Jumat, 09 November 2007

Tidak Mau Jadi Tukang "Kartu", Penduduk Sukareja Pilih Pindah

KOMPAS - Sabtu, 09 Nov 1991 Halaman: 14 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 7574
TIDAK MAU JADI TUKANG "KARTU"
PENDUDUK SUKAREJA PILIH PINDAH
PENDUDUK Desa Sukareja, Perwakilan Kecamatan Balongan,
Kecamatan/Kabupaten Indramayu, dalam waktu-waktu terakhir mungkin
sedang menghitung sisa hari-hari tinggal di tempat kelahiran mereka.
Tanah leluhur yang ditempati turun-temurun sejak nenek moyang, telah
memberikan mereka tempat berteduh dan sumber nafkah.
Hitungan waktu yang mungkin tidak sampai satu tahun sejak saat
ini, mengharuskan mereka segera hengkang dari desa itu. Pembangunan
kilang minyak Exor I, dengan segala dampaknya, membuat kondisi
mereka seperti sekarang ini.
Kepastian kepindahan mereka pun, nampaknya semakin dekat dan
jelas. Pemda Indramayu dan Pertamina, dalam waktu-waktu ini sedang
melakukan negoisasi, mencari jalan terbaik pelaksanaan pemindahan
1.954 jiwa penduduk Sukareja. Karena itu, penduduk Sukareja pada
saat-saat ini mungkin masih berusaha menikmati kehidupan di desa
mereka, sebelum pindah ke daerah lain.
***
"SEBAGIAN besar penduduk sepertinya ingin pindah sesuka mereka,
di tempat-tempat terpisah," ujar Jawari, sekretaris desa setempat.
Hal itu diakui beberapa penduduk yang ditemui. Menurut mereka,
selain lebih mudah, kepindahan ke tempat baru sesuai pilihan
sendiri, akan lebih membantu mereka dalam menata kehidupan baru.
Kepindahan penduduk Sukareja ke tempat baru sesuai keinginan
masing-masing, nampaknya lebih mudah terwujud. Bagaimana tidak. Saat
ini saja, tawaran-tawaran penduduk desa lain yang ingin menjual
tanah atau rumahnya, kerap berdatangan kepada penduduk Sukareja.
"Kemarin ada penduduk Desa Balongan yang menawarkan rumahnya yang
mau dijual. Mungkin kalau sudah dapat ganti rugi, rumah itu dapat
saya beli," ujar Mupid (54), salah seorang penduduk Sukareja.
Untuk mengantisipasi keterisoliran penduduk Sukareja, Pemda
Indramayu bersama Pertamina sedang mempersiapkan pemecahan terbaik
bagi pemindahan mereka. Seperti yang dikemukakan Camat Indramayu,
Drs. H. Agus Ahmad Kurnia, rencana pemindahan saat-saat sekarang ini
sedang dalam proses, terutama soal ganti rugi nanti, serta bentuk
pemindahan mereka apakah dalam satu lokasi permukiman atau tidak.
Pemda Indramayu sendiri tidak lepas begitu saja membiarkan
penduduk Sukareja pindah sesuai keinginan masing-masing. Satu
lokasi areal pesawahan di Desa Sukaurip, 2 kilometer barat Sukareja,
dikabarkan akan menjadi lokasi permukiman penduduk Sukareja.
***
HARAPAN sebagian penduduk memang tertumpu pada ganti rugi.
Pilihan ini karena untuk tinggal di Sukareja, makin tidak
memungkinkan. Frekuensi pekerjaan proyek makin tinggi. Selain sawah-
sawah mereka yang hilang untuk lokasi proyek, sumber nafkah lain
sebagai nelayan pun tidak dapat mereka lakukan. Pengerukan pasir
pantai untuk pengurukan, membuat nelayan setempat "dilarang" melaut.
Sedangkan untuk ikut menjadi pekerja proyek, sulit mereka
lakukan. Kontraktor tetap lebih suka membawa orang-orangnya sendiri.
Dan kalaupun ada penduduk setempat yang bekerja di proyek, tak lebih
sebagai tukang "kartu" (bongkar batu). Tak lebih dari itu.
Untuk melewati bekas jalan yang telah tergusur, berat
resikonya, karena dikejar-kejar satpam proyek. Padahal dia hanya
ingin cepat sampai di pinggir jalan raya.
Lantas apa yang diharapkan dari proyek kilang minyak itu bagi
mereka, kalau hanya keterdesakan dan keterasingan, justru oleh
mereka yang langsung tinggal berdampingan dengan proyek?
***
DALAM pendataan yang dilakukan awal Oktober 1991, sebagai
persiapan ganti rugi, luas areal permukiman di Desa Sukareja
tercatat 20 hektar, dengan 393 rumah. Ditambah dengan luas sisa
tanah negara, seperti titisara dan tanah timbul seluas 18 hektar.
Dengan adanya proyek kilang minyak di atas areal seluas 400
hektar, jalan umum antara Cirebon - Karangampel - Indramayu yang
melintas Sukareja dan dan berada di tengah-tengah proyek, arus lalu
lintas menjadi terganggu.
Keadaan ini mengisyaratkan, satu saat nanti Sukareja memang
akan terisolir. Apabila pengerjaan proyek mencapai puncaknya pada
1993 nanti, sekitar 10.000 pekerja dan lebih banyak lagi kendaraan
berat akan terlibat di dalamnya.
Konsekuensi lain yang akan dihadapi penduduk Sukareja adalah
tingkat gangguan kilang ketika telah beroperasi pada 1995 kelak.
Kebisingan dan tingkat polusi kilang tak dapat dihindarkan.
***
ISYARAT hilangnya penduduk Sukareja dalam satu komunitas desa,
sebenarnya tercermin ketika pembebasan tanah pesawahan penduduk di
desa itu untuk lokasi proyek Exor I. Di dalamnya termasuk sekitar 38
hektar tanah bengkok yang turut pula dibebaskan.
Kalau bengkok mereka hilang karena ikut dibebaskan, lantas apa
sumber penghasilan mereka? Pemda Indramayu ternyata tidak
mengabaikannya begitu saja. Tanah pengganti bengkok di tempat lain
pun disediakan. Camat Indramayu, Agus Ahmad Kurnia menyebutkan,
pengganti bengkok itu ada di desa-desa Kandangan Jaya dan
Pekandangan, Kecamatan Indramayu. Luasnya pun sama, 38 hektar,
seperti bengkok semula yang dibebaskan.
Namun hampir semua perangkat Desa Sukareja keterangannya
berbeda. Menurut mereka, tanah pengganti itu sampai sekarang baru
seluas 21 hektar. Tempatnya pun dalam petak-petak berbeda dan
berjauhan, di samping tingkat kesuburannya rendah.
Padahal nilai pembebasan tanah bengkok Sukareja, seluas 38
hektar, lebih dari Rp 1,7 milyar. Nilai sebesar itu karena pada
waktu pembebasan, tanah bengkok dihargai Rp 4.750 per meter persegi.
***
KARENA tanah bengkok pengganti, kualitasnya tidak bagus, maka
menurut salah seorang perangkat desa yang tidak mau disebut namanya,
nilainya pun jauh lebih rendah dibandingkan nilai ganti rugi. Harga
pasaran di lokasi yang baru paling tinggi sekalipun, tidak akan
lebih dari Rp 10 juta per hektar.
Sehingga kalau harga per hektar Rp 10 juta, dan luas bengkok
pengganti 38 hektar seperti yang diatakan Agus Kurnia, maka nilai
tanah itu adalah Rp 380 juta. Dan seandainya harga per hektar Rp 25
juta sekalipun, nilai seluruhnya adalah Rp 950 juta. Lantas ke mana
sisa uang ganti rugi tanah bengkok Desa Sukareja yang dibebaskan?
Camat Indramayu, Agus Ahmad Kurnia, ketika ditemui tidak mau
menyebutkan besarnya nilai tanah bengkok pengganti. Alasannya, bukan
wewenangnya. Menurut dia, uang ganti rugi, selain dipakai mencari
tanah bengkok pengganti, juga untuk keperluan administrasi.
Sementara itu Kepala Biro Pemdes Pemda Jabar, Drs H. Enjang
Soedarsono AR, yang juga mantan Sekwilda Indramayu Senin Senin
(7/10) menyebutkan, kualitas tanah bengkok pengganti, seharusnya
lebih baik dari bengkok yang dibebaskan. Tentang uang ganti rugi
bengkok yang dibebaskan dikatakan, tidak boleh masuk kas pemda.
Uang itu harus digunakan bagi kepentingan desa itu sendiri.
Enjang Soedarsono sendiri ketika masih menjabat Sekwilda
Indramayu, diberi wewenang memegang uang ganti rugi bengkok, pada
waktu pembebasan dilakukan pertengahan 1990 lalu. Namun menurut dia,
uang itu selanjutnya dipegang oleh Bupati Indramayu.
Bupati Indramayu, Ope Mustofa, yang menjabat Bupati Indramayu
sejak Desember 1990 ditanya masalah ke mana "larinya" sisa uang
ganti rugi hanya berujar, "Jangan singgung luka lama." (agus
mulyadi)

Tidak ada komentar: