Rabu, 14 November 2007

Ke Brunei Hanya Jadi Kuli Kebun

KOMPAS - Kamis, 12 Oct 2000 Halaman: 30 Penulis: mul Ukuran: 11420 Foto: 1

KE BRUNEI HANYA JADI KULI KEBUN

KULIT wajah dan kedua tangan Muhari (24) terlihat hitam legam.
Warna gelap di kulitnya itu tampak jelas disebabkan sengatan sinar
matahari. Begitu pula rambut kepalanya yang berwarna sedikit
kemerahan. Beban berat pekerjaan yang dilakoninya, tergambar jelas
dari penampilan dan wajah bujangan asal Blitar, Jawa Timur itu.

"Saya dan beberapa teman dari Indonesia bekerja di perkebunan
sayur-sayuran," kata Muhari. Ketika berbincang dengan Kompas di
sebuah warung makan di Bandar Seri Begawan, dari mulut pemuda itu
lebih banyak terlontar cerita-cerita duka. Mereka pun mengaku, bisa
datang ke warung di ibu kota Brunei Darussalam di kawasan terminal
bus karena majikannya hari itu tidak datang ke kebun.

Sepanjang bekerja di kebun milik majikannya di Kampung Kupang di
daerah Tutong di bagian selatan Brunei Darussalam, mereka mengaku
mendapat perlakuan yang tidak manusiawi. Salah satu perlakuan tidak
manusiawi adalah tidak diterimanya gaji tetap sepeser pun.

Padahal, dalam perjanjiannya dengan agen pengerah tenaga kerja di Blitar yang
mengirimnya, Muhari seharusnya mendapatkan gaji tetap sebesar 300
ringgit (sekitar Rp 1,5 juta) per bulan. Selain gaji, dia dijanjikan
mendapatkan bagi hasil dari produksi sayur di kebun seluas enam
hektar yang dikerjakan bersama sejumlah kuli lainnya.

Ternyata setibanya di sana, Muhari hanya mendapatkan upah dari
bagi hasil sayuran semata. Upah ratusan ringgit sebulan, sama sekali
tidak pernah diterimanya.

Bagi hasil yang diperolehnya pun, ditentukan sepihak oleh majikan
pemilik lahan yang warga asli Brunei. "Saya mendapatkan satu per tiga
bagian, dan majikan mendapatkan dua per tiga bagian. Begitu aturan
yang dibuat sepihak oleh majikan saya," kata Muhari.

Dengan pembagian seperti itu, penghasilan yang didapatkan Muhari
pun pas-pasan. Muhari menyebutkan, misalnya, dari tiga kilogram
kangkung yang dipanen, dia hanya mendapatkan setengah ringgit Brunei
(sekitar Rp 2.500). Hasil panenan kangkung di ladang yang digarapnya,
tiga kilogram kangkung dihargai 1,5 ringgit. Bagian yang satu ringgit
adalah jatah majikannya, yang hanya ongkang-ongkang kaki di rumah.

Dengan pembagian hasil keringatnya seperti itu, tidak heran jika
Muhari mendapatkan upah yang pas-pasan. Dalam satu hari, umumnya
paling tinggi dia mendapatkan bagi hasil antara paling rendah dua
ringgit hingga paling tinggi 10 ringgit. Itu pun bisa terwujud jika
tanaman sayur-mayur sedang tumbuh subur. Di lahan yang digarap
bersama empat pekerja lain, Muhari menanam sayuran seperti kangkung,
bayam, cabai, sawi, dan pare.

"Hanya sekali saja dalam satu hari saya mendapatkan bagi hasil
panenan sayur sampai sebesar 22,5 ringgit. Itu terjadi ketika panenan
sedang melimpah. Teman lain pun mendapatkan bagi hasil sekitar itu
pada hari yang sama," kata Muhari.

MASA panen sayur bagi pekerja-pekerja kebun yang tidak diberi
gaji tetap itu, merupakan saat-saat "manis" mereka hingga masa
panenan berakhir kelak. Namun, sebelum masa panen mulai tiba, selama
dua hingga tiga bulan pertama sejak baru datang, mereka tidak ubahnya
budak. Hidup penuh penderitaan dan perjuangan yang benar-benar harus
dijalani setiap hari.

Ketika baru datang ke Brunei, oleh majikan yang menerima mereka
bekerja TKI dan pekerja asing dari negara lain seperti dari Thailand,
biasanya langsung dibawa ke semak belukar telantar. Mereka hanya
diberi cangkul dan alat pertanian lain, untuk mengubah semak belukar
itu menjadi ladang sayur. Untuk bertahan hidup, pemilik tanah hanya
membekali mereka dengan peralatan dapur sederhana dan beras, tetapi
tanpa lauk-pauk.

Muhdoir (25), teman sekampung Muhari yang datang lebih dahulu dua
bulan sebelumnya, merasakan bagaimana beratnya bertahan hidup seperti
itu. Sepanjang hari dia bersama pekerja lain membuka belukar agar
bisa berladang sayur. Makan dia tanak sendiri, di sela-sela
kerja "rodi" yang dilakukannya.

Pada malam hari dia pun hanya bisa merebahkan tubuhnya di atas
tikar, di dalam gubuk yang dibangun di tengah ladang. "Mau bagaimana
lagi. Saya sudah berada jauh dari kampung, mau meminta tolong kepada
siapa. Saya kerjakan saja terus ladang itu," kata Muhdoir.

Kerja keras serupa-membuka ladang sebelum berladang sayur-juga
dilakukan Muhari di belukar di sekitarnya, ketika dia tiba menyusul
Muhdair dua bulan berikutnya. Setelah bekerja keras sekitar dua
hingga tiga bulan, usaha mereka mulai membuahkan hasil. Sayuran mulai
bisa dipanen dan menghasilkan uang. Namun, mereka hanya mendapat
bagian satu per tiga dari hasil panen. Bagian terbesar, dua per tiga
dimakan habis oleh majikan pemilik tanah.

Oleh karena, setiap hari dapat memanen berbagai jenis sayur yang
ditanam, kedua bujangan yang kini berkulit hitam legam itu seperti
melupakan penderitaan mereka sebelumnya. Sedikit demi sedikit, mereka
menyisakan uang pas-pasan yang didapat.

Terhadap perlakuan kejam majikan dan agen pengirim mereka yang
telah mengibuli, keduanya hanya bisa pasrah. Namun, sampai kini
mereka masih bingung, bagaimana membayar utang masing-masing Rp 7,5
juta di kampung asal yang dipakai untuk membayar agen agar bisa pergi
ke Brunei.

Dua bujangan asal Blitar yang sebenarnya telah menjadi korban
penipuan itu, termasuk TKI di perkebunan yang bisa bertahan di tengah
penderitaannya di negara orang. Sejumlah TKI lain yang datang ke
Brunei untuk bekerja di perkebunan, memilih kabur dari pada terus
menerus disiksa oleh keadaan.

Pada 23 September pagi, misalnya, dua orang laki-laki TKI mengadu
ke KBRI Brunei Darussalam. Mereka mengaku sudah tidak tahan lagi
dengan penderitaan yang dialami. Sejak datang sekitar dua bulan lalu,
mereka tidak diberi gaji dan disuruh bekerja keras membuka ladang
sayur.

Seorang petugas KBRI menyebutkan, dua TKI itu telah beberapa kali
menuntut upah kepada majikannya yang orang pribumi Brunei. Namun,
jawaban yang diberikan malah berupa ancaman, keduanya akan digantung
di atas pohon jika terus menerus menuntut gaji.

"Keduanya saat ini tengah kembali ke ladang untuk mengambil
pakaian mereka," kata petugas KBRI, ketika Kompas datang ke tempat
itu.

KABURNYA laki-laki TKI khusus untuk perkebunan, yang tidak tahan
karena diperlakukan tidak manusiawi, juga pernah terjadi beberapa
bulan lalu. Menurut Ketua Paguyuban TKI (Patki) Perwakilan Brunei
Darussalam, Mahmud Sailan, sebanyak 42 laki-laki TKI mengadu ke KBRI.
Penyebabnya, mereka ditaruh begitu saja di dalam hutan oleh agen dan
majikan yang mendatangkan mereka dari Indonesia.

"Tengah malam mereka ditinggal di tengah hutan. Agen pengirimnya
menyatakan akan datang lagi, untuk memberi mereka berbagai
perlengkapan dan perbekalan untuk membuka kebun sayur. Namun, sesudah
dua hari dua malam ditunggu, agen dan majikan ternyata tidak datang
lagi. Mereka akhirnya keluar hutan, dan datang mengadu ke KBRI," ujar
Mahmud Sailan.

Ke-42 TKI itu sebelumnya datang dengan membayar uang berjuta-juta
rupiah. Janji yang diterimanya dari agen pengirimnya pun indah-indah,
karena mereka akan mendapatkan gaji tetap dan bagi hasil panen.
Namun, semua itu janji belaka. Ketika tiba di Brunei, mereka baru
sadar telah menjadi korban penipuan agen pengirim mereka di
Indonesia, yang bekerja sama dengan agen di Brunei yang meminta
mereka didatangkan.

Pengalaman pahit bekerja di kebun juga dialami Ibnu Santoso (28),
TKI asal Banyuwangi, Jawa Timur. Ayah satu anak itu datang ke Brunei
pada Maret 2000. Dia bisa datang ke Brunei melalui agen pengerah
tenaga kerja di daerahnya, dengan membayar sekitar Rp 10 juta. Sama
seperti TKI lain yang akan dipekerjakan di perkebunan, Ibnu pun
dijanjikan mendapat gaji tetap setiap bulan, dan bagi hasil panenan
sayuran yang bakal ditanam.

Ketika tiba di Brunei, pengalaman serupa pun dia rasakan seperti
TKI pekerja perkebunan lainnya. Akhirnya Ibnu tidak tahan lagi dan
kabur. Beruntung bagi dia bisa bertemu dengan TKI lain, sehingga
tidak kelaparan di negara orang. Sejak kabur dari perkebunan, Ibnu
pun bekerja serabutan. "Bagaimana saya bisa pulang untuk bertemu anak
dan istri, kalau untuk ongkos saja tidak punya. Belum lagi utang yang
sampai saat ini belum dapat saya bayar di kampung sana," kata Ibnu.

Seorang TKI perkebunan lain yang identitasnya tidak mau disebut
menyatakan, pengolahan lahan semak belukar untuk dijadikan kebun
sayur, diduga hanya merupakan akal-akalan si majikan. Tanah itu
sebenarnya milik kerajaan. Namun, seandainya tanah itu terus
dibiarkan telantar, pihak kerajaan akan mengambil alih.

"Agar tanahnya tidak diambil alih kembali oleh kerajaan, dia lalu
mendatangkan pekerja dari Indonesia atau Thailand. Tetapi si majikan
TKI ini tidak mempedulikan nasib pekerja asing yang didatangkannya,
asalkan dia tetap diberi hak menggarap tanah kerajaan tersebut,"
katanya.

TKI-TKI yang bekerja di perkebunan melalui Kompas menyatakan
harapannya, agar pemerintah Indonesia menghentikan pengiriman TKI,
khususnya yang dijanjikan oleh agennya bekerja di perkebunan. Mereka
berharap, jangan sampai derita mereka dialami pula oleh TKI-TKI baru
yang datang ke negara yang bagi mereka hanya indah dalam mimpi,
Brunei Darussalam.

KASUS penipuan terhadap TKI di Brunei, seperti tidak digaji,
tidak mendapatkan pekerjaan, tidak memperoleh pekerjaan sesuai
kontrak, sekarang masih terus bermunculan. Berbagai persoalan yang
menimpa TKI itu, telah mendorong Patki untuk mengatasi atau
menguranginya.

Dalam kasus tidak dibayarnya gaji, baik oleh TKI di perkebunan,
TKI yang menjadi amah (pembantu rumah tangga), dan TKI yang bekerja
di tempat lainnya, Patki akan bekerja sama dengan Kepala Kampung di
mana si majikan tinggal.

"Orang Brunei sebenarnya akan merasa malu
jika dia diketahui lingkungannya tidak mampu. Upaya penagihan
pembayaran gaji TKI yang bekerja pada majikan itu melalui Kepala
Kampung, diharapkan akan lebih mempermudah pembayaran," ujar
Hadianto, Ketua Umum Patki.

Tentang karakter orang Brunei yang takut ketahuan "borok"-nya,
misalnya, karena tidak mau membayar gaji TKI, juga diungkapkan Atase
Pertahanan RI di Brunei, Slamet Hariyanto. "Orang Brunei sebenarnya
takut dicap jelek. Kalau sudah begitu, konsekuensinya bisa saja
sejumlah bantuan dari pihak kerajaan akan dihentikan. Orang Brunei
takut itu," katanya kepada Kompas di rumah dinasnya.

Dengan cara-cara seperti yang akan ditempuh Patki, diharapkan
berbagai persoalan menyangkut tidak dibayarnya gaji TKI, akan lebih
mudah ditangani. TKI-TKI yang telah banyak berkorban pun, hak-haknya
akan lebih mudah diambil. Dengan membuka "borok" sebagian warga
Brunei itu, gaji TKI mudah-mudahan tidak lagi ditahan-tahan dan malah
tidak dibayarkan. (agus mulyadi)

Foto:
Kompas/agus mulyadi
SEPERTI DI INDONESIA -- Terminal bus Bandar Seri Begawan, setiap
hari selalu didatangi TKI, terutama mereka yang sedang menganggur.
Karena selalu didatangi TKI sepanjang hari, saat berada di terminal
serasa seperti sedang berada di salah satu terminal di Tanah