Jumat, 09 November 2007

Pasaran, Pulau Sejuta Teri

KOMPAS - Senin, 09 Jan 1995 Halaman: 11 Penulis: MUL/KEN/THY/GUN/DIS/MBA Ukuran: 9318 Foto: 2
PASARAN, PULAU SEJUTA TERI
KERUMUNAN lalat di salah satu warung di permukiman penduduk
Pulau Pasaran, Lampung, menyurutkan niat seorang laki-laki pendatang
untuk memesan segelas kopi. Ribuan lalat tampak hinggap di botol-
botol minuman, tempat makanan, dan semua benda yang bisa dihinggapi.
Meski begitu, di bangku depan warung sejumlah laki-laki warga
permukiman itu asyik menghirup kopi sambil ngobrol ngalor-ngidul.
DARI mana datangnya ribuan lalat, dan apa yang mengundangnya
datang? Warung kecil itu terletak di pinggir hamparan penjemuran
ikan di Pulau Pasaran, Lampung. Jemuran ikan teri penduduk setempat
dapat dipastikan mengundang datangnya lalat. Mungkin karena
penjemuran ikan teri yang mengundang lalat itu sudah menjadi sumber
nafkah hidup, pengunjung warung tidak lagi merasa terganggu. Mereka
sudah akrab dengan lalat.
Teri dan lalat memang telah menjadi bagian kehidupan penduduk
Pulau Pasaran sejak 27 tahun lalu. Pulau yang termasuk dalam wilayah
Kelurahan Kotakarang, Bandarlampung, merupakan lokasi pejemuran
ikan, khususnya ikan teri. Setiap hari sekitar 20 ton teri kering
keluar pulau menyerbu sampai ke pasar Jakarta.
Di pulau kecil seluas sekitar 10 hektar itu sulit ditemui
tempat lapang yang tidak terisi jemuran teri. Hingga dapat
dikatakan, di Pasaran hanya ditemui hamparan ikan teri dijemur dan
rumah penduduk, serta beberapa gedung lain. Praktis tak ada pohon di
pulau itu. Bersambungan dengan rumah, terdapat dapur-dapur perebusan
teri sebelum dijemur.
Kepala Lingkungan Pulau Pasaran, Amin Masry (49) menyebutkan,
pulau itu berpenduduk 900 jiwa (160 KK), di antaranya berasal dari
Jawa, Sunda, dan Bugis. Sekitar 70 persen dari jumlah penduduk yang
berusaha mengolah teri itu, adalah pendatang dari Indramayu, Jabar.
***
PULAU Pasaran pertama kali dihuni orang pada tahun 1967 oleh
dua orang pelaut Bugis. Dihuninya pulau kecil itu bermula dari
kedatangan perantau pelaut asal Bugis yang datang ke kawasan teluk
di barat daya Tanjungkarang pada tahun 1959.
Salah seorang pelaut penghuni pertama Pasaran adalah Amin Masry
itu sendiri, yang sampai sekarang masih betah tinggal di sana. "Pada
tahun itu di Pasaran sudah dibangun tempat pelelangan ikan," kata
Amin. Di TPI inilah transaksi pelelangan ikan hasil tangkapan
nelayan Bugis di perairan teluk berlangsung. Namun para nelayan itu
tinggal di perkampungan Bugis di daratan seberang pulau, yang hanya
dipisahkan perairan selebar 100 meter.
Menurut Lajju (55), seorang nelayan Bugis perintis lainnya di
Bandarlampung, selain TPI di pulau itu pernah berdiri pula sebuah
pasar. "Karena ada pasar itu pulau ini disebut Pasaran," ujarnya.
Dalam perkembangan selanjutnya, sejumlah nelayan dan pedagang
ikan dari daerah lain yang datang turut pula tinggal di Pasaran di
gubuk-gubuk kecil, mengikuti jejak Amin Masry. Ikan teri yang memang
banyak ditangkap nelayan pun diolah dan dikeringkan.
Termasuk dalam kelompok pendatang ini adalah para perantau dari
Indramayu, Jabar, yang masuk ke Pasaran pada awal tahun 1970-an.
Bahkan pendatang dari daerah ini tahun-tahun berikutnya semakin
banyak berdatangan, sehingga saat ini 70 persen penghuni pulau
berasal dari Indramayu.
"Saya datang ke Pasaran enam tahun lalu," kata Kurdi (45).
Penghuni pulau lainnya, Ny. Tuminah (30) datang dan berusaha sejak
tahun 1990 lalu. Kedua perantau asal Indramayu itu datang dengan
keluarga mereka.
Para pendatang yang menetap di Pasaran memilih usaha sama yakni
mengolah ikan teri untuk dikeringkan. Mereka membeli tanah dari
pemilik pulau kecil itu, dan bertempat tinggal di sana. "Nelayan
Bugis kembali ke laut, memasang bagan penangkap teri, dan menjualnya
kepada penghuni pulau," kata Amin Masry.
Ikan teri selanjutnya diolah dengan cara direbus, dan kemudian
dijemur sampai kering. Teri yang diolah terdiri dua jenis yakni teri
nasi dan teri kasar. Sebagian besar produksi teri kering dipasarkan
ke Jakarta.
Saat ini harga ikan teri nasi di tingkat produsen Pulau Pasaran
Rp 12.000 per kg, sedangkan teri kasar Rp 2.000 per kg. Sebelumnya
pengolah teri kering ini membeli teri nasi basah dari nelayan Rp
22.000 per rombong (bakul teri berisi berat 7 kg), dan teri kasar
basah Rp 4.000 per rombong.
Harga teri kering atau basah bergantung pada sedikit atau
banyaknya ikan yang diolah. Fluktuasi harga ini biasanya disebabkan
oleh tinggi rendahnya produksi teri nelayan.
***
SEBELUM dihuni para perantau pengusaha ikan teri, Pasaran
hanyalah sebuah pulau kecil tak berpenghuni milik seorang penduduk
Tanjungkarang. Oleh pemiliknya pulau ini dijadikan perkebunan
kelapa. Ketika datang perantau Bugis inilah, nelayan membangun TPI
dan pasar di Pulau Pasaran dengan seizin pemiliknya melalui
rekomendasi bupati setempat masa itu.
Namun karena semakin banyak pendatang menetap di Pasaran,
ungkap Lajju, sang pemilik akhirnya menjual semua lahan di atas
pulau itu kepada mereka. Pembayaran dilakukan dengan cara mengangsur.
Menengok jauh ke belakang, Lajju menyebutkan, asal-muasal pulau
itu sebelumnya menyatu dengan daratan pantai Tanjungkarang. Pulau
itu terpisah dari daratan sejak 1883 lalu, setelah terjadinya
letusan Krakatau. Karena tadinya menyatu, jarak pulau itu sampai
saat ini tetap dekat dengan daratan.
"Kalau sedang pasang, jaraknya 100 meter dari daratan. Namun
kalau sedang surut hanya 70 meter," kata Amin Masry.
Alat transportasi yang dipergunakan orang ke Pulau Pasaran
adalah perahu dayung atau motor. Bagi pendatang yang ingin
berkunjung, perahu dayung siap menanti di muara sungai di Kota
Karang dan mengantar sampai ke pulau.
Alat transportasi ini juga jadi tulang punggung warga untuk
mendapatkan sumber air bersih yang harus mereka beli di daratan. Itu
lantaran sumber air bersih di Pulau Pasaran tidak tersedia. "Semua
sumur yang dibuat penduduk airnya asin," ucap Subky. Alhasil, setiap
20 liter air bersih warga harus mengeluarkan biaya Rp 200. "Tetapi
kalau terima di pulau, harganya bisa dua kali lipat," tambah seorang
warga.
Kedekatan jarak dengan daratan itulah yang membuat warga sejak
beberapa tahun terakhir berani memohon penyediaan listrik kepada
PLN. Namun sampai dengan saat ini belum ada tanda-tanda permohonan
mereka dipenuhi. "Padahal Haji Ibrohim sudah menyanggupi menyediakan
tiang listriknya," kata Amin Masry. Haji Ibrahim adalah pengusaha
ikan teri yang paling sukses di Pasaran. Pendatang asal Indramayu
ini selain mengolah ikan teri sendiri, juga menerima teri kering
dari pengusaha lainnya, untuk selanjutnya dipasarkan.
***
HARAPAN penduduk Pasaran tampaknya memang tinggal harapan.
Apalagi pulau kecil -- dengan ketinggian hanya sekitar satu meter di
atas permukaan air laut -- itu sudah diincar sebuah perusahaan besar
yang berniat membebaskannya. Pulau itu diincar untuk dijadikan
lokasi wisata. Rencana besar itu kini mulai diwujudkan dengan
menguruk pantai di sebelah timur sungai yang membatasi permukiman
Bugis di daratan.
Perusahaan itu bahkan telah menawar tanah di Pulau Pasaran Rp
3.500 per meter persegi, belum termasuk bangunan di atasnya. Namun
harga itu dianggap terlalu kecil. Terlebih lagi, di pulau mini
itulah hampir seribu manusia menggantungkan hidup mereka. "Kami akan
pindah ke mana," kata Amin.
Padahal menurut Lajju pula, tidak sedikit retribusi yang
dihimpun dari pengolah ikan Pasaran yang menjadi sumber PADS
(pendapatan asli daerah sendiri) Lampung Tengah. Dalam satu hari
dapat terkumpung retribusi Rp 50.000 - Rp 500.000, bergantung pada
sedikit banyaknya ikan yang diolah pada hari itu.
Bukan hanya itu persoalan yang dihadapi penduduk setempat.
Usaha pengeringan teri mereka terancam. Tentu akan sangat sulit
memperoleh lahan baru terpisah dari daratan seperti Pulau Pasaran.
Persoalan serupa akan dialami pula nelayan setempat. Mereka akan
kehilangan pembeli teri, kalau pulau itu jadi dibebaskan.
Laju pembangunan yang terus menderu memang kadang-kadang harus
berhadapan dengan nasib banyak orang. Seperti yang dialami penghuni
Pasaran saat ini. Mereka terus dihantui mesin pembangunan yang dapat
setiap saat menggilas dan menggusur mereka. Padahal di pulau itulah
nasib mereka digantungkan. (mul/ken/thy/gun/dis/mba)
Teksfoto:
Kompas/ken
MENJEMUR IKAN - Mengolah dan menjemur ikan teri merupakan pekerjaan
yang telah menyatu dengan kehidupan warga Pulau Pasaran, Lampung. Tak
heran kalau pulau seluas 10 hektar itu nyaris tak menyisakan tanah
lapang. Yang ada hanya rumah, sedikit gedung, dan selebihnya jemuran
ikan teri. Bahkan, pohon pun hampir tak ada.
Teksfoto:
Kompas/ken
MEREBUS TERI - Pembagian tugas di Pulau Pasaran cukup jelas. Nelayan
Bugis mencari teri, sedangkan warga asal Indramayu, jabar, mengolah
teri. Mula-mula teri (baik teri nasi maupun teri kasar) direbus,
kemudian dijemur hingga kering. Pasar utamanya adalah Jakarta. Di
tingkat produsen di Pulau Pasaran, harga teri nasi Rp 12.000 per kg,
sedangkan teri kasar Rp 2.000 per kg.

Tidak ada komentar: