Rabu, 14 November 2007

Rek, Denyut Nadi Kehidupan Malam Banda Aceh

KOMPAS - Senin, 13 Jul 1992 Halaman: 13 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 6678

REK, DENYUT NADI KEHIDUPAN MALAM BANDA ACEH

KETIKA jalan-jalan sore di trotoar menuju ujung Jalan Chairil
Anwar yang bertemu dengan Jalan Ahmad Yani, Banda Aceh, terasa ada
pemandangan berbeda ,menyaksikan suatu "keganjilan" di tengah kota.

Di taman tanpa tanaman bunga, sederetan kursi-kursi lengkap dengan
meja di tengah, memenuhi taman bak lapangan mini itu.
Bagi pendatang yang baru tiba di "Serambi Mekkah" itu, mungkin
menyangka, salah satu pemilik deretan toko yang memutari taman
sedang melangsungkan perhelatan. Dugaan itu meleset, sebab tidak ada
umbul-umbul atau dekorasi di salah satu toko, yang menandakan
pemiliknya sedang hajatan.

Semacam teka-teki itu lantas terjawab dengan sendirinya, ketika
kita memperhatikan lebih seksama. Seputar trotoar yang mengelilingi
taman, berderet pedagang kakilima makanan. Mulai dari kerang rebus,
sate, pedagang es, sampai buah-buahan.

KAWASAN itu termasuk dalam wilayah Kelurahan Penayung, Banda
Aceh. Penduduk menamakan tempat pusat jajanan makanan di Banda Aceh
itu cukup dengan satu kata, Rek. Nama itu konon berasal dari nama
bekas gedung bioskop, yang pernah ada di sekitar taman.

Kegiatan di Taman Rek itu dan sekitarnya, mulai berlangsung
sore sekitar pukul 17.00. Pedagang berdatangan mengisi taman dan
trotoar di sekitarnya, dengan kios-kios makanan dorong. Kursi dan
meja pun dipasang di taman berukuran sekitar 400 meter persegi itu.

Aktivitas pedagang segera mengubah wajah Rek, dari taman kosong
siang hari menjadi penuh warna pada sore sampai dini hari.
Ihwal Rek berfungsi menjadi pusat jajanan ini, menurut Bang
Udin, pedagang eceran koran majalah di seberang barat taman,
berlangsung sejak 1983. Kawasan Rek disulap oleh pedagang, khusus
menjadi tempat mangkal mereka. Izin pemda turut mengukuhkan Rek
menjadi pusat jajan makanan.

Kalau ditarik ke waktu-waktu sebelumnya, Rek memang sudah
menjadi tempat mangkal pedagang makanan, meski kondisinya tidak
seperti tahun 1983. Mereka memanfaatkan pinggiran bekas gedung
bioskop Rek sebelah luar yang tidak terpakai.

Setelah gedung diratakan dan bekas gedung berganti tanah
lapang, pemda memagarinya. Para pedagang kemudian memanfaatkannya
menjadi pusat tempat usaha mereka. Kini sekitar 20 kios makan
mengelilingi bagian barat, utara, dan selatan taman. Di bagian
timur, pemilik-pemilik toko turut pula mengubah jalan di depan toko
mereka, menjadi tempat jajanan makanan.

Kondisi seperti ini, pada akhirnya memang membuat Rek tak
ubahnya lesehan di Malioboro, Yogyakarta, yang menjadi tempat
pendatang atau penduduk setempat menghabiskan sebagian malamnya.

Di Malioboro, pedagang lesehan mengisi trotoar kedua sisi jalan.
Sedangkan Rek, tempat yang tepat pengisi sebagian malam.
Dan menjadi salah satu kebanggaan. Bahkan bagi penduduk, Rek tidak
kalah dengan Malioboro. "Rek adalah Malioboro-nya Banda Aceh, Mas,"
ujar Sudirman (23), seorang pengunjung berkata, Sabtu malam (4/7)
lalu.

Nada ucapannya menunjukkan, dia yakin sekali, Rek tidak berbeda
Malioboro. Namun pada ucapan selanjutnya, dia seperti kurang yakin
dengan ucapannya tadi, dengan bertanya "Benar kan Mas, Rek ramainya
seperti di Malioboro?" kata tamatan SMA tahun 1988, yang belum tahu
Malioboro ini.

Rek memang kurang tepat, jika dibanding Malioboro. Namun di
satu sisi, yakni tempat orang menghabiskan malam sambil jajan
makanan, Rek tak ubahnya Malioboro. Bedanya, Rek terpusat di satu
taman yang diisi ratusan kursi dan puluhan meja kecil.

Bagi pendatang, jangan berharap dapat bertemu minuman-minuman
penghangat badan, seperti bir. Di kawasan Rek, tidak akan ditemukan
penjual bir, bahkan jenis minuman ringan seperti Green Sand
sekalipun. Pengunjung pun aman dari "gangguan" pengamen, yang
biasanya menjadi pelengkap tempat keramaian di kota.

PENGUNJUNG Rek biasanya mulai berdatangan sore hari menjelang
Magrib, ketika sinar matahari mulai redup. Itu semacam tanda
dimulainya kehidupan Rek. Selepas Magrib, pengunjung berdatangan
lebih banyak lagi. Baik orang tua bersama anak kecilnya, pemuda-
pemuda lajang, sampai pasangan-pasangan remaja. Yang wanita tidak
hanya mereka yang berbusana masa kini, tetapi juga wanita-wanita
berkerudung.

Keramahan penduduk Aceh terhadap pendatang pun, segera muncul
manakala kita sudah tiba di lokasi itu. Pedagang-pedagang dengan
sopan mengajak, untuk duduk di kursi-kursi mereka. Tentu saja
kemudian dengan tawaran, makanan apa yang dipesan.

Namun tidak semua pengunjung memesan makanan --rata-rata berupa
sate Jawa dan sate Padang-- atau minuman dari es dan buah-buahan
macam alpokat juice. Cukup hanya dengan segelas kopi seharga Rp 250,
pengunjung sah saja duduk di situ, menghabiskan malam sambil ngobrol
ngalor-ngidul bersama rekannya. Atau bagi yang datang sendiri,
segelas kopi cukup untuk menemaninya bengong.

Sampai dengan sekitar pukul 23.00, kursi-kursi masih dipenuhi
pengunjung. Dan keberadaan mereka yang datang silih berganti, akan
terus berlanjut sampai pukul 02.00 seperti malam Minggu (4/7) itu.
Meski tidak seramai seperti waktu-waktu sebelumnya.

KEHIDUPAN malam seperti di Banda Aceh, meski dalam skala lebih
kecil, sebenarnya tidak hanya terdapat di Rek. Di depan beberapa
toko di Jalan Ahmad Yani dan Chairil Anwar, meja kursi pedagang
makanan atau minuman, turut mewarnai kehidupan malam "Serambi
Mekkah". Demikian pula di halaman deretan toko-toko di Jalan T.
Panglima Polem, sekitar 50 meter utara tugu simpang lima.

Mereka yang ingin menghabiskan malam dengan segelas kecil kopi
seharga Rp 250, tempat paling cocok adalah di Pasar Aceh. Letaknya
sekitar 1,5 kilometer barat laut Rek. Keistimewaan di sini, warung-
warung kopi menyediakan hiburan, berupa tayangan video untuk menarik
minat pengunjung. Kalau pinggang tidak capai, silahkan semalam
suntuk sampai pagi hari.

Denyut kehidupan malam di Banda Aceh, sepertinya tidak pernah
berhenti, sampai isi kota hidup kembali mulai pagi hari. Kehadiran
angkutan umum seperti becak, angkot atau taksi sampai dini hari,
sepertinya membuat kota tak pernah mati. Karena itu, mengisi waktu
dengan berjalan kaki pada waktu malam di Banda Aceh terasa aman.

Selain kehadiran kendaraan umum, orang-orang yang menghabiskan
waktu di trotoar depan pertokoan, pinggir-pinggir jalan atau di tugu
simpang lima, seperti menjadi teman yang mendatangkan rasa aman.
(agus mulyadi)
Foto:1(mul)