Rabu, 21 November 2007

Jatibarang-Palimanan, Jalan Penuh Kerawanan

KOMPAS - Senin, 05 Aug 1991 Halaman: 13 Penulis: MUL Ukuran: 6110 Foto: 1

JATIBARANG - PALIMANAN, JALAN PENUH KERAWANAN

RABU tengah malam di akhir bulan Juni itu langit begitu bersih
Bulan penuh bersinar cerah, sementara bintang gemerlapan tak
terhalang awan. Sekitar sepuluh truk gandengan di parkir berjejer di
kiri-kanan by-pass jalur utara Jawa. Para pengemudinya tengah
beristirahat di beberapa warung di Desa Lung Benda, Kecamatan
Palimanan, Kabupaten Cirebon (Jawa Barat). Mereka menghilangkan
penat setelah menempuh perjalanan panjang dari Jakarta.

Lepas dari Desa Lung Benda, sekitar 20 kilometer barat kota
Cirebon, jalan mulai memasuki daerah persawahan. Di sini, lalu
lintas jalur utara Jawa mulai menampakkan karakternya. Mobil
penumpang, bus, truk dan bahkan truk gandengan, berlari bagai dikejar
setan. Semua berlomba mengejar waktu.

Pengendara sepeda motor yang ikut "numpang" di jalan mulus itu
harus banyak mengalah. Sesekali, kendaraan terpaksa "dibuang" ke
luar badan jalan jika bus dari arah berlawanan sedang dipacu
mendahului kendaraan di depannya. Badan jalan sekitar 6 meter untuk
sesaat tertutup habis. Meleng sedikit saja bisa berakibat fatal.

"Kerasnya" lalu lintas di jalur itu sedikit berkurang ketika
memasuki Arjawinangun dengan tikungan tajam. Namun setelah itu jalan
kembali memasuki daerah persawahan dan perkebunan tebu. Pedal gas
kembali ditekan kuat-kuat. Lampu kendaraan menyorot tajam, membelah
malam yang lengang. Keadaan itu tak berubah sampai memasuki kota
Kecamatan Indramayu.

WASPADA memang mutlak bagi semua pemakai jalan. Tapi di jalur
utara Jawa, sopir truk tak sekadar berhati-hati mengendalikan
kendaraannya. Tapi juga harus waspada menjaga barang yang dibawanya.
Jalur ini tak hanya rawan kecelakaan, tapi juga rawan kejahatan
akibat beroperasinya kawanan pengutil muatan yang dikenal dengan
sebutan "bajing loncat".

Selama beberapa tahun terakhir, "bajing loncat" menjadi momok
para sopir truk di jalur utara, terutama bagi pengemudi truk
gandengan yang mengangkut barang berharga. Kawanan "bajing loncat"
biasanya beroperasi menggunakan kendaraan lebih kecil dengan bak
terbuka. Kendaraan mereka "menempel" truk yang sedang melaju, lalu
para "bajing" berloncatan ke atas truk.

Senjata tajam beraksi, terpal penutup dicabik-cabik। Lalu
muatan truk dilempar ke atas bak kendaraannya yang terus menempel.
Bila dirasa cukup, "bajing-bajing" tadi kembali berlompatan ke atas
pick-Up, dan mereka kabur tanpa diketahui pengemudi truk. "Sewaktu
beroperasi lampu kendaraan mereka matikan hingga kami tak tahu kalau
ada mobil yang menempel," cerita beberapa sopir truk di Desa
Tulungagung, Kecamatan Kertasemaya.

Dari beberapa kejadian di wilayah hukum Polres Cirebon dalam
dua bulan terakhir, pengemudi truk mengetahui barang bawaannya
dikutil waktu melewati ruas Palimanan - Cirebon. Mereka baru tahu
setelah rekan sesama sopir yang jalan di belakang melihat
kejanggalan di bak truk. Pengemudi itu kemudian melaporkan kejadian
itu ke polisi Cirebon.

Kapolres Cirebon, Letkol (Pol) Drs RE Karnadi mengatakan,
pihaknya hanya kebagian laporan-laporan ulah kawanan "bajing
loncat". Komplotan pengutil itu diduga beroperasi sebelum memasuki
wilayah Cirebon, terutama pada ruas jalan yang melewati persawahan
dan kebun tebu.

TETAPI "bajing loncat" rupanya tak hanya menjarah barang bawaan
truk yang sedang melaju. Mereka juga mengincar sasaran diam, secara
nekad merampok kendaraan yang pengemudinya sedang beristirahat.
Sebuah truk gandengan yang dibawa sopir Moh Jumaheni dengan kernet
Muntihar dan Suhari disikat ketika mampir di sebuah warung makan di
Desa Kiajaran Kulon, Kecamatan Lohbener, Indramayu, pertengahan
bulan Mei lalu.

Waktu asyik makan bersama beberapa sopir lain, Jumaheni
didatangi sejumlah lelaki bertopeng. Pemilik warung dan tamu lainnya
diancam dengan senjata tajam, sementara beberapa anggota komplotan
dengan tenang memindahkan 55 tape dan dua mini compo dari truk
jurusan Jakarta - Surabaya itu.

Sebelas orang anggota komplotan ini beberapa hari kemudian
berhasil diciduk di Desa Panyindangan Wetan, Lohbener. Mereka
tertangkap karena kesiangan setelah merampok di daerah Pusaka
Negara, Kabupaten Subang. Polisi di Indramayu yang kemudian dibantu
penduduk, tinggal mencegat kawanan penjahat itu setelah menerima
informasi dari Subang.

Rentetan kasus kejahatan itu menunjukkan betapa rawannya ruas
jalan jalur utara Pulau Jawa. Salah satu di antaranya, tentu saja,
ruas antara Jatibarang - Palimanan. Beberapa kasus yang dilaporkan
ke Polres Cirebon, terjadi di ruas jalan ini. Kecuali sepi hingga
memungkinkan kendaraan penjahat menempel truk-truk yang dijadikan
sasaran, di jalur ini juga tak terlihat cukup petugas keamanan.
Seperti ketika Kompas mengamati daerah itu tengah malam akhir Juni
lalu, hanya tampak 3 petugas di pos polisi pertigaan Palimanan -
Cirebon - Bandung.

RASA aman melintasi jalur utara Jawa, seperti masih merupakan
mimpi para pemakainya. Selain selalu terancam kecelakaan akibat
lomba adu cepat, juga rasa tak aman karena gangguan kawanan
penjahat. Seperti kata seorang pembaca Kompas, komplotan penjahat
yang minimal beranggotakan 5 orang itu tak jarang memeras para
pengemudi dengan minta uang antara Rp 1.000 - Rp 15.000. Sering pula
mereka menunggu calon-calon korbannya di warung makan sepanjang
jalur tersebut.

Akibat kekhawatiran itu, kini banyak pengemudi truk yak tak mau
lagi melewati ruas-ruas jalan yang rawan, pada malam hari. Terutama
truk-truk yang mengangkut barang berharga mahal, seperti peralatan
elektronik. Beberapa truk bahkan kini memasang palang bambu di bawah
terpal untuk mengamankan barang bawaan dari komplotan pengutil yang
berkeliaran. (agus mulyadi)

Foto: 1
Kompas/mul
BERLOMBA - Jalur jalan pun tertutup. Kendaraan saling berlomba, tidak
menghiraukan keselamatan kendaraan lain dan penumpangnya.

Kamis, 15 November 2007

KEMIKINAN di INDRAMAYU

KEMISKINAN DI INDRAMAYU

Setelah empat tahun di Palembang, Sumatera Selatan, saya kembali ke Jakarta awal Desember 2006. Saya kembali pula melihat, memantau, mendengar, tentang kehidupan di Ibu Kota. Jakarta ternyata makin banyak dihuni orang miskin.

Kehidupan yang semakin sulit, mungkin akibat kurang mampunya para pengelola negara ini memakmurkan rakyatnya, menyebabkan perempatan jalan semakin banyak dipenuhi pengemis, pedagang asongan, dan orang-orang "terbuang" lainnya. Kolong tol pun semakin penuh dihuni warga miskin. Demikian pula tepian rel KA dan kolong jembatan, serta rawa-rawa di Jakarta Utara.

Bagi saya, yang lebih menyedihkan adalah fakta bahwa sebagian di antara mereka berasal dari Indramayu. Ini penanda. Ini bukti tentang kemiskinan di Bumi Wiralodra sana. Baik info dari teman-teman maupun yang saya lihat sendiri, di hampir semua perempatan jalan, pengemis-pengemis itu berasal dari Indramayu. Pedagang asongan pun demikian. Pemulung, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, sebagian dari Indramayu pula.

Bahkan saat pengosongan kolong jalan tol di Jakarta Utara, sebagian ternyata berasal dari kabupaten yang merupakan lumbung padi terbesar di Jawa Barat dan Indonesia itu. Saat terjadi kebakaran di kawasan rumah liar di daerah Jagakarsa, September 2007, dari 200-an rumah yang terbakar, sebagian besar penghuninya juga berasal dari daerah penghasil mangga itu.

Dan yang paling menyedihkan, di hampir semua tempat hiburan di Jakarta, banyak ditemui perempuan-perempuan muda asal desa-desa di Indramayu. Di kawasan Manga Besar, Lokasari, Gajah Mada, Hayam Wuruk, Pangeran Jayakarta, dan wilayah Jakarta lain, dengan mudah ditemui perempuan (penghibur) asal kabupaten penghasil minyak dan gas bumi cukup besar itu. Logat mereka saat bicara, baik dengan sesama teman maupun tamu yang tengah ditemani, tidak dapat menyembunyikan daerah asal mereka.

Fakta-fakta itu dapat menjadi bukti bahwa kemiskinan masih menghiasi Bumi Indramayu. Pembangunan selama bertahun-tahun, termasuk pertanian, belum membawa perubahan cukup berarti untuk memerangi kemiskinan. Demikian pula, eksploitasi habis-habisan migas sejak awal 1970-an, tetap membuat kemiskinan di daerah pesisir utara Jawa Barat itu.

Entah apa yang dilakukan pemerintah daerah Indramayu selama ini. Mengapa kekayaan alam yang melimpah, bumi yang subur, dan penduduknya yang dikenal sebagai pekerja keras, seperti menjadi sebuah kutukan?

Begitu banyak migas yang disedot dari Indramayu. Begitu banyak pula ikan hasil tangkapan nelayan yang dikirim ke Jakarta dan daerah lain. Belum lagi lahan pertanian (tanaman padi) yang mampu memproduksi 1,3 juta gabah kering giling. Itu semua tidak mampu mengubah Indramayu menjadi lebih baik. Sebagian penduduknya terus dililit kemiskinan.

Laki-laki dan perempuan terpaksa keluar kampung, merantau ke daerah-daerah yang sebelumnya asing bagi mereka. Batam, Pekanbaru, Dumai, Jambi, Lubuk Linggau, Palembang, Bandar Lampung, serta beberapa daerah di Kalimantan. Sebagian perempuan muda yang merantau akhirnya terjerumus di tempat-tempat prostitusi.

Sebagian perempuan muda Indramayu lain memenuhi tempat-tempat hiburan di Jakarta, seperti panti pijat, diskotek, atau lokalisasi. Ratusan ribu laki-laki dan perempuan lain, dengan gagah berani masuk ke negara lain, seperti negara-negara di Timur Tengah, Taiwan, Korea Selatan, Jepang, dan lainnya.baik sekadar menjadi pembantu rumah tangga atau sopir. Sebagian di antara mereka disiksa majikan. Ada yang cacat seumur hidup ada pula meninggal dunia.

Sebagian tenaga kerja wanita asal Indramayu tersebut, tertipu dan dipaksa masuk ke tempat hiburan di negara lain. Di Kuala Lumpur (kawasan Bukit Bintang), Singapura, Sabah, Sarawak (Kinibalu dan Sandakan), mereka konon terjerumus ke dalam "lumpur"..

Belakangan, sebagian bahkan nekat "bekerja" di Jepang. Konon di negara Matahari Terbit itu pun perempuan-perempuan muda tersebut menjadi wanita penghibur. Konon pula, pengiriman mereka ke Jepang berkedok misi kebudayaan.

Kemelaratan memang telah membuat sebagian penduduk Indramayu mencari jalan pintas untuk bertahan hidup, atau mencari kehidupan lebih baik bagi dirinya dan keluarga. Jika kampung halaman mampu memberi sumber nafkah, tentu tidak akan begitu banyak penduduk Indramayu berbondong-bondong mencari uang dengan cara mengemis, memulung, mengamen, menjadi penghibur, atau menjadi pembantu rumah tangga di negara orang.

Kondisi seperti ini tentunya harus menjadi perhatian serius Pemerintah Kabupaten Indramayu (udah ah capek)

Situ-situ di Tangerang Tidak Terurus

KOMPAS - Kamis, 04 Nov 1999 Halaman: 16 Penulis: MUL Ukuran: 2672

SITU-SITU DI TANGERANG TIDAK TERURUS

HILANGNYA situ-situ dan banjir kiriman dari Bogor, merupakan
dua kambing hitam yang gampang ditunjuk jika Jakarta banjir. Apalagi
saat musim hujan seperti saat ini. Ibaratnya, Pemerintah Daerah
(Pemda) DKI tidak ada salahnya. Setiap tahun, mereka sudah membuat
proyek untuk menyongsong datangnya banjir.

Namun begitu, tuduhan situ sebagai salah satu penyebab banjir
mungkin benar. Sejumlah situ (danau) di Tangerang sejak lama memang
tidak terurus dan mengalami pendangkalan. Kondisi demikian dapat
menimbulkan terjadinya banjir di kawasan permukiman sekitarnya. Situ
sebagai lokasi parkir air, tidak mampu lagi menampung limpahan air
hujan di kawasan sekitarnya.

Berubahnya situ dan sejumlah rawa-rawa menjadi daratan, di
beberapa lokasi telah menimbulkan kesengsaraan bagi warga setempat.
Beberapa kompleks perumahan di kawasan Periuk, Kotamadya Tangerang
misalnya, setiap tahun selalu dilanda banjir ketika musim hujan tiba.
Perumahan di kawasan ini beberapa tahun lalu dibangun di bekas
rawa-rawa yang diuruk untuk membangun rumah.

Saat hujan tiba, genangan air sulit terbuang dan membanjiri
sebagian rumah warga. Padahal sebelum rawa-rawa itu menjadi kompleks
perumahan, telah menjadi tempat pembuangan air hujan.
Pengamatan menunjukkan, salah satu situ yang mengalami
pendangkalan paling parah adalah Situ Cipondoh, di Kotamadya
Tangerang. Sebagian permukaan situ telah berubah menjadi daratan, dan
sebagian lainnya dibiarkan telantar dan telah dipenuhi semak-semak
tumbuhan air.

Situ paling luas di Kotamadya Tangerang itu, hanya sebagian
kecil yang terurus yakni yang berbatasan dengan Jl KH Hasyim Ashari.
Beberapa waktu lalu situ di bagian itu dikeruk dan diangkat tanahnya.
Di pinggiran situ di bagian itu juga telah berdiri sejumlah bangunan.

Menurut Kepala Bagian Hubungan Masyarakat (Kabag Humas) Pemda
Kotamadya Tangerang, Said Endrawiyanto, Rabu (3/11), pengelolaan Situ
Cipondoh langsung ditangani oleh Pemda Jawa Barat. Pemda Tangerang
tidak bisa berbuat apa-apa untuk memelihara situ yang terdapat di
wilayahnya itu. Apalagi sejak beberapa tahun lalu ada rencana hendak
membangun situ seluas 110 hektar itu menjadi kawasan wisata air. Namun
hingga kini rencana proyek tersebut macet.

Situ lain pun, seperti Situ Kelapadua, Curug dan Situ Pamulang
terbengkalai. Situ Kelapadua bahkan berubah menjadi daratan, dan
ditumbuhi semak-semak. Dengan kurangnya perhatian pemda terhadap situ,
bisa dimengerti pengurugan situ bisa terjadi begitu saja. Ancaman
banjir pun menjadi bukan sesuatu yang aneh. (agus mulyadi)

Kota Tenjo Dijarah, Gagal Gemerlap

KOMPAS - Senin, 28 Jun 1999 Halaman: 21 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 9008

KOTA TENJO DIJARAH, GAGAL GEMERLAP

DUA perempuan setengah baya jalan beriringan di jalan setapak di
Desa Cikasungka, Kecamatan Cisoka, Kabupaten Tangerang, akhir April
1999 lalu. Masing-masing membawa beban berat di atas kepala: kusen
pintu. Tak tampak rasa khawatir di wajah keduanya, meski tahu kusen
yang dijunjung itu mereka copot tanpa izin dari kawasan perumahan Kota
Tenjo.

KOTA Tenjo mulai dibangun sejak 1998. Pengembangnya, PT Prasetya
Mulya. Krisis ekonomi yang melanda negeri ini langsung dirasakan PT
Prasetya Mulya. Apalagi setelah Bank BHS yang mendanai pembangunan
perumahan itu dilikuidasi, PT Prasetya Mulya langsung bangkrut.

Setahun setelah krisis moneter, PT Prasetya Mulya hengkang dari
lokasi, meski sudah cukup banyak rumah yang telah selesai dibangun.
Hanya empat Satpam ditinggalkan menjaga lokasi. Agaknya, minimnya
penjaga itulah yang mendorong orang-orang tak dikenal datang menjarah.
Mereka mengambil apa saja yang bisa dijadikan uang atau dipakai
sendiri. Semisal genteng, kusen, kaca jendela, daun pintu dan jendela
serta marmer.

Penjarahan tidak hanya malam hari, juga siang hari. Hingga
sekarang penjarahan belum berakhir, seperti yang dilakukan dua
perempuan setengah baya itu.

"Biasanya penjarahan dilakukan malam hari. Bila siang hari,
kadang-kadang kami masih bisa menghalau mereka," kata Kemasnayni,
satpam perumahan Kota Tenjo. Menurut dia, penjarahan bisa leluasa
karena kurangnya tenaga satpam. Sejak pengembangnya bangkrut jumlah
satpam dikurangi dari sebelumnya 27 orang menjadi empat orang.
Sekitar 50 meter dari lokasi perumahan Kota Tenjo terdapat pos
polisi.

Penjarahan serupa tidak hanya terjadi di Kota Tenjo. Di perumahan
tetangganya, Persada Tridaya Agung, di sebelah barat, penjarahan juga
terjadi. Bahkan di perumahan ini, dari 208 unit rumah yang telah
selesai dibangun, satu pun tidak memiliki kaca jendela lagi. Semuanya
hilang atau dipecahkan orang tidak dikenal. Sebagian genting rumah
juga tidak lagi di tempatnya.

Sebagian rumah lain di Persada Tridaya Agung yang belum selesai
dibangun, malah telah rata dengan tanah. Sama seperti di perumahan
Kota Tenjo, bangunan rumah itu dirubuhkan untuk diambil besi betonnya.
Penjarahan hanya terjadi di dua kawasan perumahan itu. Kompleks
perumahan yang persis berdampingan dengan Kota Tenjo, yakni perumahan
Bukit Cikasungka, aman-aman saja. Mungkin karena sebagian rumah telah
berpenghuni dan satpam yang menjaga cukup banyak, para penjarah tidak
berani beraksi di Bukit Cikasungka.

KOTA Tenjo terletak di Desa Tenjo, Kecamatan Tenjo, Kabupaten
Bogor. Lokasi kawasan perumahan itu, di sebelah utara berdampingan
dengan kompleks perumahan Bukit Cikasungka dan Taman Adiayasa,
Kecamatan Cisoka, Kabupaten Tangerang. Di sebelah barat, Kota Tenjo
berdampingan dengan Kecamatan Maja, Kabupaten Lebak. Di Maja, lahan
seluas 4.775 hektar telah dikuasai 15 pengembang perumahan. Namun
pembangunan perumahan di daerah itu pun kini telah rontok.

Memasuki kompleks perumahan Kota Tenjo, tidak ubahnya seperti
memasuki belantara hutan beton mati. Sebanyak 800 unit rumah yang
telah dibangun, tidak berpenghuni. Bahkan sebagian rumah yang
menyebar di hampir semua blok, kini tidak seperti dalam ujudnya
semula.

Rumah-rumah tipe 18, 21, 27, 36, dan 45 itu telah dirusak.
Kusen-kusen jendela dan pintu tidak berada di tempatnya lagi. Daun
pintu dan jendela serta kacanya, juga raib. Genteng rumah, besi beton,
telah diambil oleh tangan-tangan jahil. Puluhan rumah dihancurkan dan
dirubuhkan, agar besi betonnya mudah diambil.
S
iapa pelaku penjarahan di dua kompleks perumahan, Kota Tenjo dan
Persada Tridaya Agung, sampai sekarang belum diketahui. Orang-orang
tidak dikenal itu entah datang dari mana.

Kota Tenjo dan Persada Tridaya Agung dibangun di atas bekas lahan
perladangan rakyat setempat. Kendati sebagian besar lahan yang
digunakan merupakan tanah negara, warga setempat sejak lama telah
memanfaatkannya sebagai sumber nafkah hidupnya.

Sebelum berubah menjadi hutan beton, dan lahan gersang tanpa
tanaman karena telah diratakan pengembangnya, lahan di Desa Tenjo dan
Desa Cikasungka yang ditempati Kota Tenjo dan Persada Agung, ditanami
berbagai jenis palawija. Kacang tanah, kacang bogor, pisang, ubi jalar,
singkong, dan padi, bisa tumbuh subur di atasnya. Rambutan dan pohon
keras lainnya, juga menjadi andalan warga untuk menyambung hidup.

Ketika pada tahun 1995 datang pengembang, warga pun tidak bisa
berbuat apa-apa. Dengan membawa alasan demi pembangunan, orang berduit
itu pun membebaskan lahan yang selama ini menjadi tumpuan hidup warga.

Dengan harga pembebasan yang bisa disebut tidak manusiawi, lahan
produktif itu pun berpindah tangan. Dan dengan alasan bahwa sebagian
besar tanah itu milik negara, ganti rugi yang diberikan kepada warga
penggarap, sangat murah. Tanah negara yang akhirnya berpindah tangan
itu, membentang di kawasan Tenjo dan Cikasungka.
"
Petani yang menggarap lahan di sini hanya mendapat ganti rugi Rp
150 sampai Rp 200 per meter persegi. Kami tidak bisa berbuat apa-apa,
karena tanah di kawasan ini memang tanah negara," kata Sarnata (35),
warga Desa Tenjo.

Kerugian petani tidak hanya sangat rendahnya harga ganti rugi
tanah garapan mereka. Sebagian lahan yang mereka garap pun sampai
sekarang, belum mendapatkan ganti rugi. Kendati sudah berubah bentuk
setelah diacak-acak buldoser, sehingga petani tidak bisa bercocok
tanam lagi, mereka tidak bisa menuntut ganti rugi. Apalagi sekarang,
setelah pengembang yang membangun perumahan Kota Tenjo dan Persada
Agung bangkrut.

Dari ladang di atas tanah negara tersebut, Sarnata misalnya, bisa
memanen singkong yang kalau dinilai uang sekitar Rp 300.000 setiap
musim tanam, padi sebanyak rata-rata lima kuintal lebih per musim
tanam, ubi jalar sampai 1,5 kuintal sekali panen. Dia juga menanam
kacang bogor yang terkenal enak rasanya. Hasil bumi itulah yang bisa
menghidupi Sarnata dan keluarganya, serta ribuan warga lainnya.

Kesengsaraan lain yang dialami warga akibat datangnya pengembang
perumahan, belasan hektar sawah di Desa Cikasungka kini tidak bisa
digarap. Persawahan yang terletak di tepi tanah urugan perumahan
Persada Tridaya Agung, telah tertutup tanah yang berasal dari urugan
perumahan. Karena tidak dipagari dinding pembatas, tanah urugan yang
sekitar dua meter lebih tinggi dari sawah, terbawa air dan menutup
permukaan sawah.

"Sudah empat musim tanam sawah tidak bisa ditanami padi," kata
seorang warga Cikasungka. Para pemilik sawah sebenarnya berharap,
pengembang yang membangun perumahan Persada Agung sekalian membebaskan
lahan mereka. Jangan seperti sekarang, gara-gara tidak bisa dibebaskan
dulu, warga "diteror" dengan pengiriman lumpur saat hujan yang
menutupi sawah mereka.

KINI setelah sektor properti ambruk, Kota Tenjo dan Persada
Tridaya Agung pun turut terhenti pembangunannya. Kawasan itu
sebagian telah berubah menjadi lahan beton. Sedangkan lahan yang
telah diratakan oleh pengembang, tidak ubahnya padang tandus.
Hanya sebagian lahan telantar yang masih bisa digarap warga untuk
bertani.

Tidak diketahui pasti penyebab sampai terjadinya penjarahan itu.
Apakah pengambilan perlengkapan rumah secara paksa itu merupakan wujud
"dendam", dari orang-orang yang sebelumnya telah dirugikan oleh
kehadiran perumahan? Apakah mereka membalas pengambilan secara
sepihak, seperti yang sebelumnya dilakukan pengembang terhadap lahan
yang menjadi sumber nafkah mereka? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu
pun sulit diperoleh jawabannya.

Namun kini setelah ratusan rumah di Kota Tenjo rusak, demikian
juga dengan di Persada Tridaya Agung, pihak pengembang yang
membangunnya tentu mempunyai tanggung jawab lain yang harus
diembannya. Pengembang tentu tidak hanya terjerat utang bank, yang
bunganya terus melambung. Mereka pun harus bertanggung jawab kepada
konsumen yang telah membayar uang muka, atau sekadar membayar booking
fee sebagai tanda jadi atas rumah yang mereka pesan.

Kota Tenjo dan Persada Tridaya Agung kini semakin merana. Kawasan
perladangan dan perkebunan yang hendak berubah menjadi kota nan
gemerlap itu kini senyap tanpa penghuni. Kawasan itu telah berubah
menjadi seperti kawasan kota mati dan padang gersang. Tidak ada
manfaat bagi manusia. Kecuali untuk para penjarah... (agus mulyadi)

Teksfoto:
Kompas/mul
DIJARAH - Tidak dihuninya rumah-rumah yang sudah dibangun di Perumahan Kota
Tenjo, memancing orang untuk menjarahnya. Perlengkapan rumah, seperti kusen,
genteng, sampai besi beton pun diambil paksa. Kalau perlu dinding rumah
diruntuhkan, agar lebih mudah mengambilnya. Foto diambil akhir April 1999
lalu.

Alasan Investasi, Tetapi Banyak yang Telantar

KOMPAS - Selasa, 23 Apr 1996 Halaman: 12 Penulis: IM/VOL/PEP/MUL/KSP Ukuran: 4264

ALASAN INVESTASI, TETAPI BANYAK YANG TELANTAR

SEORANG pemilik rumah di Kota Tigaraksa (sekitar 27 km barat
kota Tangerang), menuturkan, dia membeli rumah secara kredit di
tempat itu hanya sekadar iseng sambil investasi. Rumahnya yang
berukuran luas bangunan 93 m2 dan luas tanah 225 m2, kini ditawarkan
untuk over kredit dengan harga Rp 40 juta. Rumah itu baru dibelinya
satu setengah tahun lalu, dan pembayaran kreditnya sebesar Rp
1.450.000 per bulan.

Cicilan rumahnya sudah berlangsung satu setengah tahun, dengan
lama kredit 10 tahun. "Kalau rumah tipe sama yang dibangun sekarang
cicilannya sudah Rp 1,8 juta per bulan. Ukuran tanahnya pun lebih
kecil," kata pemilik rumah di Grogol yang tidak mau menyebutkan
namanya ini.

Menginvestasikan rumah menjadi alasan utama mengapa banyak
rumah kosong. Di Karawaci III misalnya, rumah tipe 54 dengan luas
153 m2 pada tahun 1992 harganya masih Rp 30 juta, maka pada tahun
1996 ini pasarannya sudah naik lebih dua kali lipat, bahkan tiga
kali lipat. Lokasinya yang dekat (antara 1 km dan 2 km) dengan pusat
perbelanjaan terbesar di Indonesia, Lippo Supermal, ikut menyebabkan
harga rumah di kawasan Karawaci III melesat naik.

Pemilik rumah lainnya di Kota Tigaraksa juga dengan tipe
93/225, menyebutkan akan menjual rumah yang dibelinya secara kontan
sekitar satu tahun lalu. Dia menawarkan harga rumahnya dengan harga
kontan Rp 115 juta. Menurut penduduk Joglo ini, harga rumahnya yang
sekarang dibiarkan kosong itu hanya lebih mahal sekitar Rp 15 juta
jika dibandingkan harga pembeliannya dulu. Kelebihan itu, katanya,
hitung-hitung keuntungan yang diperolehnya.

Di kompleks perumahan Citraraya, kondisi serupa juga terjadi.
Sebagian besar rumah terlihat kosong, dan beberapa di antaranya
diberi kertas pengumuman bahwa rumah itu mau dijual atau
dikontrakkan. Seorang pemilik tipe 66/90 menyebutkan akan menjual
rumah yang dibelinya setengah tahun lalu itu seharga Rp 85 juta.
Harga ini lebih mahal dibanding total pembeliannya dulu yang sekitar
Rp 80 juta.

Sementara itu, beberapa warga pemilik lebih dari satu rumah
yang dihubungi Kompas mengatakan, selain alasan untuk anak dan cucu,
motif membeli rumah adalah untuk investasi. Denny misalnya, seorang
pengusaha, mengaku membeli dua unit rumah di BJ seharga Rp 850 juta
untuk investasi. Rumah miliknya yang dia tempati berada di Pondok
Indah. "Saya kira menyimpan uang yang aman dan menguntungkan dalam
bentuk investasi perumahan," kata Denny.

Alasan Denny memilih rumah di BJ selain lokasinya yang
strategis dan lingkungannya bagus, juga harga tanah yang cepat naik.
"Pokoknya kita nggak akan rugilah," tambah Denny yang mengaku satu
rumahnya untuk dikontrakkan, sementara yang satunya lagi dibiarkan
kosong tetapi masih tetap dirawat.

Sementara Jane (47), warga Tomang, mengaku membeli dua rumah di
VBI untuk dua anaknya yang berusia 22 dan 25 tahun. Menurut Jane,
kedua rumah itu dikosongkan dan tidak berniat untuk dikontrakkan.
"Kalau kedua anak saya sudah kawin dan berniat menempati, ya tinggal
diperbaiki atau direnovasi kembali," kata Jane.

Tetapi bagi Ani, ibu rumah tangga yang membeli rumah untuk
anaknya mengakui, rumah sengaja dikosongkan karena alasan di
lingkungan perumahan tersebut masih sepi. "Nanti kalau sudah ramai,
anak saya pasti akan pindah," kata Ani yang juga membiarkan rumah
untuk anaknya itu telantar.

Dari beberapa kawasan pemukiman, rumah tanpa penghuni itu
tampak sebagian besar sebagai rumah kedua. Misalnya Ny Pindi,
membeli rumah di Perumahan Pondok Timur Indah Jatimulya hanya untuk
investasi. Rumah bertipe 45/110 itu kemudian dijual dengan harga Rp
45 juta. Setelah rumah itu terjual, ia membeli rumah lagi di

Perumahan Bekasi Jaya Indah (BJI) Bekasi Timur. Dia sendiri bersama
keluarganya sehari-hari tinggal di Peninsula Estate di Pekayon,
Bekasi Selatan.(im/vol/pep/agus mulyadi/ksp)
teks foto:
Kompas/pep
RUMAH ILALANG --Sebuah rumah tak dihuni di sebuah perumahan di
Jakarta Selatan, penuh rumput dan ilalang. Rumah itu ada pemiliknya,
meski terkesan dibiarkan telantar tanpa perawatan. Banyak rumah lain
memperlihatkan pemandangan sama.

Jonggol Terlalu Lama Terkungkung

KOMPAS - Senin, 23 Dec 1996 Halaman: 1 Penulis: MUL/BOY/IRA/LOM Ukuran: 10454

JONGGOL, TERLALU LAMA TERKUNGKUNG
YAKUN (21) begitu bersemangat menjelaskan masa depan Jonggol.
Tangan kanan kecuali ibu jari, empat lainnya ditekuk menunjuk
bergantian ke semua arah. Raut wajahnya sangat ceria, menjelaskan apa
saja yang akan dibangun. Di sana hotel, di situ vila, di sana lagi
kolam renang, dan restoran.

"Pokoknya, pariwisata Jonggol mau menyaingi Puncak," katanya.
Siapa yang mau membangun?
"Orang-orang Jakarta. Sebagian besar bukit dan lembah di sini sudah
dibeli mereka. Ada yang mau bangun hotel, vila, dan sebagainya. Ada
juga yang mau menjualnya bila harga cocok. Peranan saya, menghubungkan
calon pembeli dengan pemilik... siapa tahu dapat komisi," tutur Yakun.

Orang-orang Jakarta?
"Betul, persinggungan Jonggol dengan mereka dimulai sekitar 1971,"
kata H Omi (67), sesepuh warga Jonggol yang ditemui di Dusun
Gunungbatu. Dia lahir dan besar di Jonggol selatan.

Ketika jalan aspal dari Desa Jonggol, ibu kota kecamatan, mulai
dibangun menuju kawasan perbukitan di selatan, jumlah orang-orang
Jakarta yang datang makin banyak. Sebelumnya, kalau pun ada yang
datang hanya untuk berburu rusa, kelinci, dan ayam hutan.

"Dan sejak itu terjadi transaksi jual-beli tanah," kata H Omi.
Dia tidak tahu persis luas areal yang sudah dikuasai orang-orang
Jakarta. "Tetapi, rasanya yang kini menjadi milik warga hanyalah
lahan-lahan pertapakan rumah," katanya.

Kepala Dusun I Desa Sukajaya, Encun, melukiskannya dengan angka.
Katanya, di dusun itu 70 hektar lahan warga sudah dijual kepada
orang-orang Jakarta.

"Artinya, seluruh dusun sudah dijual, kecuali pertapakan rumah," kata
Encun.

Di Desa Sukadamai, menurut seorang warganya, Rachmat, 200 hektar
lahan pertanian kering sudah dijual kepada orang-orang Jakarta. Itu
mencakup semua lahan usaha pertanian warga. Yang masih tersisa hanyalah
tanah pertapakan dan pekarangan rumah.

H Omi percaya, kasus sama juga terjadi di desa-desa lain.
"Lembah dan lereng-lereng perbukitan di selatan ini, hampir bisa
dipastikan sudah milik orang-orang Jakarta," katanya.

Karena tak lagi memiliki lahan, menurut H Omi, warga tak hirau tentang
rencana Jonggol akan dijadikan kawasan pariwisata seperti yang dituturkan
Yakun. Seperti juga Yakun, warga lain sering mendengar rencana itu. Tetapi,
karena "tanah Jonggol bukan lagi milik mereka", warga merasa rencana itu
tak ada kaitan dengan mereka.

Pemilik baru orang-orang Jakarta lalu menanam cengkeh dan menggaji
warga mengurusnya. Awalnya pohon cengkeh tumbuh bagus, tetapi setelah
3-4 tahun lalu mati. Orang-orang Jakarta kecewa dan menitipkan
tanahnya kepada warga dengan pesan, boleh mengolah dan menikmati
hasilnya. Dengan cara itu, gaji pun dihentikan. Pemilik baru juga
berpesan bila ada yang mau membeli, dijual saja.

SEJAK November Jonggol memang menjadi buah bibir. Sebuah perusahaan
swasta, PT Bukit Jonggol Asri (BJA) mengajukan gagasan membangun
sebuah kawasan kota mandiri namanya Bukit Jonggol Asri di Jonggol.
Luasnya 30.000 hektar, separoh luas Jakarta atau dua kali luas
Kotamadya Bandung.

Gagasan itu disampaikan kepada Gubernur Jawa Barat bulan Mei 1995
dan bulan Oktober 1995 Gubernur R Nuriana mengirim surat kepada Bupati
Bogor. Isinya, supaya bupati mengamankan lokasi kota mandiri tersebut.
Diawasi, tidak terjadi jual-beli tanah, apalagi bila tujuannya adalah
untuk spekulasi.

Hanya sebatas itu kabar yang diketahui aparat Kecamatan Jonggol.
"Lokasinya, kita tak tahu persis," kata Henry Bahawan, Kepala Urusan
Pemerintahan Kecamatan Jonggol.

Kabar yang diterima aparat kecamatan dan kabar itu diakui belum
pernah dikonfirmasikan kota mandiri BJA akan berlokasi di Jonggol
selatan. Warga menyebut kawasan itu lingkar selatan. Sebuah kawasan
perbukitan yang bersambung di selatan dengan Megamendung - Puncak -
Pacet. Di tenggara bertetangga dengan Kecamatan Cariu yang belakangan
ini menjadi jalur alternatif ke Cianjur apabila jalur Puncak Padat.

"Yang membangun, swasta bekerja sama dengan Pemda Jawa Barat," kata
gubernur.

Lokasi yang diajukan PT BJA berada di 16 desa di kawasan perbukitan
Jonggol selatan. Luas 16 desa itu sekitar 13.000 hektar sudah
termasuk 6.100 hektar kawasan hutan atau hampir separoh luas
kecamatan (24.640 hektar) itu sendiri. Dihuni 59.116 jiwa,
terpecah-pecah dalam perkampungan-perkampungan kecil. Jumlah penduduk
kecamatan, 129.621 jiwa dengan kepadatan 414 jiwa/kilometer persegi.
Terpadat, di Desa Jonggol, ibu kota kecamatan, dihuni 10.412 jiwa,
sementara luas desa hanya 64 hektar.

Karena tidak mencukupi 30.000 hektar, kekurangannya diajukan PT BJA
dari sejumlah desa di Kecamatan Cariu tetangga Jonggol di tenggara -
serta Citeureup dan melebar ke kawasan Sentul.

"SECARA fisik, Jonggol dekat dengan Jakarta tetapi jauh dari
pembangunan," kata H Omi yang mengaku tidak tahu dan belum pernah
mendengar gagasan kota mandiri itu. Karena itu, bila benar mau
dibangun, menurut dia memang sudah saatnya Jonggol diperhatikan.

Hari Rabu (18/12) Presiden Soeharto sudah menyetujui pembangunan
kota mandiri BJA dengan catatan, pembangunan itu harus sesuai dengan
cita-cita bangsa. Yakni mencapai masyarakat adil dan makmur dan bukan
justru memelaratkannya (Kompas, 19/12).

"Puluhan tahun ini kita hanya bisa menikmati kemajuan daerah lain,"
kata H Omi sambil menunjuk ke sebuah tempat yang lebih tinggi di bawah
kaki Gunungbatu. "Bila cuaca baik, di malam hari kita bisa lihat
gemerlapnya lampu-lampu Cileungsi atau Jakarta dari situ" katanya.
Listrik baru bisa dinikmati lima dari 16 desa di lingkar selatan itu.

Sejumlah bangunan rumah permanen memang bermunculan sejak orang-orang
Jakarta membeli tanah di situ. Tetapi, kehadiran rumah-rumah bagus itu
tak ada artinya untuk warga. "Kalau misalnya itu vila dan pelancong
silih-ganti, mungkin sayur dan pisang warga bisa dijual," kata H Omi.

Yang terjadi, rumah-rumah itu lebih sering kosong. Pemilik hanya
sesekali datang, itu pun sudah lengkap membawa persediaan makanan dari
kota. Orang-orang Jakarta menggaji warga setempat -semisal pekerjaan
Yakun sekarang menjaga rumah dan tanahnya. Tetapi H Omi dan warga
lainnya bisa memahami mengapa rumah-rumah bagus itu lebih sering tak
dihuni.

"Jalan saja belum beres," kata H Omi menunjuk salah satu soal dan
sudah lama menjadi biang dari beragam soal yang kemudian muncul di
Jonggol. Salah satunya, warga justru gembira melepas tanahnya begitu
ditawar orang-orang Jakarta karena tak tahu harus berbuat apa lagi
dengan lahan itu. Proses itulah yang terjadi sehingga akhirnya
orang-orang Jakarta bagaikan semut ramai-ramai memborong tanah di
Jonggol selatan.

JALAN aspal tetapi kondisinya kini berlubang-lubang dan aspalnya
sebagian besar sudah terkelupas dari Desa Jonggol ke desa-desa di
selatan baru mencapai Dusun Gunungbatu-I, panjang sekitar 29
kilometer. Jalan itu dibangun secara bertahap sejak 1971 dan baru tiba
di Dusun Gunungbatu tahun 1994.

"Satu tahun kadang hanya dikerjakan satu kilometer," kata H Omi.
Alhasil, jalan yang panjangnya 29 kilometer itu baru selesai setelah
23 tahun. Sementara membangun maju ke depan, jalan "di belakangnya"
sudah pula mulai rusak. Berlubang-lubang lagi dan itu artinya kembali
ke kondisi awal - ketika masih berupa jalan tanah -yang dulu membuat
kawasan selatan tersebut terisolasi.

Hasil pertanian: padi, pisang, bawang panjang, jagung, petai, jengkol,
dan durian (durian Jonggol terkenal enak) tak bisa dipasarkan langsung
oleh petani ke Jakarta atau Bekasi untuk mendapat harga bagus.
Terpaksa dijual kepada pedagang pengumpul yang turun ke desa-desa.
"Soal harga, mereka yang tentukan," kata H Omi.

Pisang misalnya, dibeli pedagang pengumpul Rp 500/tandan besar. Bila
dibawa langsung ke Jakarta atau Bekasi bisa dijual kepada pedagang
eceran Rp 3.000. "Yang menjadi soal, angkutan," kata H Omi.

Desa-desa di selatan dilayani angkutan pik-up hanya sekali dalam
sehari. Pagi berangkat dari Desa Jonggol ibu kota kecamatan dan
siang kembali lagi. Dari Desa Jonggol sudah banyak pilihan, baik ke
Jakarta atau Bekasi. Tetapi, karena berangkat dari desa sudah siang,
tiba di Desa Jonggol kadang sudah malam. Sebab, jarak 29 kilometer itu
karena kondisinya ditempuh sekitar empat jam.

Pisang bisa juga dijual di Desa Jonggol. Tetapi perbedaan harga tak
ada artinya bagi petani. "Paling-paling Rp 100-Rp 200 di atas ongkos.
Ongkos satu tandan besar/kecil, Rp 1.000. Pedagang eceran atau
pengumpul di Desa Jonggol paling membelinya dengan harga Rp 1.700 atau
Rp 1.800," kata H Omi.

Karena itu, petani selatan tak pernah mau menjualnya di ibu kota
kecamatan. Perbedaan harga yang diterimanya cuma seratus-dua ratus
rupiah dibanding dijual kepada pedagang pengumpul. Untuk mendapat
harga bagus harus ke Jakarta atau Bekasi. Tetapi itu artinya
perjalanan dua-setengah hari. Bila tiba di Desa Jonggol malam hari,
menginap dulu dan esoknya baru ke Jakarta atau Bekasi.

Lalu, kembali lagi ke Jonggol, hari sudah siang. Mobil pik-up sudah
keburu berangkat. Terpaksa tunggu lagi satu malam. Bisa juga petani
memilih naik ojek yang jumlahnya cukup banyak di Desa Jonggol. Ongkos
satu orang, Rp 5.000 untuk jarak 29 kilometer itu. "Padahal, yang
dijual hanya 2-3 tandan." kata H Omi.

Kondisi itu membuat petani memilih "diatur" oleh pedagang pengumpul.
"Sepintas orang lalu mengira kami ini pemalas," kata H Omi. Harga yang
ditentukan sepihak oleh pedagang pengumpul dan selalu harus diterima,
selain tidak ada pilihan juga kebutuhan dapur mendesak membuat petani
kecewa dan tertekan. Pada gilirannya, petani lalu "ogah-ogahan" dengan
hidupnya.

PASAR lain untuk hasil-hasil pertanian Jonggol selatan adalah
kawasan wisata Puncak-Pacet-Megamendung. Petani bisa mencapai pasar itu
dari Desa Sukawangi. Sukawangi Cimacan sudah dihubungkan oleh jalan
aspal meski masih jalan desa yang mulus.

Sukawangi belum terhubungkan dengan desa-desa lain, karena jalan
aspal baru sampai Desa Gunungbatu. (agus mulyadi/boy/ira/lom)

Jonggol Diamankan sejak Oktober 1995

KOMPAS - Jumat, 06 Dec 1996 Halaman: 12 Penulis: PUN/MUL/BOY/LOM Ukuran: 4063
JONGGOL DIAMANKAN SEJAK OKTOBER 1995

BUPATI Kabupaten Bogor sudah diminta mengamankan lokasi yang
direncanakan untuk pembangunan kota mandiri Bukit Jonggol Asri (BJA).
Langkah pengamanan tersebut untuk mencegah terjadinya spekulasi tanah.
Karena itu, mutasi atau peralihan hak atas tanah harus diawasi.

Permintaan pengamanan tersebut disampaikan Gubernur Jawa Barat R
Nuriana lewat suratnya bertanggal 9 Oktober 1995. Informasi yang
dihimpun di kantor Kabupaten Bogor hari Kamis (5/12) itu berbeda
dengan pernyataan sejumlah pegawai di kantor Kecamatan Jonggol.

"Kita sih sudah mendengar rencana itu, tetapi hanya sekadar dengar. Apakah
betul atau tidak, kita tak tahu," kata Kepala Urusan Pemerintahan
Kecamatan Jonggol Henry Bahawan (Kompas, 4/11).

Menurut informasi itu, bulan Mei 1995, sebuah perusahaan swasta, PT
BJA (Bukit Jonggol Asri) mengajukan proposal kepada Gubernur Jawa
Barat membangun kota mandiri yang diberi nama Bukit Jonggol Asri (BJA)
di Kecamatan Jonggol. Lima bulan setelah proposal diajukan, gubernur
mengirim surat kepada Bupati Bogor minta lokasi yang direncanakan
untuk BJA, diamankan.

Lokasi untuk kota mandiri BJA tersebut meliputi areal seluas 30.000
hektar, terletak di Kabupaten Bogor meliputi Kecamatan Jonggol,
Cileungsi, Cariu dan Citeureup. Di dalamnya termasuk areal hutan
seluas 6.000 hektar.

Areal hutan itu akan diganti dan penggantinya dicadangkan di Kabupaten
Bogor. Bila kurang diarahkan ke Kabupaten Bandung, Cianjur,
Majalengka, Garut, Ciamis dan Tasikmalaya. Masing-masing bupati di
situ sudah diminta untuk menyediakan calon lahan pengganti, dengan
tetap memperhatikan aspek tata ruang, tata guna tanah dan kejelasan
status tanah.

Untuk lahan pengganti, harus diutamakan berada pada lahan kritis di
sekitar DAS. Seperti di DAS Citarum (Bandung dan Cianjur), DAS
Ciliwung - Cisadane (Bogor) dan DAS Citanduy - Cisanggarung
(Tasikmalaya dan Ciamis).

Bupati juga diminta mengawasi persyaratan pelaksanaan penggantian
lahan, sesuai ketentuan menteri kehutanan. Harus sesuai dengan ratio
penggantian, dan tak dibenarkan diambil dari tanah negara bebas.

Menurut keterangan yang dihimpun Kompas di kantor Kecamatan Jonggol,
lokasi yang disebut-sebut direncanakan untuk kota mandiri BJA berada
di 11 desa dari 23 desa di kecamatan tersebut. Yakni, Sukaresmi,
Sukadamai, Sukaharja, Wargajaya, Sukawangi, Sukajaya, Sukamakmur,
Sukamulia, Sirnajaya, Cibadak dan Pakuaran.

Menurut proposal yang diajukan PT BJA, lokasi itu mencakup 15 desa.
Selain ke-11 desa itu, ditambah lagi lima desa. Yakni, Cibodas,
Sukanegara, Singasari, Singajaya dan Sukamaju. Luas Kecamatan Jonggol
(23 desa) 24.000 hektar. Karena PT BJA mengajukan 30.000 hektar, maka
kekurangannya diambil dari tiga desa di Citeureup dan lima desa di
Cariu.

Kota mandiri itu rencananya dihuni 1,5 juta jiwa. Atau, kepadatan
hanya 50 jiwa/kilometer persegi.

SAAT ini kepadatan penduduk di Kecamatan Jonggol 414 jiwa/kilometer
persegi. Bila kepadatan diturunkan menjadi 50 jiwa/kilometer persegi,
warga Jonggol menjadi ragu apakah mereka masih dibenarkan tinggal di
desanya apabila rencana kota mandiri itu terlaksana. "Tetapi, kami tak
berkomentar. Kita tunggu saja apa yang terjadi," kata warga. Namun,
warga sangat berharap bisa ikut menikmati kota mandiri itu.

Menurut data 1996, jumlah penduduk di 11 desa itu, 59.166 jiwa atau
45,65 persen seluruh penduduk di Kecamatan Jonggol. Sedangkan di
Kecamatan Jonggol, jumlah penduduknya 129.621 jiwa dengan luas wilayah
24.460 hektar.

Namun, dari 23 desa yang ada di Kecamatan Jonggol, Desa Jonggol
sebagai ibu kota kecamatan memiliki angka kepadatan penduduk
tertinggi. Jumlah penduduk 10.412 jiwa, sedangkan luas lahannya hanya
640 hektar.

Dari jumlah itu, sekitar 45 ribu jiwa bergantung pada sektor
pertanian, 12 ribu jiwa sektor industri dan 9 ribu jiwa sektor
perdagangan. (pun/boy/lom/agus mulyadi)

Kartu Nama dan Petugas yang Sempat Ragu

KOMPAS - Sabtu, 13 Apr 1996 Halaman: 12 Penulis: MUL Ukuran: 5100

KARTU NAMA DAN PETUGAS YANG SEMPAT RAGU

OPERASI pembongkaran tiga vila bermasalah di kawasan Puncak,
Kabupaten Bogor, Kamis (11/4), hampir saja tidak berjalan mulus.
Soalnya, satu di antara tiga vila itu hampir tidak jadi dibongkar.
Pemilik vila itu-sambil menyodorkan sebuah kartu nama-minta
pembongkaran ditunda.

Petugas tampak ragu setelah membaca "nama" pada kartu nama itu.
Menurut pemilik vila berukuran 14 meter kali sembilan meter di atas
lahan 2.000 meter persegi itu, penangguhan diperlukan karena masih
akan dipakai untuk keperluan syuting sinetron. Lokasi vila itu memang
sangat menawan, berada di atas tebing dan dari sana bisa melihat
pemandangan indah di sekitarnya.

Si empunya hajat pembuatan sinetron adalah relasinya, seorang
pengusaha di Jakarta. Sebelum pembongkaran, pemilik vila masih
menunggu dua orang kenalannya yang lain, dari dua lembaga pemerintah
berbeda di Jakarta.

Ketua Tim Operasi Wibawa Praja (OWP), H Fauzi Siin, yang memimpin
pembongkaran, semula tampak bimbang. Dan ketika datang rombongan
Bupati Bogor, HM Edie Yoso Martadipura, Danrem 061/Suryakencana Kol
Inf Eddi Budianto, dan anggota muspida lainnya, Fauzi segera
memberitahukan hal itu.

Si pemilik vila juga terlihat menghampiri Bupati Bogor. Entah apa
yang dibicarakan, tetapi akhirnya diputuskan vila itu tetap dibongkar
seperti yang telah diputuskan sebelumnya. Menurut Eddie Yoso, tiga
vila yang dibongkar tim, sebelumnya telah diberi surat perintah
bongkar sampai tiga kali. Tapi pemiliknya tidak mau membongkar
sendiri.

"Kalau tidak jadi dibongkar, nanti akan merusak sistem dan bisa
jadi preseden," kata Fauzi kepada wartawan.

Namun adanya "sedikit hambatan" itu membuat pembongkaran sedikit
terhambat. Tim petugas yang telah selesai membongkar dua vila lainnya,
harus menunggu barang-barang di dalam vila dikeluarkan terlebih
dahulu, sebelum penggusuran dilaksanakan. Akibatnya, jam kerja tim itu
pun molor sampai sekitar pukul 12.00 Wib. Padahal dalam
pembongkaran-pembongkaran vila sebelumnya, biasanya tim yang mulai
bekerja pukul 06.00 itu sudah bisa menyelesaikannya paling lambat
sekitar pukul 09.00 Wib.

BEKING orang kuat yang melindungi vila bermasalah di Puncak, atau
orang-orang kuat di Jakarta itu sendiri yang memiliki vila, kerap
seperti menjadi hambatan penataan kembali kawasan resapan berhawa
sejuk itu. Pihak Pemda Kabupaten Bogor, harus benar-benar berhitung
menghadapi kondisi seperti itu.

Namun dalam beberapa kesempatan, Bupati Bogor HM Eddie Yoso
Martadipura menegaskan, pihaknya tidak akan pandang bulu. Artinya,
siapa pun pemilik vila kalau memang bermasalah tetap akan diratakan
dengan tanah. Upaya itu dilakukan untuk mengembalikan fungsi
konservasi lingkungan kawasan Puncak.

Dalam operasi pembongkaran tiga vila Kamis lalu, upaya pemda
menertibkan Puncak mendapat dukungan pejabat pemerintah di tingkat
pusat. Menteri Negara Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmaja, dan Jaksa
Agung Singgih bersama puluhan anggota rombongan, datang meninjau
pembongkaran.

Kedatangan dua pejabat tinggi itu, seakan menambah dukungan moral
bagi aparat pemda setempat untuk terus menertibkan bangunan bermasalah
di Puncak. Dengan dukungan penuh tersebut, diharapkan pemda tidak
ragu-ragu lagi untuk terus menjalankan tugasnya.

Sarwono mengatakan bahwa pembongkaran bangunan bermasalah di
Puncak merupakan wewenang pemda setempat, dan tidak akan diambil alih
pusat. Sarwono menegaskan, dukungannya terhadap upaya pemda.

"Kami dari kejaksaan memberikan dukungan kepada aparat di daerah
supaya jangan ragu-ragu. Tetapi juga, seperti yang sudah saya
sampaikan kepada bupati dan anggota muspida, supaya diteliti yang
benar. Artinya, secara cermat apakah menurut ketentuan hukum itu
benar-benar terjadi pelanggaran atau tidak. Kalau terjadi pelanggaran,
apakah itu ada premannya, apa ada bekingnya, pokoknya jangan
ragu-ragu," kata Jaksa Agung Singgih pula (Kompas, 12/4).

Dukungan pejabat tingkat pusat itu, setidaknya akan makin menambah
semangat kerja tim pembongkar. Sebab ke depan ini, tampaknya Tim OWP
akan semakin sering turun ke lapangan membongkar bangunan-bangunan
bermasalah. Setidaknya sekitar 100 lagi vila bermasalah, kata Fauzi
Siin, menjadi sasaran prioritas pertama pembongkaran.

Menurut Fauzi Siin, sasaran utama operasi pembongkaran vila oleh
tim yang dipimpinnya adalah bangunan yang menyalahi tiga aspek
sekaligus. Yakni, dibangun di atas tanah negara, melanggar peruntukkan
sesuai RDTR (rencana detail tata ruang), dan tidak memiliki IMB (izin
mendirikan bangunan).

Setelah itu, bangunan-bangunan dengan satu atau dua masalah dari
tiga masalah yang disebutkan di atas. Berapa jumlahnya, belum
diberitahu oleh Fauzi. Hanya saja, dukungan langsung pejabat pusat
tampak telah berhasil mendorong "keberanian" petugas.

Ke depan ini mungkin akan muncul bukan lagi satu, tetapi tiga atau
sepuluh kartu nama... (agus mulyadi)
KOMPAS - Sabtu, 30 Mar 1996 Halaman: 8 Penulis: SUR/LOM/MUL/PUN Ukuran: 6319
KEBAKARAN GEDUNG DAN PINTU DARURAT

KORBAN kebakaran Pasar Kembang atau Pasar Anyar Bogor sampai hari
kedua kemarin meningkat menjadi sedikitnya 78 orang. Sebelumnya tidak
diperkirakan korban akan sedemikian banyak, seandainya petugas pemadam
kebakaran diinformasikan ada puluhan pekerja terkurung di ruangan
Toserba Ramayana.

Dengan berbekal informasi itu petugas pemadam kebakaran bisa
melakukan evakuasi segera setibanya di lokasi kejadian. Terbukti
kebanyakan jenazah korban, menurut keterangan petugas yang
mengevakuasinya, ditemukan berada di sepanjang tepi jendela kaca
gedung semi permanen Toserba Ramayana, di lantai paling atas berusaha
mencari jalan keluar.

Korban, yang kebanyakan karyawan Toserba Ramayana, tidak berhasil
menerobos jendela. Kemungkinan besar sebelum terbakar korban sudah
lebih dulu meninggal karena teracuni oleh asap tebal. Lebih dulu
meninggal karena kekurangan oksigen atau menghirup asap beracun dari
bahan plastik yang terbakar.

Sama seperti juga korban kecelakaan bus yang terbakar, korban
kebakaran Pasar Kembang tidak bisa menyelamatkan diri karena tidak ada
pintu keluar atau pintu daruratnya.

Korban mungkin bisa dihindari atau paling tidak dikurangi jika
pembangunan gedung pasar betul-betul memperhatikan segala prosedur
keselamatan dari kebakaran, bukan sekadar adanya pintu darurat.
Beberapa fakta yang ditemukan menunjukkan gedung itu tidak dilengkapi
fasilitas penyelamatan dari kebakaran.

Menurut keterangan yang dikumpulkan Kompas, beberapa fakta yang
menunjukkan ketidakpedulian itu antara lain bangunan yang dipergunakan
oleh Ramayana adalah bagian tambahan gedung berupa bangunan semi
permanen, yang tidak dilengkapi dengan pendeteksi asap, alarm
kebakaran, penyembur air otomatis.

Gedung Toserba Ramayana itu tidak memiliki tangga darurat
kebakaran, selain itu ketika terjadi kebakaran semua pintu keluar
tertutup rapat. Praktis tidak ada komunikasi dari dalam ke luar
gedung.

Semua bagian gedung yang seharusnya dibiarkan kosong untuk parkir
mobil pemadam kebakaran malahan dipenuhi oleh perlengkapan pedagang
kaki lima. Semua hidran yang dipasang ketika membangun gedung tidak
bisa digunakan karena tidak ada airnya. Petugas pemadam kebakaran
terpaksa menggunakan hidran PDAM.

Kelengkapan
Apa saja kelengkapan alat menghadapai bahaya kebakaran dalam suatu
gedung?
Usaha pertama ialah menghindari jangan sampai muncul api yang
tidak terkendali. Mungkin kebakaran tidak bisa dihindari, tetapi
korban jiwa bisa dikurangi jika sesegera mungkin semua orang dalam
gedung mengetahui terjadi kebakaran atau akan terjadi kebakaran.

Pendeteksi asap, yang kemudian secara otomatis menyalakan alarm
dan mengaktifkan semprotan air otomatis yang dipasang di langit-langit
ruangan, adalah alat pertama untuk menghindari kebakaran. Asap tebal
akan mengaktifkan pendeteksi asap.

Sejumlah tips diungkapkan Kapten Bud Gundersen, Kepala Departemen
Pemadam Kebakaran Los Angeles, Amerika Serikat, bagi bangunan usaha
bisnis kecil, antara lain tangga darurat harus bersih dari segala
barang sepanjang waktu. Padahal kebanyakan gedung-gedung di Indonesia
tangga darurat sering dimanfaatkan sebagai tempat barang bagaikan
gudang yang akan menghambat lalu-lintas.

Sering kali dengan pertimbangan keamanan pemilik usaha mengunci
pintu keluar, seperti yang dilakukan oleh pengelola Ramayana saat
pegawainya melakukan pencatatan stok. Menurut Gundersen semua pintu
keluar harus tidak dikunci pada saat jam kerja atau ada alat khusus
yang bisa digunakan oleh pegawai untuk membuka pintu dari dalam tanpa
kunci ketika terjebak api.

Departemen Pemadam Kebakaran Kota Vancouver (Vancouver Fire and
Rescue Services) mewajibkan gedung-gedung malakukan tes pencegahan
kebakaran, mulai dari alarm sampai tempat parkir mobil pemadam
kebakaran. Setiap bulan pemilik gedung diharuskan menjalankan beberapa
tes kesiagaan sistem keamanan dari kebakarannya.

Tes-tes itu antara lain mulai dari alarm harus berfungsi, paling
tidak satu alarm manual bisa berfungsi, lampu darurat ber-fungsi
(sering kali ketika kebakaran aliran listrik mati jadi perlu lampu
darurat bertenaga baterai), alat pemadam kebakaran berfungsi, sampai
tempat parkir mobil pemadam kebakaran harus selalu kosong.

Di Amerika Serikat, di mana peraturan mengenai keselamatan dan
kesadaran masyarakatnya yang tinggi, bencana kebakaran termasuk
bencana yang mengambil korban jiwa tinggi. Selama tahun 1994 saja
menurut catatan National Fire Protection Association 4.275 penduduk
sipil meninggal dan 27.250 luka parah akibat kebakaran.

Melihat bencana kebakaran, bus terbakar maupun pasar terbakar,
sangat jelas pengelola gedung atau juga pengembang yang membangun
gedung tidak menempatkan keselamatan dari kebakaran pada tempat
pertama. (sur/lom/pun/agus mulyadi)

Foto:
PENUH BARANG- Lorong-lorong yang memang dipersiapkan untuk parkir mobil pemadam
kebakaran (dekat keran hidran) penuh dengan barang-barang dagangan. Selain itu
hidran yang disiapkan pengelola gedung semuanya tidak berfungsi. Hidran-hidran
itu menggunakan air tanah. Kondisi seperti itu menghambat penyelamatan maupun
usaha pemdaman api.

Keppres dan Mental Aparat

KOMPAS - Selasa, 27 Feb 1996 Halaman: 8 Penulis: BAR/MUL Ukuran: 6985

KEPPRES DAN MENTAL APARAT (2-HABIS)

MASALAH pembangunan liar di Puncak, Jawa Barat sudah merebak
sejak tahun 1980-an. Setiap pakar lingkungan meramaikannya di media
massa. Namun pimpinan daerah di Jawa Barat, baik tingkat I atau II,
selalu mengatakan, segala bentuk penyimpangan mengenai pembangunan di
kawasan Bogor- Puncak-Cianjur (Bopunjur) akan ditindak tegas!

Belasan tahun kemudian, kerugian yang ditimbulkan hancurnya
kawasan Bopunjur makin besar dan menjadi "mimpi buruk" bagi warga Ibu
Kota. Bukan hanya jalan dan rumah yang tenggelam, tapi semua kegiatan
berhenti. Menteri Negara Lingkungan Hidup, Sarwono Kusumaatmadja
mengatakan, nilai kerugian itu jika dirupiahkan bisa mencapai
trilyunan rupiah.

Kerusakan gedung, jalan, kendaraan, alat-alat rumah tangga,
peralatan elektronik, barang-barang berharga, tertundanya atau
batalnya keberangkatan penerbangan di Bandara Soekarno-Hatta dan
batalnya transaksi-transaksi ekonomi penting yang nilainya sangat
besar.

Misalnya, kerugian PT Telkom yang mencapai milyaran rupiah
akibat terendamnya sentral telepon di Jl. Gatot Subroto, serta
hilangnya ribuan pulsa akibat putusnya hubungan telepon itu. PT Astra
melaporkan, 4.000 unit mobil yang sudah siap dipasarkan, rusak berat
akibat banjir karena terendam.

Demikian pula dengan kerugian yang tak ternilai harganya, yaitu
hilangnya 22 jiwa akibat banjir tersebut. Sedang jawaban pimpinan
daerah di Jawa Barat masih sama dengan belasan tahun lalu, yakni bahwa
segala bentuk penyimpangan itu akan ditindak tegas. Bahkan masih
dibumbui kata-kata, tidak ada yang kebal hukum!

KENYATANNYA ribuan vila-vila mewah, kompleks perumahan,
perdagangan, industri, dan lapangan golf muncul di kawasan Bopunjur.
Wajar jika kuat dugaan bahwa ada yang "tak beres" pada aparat pemberi
izin dan pengawas pembangunan di kawasan itu, atau memang benar ada
"kekuatan" besar yang berdiri di belakang pembangunan vila-vila itu.

Berdasarkan pengamatan Kompas, pada lahan milik negara pun vila
itu sudah bermunculan. Misalnya di kawasan resapan Desa Cibeureum,
Kecamatan Cisarua. Lahan yang sudah ditetapkan sebagai kawasan resapan
air itu bahkan sudah beberapa kali pindah tangan diperjualbelikan.

Misalnya di blok Barusireum, dimana berdiri sejumlah vila yang
belum lama selesai dibangun. Satu di antaranya berada tidak jauh dari
vila yang pernah dibongkar tim OWP (Operasi Wibawa Praja) Pemda
Kabupaten bogor pertengahan Januari 1996 lalu.

Di Desa Cibeureum itu pun saat ini mulai dibangun sebuah kawasan
vila bernama Bukit Nirwana. Dari lahan-lahan yang sudah dikavling dan
sedang dipasarkan itu, sudah selesai dibangun 7 vila mewah.
Penyimpangan penggunaan lahan juga terjadi di atas tanah negara bekas
Perkebunan Cisarua Selatan yang telah habis HGU (hak guna usaha)-nya
pada tahun 1970-an.

Seorang pejabat di Pemda TK II Bogor mengakui bahwa dari 150 vila
di desa Cibeureum itu, yang berdiri di atas tanah negara maupun hak
milik, hanya 40 yang memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Ditambahkannya, di Desa Jogjogan, Blok Curug, saat ini 6 unit vila
baru selesai dibangun. Di desa itu hampir semua lahan pertanian sudah
dibeli "orang Jakarta".

Menurut dia, penyimpangan pembangunan di kawasan Bopunjur itu
sesungguhnya berhubungan dengan "ketidakberesan" pejabat.
Dicontohkannya, mantan Bupati Cianjur periode 1983-88, Ir Arifin
Yoesoef sebelum meletakkan jabatannya, bekerja sama dengan DPRD
Kabupaten Cianjur sudah mengeluarkan Perda Nomor 3, yang menyangkut
Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kawasan Puncak.

Pada RDTR itu sudah ditetapkan kawasan-kawasan lindung, kawasan
penyangga, kawasan budidaya nonpertanian, dan kawasan jalur pengaman
aliran sungai dan mata air. Namun pada era Bupati berikutnya, yang
dipegang H. Eddi Soekardi, muncul keputusan Pemda TK II Cianjur yang
baru, yang membuat lahan-lahan pertanian produktif di desa-desa
seperti Sukarngalih, Sindangjaya, Ciloto, Cibadak dan Ciwelan diubah
menjadi "hutan beton" oleh developer.

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Kelompok Masyarakat Cianjur
Untuk Lingkungan Hidup (KMCULH) pernah memprotes keras keputusan
pribadi Bupati Eddi Soekardi tersebut. Waktu itu KMCULH itu bahkan
berani memberikan bukti bahwa tidak satu pun proyek pembangunan
perumahan yang diizinkan Pemda Cianjur itu memiliki Amdal (Analisa
Mengenai Dampak Lingkungan). Hasilnya, semua protes itu berlalu begitu
saja.

Tiap tahun jumlah vila di Bopunjur terus bertambah. Kepala Desa
Megamendung, HA Djadjat kepada Kompas menambahkan, selama hampir 10
tahun terakhir, jumlah vila di desanya telah bertambah lebih dari 300
persen. Ketika dia mulai menjadi Kades Megamendung tahun 1978, jumlah
vila baru sekitar 60 unit. Sekarang ini vila yang tercatat di kantor
desanya sudah sekitar 200 unit. Jumlahnya diperkirakan masih banyak
lagi, karena separuh dari vila yang ada di kawasan itu diduga tak
memiliki IMB, jadi tak diberitahukan ke kecamatan setempat.

GUNA melindungi kawasan Puncak, tidak tanggung- tanggung, telah
muncul 2 Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 48 Tahun 1983 dan Nomor 79
Tahun 1985 yang mengatur penataan ruang kawasan Bopunjur. Bahkan masih
ada satu lagi, yakni Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang pengelolaan
kawasan tata air, yakni ketentuan mengenai permukaan tanah sebagai
resapan air, seperti persawahan dan sungai.

Namun semuanya dianggap sepi. Salah seorang pemilik vila
menceritakan, sebenarnya tidak perlu beking pejabat tinggi di pusat
untuk memperoleh IMB mendirikan vila. Asal punya "pelor" (uang),
ujarnya, jangankan membangun di lereng-lereng puncak atau gunung, di
puncak gunung sekali pun pasti diizinkan.

Diungkapkannya, proses untuk mendapatkan izin lokasi terlebih
dahulu harus ada rekomendasi dari TAT (Tim Asistensi Teknik), yang
beranggotakan pegawai dari Badan Perencana Pembangunan Daerah
(Bappeda), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Asisten I, Dinas
Pertanian, Dinas Parawisata, dan Camat.

Ditambahkan, pengeluaran uang bukan cuma untuk anggota TAT itu,
tapi biaya rapat-rapat mereka di hotel-hotel di Puncak pun harus
ditanggung developer. Menurut dia, pasaran pengeluaran "dana taktis"
itu beberapa waktu lalu di Puncak adalah Rp 300 juta untuk pembangunan
vila-vila yang memakai lahan seluas 15 hektar.

Ucapan pemilik vila itu cukup mencengangkan. Bayangkan, dia mampu
"membayar" sebuah tim yang anggotanya terdiri dari perwakilan dari
berbagai instansi. Dan memang, walau sudah berkali-kali Panglima
Daerah, Gubernur, hingga Menteri (bahkan Keppres) mengancam akan
menindak tegas penyimpangan itu, kenyatannya bangunan-bangunan vila
terus bermunculan di kawasan Bopunjur.

Lalu siapa lagi yang bisa dipercaya dalam kasus Bopunjur ini?
(bar/agus mulyadi)

Terus Berimpit-impit di KRL Jabotabek

KOMPAS - Jumat, 23 Feb 1996 Halaman: 8 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 4815

TERUS BERIMPIT-IMPIT DI KRL JABOTABEK

INI memang cerita lama. Suasana di gerbong-gerbong KRL (kereta rel
listrik) Jabotabek kelas ekonomi dari Bogor ke Jakarta tetap saja
pengap, panas, sesak, berimpitan, dan menebarkan seribu macam aroma
campur aduk. Selalu begitu setiap hari, tidak pernah berubah.

Namun masyarakat pengguna jasa kereta itu, selalu setia. Mereka
rela berdesakan, berimpitan selama bertahun-tahun. Malahan jumlah
masyarakat yang memanfaatkan KRL Jabotabek Bogor-Jakarta Kota pp
(pergi-pulang) terus meningkat.

"Kesetiaan" masyarakat terhadap angkutan massal ini, karena memang
tidak ada pilihan lain. Masyarakat harus nrimo keadaan itu. Sebab
kalau tidak, mereka akan lebih susah lagi mencari angkutan lain
menuju ke tempat bekerja di Jakarta dan pulang ke Bogor. Bus-bus yang
menghubungkan Jakarta-Bogor tidak bisa diandalkan. Selain mahal
jumlahnya juga terbatas. Belum lagi jika terjebak kemacetan lalu
lintas.

Masyarakat akhirnya tetap "harus setia" pada KRL Jabotabek. Lantas
tidak aneh jika 42 perjalanan KRL kelas ekonomi dari Bogor (atau 84
kali Bogor-Jakarta pp), selalu dijubeli penumpang. Sambil berdesakan
dan berebutan, penumpang pun naik dan turun di 22 stasiun KA yang
dilewati.

Sejak beberapa waktu lalu, untuk melayani kebutuhan penumpang
kelas bisnis dioperasikan pula KRL Pakuan. Naik kereta ini suasana
perjalanan sangat jauh berbeda. Selain penumpang tidak berjejal
-kecuali pada pagi dan petang hari- kereta ini hanya berhenti di
terminal tujuan akhir. Perjalanan menjadi jauh lebih singkat. Dalam
satu hari dari Bogor diberangkatkan enam kali atau 12 kali pp
perjalanan KRL Pakuan.

Menurut Kepala Stasiun Bogor, Ismanto, didampingi wakilnya,
Warsono, dalam satu hari dari Stasiun Bogor diangkut antara 12.000
sampai 21.000 penumpang. Sebagian dari jumlah itu adalah masyarakat
pekerja di Jakarta. Selebihnya mulai dari pelajar, mahasiswa,
pedagang, atau pengangguran yang mencoba mencari pekerjaan di Ibu
Kota.

Angka penumpang KRL dari Bogor yang mencapai 21.000 orang,
biasanya terjadi pada Senin. Sedangkan angka 12.000 pada hari Sabtu.
Hari lainnya berkisar 14.000 sampai 17.000 orang.

TINGGINYA kebutuhan masyarakat pekerja dari Bogor atas jasa
angkutan yang cepat dan murah seperti KRL Jabotabek, akan semakin
meningkat di waktu mendatang. Apalagi belakangan semakin banyak
tumbuh perumahan di wilayah selatan Jakarta. Masyarakat pekerja
benar-benar sangat bergantung pada angkutan massal itu.

Maka saat terjadi gangguan pada angkutan itu, masyarakat pun
kalang kabut. Misalnya saat ada KRL anjlok di Lentengagung, Jaksel,
beberapa waktu lalu yang menimbulkan perjalanan kereta terhambat,
sehingga ribuan orang pekerja terkena getahnya. Mereka berhamburan
mencari angkutan lain agar sampai ke tempat kerja di Jakarta.
Sebagian lagi terpaksa membawa surat keterangan terlambat masuk kerja
dari pihak Stasiun Bogor.

Berdiri berdesakan dalam gerbong kereta yang sumpek dan jauh dari
kenyamanan sudah menjadi bagian hidup warga Bogor yang ke Jakarta atau
sebaliknya. "Mas tolong tangannya diturunkan," kata seorang wanita
muda kepada pria di sebelahnya. Mereka berdua berada di tengah
himpitan penumpang yang menjejali KRL Jabotabek dari Jakarta ke Bogor
petang hari. Permintaan wanita muda tadi akibat terganggu bau busuk
dari ketiak pria di sebelahnya.

Kejadian seperti itu sudah teramat biasa. Berdesakan, saling
berbagi keringat atau bau tidak sedap.
Meski berdesakan, transportasi Bogor-Jakarta pp dengan kereta
terbilang murah. Sekadar contoh, harga tiket KRL ekonomi
Bogor-Jakarta Kota hanya Rp 700, KA Pakuan kelas bisnis non-AC Rp
2.500, dan Pakuan AC Rp 3.500.

Tarif itu menjadi lebih murah lagi kalau penumpang memakai sistem
bayar karcis langganan. Harga karcis abonemen untuk kelas bisnis
misalnya, hanya Rp 70.000 per bulan, sedangkan untuk KRL ekonomi Rp
11.800 per bulan.

Ringannya biaya itu dirasakan betul oleh Samiun, karyawan Bagian
Perlengkapan Depkes. Selain bayar tiket langganan Rp 11.800 per bulan,
dia tinggal mengeluarkan uang Rp 1.500 per hari untuk transpor ke dan
dari stasiun.

Sementara menurut Hasan, karyawan perusahaan swasta di kawasan
Plumpang, Jakut, dia memilih Bogor sebagai tempat tinggal karena
kemudahan transportasinya bila dibanding Tangerang atau Bekasi.

Seperti penumpang lainnya, kini harapan mereka terpusat pada
rencana penggunaan rel ganda, yang pembangunannya diharapkan selesai
tahun ini. "Mudah-mudahan nanti perjalanan KA lebih banyak lagi,
sehingga penumpang tidak terlalu berjubel," kata Hasan. (agus
mulyadi)

Bogor, "Surga" Pedagang K-5

KOMPAS - Rabu, 24 Jan 1996 Halaman: 8 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 2752

BOGOR "SURGA" PEDAGANG K-5

AGAKNYA, Bogor bisa disebut "surganya" pedagang K-5. Kalau di
kota lain pedagang K-5 mungkin hanya menguasai tepi jalan, di Bogor
bahkan trotoar ikut digarap. Dan, Pemda Bogor sepertinya juga
"setuju" trotoar digarap pedagang K-5.

Alhasil, pejalan kaki harus berkorban, atau dikorbankan.
Pejalan kaki lantas harus "turun" ke jalan. Dan itu artinya ia harus
berbaur dengan kendaraan bermotor. Risikonya, ia bisa saja disenggol
atau ditabrak kendaraan bermotor dari belakang. Dan akibat lain,
lalu lintas yang memang sudah "kacau" makin kacau saja.

Di sejumlah trotoar, pedagang K-5 bahkan seperti dimanjakan
Pemda Kodya Bogor. Mereka diberi tempat di atas trotoar beratapkan
tenda auning berwarna kuning. Tidak ada tempat tersisa di lokasi itu
yang bisa dinikmati pejalan kaki. Dua lokasi trotoar yang bisa
menjadi contoh, di Jalan Dewi Sartika dan jalan depan Stasiun KA
(kereta api) Bogor.

Juga di Jalan Kapten Muslihat dan Jalan Merdeka. Di dua lokasi
itu segala macam pedagang K-5 menggelar dagangannya. Para pemain
catur amatir pun menggelar peruntungannya di trotoar. Pejalan kaki,
kembali harus mengalah. Trotoar di Jembatan Merah, Bogor, yang kini
dicat kuning, juga sudah menjadi hak pedagang sepenuhnya.

Di atas sebagian trotoar di Jalan Merdeka sejak dua pekan lalu
bahkan telah disulap menjadi kios pedagang onderdil. Menurut Wali
Kota Bogor, Drs Eddy Gunardi, pemakaian trotoar di lokasi itu hanya
sementara, menunggu selesainya pembangunan pasar.

COBA, bagaimana jalan keluarnya, tanya Wali Kota Bogor Edy
Garnadi mengenai okupasi atau pengalihan fungsi trotoar itu.

"Pejalan kaki sendiri kadang tidak patuh. Mereka memilih badan jalan
untuk lewat, meski trotoar kosong," kilah Eddy Gunardi.

Disebutkannya, masih banyak trotoar di Kodya Bogor yang tidak
ditempati pedagang K-5, seperti Jalan Pajajaran dan Jalan Ir H
Juanda yang mengelilingi Kebun Raya dan Istana Bogor.

Tentang pemasangan tenda auning di sejumlah trotoar untuk
pedagang K-5, Eddy Gunardi memberi alasan bahwa hal itu didasarkan
pada asas kepatutan. Artinya, pedagang K-5 patut mendapatkan tempat
di atas trotoar. Patut, katanya, karena lokasi trotoar itu tidak
jauh dari pusat perbelanjaan.

Padahal beroperasinya pedagang K-5 itu pun semakin menambah
macetnya arus lalu lintas di Kota Hujan itu. Turunnya pejalan kaki
ke badan jalan, mempersempit arus kendaraan. Akibatnya antrean
panjang kerap terlihat di Bogor.

Kalau pengalihfungsian trotoar untuk pedagang K-5 dianggap
patut, entah disebut apa kalau satu saat misalnya terjadi pejalan
kaki diseruduk kendaraan. (agus mulyadi)

Bogor Dikepung Kemacetan

KOMPAS - Sabtu, 13 Jan 1996 Halaman: 8 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 4632

BOGOR DIKEPUNG KEMACETAN

LALU lintas kendaraan di Kota Hujan Bogor dari hari ke hari
makin semrawut. Tiada hari tanpa kemacetan lalu-lintas di kota yang
terletak sekitar 55 km selatan Jakarta ini. Tidak hanya di dalam
kota, kemacetan lalu lintas juga terjadi di jalan-jalan masuk
menuju kota itu. Bogor memang selalu dikepung macet.

Kondisi lalu lintas yang makin semrawut ini tidak terlepas dari
peran daerah ini sebagai penyangga Ibu Kota. Apalagi dalam tahun-
tahun terakhir, masyarakat pekerja di Jakarta memilih kawasan
selatan Jakarta sebagai tempat bermukim.

Berbondongnya masyarakat pekerja bermukim di Bogor dan semakin
pesatnya pertumbuhan permukiman, tentu saja menambah beban bagi
Bogor. Termasuk meningkatnya jumlah transportasi, baik kendaraan
pribadi maupun angkutan umum kota (angkot). Akibatnya, kemacetan
lalu lintas makin marak di jantung maupun pinggiran Kodya Bogor.

MEMASUKI Bogor dari jalan lama yakni Jalan Raya Bogor,
kemacetan sudah menghadang mulai kawasan Kedunghalang. Kendaraan
harus berjalan merambat. Titik penyumbat kemacetan yang selalu
berlangsung sepanjang hari adalah pertemuan kendaraan di pertigaan
Jalan Baru dan pertigaan Warung Jambu. Apalagi pertigaan Warung
Jambu tidak dilengkapi lampu lalu-lintas.

Kondisi buruk seperti itu diperparah lagi oleh berbarisnya
angkot di pinggir jalan pertigaan Warung Jambu, baik yang menuju ke
arah Jalan A Yani maupun yang ke arah Jalan Pajajaran. Akibatnya,
arus kendaraan dari Jalan Raya Bogor terhalang barisan angkot yang
berebut penumpang. Arus kendaraan dari dua jalan itu menuju Jalan
Raya Bogor juga mengalami nasib serupa.

Jika masuk dari arah Semplak melalui Jalan Dr Semeru, arus
kendaraan akan terhadang kemacetan di Jalan Mawar. Sebab jalan itu
menampung pula semua kendaraan yang datang dari Jalan Perintis
Kemerdekaan yang akan menuju Jalan Merdeka. Sedangkan jika masuk
dari arah Darmaga dan Gunung Batu, arus kendaraan terhadang macet
di Jalan Perintis Kemerdekaan.

Sementara untuk kendaraan yang masuk dari arah Puncak-Ciawi,
kemacetan menghadang di perempatan Ciawi. Selepas perempatan itu,
kendaraan harus selalu merambat saat melalui Jalan Raya Tajur
sebelum memasuki kota Bogor.

Kondisi tidak jauh berbeda akan menghadang kendaraan yang masuk
dari jalan tol Jagorawi. Saat keluar tol, kemacetan di Jalan
Pajajaran sekitar Terminal Baranangsiang juga menghadang.
Para pemakai kendaraan yang sudah dihadang kemacetan di jalan
masuk ke Bogor, akan lebih menderita lagi saat berada di dalam kota.
Sulit mencari jalan-jalan yang nyaman. Semuanya macet, terutama pada
jam-jam sibuk.

MAKIN banyaknya angkot yang beroperasi di Kodya Bogor, dituding
sejumlah masyarakat setempat sebagai penyebab kemacetan di Kota
Hujan. Ribuan unit angkot ini berebut tempat di jalan dengan
kendaraan pribadi, truk, serta angkutan umum lain seperti bus yang
melintas, becak, sampai andong.

Jumlah angkot yang beroperasi di Bogor tiap hari menurut
seorang pengurus Organda Kabupaten Bogor, Herman Suriawijaya,
sekitar 12.000 unit. Jumlah sebanyak itu terdiri atas sekitar 8.000
unit angkot berasal dari Kabupaten Bogor, yakni yang berwarna biru.
Sisanya, antara 4.000-5.000 angkot berasal dari Kodya Bogor sendiri,
yakni yang berwarna hijau muda.

Namun Kepala cabang DLLAJ (Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan)
Kodya Bogor, Ny Dewi Kurnia, membantah jumlah itu. Disebutkan,
angkot asal Kabupaten Bogor yang beroperasi di kotanya sekitar 6.000
unit. Sedangkan yang berasal dari Kodya Bogor hanya kurang dari
1.850 angkot.

Tentang jumlah kendaraan angkot yang beroperasi di Kodya Bogor
ini, Dewi Kurnia mengharapkan dapat ditangani bersama dengan
Kabupaten Bogor. Salah satu solusinya adalah dengan membangun sub-
sub terminal di perbatasan kota. Kelak kendaraan angkot kabupaten
hanya sampai sub-terminal itu. Tidak masuk kota. Di Kodya Bogor
cukup dilayani angkot setempat.

Gagasan ini sebenarnya mengundang tanda tanya. Kalau angkot
kabupaten hanya sampai pinggir kota, apakah angkot kodya cukup
untuk melayani masyarakat. Jangan-jangan setelah tidak ada angkot
kabupaten di dalam kota, akan dikeluarkan izin trayek baru secara
jor-joran, sehingga angkot kodya pun semakin banyak.

Memang perlu dicari jalan keluar memecahkan masalah rumit ini.
Sebab bisa terjadi, lima atau sepuluh tahun lagi, kendaraan di Bogor
sama sekali tidak bisa bergerak. Bogor macet total. (agus mulyadi)

Sungai Angker dan Muntaber di Leuwihiyeum

KOMPAS - Sabtu, 23 Sep 1995 Halaman: 8 Penulis: MUL Ukuran: 4512

SUNGAI ANGKER DAN MUNTABER DI LEUWIHIYEUM

SUNGAI Cipanggaur di Kampung Leuwihiyeum, Desa Argapura,
Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, mendadak sepi. Tidak ada
penduduk yang mandi, cuci, atau buang air besar. Padahal biasanya,
sebelum fajar menyingsing sampai rembang petang, di sungai itu
denyut kehidupan penduduk setempat terus berdetak.

Sungai di kampung itu benar-benar telah berubah sesuai nama
kampungnya yakni Leuwihiyeum. Terjemahan bebas penduduk setempat
menyebutkan leuwihiyeum berasal dari dua kata dalam bahasa Sunda,
leuwi (sungai) dan hiyeum (angker). Dengan kata lain, sungai di
Kampung Leuwihyeum telah menjadi sungai angker.

Suasana Leuwihiyem terletak sekitar 50 km barat kota Bogor.
Sungai yang lebar, dangkal, berair tenang, dikelilingi pepohonan
tinggi, pada musim kemarau ini perlahan mengalir, dengan kedalaman
paling tinggi sebatas lutut orang dewasa. Sebuah TPU (tempat
pemakaman umum) di seberang sungai, menyempurnakan keangkeran itu.

Penduduk Kampung Leuwihiyeum yang berjumlah sekitar 500 jiwa
atau 180-an KK (kepala keluarga), seolah terbenam di rumah masing-
masing. Mereka mandi dan mencuci di sumur dekat rumahnya, kecuali
buang hajat besar terpaksa masih di Sungai Cipanggaur (bukan Cipager
seperti berita hari Jumat (22/9).

Namun suasana angker dan sepi dari kegiatan itu ternyata hanya
bertahan dua hari. Mulai Jumat pagi kemarin, penduduk kembali
membanjiri kali yang melintas di kampungnya itu. Mereka mandi,
mencuci pakaian dan perlengkapan dapur, serta buang hajat di sungai,
seperti yang sudah turun temurun berlangsung.

Kampung Leuwihiyeum termasuk wilayah Desa Argapura. Menurut
Husnul Khotimah, Kaur Kemasyarakatan Desa Argapura, penduduk desa
itu 7.741 orang. Luas desa 3.681 ha, di antaranya terdiri atas sawah
319 ha, perkebunan mulik PTP XI (kelapa hibrida, cokelat, dan karet)
425 ha, dan hutan negara 180 ha.

Argapura terdiri atas enam kampung yakni Leuwihiyeum,
Leuwiceri, Bolang, Malangbong, Tipar, dan Cipining. Leuwihiyeum
sendiri dapat dijangkau melalui jalan antara Bunar-Parungpanjang.
Dari jalan itu, membelok ke barat satu kilometer lebih melalui jalan
berbatu di tengah-tengah kebun karet.

SELAMA dua hari dua malam, mulai Selasa malam hingga Kamis
siang lalu, warga setempat memang disibukkan oleh penyakit muntaber.
Sebanyak 96 warga harus berurusan dengan petugas kesehatan akibat
terjangkiti wabah ini, terdiri dari 92 orang penduduk Leuwihiyeum
dan 4 warga kampung tetangganya, Leuwihceri.

Dari jumlah itu, 20 pasien harus diinfus di Puskesmas Jasinga.
Seorang lainnya diinfus di posko yang dibentuk di salah satu rumah
penduduk Kampung Leuwihiyeum. Korban lainnya, 10 orang mendapat
pengobatan di Puskesmas Jasinga (tanpa rawat inap), dan sisanya 65
orang mendapat pengobatan di posko.

Tim kesehatan dari Puskesmas Lebakwangi yang dipimpin dr Ani
Supihani H, bahu-membahu mencegah semakin parahnya wabah muntaber.
Apalagi dalam serangan itu salah seorang penduduk, Ny Rumdayah (65),
meninggal saat dirawat di Puskesmas Jasinga. Korban lain di
puskesmas itu sudah pulang.

Sampai Jumat kemarin, di posko Leuwihiyeum tinggal seorang yang
masih diinfus, Ny Yoyo (25). Perempuan yang tengah hamil tujuh bulan
itu, diinfus mulai Jumat pagi. Dia termasuk korban paling akhir
terjangkit muntaber. Kemarin pagi, dua anak-anak juga harus diobati
tim kesehatan.

"Kami sudah membagikan oralit sebanyak 800 bungkus," kata dr
Ani, yang dibantu beberapa tenaga medis dari Puskesmas Lebakwangi.
Pengobatan di posko itu berlangsung sejak Rabu.

MUNTABER yang berjangkit di Leuwihiyeum diduga berhubungan
dengan kebiasaan hidup kurang bersih penduduk setempat. Yang paling
disoroti adalah kebiasaan mandi, mencuci, dan buang air besar di
Sungai Cipanggaur.

"Kami sudah terbiasa turun-temurun memanfaatkan sungai itu.
Meski penduduk di sini umumnya punya sumur, tetap saja mereka pergi
ke kali," kata Maad (60) penduduk setempat. Kebiasaan itu diakui
pula oleh Sekdes, H Mukmin. Dikatakan, hanya untuk masak dan minum,
penduduk setempat memakai air sumur.

Sungai Cipanggaur di Kampung Leuwihiyeum pun hanya berubah
angker dan tidak diminati selama dua hari. Karena kebutuhan dan
kebiasaan, mereka tetap kembali ke sungai itu. Mereka tidak sadar,
muntaber tetap mengancam. (agus mulyadi)

VCD Porno, Pemicu Kasus Perkosaan

KOMPAS - Selasa, 12 Jun 2001 Halaman: 18 Penulis: mul Ukuran: 4241

VCD PORNO, PEMICU KASUS PERKOSAAN

DUA gadis cilik berusia tujuh dan sembilan tahun di Kabupaten
Tangerang, pekan lalu menjadi korban perkosaan dua pemuda tanggung.
Akibat perbuatan itu, masa depan keduanya (sebut saja namanya Mawar
dan Melati) menjadi suram. "Madu" telah terhisap kumbang jauh sebelum
waktunya.

Kasus perkosaan pertama menimpa diri Mawar di Perumahan Dasana
Indah, Desa Bojong Nangka, Kecamatan Legok, Rabu siang pekan lalu.
Tersangka pelakunya, pelajar kelas tiga SLTP (Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama) berinisial TP (16), tetangga korban di Dasana Indah.
Aksi TP, dilakukan di rumah orangtuanya yang sedang kosong.

Perkosaan yang menimpa Mawar, diketahui beberapa jam sesudah
kejadian, ketika ibunya merasa curiga melihat Mawar kesakitan saat
buang air kecil. Setelah didesak, Mawar menyebutkan TP melakukan
perbuatan jahat terhadap dirinya.

Dua hari berikutnya, Jumat siang, Melati, seorang gadis kecil
berusia sembilan tahun, menjadi korban yang dilakukan Nt (14). Melati
digagahi buruh pabrik itu, di belakang sebuah pabrik di Desa
Kadujaya, Kecamatan Curug, Kabupaten Tangerang.

"Dua kasus perkosaan itu akan dituntaskan sesuai jalur hukum,
meskipun tersangka pelakunya masih di bawah umur," kata Kepala Polres
Metro Tangerang, Affan Richwanto, Senin (11/6).

KEPADA petugas Kepolisian Sektor (Polsek) Legok dan Curug yang
menangani kedua kasus itu, TP dan Nt mengaku kerap melihat film biru
di rumah teman-teman mereka. Gara-gara melihat adegan yang tidak
semestinya melalui VCD (video compact disc) player/pemutar piringan
cakram, kedua pemuda tanggung itu akhirnya ingin mencoba
merasakannya. Gairah mereka meletup ke permukaan sebelum waktunya.

Mereka pun akhirnya melepaskan hasrat seksualnya kepada gadis
kecil Mawar dan Melati. Mereka telah menjadi tersangka penjahat yang
harus menerima ganjaran mendekam di balik jeruji besi.

Terjadinya aksi perkosaan yang melibatkan anak-anak kecil itu,
diduga erat kaitannya dengan maraknya penjualan VCD porno di
Tangerang belakangan ini. Di mana-mana , di hampir semua tempat
penjualannya, terutama di pedagang kaki lima, peminat dapat dengan
mudah mendapatkannya. Harga VCD porno pun dapat dijangkau kantung
oleh hampir semua kalangan, antara Rp 5.000 - Rp 7.000, per keping.

Piringan cakram berisi adegan-adegan cabul tersebut, memang tidak
dijual secara mencolok, seperti VCD bajakan lainnya yang dijajakan.
Umumnya, pedagang VCD porno menyimpannya di dalam tas mereka atau
tempat lain yang tidak mencolok. Namun ketika ada calon pembeli yang
berminat, pedagang segera menunjukkan tas atau tempat menyembunyikan
VCD porno.

Hal seperti itu misalnya dilakukan dua pedagang kaki lima di
kawasan ujung Pasar Anyar di Jalan Ki Asnawi, dan di depan pabrik
Argo Pantes di Jalan MH Thamrin, Kota Tangerang. VCD porno yang
mereka jual, sebelumnya didapatkan dengan mudah pula dari pedagang di
kawasan perdagangan elektronik Glodok, Jakarta, dengan harga sekitar
Rp 3.500 - Rp 4.000, per keping.

Namun penjualan VCD porno, tidak hanya dilakukan para pedagang di
Kota Tangerang. Diduga, penjualan barang berisi adegan cabul
tersebut, telah masuk pula ke berbagai pelosok desa di Kabupaten
Tangerang, seiring bebasnya penjualan VCD bajakan.

Kepala Polres Tangerang, Affan Richwanto, ketika ditanya
menyatakan belum melihat adanya kaitan antara dua kasus perkosaan
terhadap dua gadis kecil, dengan "bebasnya" penjualan VCD porno di
Tangerang. Namun dia mengakui, kasus perkosaan di Legok dan Curug itu
menandakan telah rusaknya moral sebagian generasi muda.

Tentang bebasnya penjualan VCD porno, menurut Affan karena para
pedagang memanfaatkan setiap kesempatan untuk menjualnya. Ketika
polisi lengah, mereka menjual VCD porno. "Kami akan melakukan razia

VCD porno," janji Affan.
Sebelum jatuh korban lebih banyak lagi, penyebabnya memang harus
diberantas terlebih dahulu. Peredaran bebas VCD porno, tidak hanya
menyuramkan masa depan Mawar, Melati, dan korban-korban lainnya,
tetapi juga merusak moral generasi muda, seperti yang menimpa TP dan
Nt. (agus mulyadi)

Aksi Pelarian Tiga Narapidana Perempuan dari LP

KOMPAS - Minggu, 03 Dec 2000 Halaman: 1 Penulis: mul Ukuran: 5734

AKSI PELARIAN TIGA NARAPIDANA PEREMPUAN DARI LP

BAK adegan film, tiga perempuan yang mendekam di bui gara-gara
kasus narkotika dan psikotropika, secara perlahan-lahan menggergaji
terali besi kamar tahanan mereka. Setiap kali seorang dari mereka
menggergaji, dua narapidana lainnya mengawasi bagian luar ruang
tahanan agar tidak ketahuan oleh penjaga.

Aksi dengan gergaji besi itu dilakukan setiap saat, sejak Rabu
(29/11), pada waktu-waktu yang mereka anggap aman. Ketekunan tiga
perempuan yang mendekam di ruang tahanan Blok A LP (Lembaga
Pemasyarakatan) Wanita Dewasa Tangerang di Jalan TMP Taruna, Kota
Tangerang, itu membuahkan hasil. Pada Kamis malam batang besi selesai
digergaji dan tinggal dibengkokkan.

Ketiganya, Rani Andriyani (25), Maya (40), dan Angel (30),
bernafas lega. Mereka tinggal menunggu waktu yang tepat untuk
membengkokkan dan mematahkan batang terali besi itu, serta menyelinap
keluar.

Sejak beberapa minggu sebelumnya mereka mengumpulkan untaian
nilon sedikit demi sedikit untuk dibuat tali. Nilon itu mereka ambil
saat mengikuti pendidikan keterampilan di dalam LP Wanita.

Rani Andriyani, narapidana yang divonis hukuman mati oleh
Pengadilan Negeri Tangerang pada 22 Agustus 2000, adalah seorang
penyelundup heroin dan kokain. Dia dibekuk di kawasan Bandara
Soekarno-Hatta pada 12 Januari 2000, ketika hendak terbang ke London,
membawa 3,5 kilogram heroin dan tiga kilogram kokain. Rani ditangkap
polisi bersama dua saudara sepupunya, Meirika Franola dan Deny Setia
Maharwan, yang akhirnya juga dihukum mati dalam kasus yang sama.
Setelah lepas dari tahanan polisi, Rani mendekam di LP Wanita
Tangerang, hingga kini.

Sedangkan Angel dan Maya, juga terlibat kasus narkotika dan
psikotropika. Angel telah dijatuhi hukuman 18 bulan penjara, karena
memiliki putaw. Maya divonis hukuman delapan tahun penjara, karena
tersangkut kasus ecstasy. Dua wanita bertubuh langsing itu, menurut
seorang petugas LP Wanita Tangerang, baru sekitar dua bulan menempati
selnya di Tangerang. Sebelumnya mereka mendekam di LP Wanita
Pondokbambu, Jakarta Timur.

ENTAH ide siapa, tiga narapidana perempuan memilih waktu kabur
pada sekitar usai makan sahur dan shalat Subuh. Pertimbangannya
mungkin bahwa semua penjaga LP pada malam itu sudah kekenyangan
setelah makan sahur sehingga mengantuk, atau telah sampai pada puncak
kantuknya setelah berjaga sejak pukul 18.00.

Rani, Maya, dan Angel, segera membengkokkan terali besi yang
mereka gergaji. Satu per satu perempuan-perempuan perkasa, berani,
dan cerdik, itu menyelinap di sela terali besi yang dibengkokkan, dan
segera menuju ke menara pos jaga nomor dua, di bagian belakang LP.
Dari menara pos jaga yang kosong tanpa penjaga itu, satu per satu
mereka menuruni pagar tembok LP setinggi lima meter, dengan bantuan
tali nilon.

Namun malang bagi Rani, karena dia jatuh terduduk. Akibatnya,
sakit luar biasa segera menderanya. Kelak ketahuan kalau tulang
pinggangnya patah atau saling berhimpitan. Rani akhirnya ditinggal
pergi oleh Maya dan Angel. Aksi tiga narapidana perempuan itu baru
diketahui penjaga LP Wanita setelah Rani berteriak meminta tolong.

"Saya ingin pulang. Saya kangen sama orang tua dan saudara," ujar
Rani dengan berlinangan air mata, usai menceritakan kisahnya di ruang
IGD (instalasi gawat darurat) RSU Tangerang, Jumat siang.
Kerinduan Rani, anak sulung pasangan Neni dan Andi, semakin
menguat ketika memasuki bulan suci Ramadhan ini. Dia ingin kembali
merasakan makan sahur dan berbuka puasa, bersama ayah, ibu, dan dua
adik kandungnya, di rumahnya di Jalan Moch Yamin, Cianjur, Jawa
Barat.

Hingga Sabtu (2/12) siang belum diketahui siapa yang mendalangi
pelarian itu. Juga belum diketahui asal gergaji besi tersebut.
Seandainya gergaji berasal dari tamu yang mengunjungi mereka, kenapa
bisa lolos dari pengecekan petugas LP Wanita? Belum diketahui pula
apakah pelarian itu dibantu pihak lain.

Pada waktu pelarian berlangsung, LP dijaga oleh 11 petugas.
Sebagian adalah petugas laki-laki yang berjaga di pagar bagian dalam.
Sebagian lain para sipir wanita, bertugas di dalam blok-blok penjara.
Empat menara pos jaga di empat sudut LP Wanita seluas 1,6 hektar itu,
diduga tidak ditempati penjaga.

"Kami selama ini memang kekurangan orang, untuk mengawasi 211
narapidana dan tahanan di LP Wanita," ujar seorang petugas LP saat
menjaga Rani di RSU Tangerang.

Kepala LP Wanita Tangerang hingga Sabtu siang tetap sulit
ditemui. Petugas LP semuanya menolak kedatangan Kompas dan wartawan
lain, dengan menanyakan apakah membawa surat izin dari Kanwil Depkeh
DKI Jakarta. Menurut informasi, Kepala LP Wanita dan semua penjaga
yang bertugas pada malam pelarian narapidana, sudah diperiksa atasan
mereka dari Departemen Kehakiman.

Kaburnya tiga narapidana perempuan dari ruang penjara mereka,
mengagetkan petugas LP Wanita. Menurut seorang petugas LP Wanita,
selama 17 tahun dia bertugas di LP itu, baru kali ini ada kasus
pelarian narapidana.

"Kami tidak menduga sama sekali. Selama ini kami percaya tidak
bakal ada yang kabur, karena mereka semuanya perempuan. Kelengahan
kami rupanya dimanfaatkan Rani, Maya, dan Angel," ujarnya.
Pelarian yang cukup menggemparkan itu, diduga bisa terjadi
terutama akibat lengahnya petugas LP Wanita Tangerang. Mereka terlena
oleh adem-ayemnya penghuni LP selama ini.

Kepolisian Resor Tangerang hingga Sabtu sore, belum mampu melacak
keberadaan Maya dan Angel, yang tengah menghirup "udara bebas"-nya.
(agus mulyadi)

Kebebasan unruk ZARIMA

KOMPAS - Kamis, 22 Oct 1998 Halaman: 15 Penulis: MUL/TRA Ukuran: 3214

KEBEBASAN UNTUK ZARIMA

"HATI-HATI Rima. Jangan lupa kami," teriak beberapa narapidana
di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Wanita Tangerang, sambil melambaikan
tangan mereka ke arah Zarima binti Mirafsur (26). Gadis berkulit
kuning bersih itu sambil tersenyum balas melambaikan tangan, sambil
terus melangkah menuju pintu keluar LP Wanita.

Hari Rabu (21/10), tepat pukul 10.12 WIB Zarima resmi menginjak
"tanah kebebasan" di luar pintu kompleks LP Wanita. Hari itu Zarima,
yang diringkus petugas Polres Tangerang tahun 1996, karena menyimpan
29.677 butir ecstasy di rumahnya, di kawasan Jakarta Barat, mendapat
pembebasan bersyarat dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Depkeh.

Dengan pembebasan itu, ia tidak perlu menjalani penuh pidananya
selama empat tahun, sampai akhir tahun 2000, seperti yang dijatuhkan
majelis hakim PN Jakbar, Juni 1997. Walau bebas, Zarima tetap wajib
lapor ke kejaksaan. Kalau dalam masa "pemantauan" sampai Oktober 2001
ia melakukan pelanggaran pidana, sisa hukumannya harus dijalani.

Kepala LP Wanita Tangerang, Susy Marliana minta Zarima memahami
pengertian pembebasan bersyarat itu secara sungguh-sungguh, sehingga
tidak perlu lagi meringkuk di balik jeruji besi. "Selama di sini, ia
berkelakuan baik. Zarima juga sudah menjalani dua pertiga pidananya.

Dia memenuhi syarat untuk mendapatkan pembebasan bersyarat, walaupun
masih gamang, karena mendapat sorotan masyarakat," tuturnya.
Penasihat hukum Zarima, OC Kaligis mengingatkan kliennya untuk
tidak melakukan kesalahan lagi. Tetapi ia juga berharap, masyarakat
bisa menerima Zarima dengan sepenuh hati, tanpa stigma masa lalunya
yang tidak menyenangkan. "Zarima masih membutuhkan bimbingan. Namun
ia kini semakin berdisiplin," tuturnya.

SEBUAH mobil Mercy warna perak metalik, bernomor polisi B 1088
FP membawa Zarima dan keluarganya meninggalkan LP Wanita Tangerang.
Sebelum pulang, mereka sempat mampir ke Kantor Pengacara OC Kaligis.
Di sini sejak Agustus lalu, Zarima menjalani asimilasi (bekerja di
luar LP). Ia diberi gaji Rp 500.000 per bulan.

Menikmati kebebasan itu, Zarima terlihat berbinar. Bibirnya tak
henti-hentinya tersenyum, bukan saja kepada wartawan yang sejak pagi
menunggu di LP Wanita Tangerang, tetapi juga kepada aparat Kejaksaan
Negeri Tangerang yang mengurusi surat pembebasan bersyarat. "Saya
senang. Saya akan menikmati dahulu kebebasan ini di rumah bersama
keluarga," papar Zarima.

Ia berjanji tak ingin kembali ke penjara, meski dari situ banyak
pelajaran yang dipetik. "Selama di dalam tahanan, saya ambil hikmahnya.
Di tahanan, saya selalu shalat lima waktu, dan diajarkan hidup disiplin.
Seperti untuk makan harus dimulai dan berakhir saat bel berbunyi.
Pertama di tahanan memang berat, tetapi selanjutnya tidak," tuturnya.
Salah satu barang bawaan yang dibawa Zarima dari tahanan adalah
uang tabungannya sebesar Rp 5.431.000. Uang itu tabungan serta upah
Zarima selama bekerja di kantor OC Kaligis. (mul/tra)

Teksfoto:
Kompas/tra
SENYUM ZARIMA - Dengan tersenyum, Zarima mengurus persyaratan untuk kebebasan bersyaratnya.

Sri Yuliani Saraswaty, Wanita Pertama yang Jadi Lurah di Ibu Kota

KOMPAS - Jumat, 11 Feb 1994 Halaman: 20 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 9305

Ny. Sri Yuliani Saraswaty SH
WANITA PERTAMA YANG JADI LURAH DI IBU KOTA

KALAU ada wanita mendapat sebutan "Bu Lurah" tanpa harus
menjadi istri Pak Lurah, inilah dia: Sri Yuliani Saraswaty SH (31) -
- satu dari sedikit lurah wanita di Indonesia.

"Apanya yang istimewa Mas, kok sampai mau ditulis segala?" kata
wanita kelahiran Solo yang menjadi Kepala Kelurahan Grogol,
Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat itu. Ya, karena sampean
lurah itulah. Lebih-lebih, dekade sekarang ini sering disebut-sebut
sebagai "dekade wanita" -- prowomen. Lebih istimewa lagi, Sri adalah
wanita pertama yang menjadi lurah sejak Jakarta lahir lebih dari
empat abad yang lalu.

Dia dilantik sebagai Lurah Grogol oleh Wali Kotamadya Jakarta
Barat, Sutardijanto, di Ruang Pola Kantor Wali Kotamadya Jakarta
Barat, seputar awal Februari lalu. Seusai pelantikan, ibu dari tiga
anak ini langsung menuju ke Kantor Kelurahan Grogol. Dia ingin
segera tahu tempat kerjanya yang baru, sekaligus mengenal aparat
kelurahan yang menjadi mitra kerjanya.

Penampilannya kalem -- seperti tersisa kekhasan sebagai "Putri
Solo", meski di Solo dia cuma "numpang lahir", karena sejak TK dia
dibesarkan di Jakarta. Dalam tingkat kepemimpinan pada unit
sosiologi seperti sebuah desa, yang dibutuhkan mungkin memang bukan
kata-kata besar, tapi tindakan konkrit bagaimana dia harus
berhadapan dengan masyarakatnya. Sementara, desa yang disebut di
sini adalah sebuah desa di tengah Jakarta, dengan seribu satu
persoalan urban.

"Apa-apa yang memang sudah baik dikerjakan aparat kelurahan,
akan saya teruskan. Sedangkan yang masih kurang, akan kami
tingkatkan," ujarnya bersahaja.

Yang akan menjadi fokus perhatiannya adalah meningkatkan
pelayanan masyarakat. Lulusan Fakultas Hukum Universitas
Tarumanegara (Untar) tahun 1985 ini sadar belaka, jabatan yang
diembannya adalah sebagai pelayan masyarakat.

SEORANG lurah, seorang istri, seorang ibu, dan terlebih lagi
seorang wanita. Rasanya tak perlu muluk-muluk menjulukinya "wanita
karier", "wanita aktif", dan semacamnya (yang kalau dalam kekenesan
siaran radio yang membahas "trend wanita aktif" dikatakan, bagi
"wanita aktif" rasanya 24 jam sehari tidak cukup...).

"Wanita tetap tidak boleh lupa kodratnya sebagai wanita. Meski
berkarir, harus ingat tugasnya sebagai ibu rumah tangga," ujarnya
kalem. Dia tak melebih-lebihkan perannya sendiri, bahwa dia
betapapun tak sekadar "ratu rumah tangga", tapi juga membawahi
27.000 penduduk Kelurahan Grogol yang begitu heterogen disertai
beraneka ragam karakter.

Lahir di Solo, 23 Juli 1963, sebagai anak tunggal pasangan Drs
Soekarno, pejabat di lingkungan Kanwil BKKBN Timor Timur dan Ny
Suharmi, Sri memulai perjalanan karirnya di lingkungan Pemda DKI
Jakarta tahun 1981. Setelah tamat SMA Negeri II Jalan Gajah Mada
Jakarta, Sri mulai bekerja di BKKBN DKI Jakarta. Pada tahun itu juga
dia masuk kuliah di FH Untar, dan sekaligus aktif di KNPI Kecamatan
Tambora (wilayah tempat tinggalnya) sebagai sekretaris. Di BKKBN DKI
dia betah sampai dengan pertengahan tahun 1984. Sesudahnya dia
pindah ke BKKBN Jakarta Pusat, dan sejak April 1986 dia menjadi
bendahara di BKKBN Jakarta Barat.

Sejak 1 Agustus 1992 Sri menjadi staf di Bagian Hukum dan
Organisasi Tata Laksana (Ortala) Pemda Jakbar. Tujuh belas bulan
kemudian dia kembali pindah dan kini dipercaya sebagai Lurah Grogol.
Kehidupannya mengalir, sebagai kehidupan wanita. Di tengah-
tengah perjalanan karirnya sebagai pegawai negeri, Sri Yuliani

Saraswaty menikah dengan Drs Sutrisno -- saat ini bekerja di Badan
Meteorologi dan Geofisika di Jalan Arif Rahman Hakim Jakarta.
Pasangan itu dikaruniai tiga putri: Yutrisa Sasti Anindyarani (4,5
tahun), Citra Swari Pradita (2), dan si bungsu yang baru lahir satu
setengah bulan lalu, Desrina Putri Mustikasari.

"Jabatan yang saya jalani sekarang merupakan hadiah buat si
kecil," ujar wanita berambut lurus sebahu dan berkulit sawo matang
itu sambil tersenyum.

NYONYA Sri Yuliani Saraswaty mengakui meski tidak semua orang
bisa menjadi lurah, apalagi wanita, dia tetap merasa jabatannya
sekarang tidak lebih sebagai kepercayaan atasannya di Pemda
Kotamadya Jakarta Barat. Dan sebagai pelayan masyarakat, sebisa
mungkin dia akan berusaha maksimal, tentu dengan dukungan rekan
kerja di kelurahan.

Peningkatan pelayanan kepada masyarakat serta penanganan
kebersihan di wilayahnya, menjadi prioritas pertama yang akan
dilakukan. Apalagi dua hal itu merupakan bagian dari rencana
strategis Pemda DKI Jakarta 1992-1997. Bentuk pelayanan maksimal
yang akan diberikannya kepada masyarakat, tentu sebatas proporsi
kerja dalam tingkat kelurahan. Misalnya penandatanganan KTP, surat-
surat pengantar dari kelurahan, dan sebagainya.

"Pokoknya setiap surat yang masuk dan harus saya tandatangani,
kalau ada kesempatan akan saya lakukan hari itu juga. Kenapa harus
membuat masyarakat harus menunggu lama, untuk sekadar sebuah tanda
tangan," ujarnya setengah bertanya.

Semua kegiatan yang akan dilakukannya itu pastilah akan lebih
menyita waktu, dibandingkan di tempat-tempat kerja sebelumnya.
Sebagai lurah, dia harus langsung berhubungan dengan orang banyak.
Tidak lagi hanya duduk di belakang meja, menghadapi setumpuk berkas
seperti sebelumnya.

Untuk semua itu dukungan dari suami dan anak-anaknya pasti
sangat diperlukannya. Mungkin dia tidak lagi berhari Minggu bersama
keluarga, karena harus mengikuti kegiatan kebersihan. Di lain waktu
mungkin pula dia harus pulang begitu larut malam, karena menghadiri
berbagai acara, baik di kelurahannya maupun di kecamatan dan di
kantor wali kota atau tempat lainnya.

"Suami saya menyatakan dukungannya ketika mengetahui saya akan
dilantik menjadi Lurah Grogol," katanya.

Kesibukkan yang menyita waktu sebagai lurah, mulai dirasakannya
dalam masa dua hari dia bertugas. Ketika Kompas berusaha menemui di
kantornya, Ny Sri ternyata sudah tidak berada di tempat. Dia harus
mengikuti rapat mingguan tingkat Kecamatan Grogol Petamburan,
bertempat di Kantor Kelurahan Tanjung Duren Selatan. Beruntung,
ketika dikejar ke Tanjung Duren Selatan, rapat belum dimulai.
Bincang-bincang sekitar 45 menit pun terpaksa numpang di salah satu
ruangan kantor itu.

Kesibukan dalam hari kedua masa kerjanya sebagai lurah itu,
dapat dikatakan sebagai gambaran dari rutinitas dan kesibukan kerja
yang bakal terus menghadangnya. Ny Sri tentu harus pintar-pintar
membagi waktu untuk tugas dan keluarganya.

KEPERCAYAAN yang diembannya sebagai lurah wanita yang pertama
di DKI Jakarta, juga dianggap oleh Ny Sri sebagai uji coba. Dia
berharap dapat menjalankan tugasnya dengan baik, sehingga akan
banyak lagi lahir lurah wanita lain di Jakarta. Penempatannya
sebagai Lurah Grogol dianggapnya sebagai bagian dari uji coba itu.

Ny Sri menyadari betul, Kelurahan Grogol selama ini memang
telah tertata baik. Di kelurahan ini sekitar 70 persen dari luas
wilayahnya merupakan perumahan yang dihuni pegawai negeri dan
pensiunan pegawai negeri. Hingga untuk menggerakkan partisipasi
masyarakat, dia memperkirakan tidaklah terlalu sulit.

Salah satu hal yang menjadi pemikirannya dalam hari-hari
pertama tugasnya adalah bagaimana menata permukiman kumuh di
sebagian kawasan bantaran Banjir Kanal. Tentang istilah permukiman
kumuh sendiri, Ny Sri mengungkapkan ketidaksetujuannya. "Itu lebih
tepat disebut kawasan tertinggal," kata Bu Lurah.

Penanganan permukiman kumuh, pelayanan, kebersihan, dan
berbagai tugas lainnya, dianggapnya sebagai tantangan yang harus
bisa dijalani dengan baik. Dia mengetahui untuk melaksanakannya
dibutuhkan partisipasi langsung dari semua warga. Untuk itu
pendekatan-pendekatan terhadap warga akan dilakukannya.

Tetap dalam bahasanya, dia tidak muluk-muluk mengemukakan
program kerja. Apalagi dia belum tahu betul bagaimana menjalani
tugas sebagai lurah. "Saya kan baru dua hari ini bekerja," katanya
kepada Kompas yang memang menemuinya dua hari setelah pelantikan.

Meski dapat dikatakan baru dua hari kerja sejak hari Senin
(7/2) lalu, sebenarnya Ny Sri Yuliani Saraswaty telah mulai pada
hari Minggu (6/2). Pada hari itu, dia menghadiri apel program
kebersihan di Kebon Jeruk. "Saya pergi ke Kebon Jeruk sambil membawa
anak saya yang paling besar. Sementara saya ikut apel, dia tinggal
di dalam mobil."

Cara seperti itu mungkin akan dilakukan, baik sebagai lurah
maupun sebagai ibu rumah tangga. Apalagi nantinya dia akan tinggal
di rumah dinas yang tidak jauh dari kantor kelurahan. Lantas apa
yang telah dilakukan lurah wanita pertama di DKI itu sebagai pelayan
masyarakat, dalam dua hari pertama masa kerjanya? "Saya hanya baru
mendatangani surat-surat pengantar untuk warga yang membuat akte
kelahiran, dan seorang warga yang akan pindah tempat tinggalnya,"
ujar Ny. Sri Yuliani Saraswaty sambil tersenyum. (agus mulyadi)

Foto:1(mul)
Kompas/mul
Ny. Sri Yuliani Saraswaty