Jumat, 09 November 2007

Tikus Pun Kembali Memangsa Padi

KOMPAS - Senin, 27 Mar 1995 Halaman: 18 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 3797
TIKUS PUN KEMBALI MEMANGSA PADI
SEBAGIAN lahan tanaman padi di Kabupaten Indramayu pada musim
tanam 1994/1995 sekarang, kembali diserbu gerombolan tikus. Hama ini
mengerat batang padi, sehingga tanaman ini bertumbangan. Seperti
yang terjadi di persawahan di Panyindangan Kulon dan Terusan,
Kecamatan Sindang, ratusan hektar tanaman padi dimangsa hama tikus.
Petani setempat terpaksa membabat tanaman padi yang sudah
dijarah tikus, dengan harapan dapat tumbuh lagi, meski hasilnya
nanti akan menjadi kurang bagus. Dengan cara begitu, tunas padi akan
lebih banyak tumbuh, sehingga mengurangi tumbuhnya rumpun bulir
padi. Sebagian petani lain malah menggantinya dengan bibit padi
baru. Itu semua gara-gara tikus!
Keganasan hama ini pun menimpa sebagian persawahan yang berada
di kedua sisi jalan antara Cirebon-Indramayu. Kerugian berjuta
rupiah tentu dialami para petani.
Padahal serbuan hama ini sempat lenyap di Indramayu, khususnya
di kawasan persawahan Karangampel dan sekitarnya, antara tahun
1988-1991. Itu terjadi karena petani getol memburunya. Tidak hanya
pada saat musim tanam padi, tetapi pada musim kemarau pun lubang-
lubang persembunyian tikus diobrak-abrik.
Tikus ditangkap untuk dikuliti. Kulit dijual ke KUD Tani Mukti
yang menerimanya, karena KUD dalam masa-masa itu masih bergelut
dengan usaha barunya: kerajinan kulit tikus. Tikus menjadi hewan
berharga. Selembar kulit dari seekor tikus yang telah dikuliti
berharga Rp 60.
Petani menjadi begitu berminat memburu tikus. Tidak hanya di
sawah-sawah dan ladang, di sarang-sarang dalam kawasan permukiman
penduduk sekalipun, tikus dicari. Tikus-tikus yang bersembunyi dalam
lubang-lubang dalam tanah -- yang tidak dapat dilacak petani --
mungkin tidak akan berani lagi muncul. Takut ditangkap dan dikuliti.
Bahkan karena kebutuhan bahan baku yang cukup besar, saat
produksi kerajinan kulit tikus masih berjalan lancar, kulit tikus
sampai didatangkan dari daerah lain, misalnya Banten.
"Kalau saja kerajinan kulit tikus masih hidup sampai sekarang,
malah kami mungkin kesulitan menyediakan bahan baku kulitnya. Sebab
di sawah mungkin sudah tidak ada tikus lagi," kata Saefudin, Ketua
KUD Tani Mukti, Karangampel.
Seandainya KUD masih menggarap kerajinan kulit tikus, mungkin
pengurusnya dan masyarakat harus beternak tikus, untuk penyediaan
kebutuhan bahan baku kulit.
***
TETAPI keberuntungan rupanya masih berpihak pada tikus.
Kerajinan kulit -- yang dikelola KUD Tani Mukti bekerja sama dengan
mitranya di Cirebon -- terhenti akibat pengelolaan yang tidak
karuan. Bahkan KUD itu sampai kini masih terlilit kredit macet.
Hama musuh petani itu pun kembali dapat bebas berkembang biak,
sebab perburuan tidak lagi gencar dilakukan. Akibatnya petak-petak
tanaman padi pun kembali diterjang hama, seperti yang terjadi pada
musim tanam sekarang. Tikus kembali menjadi musuh petani dan tidak
berharga.
Petani-petani yang memburu tikus di persawahan di kedua sisi
jalan Indramayu-Cirebon, kini membuang ke jalan raya begitu saja
bangkai tikus yang tertangkap. Bangkai-bangkai tikus -- yang sudah
terlindas roda kendaraan yang melintas -- menjadi pemandangan biasa
di ruas jalan itu. Hal serupa juga terjadi di sejumlah ruas jalan
lain yang melintasi persawahan.
Tikus (kulitnya) tidak lagi menjadi penambah keren penampilan
mereka yang mengenakan produk kerajinan. Kulit tikus juga tidak lagi
menghiasi showroom di tempat penjualan kerajinan kulit.
Kulit tikus kini kembali dibiarkan teronggok bersama bangkai
tubuhnya, di jalan-jalan beraspal. Roda kendaraan meluluhlantakkan
kulit yang menjadi tidak berharga (lagi) ini. (mul)

Tidak ada komentar: