyak. Bahkan, orangtua Asmar yang begitu
terpukul mendengar kabar soal anaknya kini sakit.
Meskipun tidak yakin Asmar adalah salah satu yang tewas dan
tersangka pelaku pengeboman di JW Marriott, kabar itu begitu memukul
keluarganya. Mereka masih menaruh harapan, kabar itu bukan fakta yang
sebenarnya. Oleh karena itu, keluarga Asmar masih menunggu hasil tes
DNA yang tengah dilakukan polisi.
Namun, kabar dari Asmar, seandainya dia masih hidup, hingga kini
memang belum juga datang meski sudah seminggu dia menjadi bahan
perbincangan berkaitan bom di JW Marriott. Keluarganya yang berharap
Asmar masih hidup selalu menanti kabar itu langsung dari dia.
"Sampai dengan saat ini dia memang belum menelepon ke sini. Tapi
kami masih menunggu kabar dari adik kami tersebut, setidaknya melalui
telepon," kata seorang kakaknya.
***
KABAR dari Asmar memang kabur sejak dia meninggalkan rumah
orangtuanya beberapa bulan lalu. Kapan kepergian Asmar dari rumah
orangtuanya tidak diketahui pasti. Tidak seorang pun saudara-
saudaranya yang mau memberikan informasi kapan Asmar pergi.
Informasi tentang tidak terlihatnya lagi Asmar, meskipun tidak
tahu kepastiannya kapan, dikemukakan oleh Ketua RT 06, Kelurahan
Penggantungan, Masril. "Dia tidak terlihat lagi sejak sekitar tiga
bulan lalu," katanya.
Menurut Masril, Asmar dikenal sebagai pribadi yang berkelakuan
baik. Akan tetapi, dalam kesehariannya Asmar lebih banyak
menghabiskan waktu di tempat usaha fotokopi milik orangtuanya di
depan Kampus Universitas Bengkulu di Jalan WR Supratman, Kota
Bengkulu.
"Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di tempat fotokopi.
Sehari-hari, dia pergi pagi dan pulang malam," katanya.
Informasi tentang kebiasaan Asmar mengajar mengaji di salah satu
mushala di RT 06 dibantah pula oleh Masril. "Setahu saya dia tidak
memberikan pelajaran mengaji di mushala atau masjid yang ada di
kawasan ini," ujarnya.
Masril menyebutkan, sebelum kembali bertempat tinggal di rumah
orangtuanya, Asmar diketahuinya menimba ilmu di Pesantren Ngruki,
Solo, Jawa Tengah. Asmar menimba ilmu secara formal di Bengkulu hanya
sampai sekolah dasar.
Namun, Masril tidak mengetahui secara pasti kapan Asmar kembali
setelah menyelesaikan pendidikannya di pesantren. Sementara itu,
beberapa orang tetangga Asmar di Jalan Sulawesi rata-rata mengaku
tidak mengenal Asmar. Mereka terkesan menghindar jika ditanya soal
itu.
"Saya orang baru di sini, jadi tidak mengenal dia," kata seorang
tetangganya.
Tetangga yang lain menyebutkan hal senada. "Saya baru dua bulan
tinggal di sini," ucapnya.
Di kawasan tempat usaha fotokopi Asmar, informasi lebih terbuka.
Salah seorang pedagang di salah satu kios menyebutkan Asmar memang
bekerja di tempat fotokopi milik orangtuanya di kawasan itu. Akan
tetapi, sejak sekitar empat bulan lalu dia tidak terlihat lagi.
Tertutupnya informasi soal Asmar saat ini sama kaburnya dengan
dugaan keterlibatannya dalam pengeboman JW Marriott. Namun,
keluarganya masih tetap berharap, sekali waktu Asmar menelepon mereka
dan mengabarkan dia masih hidup. (MUL)
MENUNGGU KABAR LANGSUNG DARI ASMAR
SATU minggu sejak bom meledak di Hotel JW Marriott, Jakarta,
keluarga Asmar Latin Sani tidak bisa tidur nyenyak. Itu bermula dari
adanya dugaan, salah seorang korban yang ditemukan tewas adalah Asmar.
Polisi bahkan sudah memastikan jasad kepala tanpa tubuh yang
ditemukan di hotel itu adalah Asmar. Polisi memastikannya setelah ada
kesaksian Amanda, salah seorang kakak Asmar, yang telah melihat
langsung jasad kepala tanpa tubuh itu.
Akan tetapi, pihak keluarga Asmar masih belum yakin jasad itu
anak dan adik bungsu mereka. Ketidakyakinan itu diperkuat dengan
tabiat Asmar yang selama ini dikenal jauh dari hal-hal yang berbau
kekerasan.
"Asmar, adik yang saya kenal, tidak berkelakuan buruk. Ia rajin
beribadah, ceramah keagamaan, dan mengajar mengaji. Tidak mungkin dia
melakukan perbuatan yang menyengsarakan orang lain," ujar salah
seorang kakak perempuannya, Senin (11/8) siang.
Ketika ditemui di rumah orangtua mereka di Jalan Sulawesi, Gang
Damai VIII, Kota Bengkulu, tiga kakak kandung dan seorang kakak Asmar
tidak mau berbicara banyak. Bahkan, orangtua Asmar yang begitu
terpukul mendengar kabar soal anaknya kini sakit.
Meskipun tidak yakin Asmar adalah salah satu yang tewas dan
tersangka pelaku pengeboman di JW Marriott, kabar itu begitu memukul
keluarganya. Mereka masih menaruh harapan, kabar itu bukan fakta yang
sebenarnya. Oleh karena itu, keluarga Asmar masih menunggu hasil tes
DNA yang tengah dilakukan polisi.
Namun, kabar dari Asmar, seandainya dia masih hidup, hingga kini
memang belum juga datang meski sudah seminggu dia menjadi bahan
perbincangan berkaitan bom di JW Marriott. Keluarganya yang berharap
Asmar masih hidup selalu menanti kabar itu langsung dari dia.
"Sampai dengan saat ini dia memang belum menelepon ke sini. Tapi
kami masih menunggu kabar dari adik kami tersebut, setidaknya melalui
telepon," kata seorang kakaknya.
***
KABAR dari Asmar memang kabur sejak dia meninggalkan rumah
orangtuanya beberapa bulan lalu. Kapan kepergian Asmar dari rumah
orangtuanya tidak diketahui pasti. Tidak seorang pun saudara-
saudaranya yang mau memberikan informasi kapan Asmar pergi.
Informasi tentang tidak terlihatnya lagi Asmar, meskipun tidak
tahu kepastiannya kapan, dikemukakan oleh Ketua RT 06, Kelurahan
Penggantungan, Masril. "Dia tidak terlihat lagi sejak sekitar tiga
bulan lalu," katanya.
Menurut Masril, Asmar dikenal sebagai pribadi yang berkelakuan
baik. Akan tetapi, dalam kesehariannya Asmar lebih banyak
menghabiskan waktu di tempat usaha fotokopi milik orangtuanya di
depan Kampus Universitas Bengkulu di Jalan WR Supratman, Kota
Bengkulu.
"Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di tempat fotokopi.
Sehari-hari, dia pergi pagi dan pulang malam," katanya.
Informasi tentang kebiasaan Asmar mengajar mengaji di salah satu
mushala di RT 06 dibantah pula oleh Masril. "Setahu saya dia tidak
memberikan pelajaran mengaji di mushala atau masjid yang ada di
kawasan ini," ujarnya.
Masril menyebutkan, sebelum kembali bertempat tinggal di rumah
orangtuanya, Asmar diketahuinya menimba ilmu di Pesantren Ngruki,
Solo, Jawa Tengah. Asmar menimba ilmu secara formal di Bengkulu hanya
sampai sekolah dasar.
Namun, Masril tidak mengetahui secara pasti kapan Asmar kembali
setelah menyelesaikan pendidikannya di pesantren. Sementara itu,
beberapa orang tetangga Asmar di Jalan Sulawesi rata-rata mengaku
tidak mengenal Asmar. Mereka terkesan menghindar jika ditanya soal
itu.
"Saya orang baru di sini, jadi tidak mengenal dia," kata seorang
tetangganya.
Tetangga yang lain menyebutkan hal senada. "Saya baru dua bulan
tinggal di sini," ucapnya.
Di kawasan tempat usaha fotokopi Asmar, informasi lebih terbuka.
Salah seorang pedagang di salah satu kios menyebutkan Asmar memang
bekerja di tempat fotokopi milik orangtuanya di kawasan itu. Akan
tetapi, sejak sekitar empat bulan lalu dia tidak terlihat lagi.
Tertutupnya informasi soal Asmar saat ini sama kaburnya dengan
dugaan keterlibatannya dalam pengeboman JW Marriott. Namun,
keluarganya masih tetap berharap, sekali waktu Asmar menelepon mereka
dan mengabarkan dia masih hidup. (MUL)
Cara Efektif Menghadang Penebangan Liar
KOMPAS - Rabu, 20 Aug 2003 Halaman: 30 Penulis: Mulyadi, Agus Ukuran: 8643 Foto: 1
CARA EFEKTIF MENGHADANG PENEBANGAN LIAR
MENGERINGNYA sejumlah sungai di Sumatera Selatan pada musim
kemarau ini, telah menyengsarakan warga yang bermukim di sekitarnya.
Terlebih lagi bagi mereka yang biasa mengandalkan air sungai untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Untuk mendapatkan air, dasar sungai yang telah mengering terpaksa
digali. Dari sumur di dasar sungai itulah sebagian warga kini
menggantungkan kebutuhan air untuk hidupnya.
Itu misalnya dilakukan oleh warga di Kecamatan Cempaka, Kabupaten
Ogan Komering Ilir (OKI). Mengeringnya sungai itu menyebabkan
sebagian dari mereka menggali dasar sungai untuk mendapatkan air.
Akibat lebih besar keringnya sungai dirasakan oleh ribuan petani
yang sawahnya kekeringan, karena air irigasi tidak mengalir lagi.
Irigasi kering karena tidak ada lagi pasokan air dari sungai.
Mengeringnya sungai-sungai pada musim kemarau merupakan akibat
langsung dari rusaknya DAS (daerah aliran sungai), terutama di bagian
hulu. Penebangan liar pepohonan di hutan di kawasan hulu sungai
mengakibatkan hilangnya persediaan air saat kemarau tiba.
Sungai-sungai pun menjadi kering. Warga yang biasa memanfaatkan
air sungai pun terkena getahnya.
***
PENEBANGAN liar beberapa tahun ini memang semakin menjadi-jadi di
hutan-hutan Sumatera bagian selatan. Ratusan ribu hektar hutan di
Sumatera Selatan, Lampung, dan Jambi rusak parah.
Di Jambi, lahan kritis akibat penebangan ilegal dan okupasi
kawasan hutan oleh masyarakat saat ini sedikitnya tercatat mencapai
626.539 hektar, atau 11,82 persen dari luas Provinsi Jambi yang 5,3
juta hektar. Lahan kritis sekitar 110.000 hektar di antaranya itu
berada di Kabupaten Kerinci.
Sebagian kawasan hutan di Provinsi Lampung juga telah rusak. Di
Gunung Betung, misalnya, lebih dari 12.000 hektar hutan rusak.
Kerusakan tersebut mencakup sekitar 60 persen dari total luas hutan
lindung di gunung itu.
Kerusakan hutan di Provinsi Bengkulu malah lebih parah. Saat ini,
lahan hutan seluas 180.000 hektar rusak parah. Semua kerusakan
tersebut terjadi di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung.
Dari total luas hutan di Bengkulu yang 920.000 hektar, sebanyak
76,42 persen di antaranya, menurut Kepala Dinas Kehutanan Bengkulu
Hidayat Sjahid, adalah hutan konservasi dan hutan lindung. Hutan
konservasi terluas, yakni 340.000 hektar, berada di kawasan Taman
Nasional Kerinci Seblat (TNKS), dan sekitar 65.000 hektar berada di
Taman Nasional Bukit Barisan Selasan (TNBBS).
Hidayat mengakui, perusakan hutan sulit dihindari selama
masyarakat sekitar masih membutuhkan lahan untuk membuka kebun.
Perusakan itu pun akan terus berlangsung selama penebangan liar tidak
bisa dihentikan.
Kepala Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera
Selatan, Dulhadi, menyatakan, perambahan di hutan konservasi sulit
dibendung. Masyarakat masih kerap membabat hutan untuk membuka kebun
atau pertambakan. Para perambah hutan sudah turun-temurun
melakukannya.
***
MENJAGA hutan yang luas di Bengkulu diakui Hidayat cukup sulit.
Apalagi petugas polisi kehutanan di provinsi itu hanya berjumlah 132
orang.
Dengan jumlah polisi hutan yang terbatas, memang sulit menghadang
aksi-aksi penjarahan atau penebangan liar. Oleh karena itu, bentuk
upaya lain untuk menghadang penebangan liar perlu dilakukan.
Upaya menghadang dan menghadapi penebangan liar di Bengkulu,
salah satunya kini dilakukan Kepolisian Resor (Polres) Kota Bengkulu.
Mereka tidak mengawasi langsung hutan, melainkan memberantas di
bagian hilir, yakni bisnis kayu olahan di dalam kota.
Dengan dasar penertiban SKSHH (surat keterangan sah hasil hutan),
Polres Kota Bengkulu menyegel sekitar 60 depot penjualan kayu di kota
tersebut. Selama dilakukan penyegelan, pemiliknya dilarang menjual
kayu di depot milik mereka.
Upaya ini sementara waktu cukup efektif untuk mengurangi
mengalirnya kayu-kayu olahan dari panglong (tempat penggergajian
kayu). Berkurangnya pengiriman kayu dari panglong dipastikan
mengurangi pula kiriman batang-batang pohon dari hutan untuk
digergaji.
Penyegelan sebanyak 60 depot penjualan kayu di Kota Bengkulu itu
sudah berlangsung sejak pekan pertama Agustus 2003.
Penyegelan dilakukan polisi karena para pedagang kayu tersebut
tidak memiliki SKSHH. Surat yang dikeluarkan Dinas Kehutanan setempat
itu merupakan bukti bahwa kayu olahan yang mereka jual bahan baku
kayunya bukan dari hasil penebangan liar.
Akibat penyegelan tersebut, pedagang tidak berani menjual kayu
milik mereka. Meskipun tempat-tempat penjualan itu masih dibuka,
mereka tidak melayani pembeli yang datang.
Seorang pedagang kayu di Jalan Sumatera, Kota Bengkulu, Janil,
menyatakan, tidak berani lagi menjual kayu karena telah disegel
polisi. Namun, dia tetap berharap polisi mengizinkan agar dia tetap
bisa menjual kayu-kayu miliknya.
"Saya ini pedagang kecil. Kayu yang saya jual berasal dari lahan
rakyat, bukan dari hasil penebangan liar di hutan lindung," katanya.
Menurut Janil, seharusnya polisi memberikan kebebasan bagi
pedagang kecil seperti dirinya. Apalagi, menurut dia, kayu yang
dijual berasal dari lahan milik rakyat.
"Kayu yang saya jual berasal dari pohon yang ditebang dari lahan
milik rakyat. Saya memiliki surat keterangan dari kepala desa tempat
kayu itu ditebang. Lagi pula, kayu-kayu yang saya jual jumlahnya
tidak banyak, dan berasal dari kayu- kayu yang kurang berkualitas,"
katanya.
Surat keterangan dari kepala desa itu menyebutkan, kayu yang
dibawa dari panglong tersebut adalah pohon-pohon bahan bakunya
berasal dari lahan milik rakyat. Selembar surat yang diterbitkan pada
Mei 2003 itu juga dilengkapi dengan legalisasi dari pos polisi hutan
dan petugas kepolisian sektor (polsek).
Disebutkan, perjalanan untuk membawa kayu dari panglong ke depot
membutuhkan biaya tidak sedikit. Selain untuk surat keterangan dari
kepala desa sebesar Rp 10.000, dia pun selama perjalanan harus
mengeluarkan biaya lain di sedikitnya enam lokasi dengan besar
pungutan Rp 5.000 hingga Rp 10.000.
Berkaitan dengan penyegelan puluhan depot kayu, Kepala Polres
Kota Bengkulu Ajun Komisaris Besar M Toha Suharto menyatakan,
pihaknya akan mengusut tuntas kasus itu. Penjualan kayu-kayu yang
tidak memiliki dokumen resmi seperti SKSHH tersebut harus diusut
sampai ke akar-akarnya.
Oleh karena itu, Toha menyatakan kayu-kayu di depot penjualan
yang kini menjadi barang bukti tersebut tidak boleh dijual oleh
pemiliknya. "Menjual berarti menghilangkan barang bukti. Itu berarti
telah melakukan tindak pidana lain," ujarnya.
Kasus itu, ungkap Toha, akan terus berlanjut hingga ke
penyidikan. Seandainya dalam penyidikan ditemukan bukti bahwa kayu-
kayu itu berasal dari penebangan liar, berkas penyidikan perkaranya
akan dilimpahkan ke kejaksaan.
Menurut Toha, pihaknya hanya mencoba menegakkan peraturan
mengenai perdagangan kayu. Seharusnya pemilik kayu melengkapi semua
bentuk perizinan, termasuk SKSHH. "Kami hanya melakukan tindakan di
dalam kota, di wilayah yurisdiksi kami. Mengenai pencegahan illegal
logging itu urusan pihak lain, karena bukan berada di wilayah hukum
Kota Bengkulu," katanya.
Penyegelan depot kayu yang dilakukan Polres Kota Bengkulu itu
telah memancing puluhan pedagang melakukan aksi unjuk rasa di DPRD
Kota Bengkulu pada Rabu lalu. Mereka memprotes tindakan polisi yang
dianggap telah mematikan usaha perdagangan kayu di kota itu. Mereka
meminta agar tempat usaha yang telah disegel dibuka kembali.
Terlepas dari benturan kepentingan yang muncul menyusul
penertiban penjualan kayu di Bengkulu, langkah itu diharapkan mampu
menghentikan penebangan liar. Dengan keharusan memiliki SKSHH, para
pedagang harus benar-benar menjual kayu yang berasal hutan produksi.
Di Provinsi Bengkulu sendiri, menurut Hidayat, tidak ada lagi
hutan produksi sejak enam tahun lalu. "Sejak enam tahun lalu, tidak
ada lagi HPH (hak pengusahaan hutan) di Bengkulu," katanya.
Nah, kalau tak ada lagi hutan produksi, dari mana kayukayu yang
dijual kepada masyarakat itu berasal? (AGUS MULYADI)
Foto:
Kompas/Agus Mulyadi
BABAT HUTAN--Penggundulan hutan terus terjadi akibat perambahan dan
penebangan liar. Seperti yang terjadi di kawasan hutan lindung Taba
Penanjung, Kabupaten Bengkulu Utara. Sebagian hutan di kawasan itu
dibabat agar bisa dijadikan kebun.
CARA EFEKTIF MENGHADANG PENEBANGAN LIAR
MENGERINGNYA sejumlah sungai di Sumatera Selatan pada musim
kemarau ini, telah menyengsarakan warga yang bermukim di sekitarnya.
Terlebih lagi bagi mereka yang biasa mengandalkan air sungai untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Untuk mendapatkan air, dasar sungai yang telah mengering terpaksa
digali. Dari sumur di dasar sungai itulah sebagian warga kini
menggantungkan kebutuhan air untuk hidupnya.
Itu misalnya dilakukan oleh warga di Kecamatan Cempaka, Kabupaten
Ogan Komering Ilir (OKI). Mengeringnya sungai itu menyebabkan
sebagian dari mereka menggali dasar sungai untuk mendapatkan air.
Akibat lebih besar keringnya sungai dirasakan oleh ribuan petani
yang sawahnya kekeringan, karena air irigasi tidak mengalir lagi.
Irigasi kering karena tidak ada lagi pasokan air dari sungai.
Mengeringnya sungai-sungai pada musim kemarau merupakan akibat
langsung dari rusaknya DAS (daerah aliran sungai), terutama di bagian
hulu. Penebangan liar pepohonan di hutan di kawasan hulu sungai
mengakibatkan hilangnya persediaan air saat kemarau tiba.
Sungai-sungai pun menjadi kering. Warga yang biasa memanfaatkan
air sungai pun terkena getahnya.
***
PENEBANGAN liar beberapa tahun ini memang semakin menjadi-jadi di
hutan-hutan Sumatera bagian selatan. Ratusan ribu hektar hutan di
Sumatera Selatan, Lampung, dan Jambi rusak parah.
Di Jambi, lahan kritis akibat penebangan ilegal dan okupasi
kawasan hutan oleh masyarakat saat ini sedikitnya tercatat mencapai
626.539 hektar, atau 11,82 persen dari luas Provinsi Jambi yang 5,3
juta hektar. Lahan kritis sekitar 110.000 hektar di antaranya itu
berada di Kabupaten Kerinci.
Sebagian kawasan hutan di Provinsi Lampung juga telah rusak. Di
Gunung Betung, misalnya, lebih dari 12.000 hektar hutan rusak.
Kerusakan tersebut mencakup sekitar 60 persen dari total luas hutan
lindung di gunung itu.
Kerusakan hutan di Provinsi Bengkulu malah lebih parah. Saat ini,
lahan hutan seluas 180.000 hektar rusak parah. Semua kerusakan
tersebut terjadi di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung.
Dari total luas hutan di Bengkulu yang 920.000 hektar, sebanyak
76,42 persen di antaranya, menurut Kepala Dinas Kehutanan Bengkulu
Hidayat Sjahid, adalah hutan konservasi dan hutan lindung. Hutan
konservasi terluas, yakni 340.000 hektar, berada di kawasan Taman
Nasional Kerinci Seblat (TNKS), dan sekitar 65.000 hektar berada di
Taman Nasional Bukit Barisan Selasan (TNBBS).
Hidayat mengakui, perusakan hutan sulit dihindari selama
masyarakat sekitar masih membutuhkan lahan untuk membuka kebun.
Perusakan itu pun akan terus berlangsung selama penebangan liar tidak
bisa dihentikan.
Kepala Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera
Selatan, Dulhadi, menyatakan, perambahan di hutan konservasi sulit
dibendung. Masyarakat masih kerap membabat hutan untuk membuka kebun
atau pertambakan. Para perambah hutan sudah turun-temurun
melakukannya.
***
MENJAGA hutan yang luas di Bengkulu diakui Hidayat cukup sulit.
Apalagi petugas polisi kehutanan di provinsi itu hanya berjumlah 132
orang.
Dengan jumlah polisi hutan yang terbatas, memang sulit menghadang
aksi-aksi penjarahan atau penebangan liar. Oleh karena itu, bentuk
upaya lain untuk menghadang penebangan liar perlu dilakukan.
Upaya menghadang dan menghadapi penebangan liar di Bengkulu,
salah satunya kini dilakukan Kepolisian Resor (Polres) Kota Bengkulu.
Mereka tidak mengawasi langsung hutan, melainkan memberantas di
bagian hilir, yakni bisnis kayu olahan di dalam kota.
Dengan dasar penertiban SKSHH (surat keterangan sah hasil hutan),
Polres Kota Bengkulu menyegel sekitar 60 depot penjualan kayu di kota
tersebut. Selama dilakukan penyegelan, pemiliknya dilarang menjual
kayu di depot milik mereka.
Upaya ini sementara waktu cukup efektif untuk mengurangi
mengalirnya kayu-kayu olahan dari panglong (tempat penggergajian
kayu). Berkurangnya pengiriman kayu dari panglong dipastikan
mengurangi pula kiriman batang-batang pohon dari hutan untuk
digergaji.
Penyegelan sebanyak 60 depot penjualan kayu di Kota Bengkulu itu
sudah berlangsung sejak pekan pertama Agustus 2003.
Penyegelan dilakukan polisi karena para pedagang kayu tersebut
tidak memiliki SKSHH. Surat yang dikeluarkan Dinas Kehutanan setempat
itu merupakan bukti bahwa kayu olahan yang mereka jual bahan baku
kayunya bukan dari hasil penebangan liar.
Akibat penyegelan tersebut, pedagang tidak berani menjual kayu
milik mereka. Meskipun tempat-tempat penjualan itu masih dibuka,
mereka tidak melayani pembeli yang datang.
Seorang pedagang kayu di Jalan Sumatera, Kota Bengkulu, Janil,
menyatakan, tidak berani lagi menjual kayu karena telah disegel
polisi. Namun, dia tetap berharap polisi mengizinkan agar dia tetap
bisa menjual kayu-kayu miliknya.
"Saya ini pedagang kecil. Kayu yang saya jual berasal dari lahan
rakyat, bukan dari hasil penebangan liar di hutan lindung," katanya.
Menurut Janil, seharusnya polisi memberikan kebebasan bagi
pedagang kecil seperti dirinya. Apalagi, menurut dia, kayu yang
dijual berasal dari lahan milik rakyat.
"Kayu yang saya jual berasal dari pohon yang ditebang dari lahan
milik rakyat. Saya memiliki surat keterangan dari kepala desa tempat
kayu itu ditebang. Lagi pula, kayu-kayu yang saya jual jumlahnya
tidak banyak, dan berasal dari kayu- kayu yang kurang berkualitas,"
katanya.
Surat keterangan dari kepala desa itu menyebutkan, kayu yang
dibawa dari panglong tersebut adalah pohon-pohon bahan bakunya
berasal dari lahan milik rakyat. Selembar surat yang diterbitkan pada
Mei 2003 itu juga dilengkapi dengan legalisasi dari pos polisi hutan
dan petugas kepolisian sektor (polsek).
Disebutkan, perjalanan untuk membawa kayu dari panglong ke depot
membutuhkan biaya tidak sedikit. Selain untuk surat keterangan dari
kepala desa sebesar Rp 10.000, dia pun selama perjalanan harus
mengeluarkan biaya lain di sedikitnya enam lokasi dengan besar
pungutan Rp 5.000 hingga Rp 10.000.
Berkaitan dengan penyegelan puluhan depot kayu, Kepala Polres
Kota Bengkulu Ajun Komisaris Besar M Toha Suharto menyatakan,
pihaknya akan mengusut tuntas kasus itu. Penjualan kayu-kayu yang
tidak memiliki dokumen resmi seperti SKSHH tersebut harus diusut
sampai ke akar-akarnya.
Oleh karena itu, Toha menyatakan kayu-kayu di depot penjualan
yang kini menjadi barang bukti tersebut tidak boleh dijual oleh
pemiliknya. "Menjual berarti menghilangkan barang bukti. Itu berarti
telah melakukan tindak pidana lain," ujarnya.
Kasus itu, ungkap Toha, akan terus berlanjut hingga ke
penyidikan. Seandainya dalam penyidikan ditemukan bukti bahwa kayu-
kayu itu berasal dari penebangan liar, berkas penyidikan perkaranya
akan dilimpahkan ke kejaksaan.
Menurut Toha, pihaknya hanya mencoba menegakkan peraturan
mengenai perdagangan kayu. Seharusnya pemilik kayu melengkapi semua
bentuk perizinan, termasuk SKSHH. "Kami hanya melakukan tindakan di
dalam kota, di wilayah yurisdiksi kami. Mengenai pencegahan illegal
logging itu urusan pihak lain, karena bukan berada di wilayah hukum
Kota Bengkulu," katanya.
Penyegelan depot kayu yang dilakukan Polres Kota Bengkulu itu
telah memancing puluhan pedagang melakukan aksi unjuk rasa di DPRD
Kota Bengkulu pada Rabu lalu. Mereka memprotes tindakan polisi yang
dianggap telah mematikan usaha perdagangan kayu di kota itu. Mereka
meminta agar tempat usaha yang telah disegel dibuka kembali.
Terlepas dari benturan kepentingan yang muncul menyusul
penertiban penjualan kayu di Bengkulu, langkah itu diharapkan mampu
menghentikan penebangan liar. Dengan keharusan memiliki SKSHH, para
pedagang harus benar-benar menjual kayu yang berasal hutan produksi.
Di Provinsi Bengkulu sendiri, menurut Hidayat, tidak ada lagi
hutan produksi sejak enam tahun lalu. "Sejak enam tahun lalu, tidak
ada lagi HPH (hak pengusahaan hutan) di Bengkulu," katanya.
Nah, kalau tak ada lagi hutan produksi, dari mana kayukayu yang
dijual kepada masyarakat itu berasal? (AGUS MULYADI)
Foto:
Kompas/Agus Mulyadi
BABAT HUTAN--Penggundulan hutan terus terjadi akibat perambahan dan
penebangan liar. Seperti yang terjadi di kawasan hutan lindung Taba
Penanjung, Kabupaten Bengkulu Utara. Sebagian hutan di kawasan itu
dibabat agar bisa dijadikan kebun.
Label:
hutan,
kayu,
penebangan liar,
sumatera
Hantu di Jalan Lintas Sumatera
KOMPAS - Selasa, 15 Jul 2003 Halaman: 29 Penulis: mul Ukuran: 5135 Foto: 1
"HANTU" DI JALAN LINTAS SUMATERA
KETIKA hendak menempuh perjalanan menggunakan mobil dari Kota
Bengkulu ke Palembang, bingung juga menentukan rute mana yang akan
ditempuh. Beberapa orang di Bengkulu yang ditanya soal itu, memberi
pilihan berbeda.
Ada yang menyarankan agar melewati rute Bengkulu Kepahiang-Curup-
Sekayu-Betung- Palembang. Ada pula yang menyarankan agar melalui rute
Bengkulu-Kepahiang-Pendopo-Pagar Alam-Lahat-Palembang.
Lebih banyak lagi yang menyarankan agar melewati rute Bengkulu-
Curup-Lubuk Linggau-Muara Beliti-Tebing Tinggi-Bunga Mas- Lahat-
Palembang. "Meskipun jaraknya lebih jauh dan sebagian jalan rusak
berat, rute itu lebih aman," kata salah seorang pemberi saran.
Pengelola penginapan di kawasan perkebunan Gunung Dempo, Nanang
Rusmadi, menyarankan jangan sekali-sekali menempuh perjalanan pada
sore atau malam hari.
Menurut informasi dari seorang tamu penginapan, penghadangan oleh
kawanan penjahat dilakukan dengan cara menghentikan mobil di tengah
jalan. Korban mencoba memberikan uang Rp 10.000. Namun, kawanan
penghadang itu malah merampok semua harta benda korban, kecuali
mobilnya.
***
CERITA seram di ruas jalan antara Pagar Alam-Pendopo-Kepahiang,
dikemukakan pula oleh seorang warga di Curup, ibu kota Kabupaten
Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu. "Kalau masih pagi sampai siang
bolehlah melalui jalan yang kecil itu. Tapi, kalau sore atau malam
jangan melalui jalan itu," katanya.
Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Rejang Lebong,
Rosihan YT, ketika ditanya soal pilihan rute perjalanan juga
menganjurkan agar tidak melalui ruas jalan Kepahiang-Pendopo-Pagar
Alam. Di ruas jalan itu kerap terjadi aksi perampokan terhadap
pengendara kendaraan.
Karena dianjurkan tidak melalui ruas jalan tersebut, pilihan rute
perjalanan dari Bengkulu pun tinggal dua yakni melalui Lubuk Linggau-
Muara Beliti-Tebing Tinggi-Bunga Mas Lahat-Palembang, atau rute Lubuk
Linggau-Muara Beliti-Sekayu-Betung-Palembang.
Tanto, seorang sopir truk pengangkut sayur dari kawasan Selupuh
Rejang, Rejang Lebong, menyarankan agar perjalanan lebih baik melalui
Sekayu. Tetapi, Kepala Desa Suban Ayam, Kecamatan Selupuh Rejang,
Ahmad Holil, menyarankan agar tidak melalui Sekayu. "Jalan itu rusak
parah di mana-mana. Mendingan lewat Muara Beliti-Tebing Tinggi-Bunga
Mas-Lahat saja. Di jalan itu, meskipun jaraknya lebih jauh dan banyak
rusak pula, situasinya lebih ramai. Banyak truk yang lewat. Lagi pula
di sepanjang jalan banyak PKJR,"ujar Holil.
Perjalanan dari Bengkulu ke Palembang, akhirnya diputuskan
melalui rute Lubuk-Linggau-Muara Beliti-Tebing Tinggi-Bunga Mas-
Lahat. Padahal, rute sepanjang 515 kilometer itu harus melalui jalan
rusak di sebagian lokasi, terutama antara Muara Beliti-Lahat.
***
MAKA perjalanan pun dimulai dengan rasa waswas, menempuh rute
Bengkulu-Kepahiang- Curup-Lubuk Linggau-Muara Beliti-Tebing Tinggi-
Bunga Mas-Lahat-Muara Enim-Prabumulih-Palembang. Perjalanan melalui
rute ini pasti melalui jalur jalan yang konon paling seram itu, yakni
Muara Beliti-Tebing Tinggi-Bunga Mas-Lahat.
Selain kerusakan di sepanjang jalan, banyak ditemukan gerombolan
orang di belasan lokasi yang menadahkan tangan, bila ada truk yang
melintas pelan. Gerombolan itu kebanyakan menempati pos darurat,
berupa gubuk sederhana dengan atap daun kelapa.
Meskipun gerombolan warga itu tidak memaksa, para pengendara
agaknya tak mau mengambil risiko. Setiap kali ada truk yang melintas
di pos darurat tempat gerombolan warga yang mangkal, salah seorang di
antara mereka menuju ke tepi jalan lalu menadahkan tangan. Sebagian
sopir terlihat memberi uang, dengan melemparkannya atau mengangsurkan
ke tangan yang menadah.
Selain pungutan yang dilakukan oleh sekelompok warga di pos-pos
darurat, di beberapa lokasi terdapat pula warga yang berdiri di
bagian jalan yang rusak. Kepada setiap sopir kendaraan yang melintas,
mereka menadahkan tangan. Ini rupanya yang membuat ruas jalan ini
seram, dan mereka itulah "hantu"-nya.
Di lokasi sepi seperti tanjakan atau di jalan rusak, ada pula
beberapa pos permanen di tepi jalan. Pos itu dilengkapi pesawat radio
komunikasi. Beberapa orang penunggunya pun terlihat berseragam
seperti petugas satpam. Di depan pos terpampang tulisan PKJR (Pos
Keamanan Jalan Raya). Tulisan PKJR itu sama persis dengan yang
terpampang di papan-papan di depan pos-pos darurat tempat gerombolan
warga meminta uang kepada sopir truk yang lewat. (mul)
Foto:
Kompas/Agus Mulyadi
"HANTU" - Ruas Jalan Lintas Tengah Sumatera yang sudah lama rusak di
banyak lokasi sering dimanfaatkan kawanan penjahat untuk memeras para
pemakai jalan. Sopir angkutan umum, terutama truk, mengeluhkan
banyaknya pungutan liar yang dilakukan oleh kelompok-kelompok warga
di sepanjang jalan. Aksi mereka ini rancu dengan Pos Keamanan Jalan
Raya yang resmi, seperti "hantu" yang kadang ada kadang menghilang
sendiri.
"HANTU" DI JALAN LINTAS SUMATERA
KETIKA hendak menempuh perjalanan menggunakan mobil dari Kota
Bengkulu ke Palembang, bingung juga menentukan rute mana yang akan
ditempuh. Beberapa orang di Bengkulu yang ditanya soal itu, memberi
pilihan berbeda.
Ada yang menyarankan agar melewati rute Bengkulu Kepahiang-Curup-
Sekayu-Betung- Palembang. Ada pula yang menyarankan agar melalui rute
Bengkulu-Kepahiang-Pendopo-Pagar Alam-Lahat-Palembang.
Lebih banyak lagi yang menyarankan agar melewati rute Bengkulu-
Curup-Lubuk Linggau-Muara Beliti-Tebing Tinggi-Bunga Mas- Lahat-
Palembang. "Meskipun jaraknya lebih jauh dan sebagian jalan rusak
berat, rute itu lebih aman," kata salah seorang pemberi saran.
Pengelola penginapan di kawasan perkebunan Gunung Dempo, Nanang
Rusmadi, menyarankan jangan sekali-sekali menempuh perjalanan pada
sore atau malam hari.
Menurut informasi dari seorang tamu penginapan, penghadangan oleh
kawanan penjahat dilakukan dengan cara menghentikan mobil di tengah
jalan. Korban mencoba memberikan uang Rp 10.000. Namun, kawanan
penghadang itu malah merampok semua harta benda korban, kecuali
mobilnya.
***
CERITA seram di ruas jalan antara Pagar Alam-Pendopo-Kepahiang,
dikemukakan pula oleh seorang warga di Curup, ibu kota Kabupaten
Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu. "Kalau masih pagi sampai siang
bolehlah melalui jalan yang kecil itu. Tapi, kalau sore atau malam
jangan melalui jalan itu," katanya.
Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Rejang Lebong,
Rosihan YT, ketika ditanya soal pilihan rute perjalanan juga
menganjurkan agar tidak melalui ruas jalan Kepahiang-Pendopo-Pagar
Alam. Di ruas jalan itu kerap terjadi aksi perampokan terhadap
pengendara kendaraan.
Karena dianjurkan tidak melalui ruas jalan tersebut, pilihan rute
perjalanan dari Bengkulu pun tinggal dua yakni melalui Lubuk Linggau-
Muara Beliti-Tebing Tinggi-Bunga Mas Lahat-Palembang, atau rute Lubuk
Linggau-Muara Beliti-Sekayu-Betung-Palembang.
Tanto, seorang sopir truk pengangkut sayur dari kawasan Selupuh
Rejang, Rejang Lebong, menyarankan agar perjalanan lebih baik melalui
Sekayu. Tetapi, Kepala Desa Suban Ayam, Kecamatan Selupuh Rejang,
Ahmad Holil, menyarankan agar tidak melalui Sekayu. "Jalan itu rusak
parah di mana-mana. Mendingan lewat Muara Beliti-Tebing Tinggi-Bunga
Mas-Lahat saja. Di jalan itu, meskipun jaraknya lebih jauh dan banyak
rusak pula, situasinya lebih ramai. Banyak truk yang lewat. Lagi pula
di sepanjang jalan banyak PKJR,"ujar Holil.
Perjalanan dari Bengkulu ke Palembang, akhirnya diputuskan
melalui rute Lubuk-Linggau-Muara Beliti-Tebing Tinggi-Bunga Mas-
Lahat. Padahal, rute sepanjang 515 kilometer itu harus melalui jalan
rusak di sebagian lokasi, terutama antara Muara Beliti-Lahat.
***
MAKA perjalanan pun dimulai dengan rasa waswas, menempuh rute
Bengkulu-Kepahiang- Curup-Lubuk Linggau-Muara Beliti-Tebing Tinggi-
Bunga Mas-Lahat-Muara Enim-Prabumulih-Palembang. Perjalanan melalui
rute ini pasti melalui jalur jalan yang konon paling seram itu, yakni
Muara Beliti-Tebing Tinggi-Bunga Mas-Lahat.
Selain kerusakan di sepanjang jalan, banyak ditemukan gerombolan
orang di belasan lokasi yang menadahkan tangan, bila ada truk yang
melintas pelan. Gerombolan itu kebanyakan menempati pos darurat,
berupa gubuk sederhana dengan atap daun kelapa.
Meskipun gerombolan warga itu tidak memaksa, para pengendara
agaknya tak mau mengambil risiko. Setiap kali ada truk yang melintas
di pos darurat tempat gerombolan warga yang mangkal, salah seorang di
antara mereka menuju ke tepi jalan lalu menadahkan tangan. Sebagian
sopir terlihat memberi uang, dengan melemparkannya atau mengangsurkan
ke tangan yang menadah.
Selain pungutan yang dilakukan oleh sekelompok warga di pos-pos
darurat, di beberapa lokasi terdapat pula warga yang berdiri di
bagian jalan yang rusak. Kepada setiap sopir kendaraan yang melintas,
mereka menadahkan tangan. Ini rupanya yang membuat ruas jalan ini
seram, dan mereka itulah "hantu"-nya.
Di lokasi sepi seperti tanjakan atau di jalan rusak, ada pula
beberapa pos permanen di tepi jalan. Pos itu dilengkapi pesawat radio
komunikasi. Beberapa orang penunggunya pun terlihat berseragam
seperti petugas satpam. Di depan pos terpampang tulisan PKJR (Pos
Keamanan Jalan Raya). Tulisan PKJR itu sama persis dengan yang
terpampang di papan-papan di depan pos-pos darurat tempat gerombolan
warga meminta uang kepada sopir truk yang lewat. (mul)
Foto:
Kompas/Agus Mulyadi
"HANTU" - Ruas Jalan Lintas Tengah Sumatera yang sudah lama rusak di
banyak lokasi sering dimanfaatkan kawanan penjahat untuk memeras para
pemakai jalan. Sopir angkutan umum, terutama truk, mengeluhkan
banyaknya pungutan liar yang dilakukan oleh kelompok-kelompok warga
di sepanjang jalan. Aksi mereka ini rancu dengan Pos Keamanan Jalan
Raya yang resmi, seperti "hantu" yang kadang ada kadang menghilang
sendiri.
Rabu, 16 Juli 2008
Transaksi Ecstasy yang Transparan
KOMPAS - Selasa, 28 Mar 1995 Halaman: 1 Penulis: WIN/BAR/IR/KSP/WIS/MUL Ukuran: 7815
TRANSAKSI ECSTASY YANG TRANSPARAN
PEREDARAN ecstasy ternyata sudah merasuk jauh ke berbagaitempat hiburan di DKI Jakarta. Transaksinya bahkan sudah dilakukansecara terang-terangan di tengah keramaian khalayak. Tidak adarintangan bagi pengunjung diskotek untuk memperoleh pil maut ini.Malah ada kesan, ganja jauh lebih berbahaya ketimbang ecstasy.Apalagi selama ini yang dijaring hanyalah pengedar ganja. Padahal saat ini ganja bagi pengguna obat-obatan dianggap barang rongsokan.
"Kiriman yang warna cokelat belum tiba dari Bali. Seandainya Andacoba itu, nikmatnya bukan main. Kita melambung ke angkasa," ujarBelok (bukan nama sebenarnya), pengedar ecstasy di diskotek Terminal I di kawasan Glodok, Jakarta Barat.
Dalam semalam saja Belok bisa meraub kentungan jutaan rupiah.Harga ecstasy yang dibelinya di Bali Rp 40.000/butir, di Terminal laku dijual Rp 120.000-Rp 150.000. Beberapa malam lalu seorangpembeli langsung membayar kontan satu juta rupiah untuk 5 butir pilMegatron, jenis yang paling dahsyat.
Harga ecstasy tergantung pada jenisnya dan suasana pasar. Jikapembeli ramai, harga bisa dikatrol sampai 50 persen. "Masalahnyakiriman dari Bali belum datang, sedang stok sudah hampir habis,"ujar Bobon (bukan nama sebenarnya) di salah satu diskotek di kawasanBlok M.
Ia menawarkan ecstasy jenis white purple seharga Rp 130.000.Padahal biasanya harganya hanya berkisar Rp 100.000.Di berbagai diskotek saat ini jalur mata rantai ecstasy sangat transparans. Asal ada uang dan menyebut pilnya tidak keliru,sesegera itu pula transaksi dilakukan.
Atau lihatlah apa yang dilakukan Bobon. Ia memberi pil itu dalam kertas, kemudian menerima uangnya. Atau juga Belok yang sambil ajojing menerima segepok uang.DI kalangan anak-anak muda Ibu Kota sebutan ecstasy tidakpernah digunakan. Mereka menggunakan istilah "inex" dalam transaksipil berbahaya ini. Inex adalah plesetan kata "enak".
Saat ini harga berbagai ecstasy di pasaran diskotek di salahsatu gedung di Jl. Soedirman, atau di kawasan Kuningan sertapertokoan Blok M, berkisar Rp 80.000 - Rp 200.000.Untuk jenis paling murah disebut "pink tebal", warnanya merah jambu berbintik-bintik, harganya Rp 80.000/butir. Sedang "pink tipis" harganyaantara Rp 110.000 - Rp 120.000.Di atas pil-pil pink ini ada yang disebut "white doft" dengangambar burung penguin. Pil yang tidak lebih besar dari biji saga inidisebut-sebut mampu melipatgandakan kekuatan dan daya khayal.
"Kalau kepalanya sudah goyang-goyang ke kiri-kanan, seperti kuda lumping,itu tandanya white doft mulai bekerja," ujar Hengky (bukan nama sebenarnya), pengusaha muda yang setiap hari menenggak pil ini.Setingkat dengan "white doft" yang putih mungil ini ada lagi"white rose."
Sedang di atasnya beredar "purple," dengan warna ungukehijauan. Harganya berkisar Rp 150.000 - Rp 175.000. Jika wanita menenggak pil ini, tubuhnya segera terangsang.Namun yang paling dahsyat dari semua pil itu adalah "megatron."Harganya berkisar Rp 175.000 - Rp 200.000.
Pil yang besarnya mirip merica dan berwarna cokelat ini, sanggup mengubah bawah sadar si pemakai. Di tengah deru musik metal di ruang diskotek, pil ini mampumembuat si pengguna kehilangan malu, hingga tidak segan-seganmenanggalkan buasana di tengah keramaian itu.
Pil-pil yang juga turunan amfetamin ini, dipasok dari ASatau negara-negara Eropa melalui Denpasar. Di negara asalnya,produksi pil ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi di rumah-rumah.Kekuatannya bisa berpuluh kali lipat heroin. Jika campuran kimianyadipadatkan reaksinya makin gawat.
"Kebanyakan pil ini digunakanbukan untuk psikhosa, tapi obat depresi," tutur seorang pemakai."Saya kesal makan kertas itu. Soalnya jadi pengen ketawaterus," ujar Raly (bukan nama sebenarnya), bandar ecstasy dibeberapa diskotek.
Kertas yang lebarnya hanya 1 x 1 cm ini dicampurdengan LSD, satu jenis narkotik paling berbahaya. Kemudian dikunyahterus hingga ludes.Raly yang suka hanya mengenakan singlet, dengan lincah berlarike sana ke mari di tengah keramaian pengunjung diskotek. Pemuda inimerasa dirinya sebagai wanita paling anggun dan cantik di tengahratusan manusia.
"Saya bukan dealer. Itu keliru yang menyebut sayademikian. Saya ini 'kan apoteker, nah kalau dia dokternya," ujarnyasambil tertawa-tawa. Maksudnya, dialah yang mengeluarkan obat atasresep pria yang disebutnya "dokter" itu.
DI suatu diskotek dua pria gondrong duduk santai. Sebentar-sebentar ada rekannya datang kemudian berbisik. Setelah itu iamenyerahkan ecstasy. Tidak jauh dari meja ini, 4 orang pria bertubuhkekar, mengamati anak-anak muda yang sedang ajojing. Beberapa kalibandar ecstasy menyapanya.
Tidak begitu jelas apakah ini pengawalnyaatau apa. Yang pasti transaksi ecstasy di sini berjalan lancar."Bandar di diskotek di kawasan Kuningan bekingnya kuat, anakorang berkuasa. Mana berani kita masuk ke sana," ujar Belok.
Seperti umumnya kejahatan terorganisir, jaringan penjualan ecstasy inimempunyai mata rantai yang panjang, bahkan hingga ke mancanegara.Dan mereka juga dilindungi beking, termasuk para preman.
"Kami juga tidak menghendaki pecandu obat itu di sini. Hanya saja 'kan tidak mungkin kita geledah setiap tamu yang datang," ujarKT Budiman, manajer operasi M Club, beberapa waktu lalu.
Apalagi pada malam Minggu jumlah pengunjung bisa sampai 3.000 orang. "Pusingsaya memikirkan ini semua," tambahnya.
Serse Polda Metro Jaya jugapernah berulang kali menggeledah pengunjung yang kelihatan super"teler" di sini.
Sementara itu pemilik diskotek Terminal I, Letty, ketika dihubungi secara terpisah membantah adanya kemungkinan pihaknya terlibat dalam perdagangan obat berbahaya itu."Saya paling benci obat-obat bius. Oleh karena itu di setiap tempat hiburan saya selalu menempatkan dua orang polisi berpakaian preman untuk mengawasi tamu yang datang," jelasnya.
Beberapa waktu lalu salah satu diskotek milik pengusaha muda ini digerebek polisi karena mempekerjakanwanita-wanita usia belasan tahun sebagai prostitusi. Kasusnya akanditeruskan ke meja hijau.
Wakil Ketua DPRD DKI, H Ismunandar terperanjat ketika ditanyakan masalah ini. Ia mengimbau pengusaha agar jangan hanyapikir keuntungan. "Korban seperti ini 'kan anak-anak muda. Kalaupengusaha membiarkannya demikian, atau malah memanfaatkan situasidemikian untuk cari untung, itu sudah keterlaluan. Tidak punya rasanasionalis lagi," ujarnya.
Ismunandar mengakui pengusaha tidak punya wewenang kuat untuk menghentikan aktivitas perdagangan obat ini di berbagai diskotek.Namun sedikit-dikitnya mereka bisa melaporkan ke petugas polisisetempat. "Saya jadi curiga melihat pengusaha hiburan yangmembiarkan situasi demikian," tambahnya.
Wakil rakyat ini mengimbauagar instansi terkait membekukan, atau kalau perlu mencabut, izinusaha tempat hiburan demikian.Pihak Tramtib (Ketenteraman dan Ketertiban) DKI belum bisa dihubungi menyangkut soal pengawasan terhadap berbagai tempathiburan di DKI. Kepala Kantor Tramtib DKI, Kusaeini, tidak berada ditempat karena sedang ikut penataran Santiaji.
Berbarengan dengan mata hari terbit, anak-anak muda di sejumlah diskotek larut dalam dunianya. Kepala mereka digeleng-gelengkan kekiri-kanan, sementara satu atau dua jarinya mengikuti gerak yangsama di depan wajahnya.
Mereka fly seharian, menghamburkan uang danseks. Kehidupan malam dan siang hari berada pada dataran garis yang sama. (win/bar/ir/ksp/wis/agus mulyadi).
TRANSAKSI ECSTASY YANG TRANSPARAN
PEREDARAN ecstasy ternyata sudah merasuk jauh ke berbagaitempat hiburan di DKI Jakarta. Transaksinya bahkan sudah dilakukansecara terang-terangan di tengah keramaian khalayak. Tidak adarintangan bagi pengunjung diskotek untuk memperoleh pil maut ini.Malah ada kesan, ganja jauh lebih berbahaya ketimbang ecstasy.Apalagi selama ini yang dijaring hanyalah pengedar ganja. Padahal saat ini ganja bagi pengguna obat-obatan dianggap barang rongsokan.
"Kiriman yang warna cokelat belum tiba dari Bali. Seandainya Andacoba itu, nikmatnya bukan main. Kita melambung ke angkasa," ujarBelok (bukan nama sebenarnya), pengedar ecstasy di diskotek Terminal I di kawasan Glodok, Jakarta Barat.
Dalam semalam saja Belok bisa meraub kentungan jutaan rupiah.Harga ecstasy yang dibelinya di Bali Rp 40.000/butir, di Terminal laku dijual Rp 120.000-Rp 150.000. Beberapa malam lalu seorangpembeli langsung membayar kontan satu juta rupiah untuk 5 butir pilMegatron, jenis yang paling dahsyat.
Harga ecstasy tergantung pada jenisnya dan suasana pasar. Jikapembeli ramai, harga bisa dikatrol sampai 50 persen. "Masalahnyakiriman dari Bali belum datang, sedang stok sudah hampir habis,"ujar Bobon (bukan nama sebenarnya) di salah satu diskotek di kawasanBlok M.
Ia menawarkan ecstasy jenis white purple seharga Rp 130.000.Padahal biasanya harganya hanya berkisar Rp 100.000.Di berbagai diskotek saat ini jalur mata rantai ecstasy sangat transparans. Asal ada uang dan menyebut pilnya tidak keliru,sesegera itu pula transaksi dilakukan.
Atau lihatlah apa yang dilakukan Bobon. Ia memberi pil itu dalam kertas, kemudian menerima uangnya. Atau juga Belok yang sambil ajojing menerima segepok uang.DI kalangan anak-anak muda Ibu Kota sebutan ecstasy tidakpernah digunakan. Mereka menggunakan istilah "inex" dalam transaksipil berbahaya ini. Inex adalah plesetan kata "enak".
Saat ini harga berbagai ecstasy di pasaran diskotek di salahsatu gedung di Jl. Soedirman, atau di kawasan Kuningan sertapertokoan Blok M, berkisar Rp 80.000 - Rp 200.000.Untuk jenis paling murah disebut "pink tebal", warnanya merah jambu berbintik-bintik, harganya Rp 80.000/butir. Sedang "pink tipis" harganyaantara Rp 110.000 - Rp 120.000.Di atas pil-pil pink ini ada yang disebut "white doft" dengangambar burung penguin. Pil yang tidak lebih besar dari biji saga inidisebut-sebut mampu melipatgandakan kekuatan dan daya khayal.
"Kalau kepalanya sudah goyang-goyang ke kiri-kanan, seperti kuda lumping,itu tandanya white doft mulai bekerja," ujar Hengky (bukan nama sebenarnya), pengusaha muda yang setiap hari menenggak pil ini.Setingkat dengan "white doft" yang putih mungil ini ada lagi"white rose."
Sedang di atasnya beredar "purple," dengan warna ungukehijauan. Harganya berkisar Rp 150.000 - Rp 175.000. Jika wanita menenggak pil ini, tubuhnya segera terangsang.Namun yang paling dahsyat dari semua pil itu adalah "megatron."Harganya berkisar Rp 175.000 - Rp 200.000.
Pil yang besarnya mirip merica dan berwarna cokelat ini, sanggup mengubah bawah sadar si pemakai. Di tengah deru musik metal di ruang diskotek, pil ini mampumembuat si pengguna kehilangan malu, hingga tidak segan-seganmenanggalkan buasana di tengah keramaian itu.
Pil-pil yang juga turunan amfetamin ini, dipasok dari ASatau negara-negara Eropa melalui Denpasar. Di negara asalnya,produksi pil ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi di rumah-rumah.Kekuatannya bisa berpuluh kali lipat heroin. Jika campuran kimianyadipadatkan reaksinya makin gawat.
"Kebanyakan pil ini digunakanbukan untuk psikhosa, tapi obat depresi," tutur seorang pemakai."Saya kesal makan kertas itu. Soalnya jadi pengen ketawaterus," ujar Raly (bukan nama sebenarnya), bandar ecstasy dibeberapa diskotek.
Kertas yang lebarnya hanya 1 x 1 cm ini dicampurdengan LSD, satu jenis narkotik paling berbahaya. Kemudian dikunyahterus hingga ludes.Raly yang suka hanya mengenakan singlet, dengan lincah berlarike sana ke mari di tengah keramaian pengunjung diskotek. Pemuda inimerasa dirinya sebagai wanita paling anggun dan cantik di tengahratusan manusia.
"Saya bukan dealer. Itu keliru yang menyebut sayademikian. Saya ini 'kan apoteker, nah kalau dia dokternya," ujarnyasambil tertawa-tawa. Maksudnya, dialah yang mengeluarkan obat atasresep pria yang disebutnya "dokter" itu.
DI suatu diskotek dua pria gondrong duduk santai. Sebentar-sebentar ada rekannya datang kemudian berbisik. Setelah itu iamenyerahkan ecstasy. Tidak jauh dari meja ini, 4 orang pria bertubuhkekar, mengamati anak-anak muda yang sedang ajojing. Beberapa kalibandar ecstasy menyapanya.
Tidak begitu jelas apakah ini pengawalnyaatau apa. Yang pasti transaksi ecstasy di sini berjalan lancar."Bandar di diskotek di kawasan Kuningan bekingnya kuat, anakorang berkuasa. Mana berani kita masuk ke sana," ujar Belok.
Seperti umumnya kejahatan terorganisir, jaringan penjualan ecstasy inimempunyai mata rantai yang panjang, bahkan hingga ke mancanegara.Dan mereka juga dilindungi beking, termasuk para preman.
"Kami juga tidak menghendaki pecandu obat itu di sini. Hanya saja 'kan tidak mungkin kita geledah setiap tamu yang datang," ujarKT Budiman, manajer operasi M Club, beberapa waktu lalu.
Apalagi pada malam Minggu jumlah pengunjung bisa sampai 3.000 orang. "Pusingsaya memikirkan ini semua," tambahnya.
Serse Polda Metro Jaya jugapernah berulang kali menggeledah pengunjung yang kelihatan super"teler" di sini.
Sementara itu pemilik diskotek Terminal I, Letty, ketika dihubungi secara terpisah membantah adanya kemungkinan pihaknya terlibat dalam perdagangan obat berbahaya itu."Saya paling benci obat-obat bius. Oleh karena itu di setiap tempat hiburan saya selalu menempatkan dua orang polisi berpakaian preman untuk mengawasi tamu yang datang," jelasnya.
Beberapa waktu lalu salah satu diskotek milik pengusaha muda ini digerebek polisi karena mempekerjakanwanita-wanita usia belasan tahun sebagai prostitusi. Kasusnya akanditeruskan ke meja hijau.
Wakil Ketua DPRD DKI, H Ismunandar terperanjat ketika ditanyakan masalah ini. Ia mengimbau pengusaha agar jangan hanyapikir keuntungan. "Korban seperti ini 'kan anak-anak muda. Kalaupengusaha membiarkannya demikian, atau malah memanfaatkan situasidemikian untuk cari untung, itu sudah keterlaluan. Tidak punya rasanasionalis lagi," ujarnya.
Ismunandar mengakui pengusaha tidak punya wewenang kuat untuk menghentikan aktivitas perdagangan obat ini di berbagai diskotek.Namun sedikit-dikitnya mereka bisa melaporkan ke petugas polisisetempat. "Saya jadi curiga melihat pengusaha hiburan yangmembiarkan situasi demikian," tambahnya.
Wakil rakyat ini mengimbauagar instansi terkait membekukan, atau kalau perlu mencabut, izinusaha tempat hiburan demikian.Pihak Tramtib (Ketenteraman dan Ketertiban) DKI belum bisa dihubungi menyangkut soal pengawasan terhadap berbagai tempathiburan di DKI. Kepala Kantor Tramtib DKI, Kusaeini, tidak berada ditempat karena sedang ikut penataran Santiaji.
Berbarengan dengan mata hari terbit, anak-anak muda di sejumlah diskotek larut dalam dunianya. Kepala mereka digeleng-gelengkan kekiri-kanan, sementara satu atau dua jarinya mengikuti gerak yangsama di depan wajahnya.
Mereka fly seharian, menghamburkan uang danseks. Kehidupan malam dan siang hari berada pada dataran garis yang sama. (win/bar/ir/ksp/wis/agus mulyadi).
Kebebasan untuk Zarima
KOMPAS - Kamis, 22 Oct 1998 Halaman: 15 Penulis: MUL/TRA Ukuran: 3214
KEBEBASAN UNTUK ZARIMA
"HATI-HATI Rima. Jangan lupa kami," teriak beberapa narapidana di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Wanita Tangerang, sambil melambaikantangan mereka ke arah Zarima binti Mirafsur (26). Gadis berkulit kuning bersih itu sambil tersenyum balas melambaikan tangan, sambil terus melangkah menuju pintu keluar LP Wanita.
Hari Rabu (21/10), tepat pukul 10.12 WIB Zarima resmi menginjak"tanah kebebasan" di luar pintu kompleks LP Wanita. Hari itu Zarima,yang diringkus petugas Polres Tangerang tahun 1996, karena menyimpan29.677 butir ecstasy di rumahnya, di kawasan Jakarta Barat, mendapatpembebasan bersyarat dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Depkeh.
Dengan pembebasan itu, ia tidak perlu menjalani penuh pidananya selama empat tahun, sampai akhir tahun 2000, seperti yang dijatuhkan majelis hakim PN Jakbar, Juni 1997.Walau bebas, Zarima tetap wajib lapor ke kejaksaan. Kalau dalam masa "pemantauan" sampai Oktober 2001ia melakukan pelanggaran pidana, sisa hukumannya harus dijalani.
Kepala LP Wanita Tangerang, Susy Marliana minta Zarima memahami pengertian pembebasan bersyarat itu secara sungguh-sungguh, sehingga tidak perlu lagi meringkuk di balik jeruji besi."Selama di sini, ia berkelakuan baik. Zarima juga sudah menjalani dua pertiga pidananya.Dia memenuhi syarat untuk mendapatkan pembebasan bersyarat, walaupun masih gamang, karena mendapat sorotan masyarakat," tuturnya.
Penasihat hukum Zarima, OC Kaligis, mengingatkan kliennya untuk tidak melakukan kesalahan lagi. Tetapi ia juga berharap, masyarakatbisa menerima Zarima dengan sepenuh hati, tanpa stigma masa lalunyayang tidak menyenangkan."Zarima masih membutuhkan bimbingan. Namun ia kini semakin berdisiplin," tuturnya.
SEBUAH mobil Mercy warna perak metalik, bernomor polisi B 1088FP membawa Zarima dan keluarganya meninggalkan LP Wanita Tangerang.Sebelum pulang, mereka sempat mampir ke Kantor Pengacara OC Kaligis.
Di sini sejak Agustus lalu, Zarima menjalani asimilasi (bekerja diluar LP). Ia diberi gaji Rp 500.000 per bulan.Menikmati kebebasan itu, Zarima terlihat berbinar. Bibirnya tak henti-hentinya tersenyum, bukan saja kepada wartawan yang sejak pagimenunggu di LP Wanita Tangerang, tetapi juga kepada aparat KejaksaanNegeri Tangerang yang mengurusi surat pembebasan bersyarat.
"Saya senang. Saya akan menikmati dahulu kebebasan ini di rumah bersamakeluarga," papar Zarima.
Ia berjanji tak ingin kembali ke penjara, meski dari situ banyakpelajaran yang dipetik. "Selama di dalam tahanan, saya ambil hikmahnya.Di tahanan, saya selalu shalat lima waktu, dan diajarkan hidup disiplin.Seperti untuk makan harus dimulai dan berakhir saat bel berbunyi.Pertama di tahanan memang berat, tetapi selanjutnya tidak," tuturnya.
Salah satu barang bawaan yang dibawa Zarima dari tahanan adalah uang tabungannya sebesar Rp 5.431.000. Uang itu tabungan serta upahZarima selama bekerja di kantor OC Kaligis. (agus mulyadil/tra)
Teksfoto:Kompas/tra
SENYUM ZARIMA - Dengan tersenyum, Zarima mengurus persyaratan untuk kebebasan bersyaratnya.
KEBEBASAN UNTUK ZARIMA
"HATI-HATI Rima. Jangan lupa kami," teriak beberapa narapidana di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Wanita Tangerang, sambil melambaikantangan mereka ke arah Zarima binti Mirafsur (26). Gadis berkulit kuning bersih itu sambil tersenyum balas melambaikan tangan, sambil terus melangkah menuju pintu keluar LP Wanita.
Hari Rabu (21/10), tepat pukul 10.12 WIB Zarima resmi menginjak"tanah kebebasan" di luar pintu kompleks LP Wanita. Hari itu Zarima,yang diringkus petugas Polres Tangerang tahun 1996, karena menyimpan29.677 butir ecstasy di rumahnya, di kawasan Jakarta Barat, mendapatpembebasan bersyarat dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Depkeh.
Dengan pembebasan itu, ia tidak perlu menjalani penuh pidananya selama empat tahun, sampai akhir tahun 2000, seperti yang dijatuhkan majelis hakim PN Jakbar, Juni 1997.Walau bebas, Zarima tetap wajib lapor ke kejaksaan. Kalau dalam masa "pemantauan" sampai Oktober 2001ia melakukan pelanggaran pidana, sisa hukumannya harus dijalani.
Kepala LP Wanita Tangerang, Susy Marliana minta Zarima memahami pengertian pembebasan bersyarat itu secara sungguh-sungguh, sehingga tidak perlu lagi meringkuk di balik jeruji besi."Selama di sini, ia berkelakuan baik. Zarima juga sudah menjalani dua pertiga pidananya.Dia memenuhi syarat untuk mendapatkan pembebasan bersyarat, walaupun masih gamang, karena mendapat sorotan masyarakat," tuturnya.
Penasihat hukum Zarima, OC Kaligis, mengingatkan kliennya untuk tidak melakukan kesalahan lagi. Tetapi ia juga berharap, masyarakatbisa menerima Zarima dengan sepenuh hati, tanpa stigma masa lalunyayang tidak menyenangkan."Zarima masih membutuhkan bimbingan. Namun ia kini semakin berdisiplin," tuturnya.
SEBUAH mobil Mercy warna perak metalik, bernomor polisi B 1088FP membawa Zarima dan keluarganya meninggalkan LP Wanita Tangerang.Sebelum pulang, mereka sempat mampir ke Kantor Pengacara OC Kaligis.
Di sini sejak Agustus lalu, Zarima menjalani asimilasi (bekerja diluar LP). Ia diberi gaji Rp 500.000 per bulan.Menikmati kebebasan itu, Zarima terlihat berbinar. Bibirnya tak henti-hentinya tersenyum, bukan saja kepada wartawan yang sejak pagimenunggu di LP Wanita Tangerang, tetapi juga kepada aparat KejaksaanNegeri Tangerang yang mengurusi surat pembebasan bersyarat.
"Saya senang. Saya akan menikmati dahulu kebebasan ini di rumah bersamakeluarga," papar Zarima.
Ia berjanji tak ingin kembali ke penjara, meski dari situ banyakpelajaran yang dipetik. "Selama di dalam tahanan, saya ambil hikmahnya.Di tahanan, saya selalu shalat lima waktu, dan diajarkan hidup disiplin.Seperti untuk makan harus dimulai dan berakhir saat bel berbunyi.Pertama di tahanan memang berat, tetapi selanjutnya tidak," tuturnya.
Salah satu barang bawaan yang dibawa Zarima dari tahanan adalah uang tabungannya sebesar Rp 5.431.000. Uang itu tabungan serta upahZarima selama bekerja di kantor OC Kaligis. (agus mulyadil/tra)
Teksfoto:Kompas/tra
SENYUM ZARIMA - Dengan tersenyum, Zarima mengurus persyaratan untuk kebebasan bersyaratnya.
Aksi Pelarian Tiga Narapidana Perempuan dari LP
KOMPAS - Minggu, 03 Dec 2000 Halaman: 1 Penulis: mul Ukuran: 5734
AKSI PELARIAN TIGA NARAPIDANA PEREMPUAN DARI LP
BAK adegan film, tiga perempuan yang mendekam di bui gara-gara kasus narkotika dan psikotropika, secara perlahan-lahan menggergajiterali besi kamar tahanan mereka. Setiap kali seorang dari mereka menggergaji, dua narapidana lainnya mengawasi bagian luar ruangtahanan agar tidak ketahuan oleh penjaga.
Aksi dengan gergaji besi itu dilakukan setiap saat, sejak Rabu(29/11), pada waktu-waktu yang mereka anggap aman.Ketekunan tiga perempuan yang mendekam di ruang tahanan Blok A LP (LembagaPemasyarakatan) Wanita Dewasa Tangerang di Jalan TMP Taruna, KotaTangerang, itu membuahkan hasil. Pada Kamis malam batang besi selesaidigergaji dan tinggal dibengkokkan.
Ketiganya, Rani Andriyani (25), Maya (40), dan Angel (30),bernafas lega. Mereka tinggal menunggu waktu yang tepat untuk membengkokkan dan mematahkan batang terali besi itu, serta menyelinap keluar.Sejak beberapa minggu sebelumnya mereka mengumpulkan untaian nilon sedikit demi sedikit untuk dibuat tali. Nilon itu mereka ambil saat mengikuti pendidikan keterampilan di dalam LP Wanita.
Rani Andriyani, narapidana yang divonis hukuman mati olehPengadilan Negeri Tangerang pada 22 Agustus 2000, adalah seorang penyelundup heroin dan kokain. Dia dibekuk di kawasan BandaraSoekarno-Hatta pada 12 Januari 2000, ketika hendak terbang ke London,membawa 3,5 kilogram heroin dan tiga kilogram kokain.
Rani ditangkap polisi bersama dua saudara sepupunya, Meirika Franola dan Deny SetiaMaharwan, yang akhirnya juga dihukum mati dalam kasus yang sama.Setelah lepas dari tahanan polisi, Rani mendekam di LP WanitaTangerang, hingga kini.
Sedangkan Angel dan Maya, juga terlibat kasus narkotika danpsikotropika. Angel telah dijatuhi hukuman 18 bulan penjara, karena memiliki putaw. Maya divonis hukuman delapan tahun penjara, karenatersangkut kasus ecstasy.
Dua wanita bertubuh langsing itu, menurut seorang petugas LP Wanita Tangerang, baru sekitar dua bulan menempati selnya di Tangerang. Sebelumnya mereka mendekam di LP WanitaPondokbambu, Jakarta Timur.
ENTAH ide siapa, tiga narapidana perempuan memilih waktu kabur pada sekitar usai makan sahur dan shalat Subuh. Pertimbangannya mungkin bahwa semua penjaga LP pada malam itu sudah kekenyangansetelah makan sahur sehingga mengantuk, atau telah sampai pada puncakkantuknya setelah berjaga sejak pukul 18.00.
Rani, Maya, dan Angel, segera membengkokkan terali besi yang mereka gergaji. Satu per satu perempuan-perempuan perkasa, berani,dan cerdik, itu menyelinap di sela terali besi yang dibengkokkan, dansegera menuju ke menara pos jaga nomor dua, di bagian belakang LP.Dari menara pos jaga yang kosong tanpa penjaga itu, satu per satu mereka menuruni pagar tembok LP setinggi lima meter, dengan bantuan tali nilon.
Namun malang bagi Rani, karena dia jatuh terduduk. Akibatnya,sakit luar biasa segera menderanya. Kelak ketahuan kalau tulang pinggangnya patah atau saling berhimpitan. Rani akhirnya ditinggal pergi oleh Maya dan Angel.
Aksi tiga narapidana perempuan itu baru diketahui penjaga LP Wanita setelah Rani berteriak meminta tolong."Saya ingin pulang. Saya kangen sama orang tua dan saudara," ujarRani dengan berlinangan air mata, usai menceritakan kisahnya di ruangIGD (instalasi gawat darurat) RSU Tangerang, Jumat siang.
Kerinduan Rani, anak sulung pasangan Neni dan Andi, semakin menguat ketika memasuki bulan suci Ramadhan ini. Dia ingin kembali merasakan makan sahur dan berbuka puasa, bersama ayah, ibu, dan duaadik kandungnya, di rumahnya di Jalan Moch Yamin, Cianjur, JawaBarat.
Hingga Sabtu (2/12) siang belum diketahui siapa yang mendalangi pelarian itu. Juga belum diketahui asal gergaji besi tersebut.Seandainya gergaji berasal dari tamu yang mengunjungi mereka, kenapa bisa lolos dari pengecekan petugas LP Wanita?Belum diketahui pula apakah pelarian itu dibantu pihak lain.
Pada waktu pelarian berlangsung, LP dijaga oleh 11 petugas.Sebagian adalah petugas laki-laki yang berjaga di pagar bagian dalam.Sebagian lain para sipir wanita, bertugas di dalam blok-blok penjara.Empat menara pos jaga di empat sudut LP Wanita seluas 1,6 hektar itu,diduga tidak ditempati penjaga.
"Kami selama ini memang kekurangan orang, untuk mengawasi 211 narapidana dan tahanan di LP Wanita," ujar seorang petugas LP saat menjaga Rani di RSU Tangerang.
Kepala LP Wanita Tangerang hingga Sabtu siang tetap sulit ditemui. Petugas LP semuanya menolak kedatangan Kompas dan wartawan lain, dengan menanyakan apakah membawa surat izin dari Kanwil DepkehDKI Jakarta.
Menurut informasi, Kepala LP Wanita dan semua penjaga yang bertugas pada malam pelarian narapidana, sudah diperiksa atasan mereka dari Departemen Kehakiman.Kaburnya tiga narapidana perempuan dari ruang penjara mereka,mengagetkan petugas LP Wanita.
Menurut seorang petugas LP Wanita,selama 17 tahun dia bertugas di LP itu, baru kali ini ada kasus pelarian narapidana.
"Kami tidak menduga sama sekali. Selama ini kami percaya tidakbakal ada yang kabur, karena mereka semuanya perempuan. Kelengahankami rupanya dimanfaatkan Rani, Maya, dan Angel," ujarnya.
Pelarian yang cukup menggemparkan itu, diduga bisa terjadi terutama akibat lengahnya petugas LP Wanita Tangerang. Mereka terlenaoleh adem-ayemnya penghuni LP selama ini.Kepolisian Resor Tangerang hingga Sabtu sore, belum mampu melacak keberadaan Maya dan Angel, yang tengah menghirup "udara bebas"-nya.(agus mulyadi)
AKSI PELARIAN TIGA NARAPIDANA PEREMPUAN DARI LP
BAK adegan film, tiga perempuan yang mendekam di bui gara-gara kasus narkotika dan psikotropika, secara perlahan-lahan menggergajiterali besi kamar tahanan mereka. Setiap kali seorang dari mereka menggergaji, dua narapidana lainnya mengawasi bagian luar ruangtahanan agar tidak ketahuan oleh penjaga.
Aksi dengan gergaji besi itu dilakukan setiap saat, sejak Rabu(29/11), pada waktu-waktu yang mereka anggap aman.Ketekunan tiga perempuan yang mendekam di ruang tahanan Blok A LP (LembagaPemasyarakatan) Wanita Dewasa Tangerang di Jalan TMP Taruna, KotaTangerang, itu membuahkan hasil. Pada Kamis malam batang besi selesaidigergaji dan tinggal dibengkokkan.
Ketiganya, Rani Andriyani (25), Maya (40), dan Angel (30),bernafas lega. Mereka tinggal menunggu waktu yang tepat untuk membengkokkan dan mematahkan batang terali besi itu, serta menyelinap keluar.Sejak beberapa minggu sebelumnya mereka mengumpulkan untaian nilon sedikit demi sedikit untuk dibuat tali. Nilon itu mereka ambil saat mengikuti pendidikan keterampilan di dalam LP Wanita.
Rani Andriyani, narapidana yang divonis hukuman mati olehPengadilan Negeri Tangerang pada 22 Agustus 2000, adalah seorang penyelundup heroin dan kokain. Dia dibekuk di kawasan BandaraSoekarno-Hatta pada 12 Januari 2000, ketika hendak terbang ke London,membawa 3,5 kilogram heroin dan tiga kilogram kokain.
Rani ditangkap polisi bersama dua saudara sepupunya, Meirika Franola dan Deny SetiaMaharwan, yang akhirnya juga dihukum mati dalam kasus yang sama.Setelah lepas dari tahanan polisi, Rani mendekam di LP WanitaTangerang, hingga kini.
Sedangkan Angel dan Maya, juga terlibat kasus narkotika danpsikotropika. Angel telah dijatuhi hukuman 18 bulan penjara, karena memiliki putaw. Maya divonis hukuman delapan tahun penjara, karenatersangkut kasus ecstasy.
Dua wanita bertubuh langsing itu, menurut seorang petugas LP Wanita Tangerang, baru sekitar dua bulan menempati selnya di Tangerang. Sebelumnya mereka mendekam di LP WanitaPondokbambu, Jakarta Timur.
ENTAH ide siapa, tiga narapidana perempuan memilih waktu kabur pada sekitar usai makan sahur dan shalat Subuh. Pertimbangannya mungkin bahwa semua penjaga LP pada malam itu sudah kekenyangansetelah makan sahur sehingga mengantuk, atau telah sampai pada puncakkantuknya setelah berjaga sejak pukul 18.00.
Rani, Maya, dan Angel, segera membengkokkan terali besi yang mereka gergaji. Satu per satu perempuan-perempuan perkasa, berani,dan cerdik, itu menyelinap di sela terali besi yang dibengkokkan, dansegera menuju ke menara pos jaga nomor dua, di bagian belakang LP.Dari menara pos jaga yang kosong tanpa penjaga itu, satu per satu mereka menuruni pagar tembok LP setinggi lima meter, dengan bantuan tali nilon.
Namun malang bagi Rani, karena dia jatuh terduduk. Akibatnya,sakit luar biasa segera menderanya. Kelak ketahuan kalau tulang pinggangnya patah atau saling berhimpitan. Rani akhirnya ditinggal pergi oleh Maya dan Angel.
Aksi tiga narapidana perempuan itu baru diketahui penjaga LP Wanita setelah Rani berteriak meminta tolong."Saya ingin pulang. Saya kangen sama orang tua dan saudara," ujarRani dengan berlinangan air mata, usai menceritakan kisahnya di ruangIGD (instalasi gawat darurat) RSU Tangerang, Jumat siang.
Kerinduan Rani, anak sulung pasangan Neni dan Andi, semakin menguat ketika memasuki bulan suci Ramadhan ini. Dia ingin kembali merasakan makan sahur dan berbuka puasa, bersama ayah, ibu, dan duaadik kandungnya, di rumahnya di Jalan Moch Yamin, Cianjur, JawaBarat.
Hingga Sabtu (2/12) siang belum diketahui siapa yang mendalangi pelarian itu. Juga belum diketahui asal gergaji besi tersebut.Seandainya gergaji berasal dari tamu yang mengunjungi mereka, kenapa bisa lolos dari pengecekan petugas LP Wanita?Belum diketahui pula apakah pelarian itu dibantu pihak lain.
Pada waktu pelarian berlangsung, LP dijaga oleh 11 petugas.Sebagian adalah petugas laki-laki yang berjaga di pagar bagian dalam.Sebagian lain para sipir wanita, bertugas di dalam blok-blok penjara.Empat menara pos jaga di empat sudut LP Wanita seluas 1,6 hektar itu,diduga tidak ditempati penjaga.
"Kami selama ini memang kekurangan orang, untuk mengawasi 211 narapidana dan tahanan di LP Wanita," ujar seorang petugas LP saat menjaga Rani di RSU Tangerang.
Kepala LP Wanita Tangerang hingga Sabtu siang tetap sulit ditemui. Petugas LP semuanya menolak kedatangan Kompas dan wartawan lain, dengan menanyakan apakah membawa surat izin dari Kanwil DepkehDKI Jakarta.
Menurut informasi, Kepala LP Wanita dan semua penjaga yang bertugas pada malam pelarian narapidana, sudah diperiksa atasan mereka dari Departemen Kehakiman.Kaburnya tiga narapidana perempuan dari ruang penjara mereka,mengagetkan petugas LP Wanita.
Menurut seorang petugas LP Wanita,selama 17 tahun dia bertugas di LP itu, baru kali ini ada kasus pelarian narapidana.
"Kami tidak menduga sama sekali. Selama ini kami percaya tidakbakal ada yang kabur, karena mereka semuanya perempuan. Kelengahankami rupanya dimanfaatkan Rani, Maya, dan Angel," ujarnya.
Pelarian yang cukup menggemparkan itu, diduga bisa terjadi terutama akibat lengahnya petugas LP Wanita Tangerang. Mereka terlenaoleh adem-ayemnya penghuni LP selama ini.Kepolisian Resor Tangerang hingga Sabtu sore, belum mampu melacak keberadaan Maya dan Angel, yang tengah menghirup "udara bebas"-nya.(agus mulyadi)
KOMPAS - Minggu, 11 Mar 2001 Halaman: 26 Penulis: Mulyadi, Agus Ukuran: 9748
DARI JAKARTA NARKOBA MENGALIR
JAKARTA masih menjadi kontributor terbesar pasokan narkoba danpsikotropika di Indonesia. Bahkan Jakarta kini bukan cuma menjadipasar dan distributor barang laknat itu ke berbagai daerah, tetapijuga sudah naik peringkat sebagai produsen dan eksportir ecstasy.
PIHAK kepolisian memperkirakan 1,3 juta warga Jakarta adalahpemakai narkoba dan psikotropika. Walaupun tanpa bukti demografi,sebuah organisasi yang menamakan diri LSM Program Penanggulangan danPemberantasan Penyalahgunaan Narkoba, malah melontarkan dugaan lebih mengejutkan, yaitu sekitar 3,4 juta atau 25 persen warga Jakartapernah memakai narkoba, 85 persen di antaranya pelajar dan mahasiswa.
Dengan konsumen begitu besar, pasokan narkoba yang masuk keJakarta memang luar biasa besar. Yang tertangkap dari sekali usahapenyelundupan di bulan Januari saja, polisi menyita 1,3 ton ganjaserta 6,8 kilogram heroin.
Bayangkan yang tidak tertangkap danberedar di pasar. Pintu masuk yang paling sering dipakai adalahBandara Soekarno-Hatta.Seorang pejabat Kantor Pelayanan Bea dan Cukai (KPBC) BandaraSoekarno-Hatta mengakui, penyelundupan heroin, morfin, dan ecstasy,dilakukan sindikat internasional.
"Pelakunya bekerja untuk jaringan internasional yang sangat kuat," kata pejabat yang tidak mau disebut namanya, dengan alasan keamanan keluarganya.
Jaringan pengedar narkotika dan psikotropika internasional itu mempunyai ciri-ciri antara lain, organisasinya rapi, tahu pasar, dan tingginya pemakai di Indonesia. Ciri lain, mereka tahu siapa yangakan menerima heroin, morfin atau ecstasy dan shabu di Indonesia.
Penyelundup umumnya pernah ke Indonesia atau tinggal di Indonesia.Dalam kasus penyelundupan di bulan Januari lalu, misalnya, parapenyelundup datang menggunakan pesawat dari Lahore dan Karachi(Pakistan). S
ebelumnya, mereka menempuh perjalanan dari Bangkok langsung ke Jakarta, atau transit terlebih dahulu di Singapura."Tidak mungkin para penyelundup itu melakukannya sendiri-sendiri.Mereka pasti berasal dari satu jaringan internasional yang sangatkuat. Apalagi mereka datang dari negara yang jauh dari Indonesia,seperti negara-negara Afrika," katanya.
Untuk memasukkan barang ke Indonesia, para penyelundup biasanyamemakai warga Nigeria dan Nepal, serta dari beberapa negara Afrikalain, seperti Zimbabwe dan Angola, atau warga Indonesia sendiri.
Ciri lain jaringan internasional ini adalah cara penyelundupan yangdilakukan. Salah satunya adalah dikenal dengan nama shot gunning.Penyelundupannya dilakukan dengan cara memasukkan banyak penyelundupdalam kurun waktu pendek. Dengan cara seperti itu diharapkan ada diantaranya yang berhasil.
Shot gunning misalnya terjadi pada 28, 29, dan 30 Januari 2001lalu. Ketika itu, secara berturut-turut terjadi tiga kali upayapenyelundupan heroin ke Indonesia. Beruntung petugas KPBC Soekarno-Hatta I jeli, sehingga tiga kali penyelundupan heroinseberat 2.600 gram (2,6 kilogram) dapat digagalkan.
Modus operandi yang dilakukan tiga penyelundup itu pun sama,dengan cara menyembunyikan heroin di dalam perut (ditelan atauswallower). Sebelum ditelan, serbuk putih heroin dimasukkan terlebihdahulu ke dalam butiran-butiran kapsul sebesar kepompong ulat sutra.
Para penyelundup yang gagal antara lain, Zwelibanzi Manana (37) warganegara Afrika Selatan, Hansen Anthony Nwaolisa (33) warga negaraNigeria, dan Ozias Sibanda (33) warga negara Zimbabwe.Beberapa hari sebelumnya 20 Januari 2001, seorang warga negaraNepal Indra Bahadur Tamang (21), juga mencoba menyelundupkan 900 gramheroin dengan cara menelannya.
Seorang warga Nigeria, SamuelIwuchukwu Okeye pada 9 Januari 2001, mencoba pula menyelundupkan 3,8kilogram heroin yang disembunyikannya di dalam tas.Kelima penyelundup heroin itu, kini mendekam di tahanan Markas Besar Polri.
Analisa profil
Pemeriksaan isi perut dengan sinar-x (rontgen) itu, merupakanprosedur standar yang dilakukan petugas KPBC Soekarno-Hatta I. Sebelum seseorang diperiksa, sebelumnya dilakukan analisa profil terhadap para penumpang pesawat yang baru tiba di bandara.Jika petugas KPBC mencurigai seseorang, pemeriksaan segera dilakukan.Tidak hanya barang bawaan yang diperiksa, tetapi juga isi perutnya.
Dengan analisa profil, selama ini banyak kasus penyelundupan bisa digagalkan. Melalui cara ini, petugas KPBC mengamati para penumpangyang baru turun dari pesawat."Biasanya orang yang membawa barangterlarang, apalagi ke negara lain, akan bertingkah laku kurang wajar.Kadang dia terlihat tegang. Kalau melihat orang seperti itu, petugasKPBC segera memeriksanya," ujar pejabat KPBC I.
Selain analisa profil, pengamatan terhadap penumpang pesawat yangbaru tiba di bandara, antara lain dilakukan pula dengan alat pemantaumonitor dan sinar-x. Jika ditemukan benda mencurigakan, isi tas dantubuh penumpang pun diperiksa.
Upaya penyelundupan narkotika dan psikotropika dengan berbagaicara menyebabkan petugas KPBC I yang berjumlah 307 orang pun kini semakin waspada . Untuk mengelabui petugas, penyelundup tidak segan-segan mencobanya dengan cara yang membahayakan diri sendiri, sepertidengan cara menelannya itu. Cara itu berisiko kehilangan nyawa jikakapsul yang berisi heroin pecah di dalam perut.
Pemasaran berjenjang
Jika lolos masuk Jakarta, komoditas narkoba beredar secara berjenjang, untuk mencegah dan menghindari kejaran polisi. Jaringanpemilik narkoba, biasanya mempercayakan beberapa bandar atauBD-biasanya empat atau lima bandar-yang memiliki kerja dan wilayahoperasi berlainan.
Bandar pertama, hanya mengatur masuknya "pasokan" dari luar negeri, untuk kemudian mendistribusikan ke hotel-hotel besar atau apartemen mewah di sekitar Jakarta.Sesuai perannya, biasanya bandarpertama dilakukan orang-orang keturunan Tionghoa.Kabarnya di Jakarta hanya ada 4 bandar pertama, semuanya praktis untouchable, karena dilindungi tukang pukul, pengacara atau bahkanoknum aparat keamanan.
Pada tingkat ini pula biasanya diatur pasokanuntuk daerah di luar Jakarta, tergantung kesepakatan antara BD1 yangtersebar di Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta atau Bali.
Selanjutnya, pasokan akan disebar lagi oleh bandar BD2, yang jugaberoperasi dari hotel ke hotel berbintang tiga atau kawasan perumahan. Sama seperti kurir yang membawa narkoba dari luar negeri,para BD2 ini kebanyakan berasal dari negara-negara Afrika. Sedangkan penerimanya adalah BD3 yang beredar di beberapa hotel di kawasanKota, Tanah Abang atau Jalan Jaksa, Menteng.
Polisi biasanya cuma mampu menjerat pengedar pada tingkat BD2 ini saat bertransaksi denganpara BD3.Barang-barang dari BD2 biasanya disebar lagi oleh para BD3, yang umumnya warga Indonesia.
Mereka menyebarkan narkoba lewat pesanan telepon, atau kepada pengecer atau BD4 yang umumnya telah mereka kenal. BD4 inilah yang bersinggungan secara langsung dengan konsumen,atau pengecer kelas teri untuk kawasan perkampungan.Ekspor dan imporUpaya penyelundupan narkotika dan psikotropika melalui BandaraSoekarno-Hatta belakangan ini tidak hanya terjadi untuk yang impor.
Tetapi juga ekspor atau persisnya penyelundupan ke luar negeri.Penyelundupan keluar dilakukan pertama kali pada 26 September1999 oleh seorang warga Singapura, Kow Mui Hat alias Gao Meita (34).Sebanyak 5.852 butir ecstasy produksi dalam negeri ketika itu hendakdiselundupkan ke Taiwan.
Ekspor ecstasy menandai mulai pintarnyajaringan pengedar di Indonesia, yang mampu memproduksinya sendiri.Salah satu ekspor ecstasy ke Taiwan lainnya terjadi pada 24 Juli2000. Sebanyak 4.721 butir ecstasy buatan Indonesia, ketika ituhendak diselundupkan oleh Ceng Ching Lung (30), warga negara Taiwan.
Ceng kini mendekam di penjara, setelah dijatuhi hukuman penjara empattahun di Pengadilan Negeri Tangerang, Desember lalu.Upaya menyelundupkan heroin dan kokain ke luar negeri, pernah dilakukan pula oleh tiga bersaudara warga negara Indonesia yaituMeirika Pranola (30), Rani Andriani (25) dan Deni Setia Maharwan(28).
Ketiganya telah dijatuhi vonis hukuman mati, juga olehPengadilan Negeri Tangerang Agustus 2000, karena terbukti menyelundupkan 3,5 kilogram heroin dan tiga kilogram kokain, dengantujuan London.Pada tahun 2000, empat warga negara Nepal, Nar Bahadur Tamang(59), Bala Tamang (30), Til Bahadur Badhari (32), Bahadur Gurung(24), dan seorang warga negara Angola, Thomas Daniel (40), jugadivonis hukuman mati karena menyelundupkan heroin ke Indonesia.
Keuntungan berlimpah yang diperoleh dari penyelundupan, terus mendorong penyelundup lain mencoba melakukannya. Terlebih lagi, jika barang yang diselundupkan adalah miliknya sendiri, keuntungannya berlipat ganda.Para penyelundup yang berhasil dibekuk petugas KPBC Soekarno-Hatta I umumnya mengaku hanya sebagai kurir dengan dijanjikanmendapat sejumlah imbalan. Salah seorang penyelundup heroin yangdibekuk Januari 2001, Hansen Anthony Nwaolisa, mengaku mendapatkan upah 2.000 dollar AS dari orang yang menyuruhnya. (Agus Mulyadi)
DARI JAKARTA NARKOBA MENGALIR
JAKARTA masih menjadi kontributor terbesar pasokan narkoba danpsikotropika di Indonesia. Bahkan Jakarta kini bukan cuma menjadipasar dan distributor barang laknat itu ke berbagai daerah, tetapijuga sudah naik peringkat sebagai produsen dan eksportir ecstasy.
PIHAK kepolisian memperkirakan 1,3 juta warga Jakarta adalahpemakai narkoba dan psikotropika. Walaupun tanpa bukti demografi,sebuah organisasi yang menamakan diri LSM Program Penanggulangan danPemberantasan Penyalahgunaan Narkoba, malah melontarkan dugaan lebih mengejutkan, yaitu sekitar 3,4 juta atau 25 persen warga Jakartapernah memakai narkoba, 85 persen di antaranya pelajar dan mahasiswa.
Dengan konsumen begitu besar, pasokan narkoba yang masuk keJakarta memang luar biasa besar. Yang tertangkap dari sekali usahapenyelundupan di bulan Januari saja, polisi menyita 1,3 ton ganjaserta 6,8 kilogram heroin.
Bayangkan yang tidak tertangkap danberedar di pasar. Pintu masuk yang paling sering dipakai adalahBandara Soekarno-Hatta.Seorang pejabat Kantor Pelayanan Bea dan Cukai (KPBC) BandaraSoekarno-Hatta mengakui, penyelundupan heroin, morfin, dan ecstasy,dilakukan sindikat internasional.
"Pelakunya bekerja untuk jaringan internasional yang sangat kuat," kata pejabat yang tidak mau disebut namanya, dengan alasan keamanan keluarganya.
Jaringan pengedar narkotika dan psikotropika internasional itu mempunyai ciri-ciri antara lain, organisasinya rapi, tahu pasar, dan tingginya pemakai di Indonesia. Ciri lain, mereka tahu siapa yangakan menerima heroin, morfin atau ecstasy dan shabu di Indonesia.
Penyelundup umumnya pernah ke Indonesia atau tinggal di Indonesia.Dalam kasus penyelundupan di bulan Januari lalu, misalnya, parapenyelundup datang menggunakan pesawat dari Lahore dan Karachi(Pakistan). S
ebelumnya, mereka menempuh perjalanan dari Bangkok langsung ke Jakarta, atau transit terlebih dahulu di Singapura."Tidak mungkin para penyelundup itu melakukannya sendiri-sendiri.Mereka pasti berasal dari satu jaringan internasional yang sangatkuat. Apalagi mereka datang dari negara yang jauh dari Indonesia,seperti negara-negara Afrika," katanya.
Untuk memasukkan barang ke Indonesia, para penyelundup biasanyamemakai warga Nigeria dan Nepal, serta dari beberapa negara Afrikalain, seperti Zimbabwe dan Angola, atau warga Indonesia sendiri.
Ciri lain jaringan internasional ini adalah cara penyelundupan yangdilakukan. Salah satunya adalah dikenal dengan nama shot gunning.Penyelundupannya dilakukan dengan cara memasukkan banyak penyelundupdalam kurun waktu pendek. Dengan cara seperti itu diharapkan ada diantaranya yang berhasil.
Shot gunning misalnya terjadi pada 28, 29, dan 30 Januari 2001lalu. Ketika itu, secara berturut-turut terjadi tiga kali upayapenyelundupan heroin ke Indonesia. Beruntung petugas KPBC Soekarno-Hatta I jeli, sehingga tiga kali penyelundupan heroinseberat 2.600 gram (2,6 kilogram) dapat digagalkan.
Modus operandi yang dilakukan tiga penyelundup itu pun sama,dengan cara menyembunyikan heroin di dalam perut (ditelan atauswallower). Sebelum ditelan, serbuk putih heroin dimasukkan terlebihdahulu ke dalam butiran-butiran kapsul sebesar kepompong ulat sutra.
Para penyelundup yang gagal antara lain, Zwelibanzi Manana (37) warganegara Afrika Selatan, Hansen Anthony Nwaolisa (33) warga negaraNigeria, dan Ozias Sibanda (33) warga negara Zimbabwe.Beberapa hari sebelumnya 20 Januari 2001, seorang warga negaraNepal Indra Bahadur Tamang (21), juga mencoba menyelundupkan 900 gramheroin dengan cara menelannya.
Seorang warga Nigeria, SamuelIwuchukwu Okeye pada 9 Januari 2001, mencoba pula menyelundupkan 3,8kilogram heroin yang disembunyikannya di dalam tas.Kelima penyelundup heroin itu, kini mendekam di tahanan Markas Besar Polri.
Analisa profil
Pemeriksaan isi perut dengan sinar-x (rontgen) itu, merupakanprosedur standar yang dilakukan petugas KPBC Soekarno-Hatta I. Sebelum seseorang diperiksa, sebelumnya dilakukan analisa profil terhadap para penumpang pesawat yang baru tiba di bandara.Jika petugas KPBC mencurigai seseorang, pemeriksaan segera dilakukan.Tidak hanya barang bawaan yang diperiksa, tetapi juga isi perutnya.
Dengan analisa profil, selama ini banyak kasus penyelundupan bisa digagalkan. Melalui cara ini, petugas KPBC mengamati para penumpangyang baru turun dari pesawat."Biasanya orang yang membawa barangterlarang, apalagi ke negara lain, akan bertingkah laku kurang wajar.Kadang dia terlihat tegang. Kalau melihat orang seperti itu, petugasKPBC segera memeriksanya," ujar pejabat KPBC I.
Selain analisa profil, pengamatan terhadap penumpang pesawat yangbaru tiba di bandara, antara lain dilakukan pula dengan alat pemantaumonitor dan sinar-x. Jika ditemukan benda mencurigakan, isi tas dantubuh penumpang pun diperiksa.
Upaya penyelundupan narkotika dan psikotropika dengan berbagaicara menyebabkan petugas KPBC I yang berjumlah 307 orang pun kini semakin waspada . Untuk mengelabui petugas, penyelundup tidak segan-segan mencobanya dengan cara yang membahayakan diri sendiri, sepertidengan cara menelannya itu. Cara itu berisiko kehilangan nyawa jikakapsul yang berisi heroin pecah di dalam perut.
Pemasaran berjenjang
Jika lolos masuk Jakarta, komoditas narkoba beredar secara berjenjang, untuk mencegah dan menghindari kejaran polisi. Jaringanpemilik narkoba, biasanya mempercayakan beberapa bandar atauBD-biasanya empat atau lima bandar-yang memiliki kerja dan wilayahoperasi berlainan.
Bandar pertama, hanya mengatur masuknya "pasokan" dari luar negeri, untuk kemudian mendistribusikan ke hotel-hotel besar atau apartemen mewah di sekitar Jakarta.Sesuai perannya, biasanya bandarpertama dilakukan orang-orang keturunan Tionghoa.Kabarnya di Jakarta hanya ada 4 bandar pertama, semuanya praktis untouchable, karena dilindungi tukang pukul, pengacara atau bahkanoknum aparat keamanan.
Pada tingkat ini pula biasanya diatur pasokanuntuk daerah di luar Jakarta, tergantung kesepakatan antara BD1 yangtersebar di Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta atau Bali.
Selanjutnya, pasokan akan disebar lagi oleh bandar BD2, yang jugaberoperasi dari hotel ke hotel berbintang tiga atau kawasan perumahan. Sama seperti kurir yang membawa narkoba dari luar negeri,para BD2 ini kebanyakan berasal dari negara-negara Afrika. Sedangkan penerimanya adalah BD3 yang beredar di beberapa hotel di kawasanKota, Tanah Abang atau Jalan Jaksa, Menteng.
Polisi biasanya cuma mampu menjerat pengedar pada tingkat BD2 ini saat bertransaksi denganpara BD3.Barang-barang dari BD2 biasanya disebar lagi oleh para BD3, yang umumnya warga Indonesia.
Mereka menyebarkan narkoba lewat pesanan telepon, atau kepada pengecer atau BD4 yang umumnya telah mereka kenal. BD4 inilah yang bersinggungan secara langsung dengan konsumen,atau pengecer kelas teri untuk kawasan perkampungan.Ekspor dan imporUpaya penyelundupan narkotika dan psikotropika melalui BandaraSoekarno-Hatta belakangan ini tidak hanya terjadi untuk yang impor.
Tetapi juga ekspor atau persisnya penyelundupan ke luar negeri.Penyelundupan keluar dilakukan pertama kali pada 26 September1999 oleh seorang warga Singapura, Kow Mui Hat alias Gao Meita (34).Sebanyak 5.852 butir ecstasy produksi dalam negeri ketika itu hendakdiselundupkan ke Taiwan.
Ekspor ecstasy menandai mulai pintarnyajaringan pengedar di Indonesia, yang mampu memproduksinya sendiri.Salah satu ekspor ecstasy ke Taiwan lainnya terjadi pada 24 Juli2000. Sebanyak 4.721 butir ecstasy buatan Indonesia, ketika ituhendak diselundupkan oleh Ceng Ching Lung (30), warga negara Taiwan.
Ceng kini mendekam di penjara, setelah dijatuhi hukuman penjara empattahun di Pengadilan Negeri Tangerang, Desember lalu.Upaya menyelundupkan heroin dan kokain ke luar negeri, pernah dilakukan pula oleh tiga bersaudara warga negara Indonesia yaituMeirika Pranola (30), Rani Andriani (25) dan Deni Setia Maharwan(28).
Ketiganya telah dijatuhi vonis hukuman mati, juga olehPengadilan Negeri Tangerang Agustus 2000, karena terbukti menyelundupkan 3,5 kilogram heroin dan tiga kilogram kokain, dengantujuan London.Pada tahun 2000, empat warga negara Nepal, Nar Bahadur Tamang(59), Bala Tamang (30), Til Bahadur Badhari (32), Bahadur Gurung(24), dan seorang warga negara Angola, Thomas Daniel (40), jugadivonis hukuman mati karena menyelundupkan heroin ke Indonesia.
Keuntungan berlimpah yang diperoleh dari penyelundupan, terus mendorong penyelundup lain mencoba melakukannya. Terlebih lagi, jika barang yang diselundupkan adalah miliknya sendiri, keuntungannya berlipat ganda.Para penyelundup yang berhasil dibekuk petugas KPBC Soekarno-Hatta I umumnya mengaku hanya sebagai kurir dengan dijanjikanmendapat sejumlah imbalan. Salah seorang penyelundup heroin yangdibekuk Januari 2001, Hansen Anthony Nwaolisa, mengaku mendapatkan upah 2.000 dollar AS dari orang yang menyuruhnya. (Agus Mulyadi)
Kematian Alda, Fenomena Gunung Es Narkoba
KOMPAS - Minggu, 17 Dec 2006 Halaman: 4 Penulis: amr; mul Ukuran: 3961 Foto: 1
Kriminalitas
KEMATIAN ALDA, FENOMENA GUNUNG ES NARKOBA
Diskotek masih dihinggapi stigma negatif: kelas sosial rawanpsikotropika, narkotika, dan obat-obatan berbahaya. Di situ berkumpulgenerasi penerus bangsa, segmen pasar paling potensial untukdijadikan klien para pengedar ekstasi, sabu, dan sebagainya.Liputan media begitu hebat melaknat barang haram itu, terutamapascakematian artis Alda Risma Elfariana (24) yang meninggal diduga akibat overdosis narkoba, Selasa (12/12).
Kehidupan malam yang bebasmelawan nilai-nilai konvensional turut dihujat.Dampaknya, masyarakat malam diperkirakan berkurang anggotanyakarena shock dan tersadar betapa kehidupan bebas, narkoba, dankematian amatlah tipis batasnya. Setidaknya mereka akan cooling down.
Namun, di diskotek-diskotek di Jakarta, misalnya dua diskotek diJalan Gajah Mada dan Jalan Hayam Wuruk, JakartaBarat, dugaan itumeleset. Di dua tempat itu pada Sabtu (16/12) dini hari kehidupanjustru baru dimulai, melepas penat kota dengan iringan musik yangbisa bikin ekstase. Didominasi muda-mudi, suasana malam terasa makin"panas".
Mereka yang memuja keindahan tubuh, merayakan hidup hampir tiapmalam dengan cara yang tak pernah sempat dipikirkan para guru mereka.Mata memejam, bibir terkatup, kepala bergoyang-goyang, kadang-kadang seolah berputar.Karena ini bukan bursa saham, fluktuasi komunitas ini takterpengaruh oleh berita terkini kematian Alda.
Uniknya, ekonomi sekitar justru berputar cepat.Toko swalayan dan pedagang kaki lima tak pernah tidur melayani pelanggan. Tak bisa dimungkiri, tempat seperti ini penting menjadi salah satu seltransaksi ilegal.
Misalnya, Jumat (15/12) malam, aparat Direktorat Narkoba PoldaMetro Jaya menemukan 4.000 butir ekstasi di Jakarta Barat. Dan diJakarta Pusat ditemukan 1.000 butir ekstasi.Kasus ini menambah daftar barang bukti yang disita selama 2006(hingga Oktober) sebanyak 180.498 butir ekstasi; 1,12 juta gram sabu;597.641 butir obat daftar "G"; dan ganja mencapai angka mengesankan,9,9 juta gram (Data Badan Narkotika Nasional atau BNN).
Remaja memang mendominasi penggunaan narkoba. Remaja itu adalahpelajar SD (malah bisa disebut anak-anak) hingga SLTA. Tahun 2006(hingga Oktober), pengguna SLTA mencapai 14.971 orang, SLTP 4.736orang, dan SD 2.260 orang. Dari mahasiswa, 536 orang.
Kasus Alda
Kasus Alda adalah fenomena gunung es. Alda, satu dari 5.743 orangusia 20-24 tahun yang terlibat narkoba. Atau hanya satu dari 22.503pengguna narkoba tahun 2006."Jumlah ini bisa bertambah karena dataini baru sampai Oktober," ungkap Pranowo Dahlan, Sekretaris PelaksanaHarian BNN.
Tragisnya, Alda masuk jajaran satu dari 40 orang yang meninggaltiap hari karena narkoba. Hari itu, kata Pranowo, selain Alda, masih ada 39 orang meninggal. Ironisnya, kondisi ini nyaris dianggap "lumrah".
Kematian Alda yang menyentak publik menjadi peringatan aktualuntuk mengingatkan bahaya narkoba. Pesan yang ditangkap bukan sekadarjangan sekali-kali check-in di hotel dengan pengedar walaupun diabaik.
Lebih dari itu, jangan sekali-kali mendekati narkoba!Sayangnya, momentum ini tak bisa digunakan baik oleh polisi untukmenggeber kasus narkoba. Polisi belum bisa memainkan public relationyang baik.
Derap informasi tak mampu mengantar polisi profesionaldalam menyampaikan berita kepublik. Hasilnya justru kontraproduktif,selain publik tak mendapatkan haknya, bisa jadi ada yang jadi korbankarena berbagai spekulasi berita.
Media menempatkan mereka bak artis, diuber untuk jadi narasumber.Namun, berita masih berkembang penuh rumor, padahal bisa dicegah jikapolisi mengerti informasi itu bisa menjadi edukasi efektif. KematianAlda, dan 39 orang lainnya per hari itu, harus bisa memberi edukasi kepada kita. (AMIR SODIKIN/AGUS MULYADI)Foto: 1STUDIO MALIBU 62Alda
Kriminalitas
KEMATIAN ALDA, FENOMENA GUNUNG ES NARKOBA
Diskotek masih dihinggapi stigma negatif: kelas sosial rawanpsikotropika, narkotika, dan obat-obatan berbahaya. Di situ berkumpulgenerasi penerus bangsa, segmen pasar paling potensial untukdijadikan klien para pengedar ekstasi, sabu, dan sebagainya.Liputan media begitu hebat melaknat barang haram itu, terutamapascakematian artis Alda Risma Elfariana (24) yang meninggal diduga akibat overdosis narkoba, Selasa (12/12).
Kehidupan malam yang bebasmelawan nilai-nilai konvensional turut dihujat.Dampaknya, masyarakat malam diperkirakan berkurang anggotanyakarena shock dan tersadar betapa kehidupan bebas, narkoba, dankematian amatlah tipis batasnya. Setidaknya mereka akan cooling down.
Namun, di diskotek-diskotek di Jakarta, misalnya dua diskotek diJalan Gajah Mada dan Jalan Hayam Wuruk, JakartaBarat, dugaan itumeleset. Di dua tempat itu pada Sabtu (16/12) dini hari kehidupanjustru baru dimulai, melepas penat kota dengan iringan musik yangbisa bikin ekstase. Didominasi muda-mudi, suasana malam terasa makin"panas".
Mereka yang memuja keindahan tubuh, merayakan hidup hampir tiapmalam dengan cara yang tak pernah sempat dipikirkan para guru mereka.Mata memejam, bibir terkatup, kepala bergoyang-goyang, kadang-kadang seolah berputar.Karena ini bukan bursa saham, fluktuasi komunitas ini takterpengaruh oleh berita terkini kematian Alda.
Uniknya, ekonomi sekitar justru berputar cepat.Toko swalayan dan pedagang kaki lima tak pernah tidur melayani pelanggan. Tak bisa dimungkiri, tempat seperti ini penting menjadi salah satu seltransaksi ilegal.
Misalnya, Jumat (15/12) malam, aparat Direktorat Narkoba PoldaMetro Jaya menemukan 4.000 butir ekstasi di Jakarta Barat. Dan diJakarta Pusat ditemukan 1.000 butir ekstasi.Kasus ini menambah daftar barang bukti yang disita selama 2006(hingga Oktober) sebanyak 180.498 butir ekstasi; 1,12 juta gram sabu;597.641 butir obat daftar "G"; dan ganja mencapai angka mengesankan,9,9 juta gram (Data Badan Narkotika Nasional atau BNN).
Remaja memang mendominasi penggunaan narkoba. Remaja itu adalahpelajar SD (malah bisa disebut anak-anak) hingga SLTA. Tahun 2006(hingga Oktober), pengguna SLTA mencapai 14.971 orang, SLTP 4.736orang, dan SD 2.260 orang. Dari mahasiswa, 536 orang.
Kasus Alda
Kasus Alda adalah fenomena gunung es. Alda, satu dari 5.743 orangusia 20-24 tahun yang terlibat narkoba. Atau hanya satu dari 22.503pengguna narkoba tahun 2006."Jumlah ini bisa bertambah karena dataini baru sampai Oktober," ungkap Pranowo Dahlan, Sekretaris PelaksanaHarian BNN.
Tragisnya, Alda masuk jajaran satu dari 40 orang yang meninggaltiap hari karena narkoba. Hari itu, kata Pranowo, selain Alda, masih ada 39 orang meninggal. Ironisnya, kondisi ini nyaris dianggap "lumrah".
Kematian Alda yang menyentak publik menjadi peringatan aktualuntuk mengingatkan bahaya narkoba. Pesan yang ditangkap bukan sekadarjangan sekali-kali check-in di hotel dengan pengedar walaupun diabaik.
Lebih dari itu, jangan sekali-kali mendekati narkoba!Sayangnya, momentum ini tak bisa digunakan baik oleh polisi untukmenggeber kasus narkoba. Polisi belum bisa memainkan public relationyang baik.
Derap informasi tak mampu mengantar polisi profesionaldalam menyampaikan berita kepublik. Hasilnya justru kontraproduktif,selain publik tak mendapatkan haknya, bisa jadi ada yang jadi korbankarena berbagai spekulasi berita.
Media menempatkan mereka bak artis, diuber untuk jadi narasumber.Namun, berita masih berkembang penuh rumor, padahal bisa dicegah jikapolisi mengerti informasi itu bisa menjadi edukasi efektif. KematianAlda, dan 39 orang lainnya per hari itu, harus bisa memberi edukasi kepada kita. (AMIR SODIKIN/AGUS MULYADI)Foto: 1STUDIO MALIBU 62Alda
Dikonsumsi di Kota Hingga Tepi Hutan
KOMPAS - Rabu, 04 Jun 2003 Halaman: 31 Penulis: b04; mul Ukuran: 9633 Foto: 1
DIKONSUMSI DI KOTA HINGGA TEPI HUTAN
KEPALA pria dan wanita di ruang salah satu diskotek di KotaPalembang, Sumatera Selatan (Sumsel), bergoyang-goyang ke kiri dan kekanan. Gerakan mereka tidak beraturan, tetapi seperti mengikuti ingar-bingar musik yang menggelegar di ruangan itu.
Suara musik yang terasa mengentak jantung dan memekakkan gendangtelinga tersebut seolah menyatu dengan mereka. Mata para pejoget,baik yang duduk maupun berdiri di lantai diskotek, sebagian besarterlihat terpejam.
"Mereka semua lagi on karena pengaruh ecstasy. Biasa lah, tiapmalam Minggu, ya, seperti itu," ujar salah seorang pengunjung yangbaru memasuki arena diskotek tersebut.
Diskotek yang terletak di lantai lima Hotel King di Jalan KolonelAtmo, Palembang, itu dipadati pengunjung. Semua bangku pada Sabtumalam itu penuh terisi. Di setiap bangku, umumnya, terdapat pasanganpria dan wanita.
Di dalam ruang diskotek yang memasang tarif masuk Rp 25.000 perorang tersebut terdapat pula satu ruangan khusus persis di depantoilet pria. Di dalam ruangan yang bagian depannya berdinding kacatersebut terdapat sejumlah wanita yang bisa menjadi pendampingpengunjung pria. Tarif mereka Rp 40.000 untuk tiap jamnya.
Mata terpejam, kepala bergoyang-goyang, dan dentuman musik bisadilihat dan dirasakan pula di diskotek lain di Hotel LembangPalembang.Diskotek yang memasang tarif masuk Rp 15.000 per orang tersebutlebih luas. Pengunjungnya pun lebih beragam karena banyak pula diantara mereka berasal dari kalangan anak baru gede (ABG).
Pengunjung dari kalangan ABG bisa dilihat pula di Diskotek PuriIndah di Jalan Tasik, Palembang, yang memasang tarif masuk Rp 10.000per orang. Kelakuan pengunjung di diskotek ini pun sama seperti duadiskotek lain, yakni bergoyang dan berjoget di bawah pengaruh ecstasy.
Keriuhan pengunjung ABG yang paling mencolok terdapat di diskotekHotel Princess dan Mega Bintang di kompleks Hotel Darma Agung,Palembang. Bahkan di Mega Bintang, ruangan diskotek selalu penuhsesak pengunjung.Diskotek yang memasang tarif murah meriah, Rp 5.000, pada Minggusore terlihat dipenuhi pengunjung ABG pria dan wanita.Semuanya terlihat bergoyang dalam iringan dentuman irama housemusic yang memekakkan telinga.
Mereka seperti tidak peduli denganyang lain kecuali bergoyang sesuka hati mengikuti irama musiktersebut.House music dan ecstasy seperti menjadi bagian dari kehidupanremaja Palembang!
NUN jauh di lokasi lain yang letaknya hampir 400 kilometersebelah barat Palembang, dentuman ingar-bingar irama house musicterdengar jelas pula dari dalam gedung di tepi hutan itu. Irama musikyang mengentak jantung dan serasa memecahkan gendang telinga itu punmengiringi pria dan wanita yang berada di dalam ruangan asal suarauntuk berjoget.
Lokasi gedung tempat kegaduhan irama musik tersebut terletakdi Kampung Patok Besi. Kampung yang terletak di tepi hutan yangdilintasi Jalan Lintas Tengah Sumatera tersebut merupakan lokalisasipelacuran yang termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Sumber Agung, KotaLubuk Linggau.
"Tiap malam, terutama malam Minggu, tempat ini selalu ramaipengunjung. Mereka umumnya pengunjung yang memang suka main ke tempatpelacuran ini," ujar seorang sopir angkutan kota yang mengantarKompas ke lokalisasi itu.
Pengunjung diskotek di lokalisasi tepi hutan itu pun sama sepertitempat lain, menikmati entakkan musik di bawah pengaruh ecstasy atauyang biasa disebut kalangan pemakainya dengan nama inex.
"Di Lubuk Linggau sini gampang mas nyari ecstasy. Barang itutidak hanya mudah didapat di kota besar saja," katanya.
Jauh di selatan sana melewati batas Provinsi Sumsel, yakni diProvinsi Lampung, ecstasy juga bebas beredar di kalangan pengunjungdiskotek yang ada di kawasan Jalan Yos Sudarso.
Rentang jarak sekitar900 kilometer antara Lubuk Linggau dan Bandar Lampung tak mampumembuat perbedaan di kalangan pengunjung tempat hiburan tersebut.Meskipun dipisahkan jarak teramat jauh, sebagian pengunjungdiskotek di Lubuk Linggau dan Bandar Lampung sama-sama mencarihiburan di bawah pengaruh ecstasy.
Di Diskotek Meteor Garden di JalanYos Sudarso, Bandar Lampung, dengan mudah seorang pengunjung dapatmencari "pil gembira" tersebut.Pengunjung bisa memesan ecstacy melalui perantara pramuria ataupengunjung wanita yang bisa diajak untuk menemani minum. "Kalau mau nginex, saya kenalkan dengan teman saya," kata Lindy, seorangpramuria.
Sebentar kemudian, Lindy pergi dan kembali mengajak seoranglaki-laki muda yang mengaku bernama Anto."Mau berapa butir? Kalau micky mouse harganya Rp 70.000 perbutir," kata Anto menawarkan salah satu jenis ecstasy.
Anto jugamenyebut beberapa jenis lain dengan harga yang berbeda-beda."Mana uangnya, nanti saya ambilkan. Tunggu saja di sini, sayajamin barang saya bagus," demikian Anto merayu pengunjung yangberminat membeli ecstasy.
Butiran-butiran pil dengan bermacam-macam nama dan jenis sertaefek berbeda-beda bagi pemakainya tersebut bebas beredar di mana-mana. Ecstasy seperti telah menjadi bagian hidup sebagian warga,bahkan sampai ke pelosok Sumatera Selatan.
Butiran-butiran dengananeka warna yang kerap disebut pula pil setan itu sepertinya bebasdiedarkan dan dikonsumsi para pemakainya tanpa ada proteksi dariaparat kepolisian.
ECSTASY memang tidak lagi menjadi barang mewah dibandingkansekitar lima tahun lalu. Namun, bagi orang kebanyakan hargapsikotropika itu tetap di luar jangkauan.Saat ini, baik di Lubuk Linggau, Bandar Lampung, maupunPalembang, ecstasy dengan berbagai nama ditawarkan para pengedarnyadengan harga Rp 70.000-Rp 80.000 per butir.
Pil yang memberi efek gembira dan tidak mau diam bagi penggunanyatersebut dengan mudah dapat diperoleh di diskotek-diskotek yangterdapat di tiga kota itu. Bahkan bagi pendatang baru yang belummengenal isi perut diskotek tersebut, ecstasy bisa dengan mudahdidapatkan.
Para pramuria atau pengunjung wanita yang biasa mangkal didiskotek menjadi salah satu petunjuk atau pemberi jalan bagaimanamendapatkan ecstasy. Malahan mereka kadang merengek kepada pengunjunglaki-laki yang ditemaninya agar dibelikan ecstasy."Beli inex, dong, bang, sebutir saja. Aku bisa kok mendapatkannyadi sini," kata salah seorang pengunjung wanita di Diskotek Lembang.
Pengunjung wanita, sebut saja namanya Lili, itu menyatakan hargasebutir inex bermerek butterfly Rp 80.000. Maka ketika uang sejumlahitu diberikan kepadanya, Lili pun beranjak dari tempat duduk danmenuju ke arah pintu masuk diskotek.Tidak sampai lima menit kemudian dia telah kembali. Di antara ibujari dan telunjuk tangannya terjepit sebutir pil.
"Ini butterflybang," katanya.Dia pun lantas menenggak inex tersebut dengan air mineral. Dalamhitungan sekitar 20 menit kemudian, Lili telah bergoyang, berjoget.Kadang dia duduk, namun tetap menggeleng-gelengkan kepalanya ke kiridan kanan.
Bebas dan begitu terbukanya peredaran ecstasy juga dengan mudahditemukan pula di Diskotek Mega Bintang. Sejak berada di pelataranparkir, barang haram itu sudah ditawarkan. Seorang pemuda yangrupanya biasa mangkal di lokasi itu tanpa rasa sungkan dan takutmenawarkan ecstasy kepada pengunjung yang baru turun dari mobil."Kalau mau inex ada bang, harganya Rp 70.000," ujarnya.
ABG dengan wajah pucat, mata kuyu, dan mulut terkatup atau tengahmengunyah permen karet keluar dari pintu yang terletak di lantaidasar Hotel Princess, yang menutup pentas diskotek pada pukul 17.30.Penampilan seperti itu tak bisa menyembunyikan pengaruh ecstasyyang masih bercokol dalam tubuh para remaja pria dan wanita tersebut.
Maraknya peredaran psikotropika jenis ecstasy di Palembang bahkanhingga Lubuk Linggau seperti menunjukkan tidak adanya upayapemberantasan oleh aparat kepolisian. Pada Sabtu malam, misalnya,polisi tidak melakukan razia ke diskotek-diskotek itu.Padahal, peredaran ecstasy sudah begitu mengkhawatirkan.
Dalamrazia mobil di Jalan Kapten A Rivai pada hari Sabtu (31/5) malam,misalnya, polisi membekuk pemilik ecstasy yang mobilnya terjaring.Pemberantasan narkotika, obat-obatan berbahaya, dan psikotropikaapakah hanya dilakukan secara kebetulan dalam razia seperti itu?
Menanggapi maraknya peredaran ecstacy di masyarakat, SosiologInstitut Agama Islam Negeri Raden Fatah Palembang, Wijaya,mengatakan, hal itu terjadi karena masih lemahnya penegakan hukum,khususnya, dalam kasus-kasus narkoba.
"Meskipun sulit dibuktikan, faktanya ada sebagian penegak hukumjustru terlibat dalam mata rantai peredaran narkoba," kata Wijaya.
Selain itu, tingkat partisipasi masyarakat dalam pemberantasannarkoba masih rendah. "Ditambah, kesadaran masyarakat akan bahayanarkoba termasuk ecstasy juga masih sangat rendah," tambah Wijaya."Tidak ada gerakan nyata yang dilakukan untuk memberantasnya,"katanya.(B04/AGUS MULYADI)
Foto:prasetyo eko p
KELUAR DISKOTEK - Beberapa pengunjung salah satu diskotek diPalembang keluar dari tempat hiburan itu pada Selasa (3/6) dini hari.Sebelumnya mereka bersama ratusan pengunjung lainnya di tempat itutenggelam dalam irama house music. Saat menikmati musik riang itulah,hampir semua pengunjung diduga menenggak ecstasy.
DIKONSUMSI DI KOTA HINGGA TEPI HUTAN
KEPALA pria dan wanita di ruang salah satu diskotek di KotaPalembang, Sumatera Selatan (Sumsel), bergoyang-goyang ke kiri dan kekanan. Gerakan mereka tidak beraturan, tetapi seperti mengikuti ingar-bingar musik yang menggelegar di ruangan itu.
Suara musik yang terasa mengentak jantung dan memekakkan gendangtelinga tersebut seolah menyatu dengan mereka. Mata para pejoget,baik yang duduk maupun berdiri di lantai diskotek, sebagian besarterlihat terpejam.
"Mereka semua lagi on karena pengaruh ecstasy. Biasa lah, tiapmalam Minggu, ya, seperti itu," ujar salah seorang pengunjung yangbaru memasuki arena diskotek tersebut.
Diskotek yang terletak di lantai lima Hotel King di Jalan KolonelAtmo, Palembang, itu dipadati pengunjung. Semua bangku pada Sabtumalam itu penuh terisi. Di setiap bangku, umumnya, terdapat pasanganpria dan wanita.
Di dalam ruang diskotek yang memasang tarif masuk Rp 25.000 perorang tersebut terdapat pula satu ruangan khusus persis di depantoilet pria. Di dalam ruangan yang bagian depannya berdinding kacatersebut terdapat sejumlah wanita yang bisa menjadi pendampingpengunjung pria. Tarif mereka Rp 40.000 untuk tiap jamnya.
Mata terpejam, kepala bergoyang-goyang, dan dentuman musik bisadilihat dan dirasakan pula di diskotek lain di Hotel LembangPalembang.Diskotek yang memasang tarif masuk Rp 15.000 per orang tersebutlebih luas. Pengunjungnya pun lebih beragam karena banyak pula diantara mereka berasal dari kalangan anak baru gede (ABG).
Pengunjung dari kalangan ABG bisa dilihat pula di Diskotek PuriIndah di Jalan Tasik, Palembang, yang memasang tarif masuk Rp 10.000per orang. Kelakuan pengunjung di diskotek ini pun sama seperti duadiskotek lain, yakni bergoyang dan berjoget di bawah pengaruh ecstasy.
Keriuhan pengunjung ABG yang paling mencolok terdapat di diskotekHotel Princess dan Mega Bintang di kompleks Hotel Darma Agung,Palembang. Bahkan di Mega Bintang, ruangan diskotek selalu penuhsesak pengunjung.Diskotek yang memasang tarif murah meriah, Rp 5.000, pada Minggusore terlihat dipenuhi pengunjung ABG pria dan wanita.Semuanya terlihat bergoyang dalam iringan dentuman irama housemusic yang memekakkan telinga.
Mereka seperti tidak peduli denganyang lain kecuali bergoyang sesuka hati mengikuti irama musiktersebut.House music dan ecstasy seperti menjadi bagian dari kehidupanremaja Palembang!
NUN jauh di lokasi lain yang letaknya hampir 400 kilometersebelah barat Palembang, dentuman ingar-bingar irama house musicterdengar jelas pula dari dalam gedung di tepi hutan itu. Irama musikyang mengentak jantung dan serasa memecahkan gendang telinga itu punmengiringi pria dan wanita yang berada di dalam ruangan asal suarauntuk berjoget.
Lokasi gedung tempat kegaduhan irama musik tersebut terletakdi Kampung Patok Besi. Kampung yang terletak di tepi hutan yangdilintasi Jalan Lintas Tengah Sumatera tersebut merupakan lokalisasipelacuran yang termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Sumber Agung, KotaLubuk Linggau.
"Tiap malam, terutama malam Minggu, tempat ini selalu ramaipengunjung. Mereka umumnya pengunjung yang memang suka main ke tempatpelacuran ini," ujar seorang sopir angkutan kota yang mengantarKompas ke lokalisasi itu.
Pengunjung diskotek di lokalisasi tepi hutan itu pun sama sepertitempat lain, menikmati entakkan musik di bawah pengaruh ecstasy atauyang biasa disebut kalangan pemakainya dengan nama inex.
"Di Lubuk Linggau sini gampang mas nyari ecstasy. Barang itutidak hanya mudah didapat di kota besar saja," katanya.
Jauh di selatan sana melewati batas Provinsi Sumsel, yakni diProvinsi Lampung, ecstasy juga bebas beredar di kalangan pengunjungdiskotek yang ada di kawasan Jalan Yos Sudarso.
Rentang jarak sekitar900 kilometer antara Lubuk Linggau dan Bandar Lampung tak mampumembuat perbedaan di kalangan pengunjung tempat hiburan tersebut.Meskipun dipisahkan jarak teramat jauh, sebagian pengunjungdiskotek di Lubuk Linggau dan Bandar Lampung sama-sama mencarihiburan di bawah pengaruh ecstasy.
Di Diskotek Meteor Garden di JalanYos Sudarso, Bandar Lampung, dengan mudah seorang pengunjung dapatmencari "pil gembira" tersebut.Pengunjung bisa memesan ecstacy melalui perantara pramuria ataupengunjung wanita yang bisa diajak untuk menemani minum. "Kalau mau nginex, saya kenalkan dengan teman saya," kata Lindy, seorangpramuria.
Sebentar kemudian, Lindy pergi dan kembali mengajak seoranglaki-laki muda yang mengaku bernama Anto."Mau berapa butir? Kalau micky mouse harganya Rp 70.000 perbutir," kata Anto menawarkan salah satu jenis ecstasy.
Anto jugamenyebut beberapa jenis lain dengan harga yang berbeda-beda."Mana uangnya, nanti saya ambilkan. Tunggu saja di sini, sayajamin barang saya bagus," demikian Anto merayu pengunjung yangberminat membeli ecstasy.
Butiran-butiran pil dengan bermacam-macam nama dan jenis sertaefek berbeda-beda bagi pemakainya tersebut bebas beredar di mana-mana. Ecstasy seperti telah menjadi bagian hidup sebagian warga,bahkan sampai ke pelosok Sumatera Selatan.
Butiran-butiran dengananeka warna yang kerap disebut pula pil setan itu sepertinya bebasdiedarkan dan dikonsumsi para pemakainya tanpa ada proteksi dariaparat kepolisian.
ECSTASY memang tidak lagi menjadi barang mewah dibandingkansekitar lima tahun lalu. Namun, bagi orang kebanyakan hargapsikotropika itu tetap di luar jangkauan.Saat ini, baik di Lubuk Linggau, Bandar Lampung, maupunPalembang, ecstasy dengan berbagai nama ditawarkan para pengedarnyadengan harga Rp 70.000-Rp 80.000 per butir.
Pil yang memberi efek gembira dan tidak mau diam bagi penggunanyatersebut dengan mudah dapat diperoleh di diskotek-diskotek yangterdapat di tiga kota itu. Bahkan bagi pendatang baru yang belummengenal isi perut diskotek tersebut, ecstasy bisa dengan mudahdidapatkan.
Para pramuria atau pengunjung wanita yang biasa mangkal didiskotek menjadi salah satu petunjuk atau pemberi jalan bagaimanamendapatkan ecstasy. Malahan mereka kadang merengek kepada pengunjunglaki-laki yang ditemaninya agar dibelikan ecstasy."Beli inex, dong, bang, sebutir saja. Aku bisa kok mendapatkannyadi sini," kata salah seorang pengunjung wanita di Diskotek Lembang.
Pengunjung wanita, sebut saja namanya Lili, itu menyatakan hargasebutir inex bermerek butterfly Rp 80.000. Maka ketika uang sejumlahitu diberikan kepadanya, Lili pun beranjak dari tempat duduk danmenuju ke arah pintu masuk diskotek.Tidak sampai lima menit kemudian dia telah kembali. Di antara ibujari dan telunjuk tangannya terjepit sebutir pil.
"Ini butterflybang," katanya.Dia pun lantas menenggak inex tersebut dengan air mineral. Dalamhitungan sekitar 20 menit kemudian, Lili telah bergoyang, berjoget.Kadang dia duduk, namun tetap menggeleng-gelengkan kepalanya ke kiridan kanan.
Bebas dan begitu terbukanya peredaran ecstasy juga dengan mudahditemukan pula di Diskotek Mega Bintang. Sejak berada di pelataranparkir, barang haram itu sudah ditawarkan. Seorang pemuda yangrupanya biasa mangkal di lokasi itu tanpa rasa sungkan dan takutmenawarkan ecstasy kepada pengunjung yang baru turun dari mobil."Kalau mau inex ada bang, harganya Rp 70.000," ujarnya.
ABG dengan wajah pucat, mata kuyu, dan mulut terkatup atau tengahmengunyah permen karet keluar dari pintu yang terletak di lantaidasar Hotel Princess, yang menutup pentas diskotek pada pukul 17.30.Penampilan seperti itu tak bisa menyembunyikan pengaruh ecstasyyang masih bercokol dalam tubuh para remaja pria dan wanita tersebut.
Maraknya peredaran psikotropika jenis ecstasy di Palembang bahkanhingga Lubuk Linggau seperti menunjukkan tidak adanya upayapemberantasan oleh aparat kepolisian. Pada Sabtu malam, misalnya,polisi tidak melakukan razia ke diskotek-diskotek itu.Padahal, peredaran ecstasy sudah begitu mengkhawatirkan.
Dalamrazia mobil di Jalan Kapten A Rivai pada hari Sabtu (31/5) malam,misalnya, polisi membekuk pemilik ecstasy yang mobilnya terjaring.Pemberantasan narkotika, obat-obatan berbahaya, dan psikotropikaapakah hanya dilakukan secara kebetulan dalam razia seperti itu?
Menanggapi maraknya peredaran ecstacy di masyarakat, SosiologInstitut Agama Islam Negeri Raden Fatah Palembang, Wijaya,mengatakan, hal itu terjadi karena masih lemahnya penegakan hukum,khususnya, dalam kasus-kasus narkoba.
"Meskipun sulit dibuktikan, faktanya ada sebagian penegak hukumjustru terlibat dalam mata rantai peredaran narkoba," kata Wijaya.
Selain itu, tingkat partisipasi masyarakat dalam pemberantasannarkoba masih rendah. "Ditambah, kesadaran masyarakat akan bahayanarkoba termasuk ecstasy juga masih sangat rendah," tambah Wijaya."Tidak ada gerakan nyata yang dilakukan untuk memberantasnya,"katanya.(B04/AGUS MULYADI)
Foto:prasetyo eko p
KELUAR DISKOTEK - Beberapa pengunjung salah satu diskotek diPalembang keluar dari tempat hiburan itu pada Selasa (3/6) dini hari.Sebelumnya mereka bersama ratusan pengunjung lainnya di tempat itutenggelam dalam irama house music. Saat menikmati musik riang itulah,hampir semua pengunjung diduga menenggak ecstasy.
Label:
dugem,
ekstasi,
lubuk linggau,
palembang
Langganan:
Postingan (Atom)