Kamis, 15 November 2007

Kota Tenjo Dijarah, Gagal Gemerlap

KOMPAS - Senin, 28 Jun 1999 Halaman: 21 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 9008

KOTA TENJO DIJARAH, GAGAL GEMERLAP

DUA perempuan setengah baya jalan beriringan di jalan setapak di
Desa Cikasungka, Kecamatan Cisoka, Kabupaten Tangerang, akhir April
1999 lalu. Masing-masing membawa beban berat di atas kepala: kusen
pintu. Tak tampak rasa khawatir di wajah keduanya, meski tahu kusen
yang dijunjung itu mereka copot tanpa izin dari kawasan perumahan Kota
Tenjo.

KOTA Tenjo mulai dibangun sejak 1998. Pengembangnya, PT Prasetya
Mulya. Krisis ekonomi yang melanda negeri ini langsung dirasakan PT
Prasetya Mulya. Apalagi setelah Bank BHS yang mendanai pembangunan
perumahan itu dilikuidasi, PT Prasetya Mulya langsung bangkrut.

Setahun setelah krisis moneter, PT Prasetya Mulya hengkang dari
lokasi, meski sudah cukup banyak rumah yang telah selesai dibangun.
Hanya empat Satpam ditinggalkan menjaga lokasi. Agaknya, minimnya
penjaga itulah yang mendorong orang-orang tak dikenal datang menjarah.
Mereka mengambil apa saja yang bisa dijadikan uang atau dipakai
sendiri. Semisal genteng, kusen, kaca jendela, daun pintu dan jendela
serta marmer.

Penjarahan tidak hanya malam hari, juga siang hari. Hingga
sekarang penjarahan belum berakhir, seperti yang dilakukan dua
perempuan setengah baya itu.

"Biasanya penjarahan dilakukan malam hari. Bila siang hari,
kadang-kadang kami masih bisa menghalau mereka," kata Kemasnayni,
satpam perumahan Kota Tenjo. Menurut dia, penjarahan bisa leluasa
karena kurangnya tenaga satpam. Sejak pengembangnya bangkrut jumlah
satpam dikurangi dari sebelumnya 27 orang menjadi empat orang.
Sekitar 50 meter dari lokasi perumahan Kota Tenjo terdapat pos
polisi.

Penjarahan serupa tidak hanya terjadi di Kota Tenjo. Di perumahan
tetangganya, Persada Tridaya Agung, di sebelah barat, penjarahan juga
terjadi. Bahkan di perumahan ini, dari 208 unit rumah yang telah
selesai dibangun, satu pun tidak memiliki kaca jendela lagi. Semuanya
hilang atau dipecahkan orang tidak dikenal. Sebagian genting rumah
juga tidak lagi di tempatnya.

Sebagian rumah lain di Persada Tridaya Agung yang belum selesai
dibangun, malah telah rata dengan tanah. Sama seperti di perumahan
Kota Tenjo, bangunan rumah itu dirubuhkan untuk diambil besi betonnya.
Penjarahan hanya terjadi di dua kawasan perumahan itu. Kompleks
perumahan yang persis berdampingan dengan Kota Tenjo, yakni perumahan
Bukit Cikasungka, aman-aman saja. Mungkin karena sebagian rumah telah
berpenghuni dan satpam yang menjaga cukup banyak, para penjarah tidak
berani beraksi di Bukit Cikasungka.

KOTA Tenjo terletak di Desa Tenjo, Kecamatan Tenjo, Kabupaten
Bogor. Lokasi kawasan perumahan itu, di sebelah utara berdampingan
dengan kompleks perumahan Bukit Cikasungka dan Taman Adiayasa,
Kecamatan Cisoka, Kabupaten Tangerang. Di sebelah barat, Kota Tenjo
berdampingan dengan Kecamatan Maja, Kabupaten Lebak. Di Maja, lahan
seluas 4.775 hektar telah dikuasai 15 pengembang perumahan. Namun
pembangunan perumahan di daerah itu pun kini telah rontok.

Memasuki kompleks perumahan Kota Tenjo, tidak ubahnya seperti
memasuki belantara hutan beton mati. Sebanyak 800 unit rumah yang
telah dibangun, tidak berpenghuni. Bahkan sebagian rumah yang
menyebar di hampir semua blok, kini tidak seperti dalam ujudnya
semula.

Rumah-rumah tipe 18, 21, 27, 36, dan 45 itu telah dirusak.
Kusen-kusen jendela dan pintu tidak berada di tempatnya lagi. Daun
pintu dan jendela serta kacanya, juga raib. Genteng rumah, besi beton,
telah diambil oleh tangan-tangan jahil. Puluhan rumah dihancurkan dan
dirubuhkan, agar besi betonnya mudah diambil.
S
iapa pelaku penjarahan di dua kompleks perumahan, Kota Tenjo dan
Persada Tridaya Agung, sampai sekarang belum diketahui. Orang-orang
tidak dikenal itu entah datang dari mana.

Kota Tenjo dan Persada Tridaya Agung dibangun di atas bekas lahan
perladangan rakyat setempat. Kendati sebagian besar lahan yang
digunakan merupakan tanah negara, warga setempat sejak lama telah
memanfaatkannya sebagai sumber nafkah hidupnya.

Sebelum berubah menjadi hutan beton, dan lahan gersang tanpa
tanaman karena telah diratakan pengembangnya, lahan di Desa Tenjo dan
Desa Cikasungka yang ditempati Kota Tenjo dan Persada Agung, ditanami
berbagai jenis palawija. Kacang tanah, kacang bogor, pisang, ubi jalar,
singkong, dan padi, bisa tumbuh subur di atasnya. Rambutan dan pohon
keras lainnya, juga menjadi andalan warga untuk menyambung hidup.

Ketika pada tahun 1995 datang pengembang, warga pun tidak bisa
berbuat apa-apa. Dengan membawa alasan demi pembangunan, orang berduit
itu pun membebaskan lahan yang selama ini menjadi tumpuan hidup warga.

Dengan harga pembebasan yang bisa disebut tidak manusiawi, lahan
produktif itu pun berpindah tangan. Dan dengan alasan bahwa sebagian
besar tanah itu milik negara, ganti rugi yang diberikan kepada warga
penggarap, sangat murah. Tanah negara yang akhirnya berpindah tangan
itu, membentang di kawasan Tenjo dan Cikasungka.
"
Petani yang menggarap lahan di sini hanya mendapat ganti rugi Rp
150 sampai Rp 200 per meter persegi. Kami tidak bisa berbuat apa-apa,
karena tanah di kawasan ini memang tanah negara," kata Sarnata (35),
warga Desa Tenjo.

Kerugian petani tidak hanya sangat rendahnya harga ganti rugi
tanah garapan mereka. Sebagian lahan yang mereka garap pun sampai
sekarang, belum mendapatkan ganti rugi. Kendati sudah berubah bentuk
setelah diacak-acak buldoser, sehingga petani tidak bisa bercocok
tanam lagi, mereka tidak bisa menuntut ganti rugi. Apalagi sekarang,
setelah pengembang yang membangun perumahan Kota Tenjo dan Persada
Agung bangkrut.

Dari ladang di atas tanah negara tersebut, Sarnata misalnya, bisa
memanen singkong yang kalau dinilai uang sekitar Rp 300.000 setiap
musim tanam, padi sebanyak rata-rata lima kuintal lebih per musim
tanam, ubi jalar sampai 1,5 kuintal sekali panen. Dia juga menanam
kacang bogor yang terkenal enak rasanya. Hasil bumi itulah yang bisa
menghidupi Sarnata dan keluarganya, serta ribuan warga lainnya.

Kesengsaraan lain yang dialami warga akibat datangnya pengembang
perumahan, belasan hektar sawah di Desa Cikasungka kini tidak bisa
digarap. Persawahan yang terletak di tepi tanah urugan perumahan
Persada Tridaya Agung, telah tertutup tanah yang berasal dari urugan
perumahan. Karena tidak dipagari dinding pembatas, tanah urugan yang
sekitar dua meter lebih tinggi dari sawah, terbawa air dan menutup
permukaan sawah.

"Sudah empat musim tanam sawah tidak bisa ditanami padi," kata
seorang warga Cikasungka. Para pemilik sawah sebenarnya berharap,
pengembang yang membangun perumahan Persada Agung sekalian membebaskan
lahan mereka. Jangan seperti sekarang, gara-gara tidak bisa dibebaskan
dulu, warga "diteror" dengan pengiriman lumpur saat hujan yang
menutupi sawah mereka.

KINI setelah sektor properti ambruk, Kota Tenjo dan Persada
Tridaya Agung pun turut terhenti pembangunannya. Kawasan itu
sebagian telah berubah menjadi lahan beton. Sedangkan lahan yang
telah diratakan oleh pengembang, tidak ubahnya padang tandus.
Hanya sebagian lahan telantar yang masih bisa digarap warga untuk
bertani.

Tidak diketahui pasti penyebab sampai terjadinya penjarahan itu.
Apakah pengambilan perlengkapan rumah secara paksa itu merupakan wujud
"dendam", dari orang-orang yang sebelumnya telah dirugikan oleh
kehadiran perumahan? Apakah mereka membalas pengambilan secara
sepihak, seperti yang sebelumnya dilakukan pengembang terhadap lahan
yang menjadi sumber nafkah mereka? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu
pun sulit diperoleh jawabannya.

Namun kini setelah ratusan rumah di Kota Tenjo rusak, demikian
juga dengan di Persada Tridaya Agung, pihak pengembang yang
membangunnya tentu mempunyai tanggung jawab lain yang harus
diembannya. Pengembang tentu tidak hanya terjerat utang bank, yang
bunganya terus melambung. Mereka pun harus bertanggung jawab kepada
konsumen yang telah membayar uang muka, atau sekadar membayar booking
fee sebagai tanda jadi atas rumah yang mereka pesan.

Kota Tenjo dan Persada Tridaya Agung kini semakin merana. Kawasan
perladangan dan perkebunan yang hendak berubah menjadi kota nan
gemerlap itu kini senyap tanpa penghuni. Kawasan itu telah berubah
menjadi seperti kawasan kota mati dan padang gersang. Tidak ada
manfaat bagi manusia. Kecuali untuk para penjarah... (agus mulyadi)

Teksfoto:
Kompas/mul
DIJARAH - Tidak dihuninya rumah-rumah yang sudah dibangun di Perumahan Kota
Tenjo, memancing orang untuk menjarahnya. Perlengkapan rumah, seperti kusen,
genteng, sampai besi beton pun diambil paksa. Kalau perlu dinding rumah
diruntuhkan, agar lebih mudah mengambilnya. Foto diambil akhir April 1999
lalu.