Senin, 12 November 2007

Kami Masih Betah Tinggal di Sini

KOMPAS - Minggu, 25 Apr 1993 Halaman: 8 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 7571
KAMI MASIH BETAH TINGGAL DI SINI
"DI dieu mah, hirup henteu paeh ge henteu," ujar seorang
penduduk Desa Sukakersa, Kecamatan Cadasngampar, Kabupaten Sumedang,
Jabar, yang artinya kira-kira, di sini hidup tidak mati pun tidak.
"Selama saya sekeluarga masih diperbolehkan tinggal di sini,
dan tetap bisa menggarap sawah, saya tetap akan memilih di sini,"
ujar Imam Suparno (50), penduduk Desa Jemah. Tetap kentalnya
persaudaraan di kalangan penduduk, adalah salah satu tali pengikat
penduduk desa calon genangan Bendungan Jatigede kepada tanahnya.
Seperti 17 desa lain di daerah itu yang akan menjadi kawasan
genangan, Sukakersa dan Jemah masih tetap ditinggali penduduk. Meski
khusus untuk dua desa ini, sebagian penduduk telah pindah ke daerah
lain antara tahun 1982 - 1985/1986.
Desa-desa yang akan menjadi kawasan genangan bendungan serba
guna Jatigede, antara lain di Kecamatan Cadasngampar meliputi desa-
desa Jemah, Sukakersa, Ciranggem, Mekarasih, dan Cisampih. Di
Kecamatan Darmaraja meliputi desa-desa Cipaku, Cisurat, Sukamenak,
Jatibungur, Cibogo, Leuwihideung, Pakualam, Karangpakuan, dan
Sukaratu. Di Kecamatan Wado meliputi desa-desa Wado, Padajaya,
Sirnasari, dan Pawenang, serta Desa Karedok di Kecamatan Tomo.
Namun ketika transmigrasi dan perpindahan penduduk ke daerah
lain ramai berlangsung di tengah-tengah gencarnya persiapan rencana
pelaksanaan proyek waktu itu, sebenarnya penguasaan dan pengolahan
atas tanah garapan atau perumahan yang telah dibebaskan tetap
dilakukan sanak keluarga penduduk yang pindah. Karena itu penggarap
sebenarnya tidak berkurang. Dengan penguasaan oleh keluarganya itu,
diharapkan akan memudahkan pengolahan kembali ketika si pemilik
tanah kembali lagi ke desa asal, seperti yang dilakukan Imam Suparno
dan istrinya yang hanya tinggal 10 hari di daerah transmigrasi lalu
bergabung kembali dengan anak-anaknya di daerah asal.
***
AREAL yang telah dibebaskan antara tahun 1982-1985/86 luasnya
2.159 ha, dan tanah itu kembali digarap penduduk walaupun tanpa izin
tertulis. Untuk mengamankan tanah-tanah yang telah dibebaskan,
Selasa (13/4/93) dilakukan perjanjian tertulis antara Pemda
Sumedang, pelaksana proyek, dan petani penggarap. Isi perjanjian
antara lain, sewaktu-waktu tanah itu diperlukan untuk pembangunan
bendungan, penduduk siap meninggalkannya.
Adanya perjanjian ini selain untuk menghindari tuntutan ganti
rugi bila pembangunan bendungan juga memberi keuntungan kepada pemda
karena bisa menarik pajak bumi dan bangunan (PBB).Selama ini tanah
yang dibebaskan itu hanya ditinggali dan digarap secara cuma-cuma.
"Padahal dulu ketika pembebasan, ada perjanjian tidak tertulis kami
tidak akan dikenai pungutan apa pun," ujar seorang penduduk Desa
Jemah, Kecamatan Cadasngampar menanggapi perjanjian tertulis itu.
Bila nanti bendungan jadi dibangun, berarti masih 4.579 ha
areal permukiman dan persawahan lagi yang harus dibebaskan dan 6.642
KK harus dipindahkan. Masalahnya, siapkah penduduk ini pindah tempat
yang berarti akan berubah pula pola kehidupan mereka?
Salah satu penampung perpindahan penduduk ini yang sudah
dipikirkan Pengembangan Wilayah Sungai (PWS) Cimanuk adalah
transmigrasi. Tetapi hasil penelitian PSDAL Universitas Padjadjaran
tahun 1991 lalu menunjukkan hanya 129 KK yang berminat
bertransmigrasi, alias sekitar dua persen saja dari jumlah penduduk.
Selebihnya, 2.577 KK memilih pindah ke daerah sekitar genangan,
1.858 KK pindah ke kabupaten laind i daerah Jabar selatan, dan 478
KK memilih tempat pindah sendiri.
Untuk menghindari akibat negatif perpindahan itu, Pimpro PWS
Cimanuk, Ir Hendratno Remiel, menginginkan penduduk dipindah ke
daerah yang sesuai dengan ketrampilan yang didapat masing-masing,
sekaligus berjanji perpindahan ini tidak boleh menurunkan standar
hidup mereka. "Yang mendapat bekal ketrampilan pola industri akan
ditempatkan di sekitar daerah industri," jelas Remiel.
***
APA pun rencana mereka yang berwenang, satu hal pasti dirasakan
penduduk. Penantian panjang tanpa kejelasan apa ujungnya itu, sangat
mempengaruhi kehidupan sehari-hari penduduk. Mereka terperangkap
dalam rutinitas yang nyaris menjadi kebosanan karena mereka tidak
berani berinisitif. Yang mereka lakukan hanyalah menunggu dan
menunggu.
Pembangunan yang sebenarnya dapat dilakukan penduduk, tidak
berjalan sebagaimana mestinya. Hasil-hasil pembangunan yang sudah
dinikmati penduduk sekitar, menjadi barang langka bagi mereka. Hasil
pembangunan yang masih dapat dirasakan paling-paling hanyalah
berdirinya gedung-gedung SD (sekolah dasar) atau sarana jalan.
Hasil pembangunan mendasar lain seperti misalnya listrik,
mereka sulit mengharapkan realisasinya. Kalaupun ada tiang listrik
yang sudah terlanjur dipancang, seperti di Desa Padajaya, Kecamatan
Wado, tiang itu tinggal tegak tanpa kabel. "Kami yang berada di
dalam wilayah daerah genangan, tidak boleh membangun secara fisik,"
ujar Karta, Kepala Desa Cibogo, Kecamatan Darmaraja. Hal senada
dilontarkan Kepala Desa Sukakerja, Ahmad Mansur. Bahkan akibat tidak
diizinkannya pembangunan fisik, sejak 5 April 1993 balai desa
Sukakersa jadi "tidak layak kantor" akibat ambruk di beberapa
bagian. "Kami tidak pernah mendapat dana untuk rehabilitasi balai
desa," ujar Ahmad Mansur.
Keadaan di Desa Sukakersa itu diperparah lagi oleh rendahnya
raihan dana swadaya dari masyarakat. Kecilnya dana dari masyarakat
di desa dengan luas wilayah 448 ha itu, terlihat pula dari kecilnya
raihan PBB yang dalam satu tahun hanya Rp 30.000. Sebabnya, tanah
dan pesawahan di Sukakersa sudah bukan lagi milik penduduk.
Di Desa Cibogo yang belum satu jengkal pun arealnya dibebaskan,
kesadaran penduduk untuk tetap gigih membangun masih tampak. Swadaya
masyarakat untuk membangun sarana fisik bagi kepentingan umum,
seperti merehabilitasi balai desa atau membangun sarana irigasi,
masih dapat dilakukan. "Tahun ini kami merencanakan merehabilitasi
balai desa," ujar Karta.
Akibat ketidakpastian itu juga menyebabkan ambruknya jembatan
Cihonje yang menghubungkan Desa Sukaratu dengan desa-desa lain
seperti Cibogo, Pakualam, Cipaku dan lainnya pertengahan Maret lalu.
Jembatan tua itu tidak kuat menahan derasnya arus air akibat hujan
deras di bagian hulu. Untuk kembali melancarkan arus lalu lintas
bagi kepentingan warganya, Karta akan berunding dengan Kades
Sukaratu untuk membangun kembali jembatan itu.
Tentang larangan pembangunan fisik ini, diakui pula oleh
seorang staf pelaksana proyek, yang bertemu Kompas, ketika sedang
mengumpulkan berkas perjanjian tertulis soal garapan di beberapa
desa. "Larangan itu untuk menghindari kemungkinan buruk yakni adanya
tuntutan penduduk untuk kembali mengajukan klaim atas bangunan baru
itu untuk diberi ganti rugi."
"Kalau disuruh memilih, kami ingin tetap terus tinggal di sini
dan listrik dapat masuk. Tidak hanya tiangnya saja seperti
sekarang," ujar Ny Nyai, penduduk Padajaya, Wado.
Kalau boleh memilih, penduduk di kawasan genangan memang ingin
tetap tinggal di daerah kelahiran mereka. Hanya saja yang menghantui
mereka, kalau proyek itu batal dan ada ketentuan harus mengembalikan
uang ganti rugi yang pernah diterima, dari mana harus mencari uang
karena duit ganti rugi rata-rata sudah habis setelah waktu
pembayaran dulu. ***